Share

BAB 3

Setelah memperkenalkan Reinard pada seluruh karyawanku, kami memutuskan untuk makan siang sebelum Reinard Kembali ke rumah sakit. Aku pikir acara perkenalan ‘calon-suami’ ini akan berlangsung kurang dari sepuluh menit, namun realitanya adalah banyak sekali yang mengajak Reinard bercakap bahkan sampai hal sepele sekalipun, contohnya ‘klinik kecantikan rumah sakit buka jama berapa?’

Aku tahu mereka sedang mencari perhatian. Tapi please, itu norak! Ketika kalian bisa menemukan banyak sekali hal-hal tentang rumah sakit milik keluarga Saputra mulai dari f******k sampai I*******m. Bahkan kalian bisa menemukan situs webnya dan disana jelas tertulis pukul berapa sang dokter kecantikan itu praktek.

“Jul….mau makan apa?” suara Reinard langsung membuatku menoleh. Sejak tadi kami tidak berbicara satu sama lain karena aku masih cukup kesal dengan perlakukan karyawan-karyawanku pada Reinard tadi. Sudah jelas pria yang dari tadi mereka curi perhatiannya adalah calon suami bos mereka, tapi kelihatannya mereka sama sekali tidak peduli.

Pria berbau wangi itu terlihat santai dalam mengemudi. Pandangannya lurus ke depan, memperlihatkan hidung lancipnya yang mempesona dari arah samping. Membuat imajinasi liarku Kembali berontak. Andai saja, hidung itu bisa aku cium.

Akh Julia! Pemikiran macam apa itu! Ingatlah apa yang membuatmu berada di samping Reinard sekarang? Tak lebih dari sebuah perjodohan orang tua. Lantas, apakah harus dengan begitu mudahnya kamu menyukainya hanya karena dia tampan dan lebih muda? Ingatlah, menyukai hanya akan membuatmu tersiksa dan belum tentu Reinard yang muda dan multitalenta ini menyukaimu juga.

Tidak! Dia sudah mengatakan tertarik padaku.

Hei wanita tua! Tidak seharusnya di usiamu sekarang masih termakan oleh gombalan-gombalan tengik macam begitu. Di usiamu ini kamu harus bisa realistis. Ingat apa yang Reinard katakan selain ia tertarik padamu? Karena ia begitu menghormati orangtuanya. Mengerti?!

“Akh!” tanpa sadar aku mengacak-acak rambutku.

“Kenapa?” Reinard menatapku panik. Ia segera menepikan mobilnya.

“Pusing?”

Aku mengangkat dagu. Ingin menggeleng dan mengatakan ‘tidak’ Ketika tangannya tiba-tiba sudah terulur dan meraba keningku. Dadaku berdesir. Ini kedua kalinya kami bersentuhan. Pertama Ketika kami pertama kali bertemu dan saling berjabat tangan. Tapi waktu itu dadaku biasa saja Ketika ia menyentuhku, namun sekarang kenapa rasanya lain? ada sesuatu yang meletup-letup di dadaku, dan aku tidak bisa menggambarkannya dengan jelas.

“Aku….hanya teringat pekerjaan.” Aku menepis tangannya terburu-buru.

“Tapi wajahmu merah sekali Julia.”

Bolehkah aku menghilang sekarang?

Aku tdak yakin apakah Reinard sedang mengejekku atau memang sedang mencoba meng-anamnesa keadaanku—karena dia seorang dokter. Namun dilihat dari ekspresinya, sepertinya ia memang tidak menyadari kalau perubahan rona muka-ku karena gugup.

“Tidak…aku tidak apa-apa.” Aku tersenyum kecil. “Bisakah kamu Kembali menjalankan mobil? Aku sudah lapar.”

Reinard mengangguk meski sedikit agak ragu. Tangannya Kembali memutar setir agar mobil Kembali masuk jalan raya.

“Oh ya, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Katanya setelah mobil Kembali melenggang di jalan. “Mau makan dimana?”

Sebenarnya aku ingin sekali makan nasi padang. Sudah lama sekali aku tidak menikmati makanan itu karena Eli mengajakku berdiet belakangan ini. Namun kali ini, aku butuh kalori yang banyak untuk berfikir realistis. Siapa tahu monolog liar di kepalaku tadi diebabkan karena aku lapar.

“Sebenarnya aku ingin nasi padang.” Jawabku jujur. “Tapi aku tidak yakin jika kamu mau.”

“Ide bagus. Kebetulan aku juga ingin makan berat sekarang.”

Aku terhenyak, lantas menatapnya dengan mata berbinar. Bagaimana bisa pria disampingku ini begitu memahami apa yang aku inginkan, padahal Eli selalu mengomel Ketika aku menghabiskan sepiring nasi padang lengkap plus kerupuk.

Reinard memarkir mobilnya di depan salah satu restoran Padang langgananku. kami memilih tempat duduk di samping jendela. Alasan simple agar aku bisa sedikit mendapat pemandangan lain selain menatap Reinard. Aku yakin akan kecanduan jika terus menerus menatap wajah itu.

Aku pikir Reinard akan terkejut melihat porsi nasiku yang begitu banyak. Karena aku memang tidak mengatakan pada pelayannya untuk mengurangi porsiku. Untuk apa? Aku tidak ingin jaim di depan Reinard dengan makan sedikit. Setidaknya inilah hal awal yang aku lakukan untuk menunjukkan apa adanya diriku padanya.

“Besok ada waktu?” tanyaku sambil berusaha membuka tutup botol air mineral yang ku pegang.

“Aku seharian jaga di rumah sakit.” Reinard melirik botol air mineral ditanganku, menurunkan sendoknya lantas mengambil alih botol air mineral itu dan membuka tutupnya dengan mudah.

Aku terenyum samar. Rupanya ia ingat apa yang tadi Reza katakan padanya bahwa aku memang paling tidak bisa membuka tutup botol air mineral.

“Terimakasih.” Aku menerima air mineral itu lalu menenggaknya sedikit.

“Besok kita ada janji temu dengan designer. Membahas baju pengantin.” Lanjutku. “Tapi kalau kami sibuk, aku bisa membatalkannya.”

Reinard belum menyahut. Ia terlihat menyelesaikan kunyahannya.

“Tidak masalah. Aku bisa ijin keluar besok sore.” Jawabnya tenang.

“Kamu yakin tidak akan menganggu pekerjaanmu besok?” tanyaku ragu sambil memasukkan sesendok nasi padang ke dalam mulutku.

“Tidak.” Pria itu mengambil sebuah tissue lantas mengusapkannya di ujung bibirku. “Ada sisa remahan nasi Jul.”

Aku menunduk. Bukan malu karena remahan nasi, melainkan karena merasa tersanjung diperhatikan sebegitu baiknya oleh Reinard.

“Sorry…aku sering melakukan hal ini kalau sudah kelaparan.” Dalihku.

“Tidak apa-apa. Bagiku kamu tetap lucu.”

Aku mengangkat dagu, melihatnya tersenyum begitu lembut. Lagi-lagi hatiku meleleh. Entah kenapa aku selalu merasa deg-deg’an dengan setiap kalimat yang diucapkannya kepadaku.

“Oh ya, besok kamu bisa datang menjemputku?” Reinard mengalihkan pembicaraan.

“Ke rumah sakit?” Mataku terbeliak. Jika aku datang ke rumah sakit besok, berarti rekan-rekan kerja Reinard akan bertemu denganku. Bukankah secara tidak langsung ia sedang memperkenalkan aku pada karyawan-karyawan rumah sakit yang lain bahwa aku adalah calon istrinya?

“Jul, gimana?”

“Eh….” Aku mengangkat dagu dengan tergesa.

“Kamu bisa enggak jemput aku? Atau aku yang jemput lagi ke kantormu?”

“Akh….bisa kok. Aku bisa. Aku bisa jemput kamu besok.” Otakku mulai berfikir bagaimana harus menyelesaikan semua pekerjaanku sebelum pukul tiga sore agar aku punya waktu luang untuk bersamanya.Awalnya aku pikir kami hanya akan bertemu di butik dengan membawa kendaraan sendiri-sendiri. mengukur baju kemudian pulang. Tapi ternyata Reinard bahkan menginginkanku untuk datang ke rumah sakitnya. Bukankah itu berarti aku memang butuh waktu khusus buat dia?

“Baiklah, besok aku tunggu di rumah sakit.” Lagi-lagi suara merdu itu memecahkan monolog di kepalaku.

*****

“Lo enggak bisa ya Jul, menyembunyikan perasaan lo kalau lo udah jatuh cinta sama calon suami lo itu?”

Kalimat Reza membuatku terkikik. Bukannya senewen, aku malah menghempaskan tubuhku di atas Kasur dengana ponsel yang masih menempel di telinga.

“Gue enggak jatuh cinta sama dia.” Elakku dan aku yakin jika Reza juga bakalan tak percaya dengan apa yang aku katakan.

Dan benar saja, aku mendengarnya berdecak dari seberang sana. “Gue udah bilang kan, kalau lo itu kelihatan banget tertarik sama dia. Ayam tetangga gue aja juga tahu kalau udah ngelihat.”

“Emang tetangga apartement lo ada yang punya ayam?”

Reza terkekah. “Perumpamaan kuya!”

Aku meluruskan pandanganku kea rah langit-langit kamarku yang berwarna putih. Di sana ada tempelan beberapa bintang dan bulan yang akan bercahaya jika aku menghidupkan lampu. Aku masih ingat kapan aku membeli barang itu, Ketika aku masih SMP dan membelinya pada abanag-abang di depan sekolah. Aku jadi berfikir untuk membawa bintang dan bulanku itu Ketika aku pindah rumah setelah menikah nanti.

Woy! Kenapa aku jadi melankolis begini? Sejak kapan?

“Rez….emang kelihatan banget ya kalau gue suka sama Reinard?”

“Banget!”

“Jangan gitu dong!”

“Yaelah. Gue jawab jujur kali nek!” sahut Reza nyaring. “Cuma orang yang enggak normal aja yang enggak tertarik sama cowok se-handsome Reinard.”

“Berarti lo enggak tertarik dong?!”

“Maksud lo?”

“Yak an karena lo enggak normal.”

“Sialan! Nenek lampir kurang ajar!”

Aku terkekah.

“Jul tapi aneh enggak sih menurut lo?”

Aku menggeser tubuhku miring. “Aneh gimana?”

“Kok cowok sekeren Reinard mau ya sama perawan tua kayak lo? Udah judes, tua, hidup lagi.”

“Ngomong apa lo barusan?!” aku menegakkan tubuh dengan kesal. “Lo pikir gue udah nenek-nenek apa? cuma terpaut usia empat tahun Rez. Dan gue yakin kalau servis gue nanti lebih hebat daripada perawan-perawan umur duapuluh tahun.”

“Cieee….jadi lo udah siap nih main servis-servisan sama dia? Dia dokter lho Jul. pasti lebih tau anatomi daripada lo kan?”

“HUst!” Mukaku terasa panas sekarang. Sialnya, pikiran kotorku Kembali mendominasi. Dalam sekejap aku berhasil mmebayangkan jika bibir Reinard yang merah dan lembut itu melumat bibirku. Mungkin efek tak tersentuh bertahun-tahun membuat naluriku sebagai manusia Kembali bergejolak. Ya manusiawi sih.

“Jul….woy….Jul….lo enggak mikir macem-macem kan?!” Suara Reza berhasil menghalau pikiran absurdku. Entah aku haru mengucapkan banyak terimakasih atau mengumpat sekarang.

“Enggaklah. Lo gila!” Aku mengusap wajahku lantas beranjak dari Kasur untuk menuju kamar mandi. Siapa tahu dengan cuci muka, pikiran bersihku Kembali.

 “Udah ah kalau gitu. Gue mau mandi! Bye!” aku segera menutup telepon Ketika sampai di depan wastafel. Menatap wajahku sesaat di depan cermin. Tiba-tiba senyumku mengembang begitu saja. Aku baru menyadari bahwa beberapa hari ini aku mudah sekali tersenyum. Apakah memang alasannya karena jatuh cinta?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status