“Jadi lo menerima perjodohan itu Jul?!” Reza hampir saja terlonjak dari kursinya ketika mendengar apa yang baru saja aku katakan.
Aku melotot, memberinya sinyal agar ia bersikap wajar karena beberapa karyawan dan klien menoleh ke arah kami. Dalam beberapa hal, memang pria kemayu ini terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu.
Siang ini aku, Reza dan juga Eli sedang berkumpul di lantai bawah kantorku. Aku memang sengaja mengundang mereka untuk datang karena Reinard juga akan datang untuk menjemputku makan siang. Aku berniat memperkenalkan ‘calon suamiku’ pada mereka.
“Gimana enggak kaget coba El?” Reza memutar kepalanya ke arah Eli yang sejak tadi hanya menyimak dengan tenang. “Iya enggak?”
Eli menyandarkan tubuhnya di badan sofa, lantas mengangguk. “Iya sih, tapi gue enggak seheboh lo kok mak!” nada suaranya sedikit mencemooh.
Reza mendengkus kesal. Untung mengurai kesalnya, ia mengambil sekotak salad di atas meja lalu memakannya dengan rakus. Nah, di saat-saat seperti ini justru aura ke-lelakiannya Reza muncul.
“Kok tiba-tiba banget sih lo berubah pikiran tentang masalah pernikahan Jul? Padahal sebelum-sebelumnya lo selalu menolak dengan tegas waktu lo dijodohin?” Eli menatapku dengan sungguh-sungguh. “Apa dia benar-benar prince charming yang lo cari selama ini?”
Aku terkekah mendengar ucapan Eli. Rupanya wanita itu masih ingat kalimatku beberapa tahun lalu, bahwa aku sedang mencari ‘prince-charming’ untuk aku nikahi.
Dibandingkan dengan Reza yang super heboh, Eli terlihat wajar. Mungkin karena ia sudah berpengalaman dengan sebuah pernikahan. Eli seorang model, di usianya yang ke dua puluh satu tahun, ia pernah menikah dengan pria yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya dan bekerja sebagai seorang sutradara. Namun bukannya langgeng, di usia pernikahan yang belum genap setahun, mereka malah bercerai dan berimbas dengan perubahan pola fikir Eli—yaitu ia trauma untuk menikah. Wanita itu lebih memilih menghabiskan waktu dengan beberapa pria sekaligus, bermain-main dengan mereka lalu saling menjauh ketika bosan.
“Karena gue merasa memang sudah waktunya El.” Sahutku sambil menyesap teh hangat yang beberapa waktu lalu dibuatkan oleh salah seorang asistenku. “Enggak ada hubungannya sama si-prince charming yang dulu pernah aku katakan.”
Eli hanya manggut-manggut, mencoba memahami kata-kataku.
“Tapi lo yakin, padahal usianya jauh lebih muda dari lo Jul. lo percaya enggak akan kesusahan karena usia suami lo lebih muda. Eli aja yang dapet lebih tua akhirnya—” Reza mejeda kalimatnya karena lirikan mata Eli yang tiba-tiba tertuju ke arahnya.
“Sorry El. Gue lagi nyari contoh. Dan bagusnya, gue enggak perlu cari jauh-jauh karena lo sudah berpengalaman dalam pernikahan sekaligus perceraian.” Tentu saja, kalimat Reza yang nyablak berhasil membuat Eli melayangkan pukulan di kepala pria itu.
“Lo jangan memukul rata setiap hubungan pasti enggak akan ada bagusnya kayak hubungan pernikahan gue kuya!” omel Eli kesal. “Gue waktu itu khilaf. Paham?”
Reza mencebik, dan kembali mengaduk-aduk saladnya seolah tidak peduli dengan apa yang baru saja Eli katakan. Ia sudah terbiasa kena marah Eli karena sering mengungkit-ungkit masa lalu wanita itu. Meskipun Eli sering marah-marah dan berakhir dengan timpukan, namun tetap saja tidak membuat Reza kapok.
“Gue heran deh sama lo, lontong sayur!” omel Eli belum berhenti, tatapannya menghunus pada Reza yang bersikap masa bodoh di sampingnya. “hobi banget sih ngingetin gue sama masa lalu?”
Reza membelalakkan mata. Ditaruhnya wadah salad yang sejak tadi di pegangnya ke atas meja dengan menghentak. “Gue enggak bandingin elo maaak! Gue cuma mau kasih tau Julia tentang hal ini, mengerti?! Lo-nya aja yang terlalu sen-si-ti-ve.” Reza melipat kedua tangannya di depan dada dengan begitu gemulai. “Dan sekali lagi lo panggil gue lontong sayur, gue enggak bakalan maafin lo!”
“Eh enak aja lo—”
“Udah….udah….” potongku cepat. Aku hapal dengan kedua orang di depanku ini, Ketika lagi jadi musuh, enggak peduli dimana mereka pasti akan bikin keributan yang memalukan. Tapi kalau sudah akur, beeuh….akrabnya sudah melebihi saudara kandung.
Aku hendak membuka mulut agar mereka tidak membuat keributan di kantorku Ketika mataku menemukan sosok Reinard masuk ke dalam kantor dengan langkahnya yang mempesona. Efek dramatis langsusng terasa ketika tubuh menjulangnya tertimpa sinar matahari dari luar. Begitu bercahaya, dan hampir saja aku kehilangan konsentrasiku.
“Rei…!” aku melambai kecil ke arahnya. Pria itu berhenti sesaat, mencari asal suaraku sebelum akhirnya tersenyum tipis dan berjalan ke arahku. Ketika beberapa saat lalu aku masih mendengar Eli dan Reza berdebat tentang masalah ‘lontong sayur’, kini tak kudengar suara apapun dari keduanya. Aku melirik sekilas, dan sudah kuduga bahwa kedua anak manusia itu tengah terhipnotis dengan tampang calon suamiku.
Sedikit rasa bangga di dalam hatiku melihat ekspresi kedua sahabatku ini. Setidaknya meskipun hubunganku dengan Reinard tidak jelas, tapi dia cukup tampan dan membuatku percaya diri mengenalkannya pada sahabat-sahabatku.
“Kenalin, ini Reinard.” Aku memperkenalkan Reinard pada Reza dan Eli yang kini sudah berdiri berbarengan tanpa di beri aba-aba. Padahal beberapa detik lalu mereka masih seperti kucing dan tikus, kini kulihat kedua tangan mereka saling meremas diam-diam untuk memberi kode satu sama lain bahwa Reinard memang luar biasa mempesona.
“Kenalin, gue sahabat Julia. Nama Gue—”
“Reza!” potong Reza cepat-cepat, menepis tangan Eli yang sudah terulur untuk mengajak Reinard berjabat tangan.
Reinard sedikit ragu menerima uluran tangan Reza. Apalagi melihat casing Reza yang cowok banget tapi dengan sikap yang super feminim macam begitu. Aku yakin dia tak terbiasa menghadapi manusia macam Reza.
“Nama gue Reza. Tapi bukan Reza Rahardian, apalagi Reza Artamevia. Gue Reza Aja sih, tapi yang paling cantik dan menarik di antara kami bertiga.” Cowok centil itu menaik-turunkan alisnya. Bukannya melepaskan tangannya dari tangan Reinard, justru semakin kenceng saja.
“Gue Reinard. Em…..” dia berfikir sejenak.
“Gue tahu kok. Cowok yang dijodohin sama Julia khan?” Reza tersenyum lebar, lalu mencondongkan kepalanya ke arah Reinard sembari berbisik. “Gue rasa, sebelum semuanya terlambat mending lo batalin deh pernikahan kalian. Masa lo mau sih nikah sama cewek super sibuk yang bahkan ngebuka tutul botol air mineral aja enggak bisa?”
Aku mencelos kesal plus tersipu. Ingin membuka mulut dan mengumpat Reza dengan kasar, namun kali ini aku harus menjaga wibawaku di depan Reinard dan juga anak buahku. Maka dari itu aku segera menemukan cara lain agar Reza tidak terus ngember macam sekarang.
“Eh…kelamaan!” Aku menarik tangan Reza, setelah menemukan celah untuk membuatnya menjauhi Reinard. “Ntar lo naksir kalau lama-lama pegang tangan Reinard.”
Reza terkekah. “Gue udah naksir bund. Sejak pandangan pertama tadi.”
Aku memutar bola mata malas, sedangkan Eli menoyor kepala Reza sampai cowok itu mengaduh.
“Udah lupain. Dia emang orangnya rada aneh.” Eli mengedikkan bahunya santai, lalu menyalami Reinard. “Gue Eli, sahabat baiknya Julia.”
Reinard tersenyum. Senyum yang lebih santai dibandingkan dengan senyum yang ia tujukan pada Reza tadi.
“Sepertinya gue bakalan jadi akrab juga sama kalian.” Sahutnya kemudian,
“Tentu saja.” Kata Eli. “Asal lo bahagia’in Julia ya?”
“Tentu. Bagaimanapun juga Julia adalah calon istri gue.”
Dan sialnya, muka ku langsung panas mendengar kalimat Reinard. Aku tidak ingin seperti anak SMA yang langsung baper atau salah tingkah ketika digombali oleh cowok. Tapi nyatanya, wanita itu adalah makhluk paling mengerikan plus aneh di dunia. Aku tahu, kalimar Reinard tidak lebih dari basa-basi saja, namun sanggup membuat tubuhku kepanasan.
“Udah maaak. Enggak usah baper.” Reza menyikut lenganku. “Lo bukan di usia tujuh belas tahun sekarang. Ngerti?!”
Aku membuang pandang ke sembarang tempat. Sejujurnya sekarang aku merasa ditelanjangi oleh Reza sialan ini.
“Eh Rei, gue kasih tahu ya.” Reza merangkul pundakku. “Wanita ini paling enggak demen di rumah. Hampir delapan puluh persen hidupnya itu dengan pekerjaan dan kantor. So nanti ketika kalian udah nikah, lo yang sabar ya? Soalnya selain enggak bisa buka tutup botol air minmeral, dia itu sibuk. Enggak bisa masak, udah pasti. Dan yang lebih bikin lo frustasi ntar adalah, dia hobi makan ice cream rasa kacang ijo kalau lagi stress.”
Akh, bisa enggak aku menjahit mulut lemes Reza sekarang? Aku tidak ingin Reinard mengetahui kejelekanku sekarang, apalagi dari mulut beracunnya Reza.
“Lo bisa diem nggak sih Rez?!” bentak Eli akhirnya. “Lo lihat muka Julia udah kayak kepiting rebus sekarang?”
Ini anak satu bukannya bikin aku nyaman malah nambah-nambahin. Sepertinya aku harus segera mengajak Reinard pergi dari sini sebelum pria itu tahu semua kebobrokanku dan memilih memutuskan perjodohan ini tanpa alasan yang jelas. Dighosting lah kalau perumpamaan sekarang.
“Oh ya, enggak usah dengerin mereka ya?” aku menghadap Reinard sambil tersenyum. “Aku kenalin sama karyawan-karyawan aku mau?”
Ayolah Rei….bilang iya. Oke! Supaya aku cepet mengusir dua siluman ini dari sini sekarang.
“Baiklah….” Jawab Reinard pada akhirnya. “Lagipula setengah jam lagi aku harus segera Kembali ke rumah sakit karena ada jadwal operasi.”
Plong!
Setidaknya hari ini cukup dengan omong kosong dari kedua mulut sahabatku itu.
Aku melirik Eli dan Reza yang hanya tersenyum penuh kemenangan. Sebelum aku mengajak Reinard melangkah, aku melirik mereka dengan komat-kamit. Mengancam akan membuat perhitungan setelah ini.
******
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi