Share

BAB 4

“Tumben cantik.” Suara Rosa membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu.

Aku menoleh, sedang mendapati Rosa tengah menyisir kucing angora kesayangannya di teras sedangkan tak jauh darinya, di kursi teras papa tengah asyik dengan koran dan tentu saja dengan kolor santainya setiap pagi. Kalau kalian ingin tahu apa yang dilakukan sang pengusaha sukses Anwar Hartono di pagi hari? Ya beginilah! Duduk menyilangkan kaki di kursi teras memakai kolor legendarisnya ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tradisinonal.

“Emang dari dulu kakak kan udah cantik.” Cibirku.

Rosa mencebik. Seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tentu saja dia tak akan percaya, karena pagi ini adalah pagi terniatku bangun sebelum subuh, mandi keramas, memilih baju sampai hampir satu jam lamanya dan tentu saja bersolek di depan cermin sangat lama. Hanya untuk mendapatkan predikat cumlaude di hasil make-upku.

“Mau ketemu Reinard ya?” papa mengangkat dagu lantas menutup korannya.

“Fitting baju, tapi nanti siang.” Jawabku tanpa menoleh. Tanganku sedang sibuk mengaduk-aduk tas dan mengambil kunci mobil dari sana.

Rosa terbahak. “Bener kan mau ketemu sama calon suami?” cibirnya. “Kak Julia mah enggaka pernah dandan seheboh ini kalau Cuma mau ke kantor. Ya gak pa?”

Papa hanya menjawab dengan deheman kecil.

“Duduk sini dulu Jul.” papa meletakkan lipatan korannya di atas meja.

Aku menurut, duduk di kursi kayu bersebrangan dengan papa. Aku tahu jika papa sudah menyuruh duduk, berarti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.

“Papa mau pernikahan kalian nanti jadi pesta besar ya.” Papa menatapku. Sorot matanya bukan meminta pertimbangan, melainkan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi.

Aku menghela nafas gusar. Padahal aku sudah bilang sejak beberapa hari lalu—lebih tepatnya semenjak pertemuanku dengan Reinard waktu itu, bahwa akau tidak ingin sebuah pesta yang mewah. Cukup antara keluarga saja.

“Pa, aku pengen pernikahan yang intim saja antara keluarga. Kalau kita mengadakan pesta mewah, aku takut jika mereka menganggap ini pernikahan bisnis pa!” kataku bersikeras, namun sedetik kemudian aku mengerutkan dahi dan mencondongkan tubuhku ke arah papa. “Atau jangan-jangan papa memang menjadikan ini sebagai pernikahan bisnis? Iya pa?”

Papa berdecak padaku.

“Kalau itu tujuan papa, aku enggak mau!” aku melipat tanganku di depan dada dan melengos. Mataku kini tertuju pada Rosa yang asik dengan kucingnya dan tak peduli dengan pembicaraan antara aku dan papa.

“Enak saja!” Sahut papa kemudian. “Papa memang benar-benar tertarik pada Reinard Ketika pertama bertemu dia di salah atu pesta pernikahan anak teman papa. Dia baik, sopan dan tentu saja tampan.” Papa tergelak dan aku hanya menatapnya miris.

“Jadi bener ya, papa enggak ada maksud lain?” todongku.

“Bener Jul. kalau papa bohong, kamu bisa membatalkan pernikahan kalian.”

Aku menarik nafas lega. Setidaknya aku  bisa bahagia dengan pernikahanku nanti tanpa embel-embel ‘bisnis’ atau hal lainnya yang cukup membuatku tidak nyaman selama ini.

“Baiklah…papa boleh ngadain pesta. Tapi tetep ya pa, untuk dekorasi dan lokasi aku yang atur.” Kataku kemudian dan papa hanya mengangguk dengan senyum lebar.

*****

Reinard sudah menungguku di lobi Ketika aku baru saja selesai memarkir mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Setelah saling ber’say-hay’ dan bertanya keadaan dengan sedikit canggung—maksudku aku. Reinard mengajakku ke ruangannya di lantai lima. Awalnya aku ingin kami segera meninggalkan rumah sakit, tapi Reinard lupa tidak membawa ponselnya dan kami harus Kembali lagi ke lantai atas.

Aku memang mengira jika akan banyak orang yang terkejut dengan kehadiranku Bersama Reinard. Tapi aku tidak menyangka jika respon mereka seheboh itu. Aku tidak menyangka jika Reinard adalah dokter idola di rumah sakit ini. Aku bisa melihat betapa banyak raut kecewa ketika pria bertubuh tinggi itu berjalan beriringan denganku lantas memperkenalkanku sebagai calon istrinya di depan para perawat dan karyawan lain. aku jelas tersanjung, dan tentu saja bangga.

“Kenapa ngenalin aku sama karyawan kamu?” tanyaku Ketika Reinard sudah menutup pintu ruangannya. Pria itu sibuk melepas jas dokternya sementara aku duduk di sebuah sofa Panjang berwarna abu-abu.

“Bukannya aku memang harus memperkenalkan calon istriku?” Reinard menggantungkan jas dokternya tanpa menoleh ke arahku.

Aku tersenyum tipis, jujur kuakui pipiku pasti kini sudah bersemu merah karena malu.

“Aku pikir, kamu tidak siap dengan perkenalan-perkenalan macam ini.”

Bagus Julia. Kamu harus berfikir positif tentang sebuah hubungan, apalagi ini tentang sebuah hubungan perjodohan. Aku tahu kamu mulai tertarik pada calon suamimu, tapi dalam hal ini kamu harus menjadi wanita dengan harga diri tinggi. Ingatlah bagaimana selama ini kamu menjadi wanita mandiri yang tidak pernah diperbudak oleh perasaan tertarik pada laki-laki?

“Julia…..” Reinard menatap tajam ke arahku. “Apa kamu masih ragu dengan apa yang kukatakan waktu itu padamu?”

“Ka—kata-kata apa?” Tanyaku terbata. Aku tidak bisa berlama-lama menatap mata tajam itu, jika ingin perasaanku baik-baik saja.

“Bahwa aku tertarik padamu.”

Aku melengos kearah lain. aku memang sering mendengar Reinard menagatakan hal itu padaku, namun kenapa selalu tidak sampai di hatiku. Apakah karena kami memang belum pernah bertemu dan terlibat hubungan fisik sedikitpun—selain jabatan tangan dan dia mengusap dahiku waktu itu.

“Ya….aku percaya padamu.”kataku setengah berbohong, maksudku hanyalah agar ia tidak mengatakan kalimat itu lagi.

Aku melihat Reinard terseyum dengan salah satu sudut bibirnya lalu menghampiriku.

“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?” ia menunduk, mengambil ponselnya di atas meja. Saat itu hembusan parfum dari bajunya menguar di hidungku. Aku tidak tahu pasti sebabnya, namun bau wangi dari tubuh Reinard seolah sedang memainkan jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Aku mengakui bahwa aku memang udah gila sekarang. Gila dengan pesona berondong berkharisma di depanku ini.

“Bagaimana Julia?” seperti biasa, suara Reinard berhasil membuatku kembali dari alam bawah sadar.

Aku mengangguk cepat. “I—iya. Itu ide bagus.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengikuti Reinard yang sudah membukakakn pintu untukku.

Di luar, keadaan masih tak jauh beda dengan sebelum aku masuk ke dalam ruangan Reinard. Bahkan aku melihat raut tidak senang itu bertambah saat Reinard mempersilakanku keluar sedang ia menutup pintu. Aku tersenyum pongah, tentu saja aku bangga. Aku bangga jika mereka mengira aku dan Reinard telah melakukan sesuatu yang hebat di dalam sana sampai mereka cemburu. Padahal kami tidak melakukan apapun selain Reinard membuka jas dokternya dan kembali mengajakku keluar.

“Dokter!” sebuah suara melengking nyaring memenuhi koridor.

Aku menoleh dengan cepat, begitu juga dengan Reinard dan beberapa perawat yang masih berkumpul di ruang jaga. Dari ujung Lorong, dibalik silau matahari sore yang menembus jendela, aku melihat dengan samar sosok wanita yang berlari kecil kearah Reinard. Semakin dekat, dan aku tahu jika sosok itu juga memakai jas dokter seperti yang Reinard gunakan.

“Ih, dokter. Aku cari kemana-mana lho. Ini….aku kan mau konsultasi pasien………..” cerocosnya Ketika dia sudah sampai di depan Reinard. Perempuan itu berbicara tanpa jeda dan tentu saja tak menganggapku di sana.

Aku melirik Reinard, ia tampak tenang-tenang saja dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Keadaan ini cukup membuatku mendegkus cemburu, apalagi Ketika aku melihat para perawat di nurse station itu Kembali berbisik-bisik.

Sekali lagi, aku menatap perempuan itu dalam-dalam. Jas putih yang dipakainya memperlihatkan kalau ia juga berprofesi sama dengan calon suamiku. Wajahnya bulat telur dan putih. Terlihat menggemaskan dengan poni tipis di keningnya dan lesung pipit di sisi bibirnya. Untuk usia, dia mungkin lebih muda dariku bahkan mungkin juga lebih muda daripada Reinard.

“Baiklah, kalau kondisinya masih stabil……” Reinard membuka suara setelah penjelasan panjang lebar dari perempuan itu. Disinilah aku terpukau melihat betapa sabar dan cerdasnya dia menyampaikan sesuatu dengan bahasa kedokteran yang tak aku ketahui artinya.

“Mengerti sekarang?” Reinard menyudahi kalimatnya.

Perempuan itu tersenyum lalu pamit pada Reinard. Namun sebelum ia mengayunkan Langkah, tiba-tiba tatapannya tertuju padaku. Aku yang langsung di tatap dengan cara seperti itu cukup terkejut. Tatapannya sarat dengan keingintahuan yang mendalam.

“Kenalin Win….” Reinard tiba-tiba menarik pergelanganku agar lebih mendekat kepadanya.

“Dia Julia, calon istri aku.”

Aku benar-benar melihat wajah perempuan yang dipanggil ‘win’ itu berubah. Dari ekspresi datar menjadi terkejut. Di sisi lain, saat ini hatiku seakan menggelembung hebat. Begitu bahagia dengan apa yang baru saja dikatakan Reinard.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status