Share

BAB 5

Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.

Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.

Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka memutuskan bercerai Ketika Reinard duduk di bangku SMA, Marina hanya hidup berdua dengan Reinard sepanjang waktu karena papa mereka sibuk dengan bisnisnya.

Begitulah, semua hal mengalir seperti air. Selain sibuk beradaptasi dengan keluarga baru kami masing-masing, kami juga disibukkan dengan undangan, souvenir pernikahan, gedung resepsi dan bahkan kami sibuk menatap sebuah apartement baru kami yang akan kami tinggali nanti. Aku tidak tahu apa alasan Reinard memilih apartement yang sedikit lebih jauh dari tempat kerja kami. Apartement ini berada di pinggiran kota, dan tidak terlalu ramai. Namun pemandangan yang dihadirkan sungguh luar biasa. Kami bisa menikmati kerlip indah lampu kota di malam hari, juga sunset yang begitu memukau.

Mungkin inilah alasan Reinard memilih apartement ini. Bahkan aku juga tidak tahu kapan Reinard memiliki salah satu unit di Gedung apartement ini. Ketika pertama kali kami datang, kondisinya sudah berdebu. Seperti apartement yang sudah lama tidak ditinggali. Aku yakin Reinard sudah lama membelinya, dan ini bukanlah hadiah pernikahan darinya untukku.

Hari ini, dua hari menjelang pernikahan adalah hari terakhirku untuk bersenang-senang sebelum besok aku mulai dipingit tidak boleh keluar rumah meskipun hanya ke minimarket untuk membeli sabun mandi. Jadilah, hari ini aku, Reza dan Eli melakukan bridal shower kecil-kecilan di apartement Reza. Sebenarnya aku tidak berninat melakukan acara seperti ini, karena membuang-buang waktu. Namun tentu saja kedua sahabatku itu tidak terima dengan ‘penolakanku’ dan berhasil menjemputku di kantor sore tadi. Untung saja, aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku sejak kemarin dan menyerahkan sisanya pada Rini—asisten kepercayaanku selama aku cuti menikah dan bulan madu.

“Gimana menjelang hari H Jul?” tanya Reza Ketika kami tiduran di lantai—bertiga. Kepala kami berkumpul menjadi satu membentuk lingkaran. Suasana sekeliling kami sudah cukup berantakan. Ada sisa-sisa kertas warna-warni yang berceceran, dinding-dinding yang dihias dengan banyak balon dan tulisan-tulisan dan yang tidak kalap adalah wajahku yang kini sudah lebih buruk dari make-up badut ulangtahun. Penuh comeng karena mereka berdua benar-benar mengerjaiku habis-habisan kali ini.

“Cukup bisa diatasi.” Jawabku sambil terus menatap langit-langit yang berwarna putih bersih.

“Enggak deg-deg’an?”

“Elaaah….lo tahu sendiri jawabannya kan?” timpal Eli cepat.

“Ya gue kan basa-basi neeeeeek.” Sungut Reza kesal.

Aku meringis mendengar kedua sahabatku saling beradu mulut seperti itu. Hal yang setiap hari kudengarkan, dan aku lebih dari biasa.

Ku akui, aku benar-benar tidak bisa melukiskan perasaanku sekarang. Antara cemas, takut dan tentu saja deg-deg’an. Sudah beberapa hari ini aku insomnia dan berakhir dengan menenggak obat tidur, meskipun aku tahu efek sampingnya akan sangat berbahaya jika aku terus-menerus mengkonsumsi itu. Namun aku harap, setelah menikah dan semua rentetan keribetan pernikahan ini selesai, aku sudah bisa kembali mengatur jadwal tidurku menjadi normal lagi.

“Sejujurnya, gue cukup stress menjelang pernikahan ini.” Sahutku kemudian.

“Kenapa Neeeek?” Reza menoleh kepadaku.

“Mungkin karena aku akhirnya melepas masa lajangku dan—”

“Melepas keperawanan?” potong Reza.

Aku mengangguk pelan.

Ya! Di usiaku yang sudah lebih dari tigapuluh tahun ini, aku masih virgin. Bukanaku tidak laku atau tidak pernah pacaran atau tidak pernah melakukan sesuatu yang menuju kesana. Aku sering gonta-ganti pacar dan bahkan beberapa kali menginap di hotel bersama pacarku. Tapi aku sama sekali tidak pernah sampai menghilangkan keperawananku. Aku tetap menjaganya dan menolak setiap pacar-pacarku mengajak aku making love. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pernah bisa berlama-lama pacaran. Ya karena mereka hanya meninginkan tubuhku bukan cintaku. Karena setelah aku menolak, mereka pasti akan mengajakku putus beberapa hari kemudian.

“Jangan dipikir susah Jul. nikmati saja. Biarkan mengalir seperti air.” Sambung Eli.

“Apa sakit?” tanyaku serius.

Eli memiringkan tubuhnya dan menghadap kepadaku.

“Sedikit. Tapi, gue yakin lo pasti akan bisa menikmatinya.”

Aku meneggak saliva susah payah.

“Oh ya Jul….selain kesiapan fisik dan mental lo menghadapi malam pertama, ada hal lain juga yang musti lo perhatiin.” Kata Reza menambahi.

Aku dan Eli menoleh kearah pria itu bersamaan.

“Alaaaah….kayak lo tau aja sih masalah begituan!”

Reza mendorong lengan Eli sebal. “Gue enggak buta huruf dan enggak tuli. Kerjaan gue sebagai presenter adalah hidup dengan banyak melihat dan mendengar. Bahkan untuk masalah yang gue sendiri kagak ngerti kayak itu.”

Aku dan Eli tertawa renyah. Membuat ruangan lebar itu terasa semarak meskipun hanya berisi kami bertiga.

“Jadi apa hal lain yang musti gue perhati’in neng?” tanyaku pada Reza kemudian.

“Penampilan lo! Jangan sampai dia illfeel melihat pakaian yang lo pakai nanti.”

Aku dan Eli berpandangan, lalu pecah kembali tawa kami berdua.

“Oh ya, Jul….” Kata Eli kemudian setelah tawa kami reda.

“Lo jangan berubah ya setelah married.”

Aku menoleh, dan juga Reza. Namun sedetik kemudian, Reza justru terbahak. Seolah apa yang baru saja dikatakan Eli adalah sebuah lelucon.

“Dia mau berubah kayak gimana neeek? Selama ini hidup dia sudah penuh dengan pekerjaan. Apa lo enggak inget kalau Julia itu bisa hang-out bareng kita kalau kita paksa?” komentarnya. “Bayangin, pernah kapan dia tiba-tiba datang dengan kerelaan hatinya, terus ngajakin kita nongrong kemana gitu?”

Eli mengangguk dan tentu saja mengundang decakan protesku.

“Enggak se-ekstrem itu lah. Gue masih bisa kok jalana bareng sama kalian di akhir pekan.”

“Tapi banyak nolaknya kan neeeek?”

Aku meringis. Menurutku pekerjaanku adalah segalanya, bahkan sudah kujadikana prioritas dalam hidupku sendiri. beruntung aku punya kedua sahabat yang sangat memahamiku. Jika aku tidak bisa datang pada mereka, merekalah yang akan datang padaku. Mencoba menghiburku dengan cara mereka Ketika aku stress dengan tumpukan kertas di meja kerjaku. Hanya mengobrol, saling mengolok, lalu nonton film dan hal itu sukses membuat semangat kerjaku membara lagi.

“Nanti kalau udah jadi istri beda lho Jul.” kata Eli, dengan mimic serius. “lo boleh kerja sampai pingsan, tapi tetep ingat rumah. Karena pasangan itu paling utama.”

“Nek…lo curhat ya? Lagi ngebayangin hidup lo bersama suami lo bertahun-tahun lalu?” Ejek Reza tiba-tiba.

“Semprul lo!” Sungut Eli kesal. “Sekali lagi lo ngingetin gue sama sutradara enggak bertanggung jawab itu, gue injek kaki lo.”

Aku tertawa sedangkan Reza langsung mendengung-dengung melancarkan protes.

“Pokoknya deh Nay, suami itu paling penting. Tapi….” Eli beranjak dari posisi tidurannya dan kini duduk bersila menghadap ke arahku dan Reza.

“Tapi…persahabatan kita paling penting.”

“Tentu saja. Kalaupun lo ada masalah sama suami lo, datang sama kali ya. Kami bukannya mau mencampuri, tapi mau menghibur.” Timpal Reza.

Aku menatap Eli dan Reza penuh haru. Kutegakkan dudukku, dan ternyata Reza juga mengikuti apa yang aku lakukan. Kami bertiga duduk saling memeluk dengan hangat.

“Kalian adalah sahabat terbaiiiik sepanjang masa.” Kataku sambil menepuk-nepuk punggung mereka. “Selamanya!”

“Gue mau nangis nih…..” gumam Eli dalam pelukan.

“Jangan nangis. Wjah lo jelek kalau nangis.” Ejek Reza.

“Semprul!”

Dan aku kembali tertawa mendengar ocehan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status