Share

BAB 5

Author: Drama Hati
last update Last Updated: 2021-08-14 21:25:31

Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.

Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.

Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka memutuskan bercerai Ketika Reinard duduk di bangku SMA, Marina hanya hidup berdua dengan Reinard sepanjang waktu karena papa mereka sibuk dengan bisnisnya.

Begitulah, semua hal mengalir seperti air. Selain sibuk beradaptasi dengan keluarga baru kami masing-masing, kami juga disibukkan dengan undangan, souvenir pernikahan, gedung resepsi dan bahkan kami sibuk menatap sebuah apartement baru kami yang akan kami tinggali nanti. Aku tidak tahu apa alasan Reinard memilih apartement yang sedikit lebih jauh dari tempat kerja kami. Apartement ini berada di pinggiran kota, dan tidak terlalu ramai. Namun pemandangan yang dihadirkan sungguh luar biasa. Kami bisa menikmati kerlip indah lampu kota di malam hari, juga sunset yang begitu memukau.

Mungkin inilah alasan Reinard memilih apartement ini. Bahkan aku juga tidak tahu kapan Reinard memiliki salah satu unit di Gedung apartement ini. Ketika pertama kali kami datang, kondisinya sudah berdebu. Seperti apartement yang sudah lama tidak ditinggali. Aku yakin Reinard sudah lama membelinya, dan ini bukanlah hadiah pernikahan darinya untukku.

Hari ini, dua hari menjelang pernikahan adalah hari terakhirku untuk bersenang-senang sebelum besok aku mulai dipingit tidak boleh keluar rumah meskipun hanya ke minimarket untuk membeli sabun mandi. Jadilah, hari ini aku, Reza dan Eli melakukan bridal shower kecil-kecilan di apartement Reza. Sebenarnya aku tidak berninat melakukan acara seperti ini, karena membuang-buang waktu. Namun tentu saja kedua sahabatku itu tidak terima dengan ‘penolakanku’ dan berhasil menjemputku di kantor sore tadi. Untung saja, aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku sejak kemarin dan menyerahkan sisanya pada Rini—asisten kepercayaanku selama aku cuti menikah dan bulan madu.

“Gimana menjelang hari H Jul?” tanya Reza Ketika kami tiduran di lantai—bertiga. Kepala kami berkumpul menjadi satu membentuk lingkaran. Suasana sekeliling kami sudah cukup berantakan. Ada sisa-sisa kertas warna-warni yang berceceran, dinding-dinding yang dihias dengan banyak balon dan tulisan-tulisan dan yang tidak kalap adalah wajahku yang kini sudah lebih buruk dari make-up badut ulangtahun. Penuh comeng karena mereka berdua benar-benar mengerjaiku habis-habisan kali ini.

“Cukup bisa diatasi.” Jawabku sambil terus menatap langit-langit yang berwarna putih bersih.

“Enggak deg-deg’an?”

“Elaaah….lo tahu sendiri jawabannya kan?” timpal Eli cepat.

“Ya gue kan basa-basi neeeeeek.” Sungut Reza kesal.

Aku meringis mendengar kedua sahabatku saling beradu mulut seperti itu. Hal yang setiap hari kudengarkan, dan aku lebih dari biasa.

Ku akui, aku benar-benar tidak bisa melukiskan perasaanku sekarang. Antara cemas, takut dan tentu saja deg-deg’an. Sudah beberapa hari ini aku insomnia dan berakhir dengan menenggak obat tidur, meskipun aku tahu efek sampingnya akan sangat berbahaya jika aku terus-menerus mengkonsumsi itu. Namun aku harap, setelah menikah dan semua rentetan keribetan pernikahan ini selesai, aku sudah bisa kembali mengatur jadwal tidurku menjadi normal lagi.

“Sejujurnya, gue cukup stress menjelang pernikahan ini.” Sahutku kemudian.

“Kenapa Neeeek?” Reza menoleh kepadaku.

“Mungkin karena aku akhirnya melepas masa lajangku dan—”

“Melepas keperawanan?” potong Reza.

Aku mengangguk pelan.

Ya! Di usiaku yang sudah lebih dari tigapuluh tahun ini, aku masih virgin. Bukanaku tidak laku atau tidak pernah pacaran atau tidak pernah melakukan sesuatu yang menuju kesana. Aku sering gonta-ganti pacar dan bahkan beberapa kali menginap di hotel bersama pacarku. Tapi aku sama sekali tidak pernah sampai menghilangkan keperawananku. Aku tetap menjaganya dan menolak setiap pacar-pacarku mengajak aku making love. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pernah bisa berlama-lama pacaran. Ya karena mereka hanya meninginkan tubuhku bukan cintaku. Karena setelah aku menolak, mereka pasti akan mengajakku putus beberapa hari kemudian.

“Jangan dipikir susah Jul. nikmati saja. Biarkan mengalir seperti air.” Sambung Eli.

“Apa sakit?” tanyaku serius.

Eli memiringkan tubuhnya dan menghadap kepadaku.

“Sedikit. Tapi, gue yakin lo pasti akan bisa menikmatinya.”

Aku meneggak saliva susah payah.

“Oh ya Jul….selain kesiapan fisik dan mental lo menghadapi malam pertama, ada hal lain juga yang musti lo perhatiin.” Kata Reza menambahi.

Aku dan Eli menoleh kearah pria itu bersamaan.

“Alaaaah….kayak lo tau aja sih masalah begituan!”

Reza mendorong lengan Eli sebal. “Gue enggak buta huruf dan enggak tuli. Kerjaan gue sebagai presenter adalah hidup dengan banyak melihat dan mendengar. Bahkan untuk masalah yang gue sendiri kagak ngerti kayak itu.”

Aku dan Eli tertawa renyah. Membuat ruangan lebar itu terasa semarak meskipun hanya berisi kami bertiga.

“Jadi apa hal lain yang musti gue perhati’in neng?” tanyaku pada Reza kemudian.

“Penampilan lo! Jangan sampai dia illfeel melihat pakaian yang lo pakai nanti.”

Aku dan Eli berpandangan, lalu pecah kembali tawa kami berdua.

“Oh ya, Jul….” Kata Eli kemudian setelah tawa kami reda.

“Lo jangan berubah ya setelah married.”

Aku menoleh, dan juga Reza. Namun sedetik kemudian, Reza justru terbahak. Seolah apa yang baru saja dikatakan Eli adalah sebuah lelucon.

“Dia mau berubah kayak gimana neeek? Selama ini hidup dia sudah penuh dengan pekerjaan. Apa lo enggak inget kalau Julia itu bisa hang-out bareng kita kalau kita paksa?” komentarnya. “Bayangin, pernah kapan dia tiba-tiba datang dengan kerelaan hatinya, terus ngajakin kita nongrong kemana gitu?”

Eli mengangguk dan tentu saja mengundang decakan protesku.

“Enggak se-ekstrem itu lah. Gue masih bisa kok jalana bareng sama kalian di akhir pekan.”

“Tapi banyak nolaknya kan neeeek?”

Aku meringis. Menurutku pekerjaanku adalah segalanya, bahkan sudah kujadikana prioritas dalam hidupku sendiri. beruntung aku punya kedua sahabat yang sangat memahamiku. Jika aku tidak bisa datang pada mereka, merekalah yang akan datang padaku. Mencoba menghiburku dengan cara mereka Ketika aku stress dengan tumpukan kertas di meja kerjaku. Hanya mengobrol, saling mengolok, lalu nonton film dan hal itu sukses membuat semangat kerjaku membara lagi.

“Nanti kalau udah jadi istri beda lho Jul.” kata Eli, dengan mimic serius. “lo boleh kerja sampai pingsan, tapi tetep ingat rumah. Karena pasangan itu paling utama.”

“Nek…lo curhat ya? Lagi ngebayangin hidup lo bersama suami lo bertahun-tahun lalu?” Ejek Reza tiba-tiba.

“Semprul lo!” Sungut Eli kesal. “Sekali lagi lo ngingetin gue sama sutradara enggak bertanggung jawab itu, gue injek kaki lo.”

Aku tertawa sedangkan Reza langsung mendengung-dengung melancarkan protes.

“Pokoknya deh Nay, suami itu paling penting. Tapi….” Eli beranjak dari posisi tidurannya dan kini duduk bersila menghadap ke arahku dan Reza.

“Tapi…persahabatan kita paling penting.”

“Tentu saja. Kalaupun lo ada masalah sama suami lo, datang sama kali ya. Kami bukannya mau mencampuri, tapi mau menghibur.” Timpal Reza.

Aku menatap Eli dan Reza penuh haru. Kutegakkan dudukku, dan ternyata Reza juga mengikuti apa yang aku lakukan. Kami bertiga duduk saling memeluk dengan hangat.

“Kalian adalah sahabat terbaiiiik sepanjang masa.” Kataku sambil menepuk-nepuk punggung mereka. “Selamanya!”

“Gue mau nangis nih…..” gumam Eli dalam pelukan.

“Jangan nangis. Wjah lo jelek kalau nangis.” Ejek Reza.

“Semprul!”

Dan aku kembali tertawa mendengar ocehan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Idaman   BAB 72

    “Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa

  • Suami Idaman   BAB 71

    Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a

  • Suami Idaman   BAB 70

    “Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe

  • Suami Idaman   BAB 69

    Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya

  • Suami Idaman   BAB 68

    Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp

  • Suami Idaman   BAB 67

    Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status