Aku menarik nafas panjang—berulang kali—untuk mengurangi degup jantungku yang kian tak terkendali. Tak pernah kusangka jika hari pernikahanku akan tiba secepat ini. Ralat. Maksudku yah….aku bingung menjelaskannya. Dulu Ketika aku belum menemukan seseorang yang mau menikahiku, rasanya waktu berjalan begitu lama—meskipun aku tak begitu peduli tentang pernikahan—namun ketika hari ini aku dihadapkan pada kenyataan itu, menikah dengan pria asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan bersedia menikahiku, rasanya begitu cepat.
“Jul….rileks.” Eli menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap wanita itu dari balik cermin lalu tersenyum. Oww….sungguh senyumku dibalik make up ini sangat tidak natural.
Aku meremas pelan tangan Eli yang masih berada di pundakku sambil mengangguk.
“Jul, ijab qabul segera dimulai!” Mama dari arah pintu masuk kamar berseru.
Aku Kembali menarik nafas Panjang. Kulihat Eli mempersiapkan sebuah kursi di depan layar televisi yang tersambung dengan ballroom hotel sementara MUA-ku, mbak Kia sedang Kembali men-touch-up ulang make-up ku. Setelah dirasa semua beres, aku dibantu untuk duduk di kursi yang telah disiapkan Eli tadi. Mengenakan sanggul berat dan pakaian adat jawa seperti ini sedikit membuatku kerepotan, karena aku tidak pernah memakainya. Namun kepercayaan diriku meningkat drastis, karena kuakui aku begitu cantik dengan pakaian seperti ini.
Dari layar televisi, aku melihat tamu undangan yang mulai duduk rapi di kursi mereka masing-masing, Reza sebagai pemandu acara sudah memperlihatkan kepiawaiannya untuk membuat acara lebih hidup. Ada papa di sana, duduk bersisian dengan penghulu, beberapa saksi yang tak begitu aku kenal dan….
Astaga!
Benarkan itu Reinard?
Aku serasa ingin pingsan melihat betapa tampannya calon suamiku di balik beskap putih yang dipakainya. Jantungku Kembali bergedup kencang, bukan memikirkan bagaimana dia akan mengucapkan kalimat ijab qobul nanti, karena aku yakin dia lebih dari bisa karena sudah berlatih beberapa hari. Melainkan memikirkan bagaimana malam pertama kami nanti. Bagaimana kami memulainya dan…..
“Jul.” tepukan tangan Eli di pundakku menghalau pikiran kotorku di saat-saat terpenting dalam hidupku ini. “Acara segera dimulai.”
Di layar televisi aku melihat semua sudah bersiap. Bahkan sudah tak terdengar cuap-cuap Reza dibalik microphone karen aku yakin dia juga sudah ikut duduk diantara undangan. Sebenarnya kemarin ia menawarkan diri untuk menjadi saksi, namun aku tolak dengan tegas.
“Sorry, gue enggak mau pernikahan gue enggak sah karena jenis kelamin lo yang gak jelas!” dan tentu saja aku mendapatkan banyak umpatan darinya.
Aku menahan nafas Ketika papa sudah menyodorkan tangannya, bersiap menyerahkan putri tercintanya pada Reinard. Aku yang awalnya sudah deg-deg’an kini membeku di tempat. Ucapan papa, dan serentetan kalimat ijab qabul yang lancar dari mulut Reinard otomatis membuat mataku basah. Begitu juga mama dan Eli yang kulihat juga mengusap air mata. Ketika seluruh tamu yang datang mengucapkan syukur saat semua saksi mengatakan ‘sah,sah,sah’ berulang kali, air mataku kembali mengalir.
Dan detik ini juga, meskipun aku masih belum benar-benar percaya, aku resmi menjadi nyonya Reinard Saputra.
*****
Selesai ijab qabul, mama dan Eli membawaku turun dari kamar hotel ke ballroom. Seluruh tamu undangan menatapku dengan senyum Ketika kami tiba di depan pintu, pun Reinard yang tak henti menatapku meskipun sesekali ia menoleh kea rah lain. inilah awal pertemuan kami menjadi sepasang suami-itri, di depan pelaminan. Di tengah-tengah kegembiraan para undangan yang mengucapkan selamat.
“Terimakasih, kamu hebat.” Bisikku di sela-sela menyalami tamu. Mungkin sudah lebih dari setengah jam kami berdiri dan memasang senyum sumringah menerima ucapana selamat dari para undangan. Sejujurnya aku ingin segera duduk, melepaskan heels-ku, melepas sanggulku yang serasa menghantam kepalaku dan tentu saja kebaya yang melilit badanku ini. mandi dengan air hangat, dan tentu saja melakukan kewajiban kami sebagai suami-istri. Akh, betapa menyenangkannya….
“Dan…..inilah persembahan lagu untuk kedua mempelai kita….lagu Beautiful In White…!” Seru Reza dengan bersemangat di balik mic, dan tak berselang lama sebuah lagu dari Shane Filan itu menggema memenuhi Ballroom hotel.
“Apa kamu capek?” tanya Reinard. Pandangannya tertuju ke bawah, ke arah kakiku yang sejak tadi bergerak-gerak.
Aku mengangguk pelan. “Banget.”
Reinard tak membalas kalimatku, ia hanya menarikku turun dari pelaminan dan membimbingku duduk pada sebuah kursi. “IStirahat dulu di sini, aku ambilkan minum. Lagipula sudah tidak banyak yang datang menemui kita. Biar mereka nanti datang kemari.”
Aku hanya mengangguk, merasa begitu tersanjung diperlakukan suamiku dengan begitu manis. Diam-diam mataku mengekor gerakannya yang berjalan menuju meja minuman, dan membawakanku segelas iar putih. Meskipun mengenakan stelan beskap lengkap dengan batik, ia tampak begitu nyaman, berbeda jauh denganku.
“Minumlah….” Katanya menyerahkan minuman itu.
Aku menerima gelas itu dan langung meneggak isinya sampai habis. Aku memang teramat haus, karena sejak tadi terus memasang senyum sampai tenggorokanku kering.
“Sorry kalau gue menginterupsi.” Tiba-tiba Eli datang dengan wajah masam yang tak seperti biasanya. Aku tahu apa yang menyebabkan mukanya kesal seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Doni—mantan suaminya yang ternyata datang ke pesta pernikahanku.
“Silakan.” Aku tertawa kecil. “Mau curhat juga boleh.” Aku melirik Reinard yang tampak acuh tak acuh dengan kedatangan Eli. Tadi aku sempat memberitahu Reinard tentang hubungan masa lalu Eli dengan Doni dan sepertinya pria itu mengerti.
Eli menghentakkan kakinya kesal. “Kenapa sih lo ngundang manusia itu?!” ia mengedik pada Doni yang tengah berbincang dengan papa.
Aku mengangkat bahu. “Ya gue enggak tahu El. Dari sekian banyak undangan yang ada di sini, delapan puluh persennya gue enggak kenal. Karena mereka semua tamu papa gue dan papa Reinard. Jadi lo tanyain ke papa deh soal kenapa ngundang Doni segala.” Paparku.
Eli mendengus, menenggak minuman yang sejak tadi dibawanya.
“GUe sebel banget ketemu sama dia Jul.”
“Tapi dulu pernah cinta khan?”
“Itu dulu. Sekarang enggak!” Jawabnya tegas. “Gue enggak bakalan sudi ketemu dia lagi.”
Tapi itu hanya kalimat yang keluar dari mulut Eli, bukan dari hati Eli. Buktinya beberapa menit kemudian, Ketika Doni datang memberi ucapan selamat padaku dan Reinard, lalu mengajak Eli untuk berbincang sebentar di taman belakang, wanita itu tetap mengikutinya meskipun dengan wajah tertekuk-tekut.
“Padahal tadi dia bilangnya enggak sudi ya kan ketemu sama mantan suaminya. Eh, sekarang malah ho’oh aja waktu diajak mojok?” kataku pada Reinard.
Dan lelaki pendiam itu hanya tersenyum mendengar kalimatku.
******
Mungkin sudah lebih dari setengah jam aku berada di dalam kamar mandi. Mematung diriku sendiri di depan cermin. Melihat sosokku dari pantulan benda itu lekat-lekat. Rambut yang masih basah dan make-up yang sudah sepenuhnya hilang serta aroma tubuhku yang sudah cukup wangi belum berhasil membuatku percaya diri keluar dari dalam kamar mandi untuk menemui suamiku. Menuntaskan kewajiban kami setelah sah menjadi suami istri.
Berkali-kali aku menunduk, menatap piyama tidurku dengan baik. Jelas sekali ini piama baru dan masih begitu rapi, apa yang aku khawatirkan hanya dengan sebuah piyama? Toh nanti juga sudah tidak akan berguna.
Tidak. Aku tidak boleh seperti ini. aku harus belajar dari seseorang yang setidaknya jauh lebih berpengalaman dari aku.
Eli.
“Kenapa Jul?” Suaranya menggema ditelingaku ketika aku menelponnya. “Lo enggak akan tanya apa yang gue obrolin dengan mantan suami gue tadi kan?”
“Gue enggak peduli!”
“Terus?”
“Gue nervous.” Sahutku pelan, berharap Reinard tak mendengar percakapan kami.
Terdengar Eli menghela nafas.
“Apa yang membuat lo sebegitu takut?”
Aku berfikir sejenak. Iya juga ya, apa yang membuat gue takut?
“Gue takut mengecewakannya. Lo tahu kan, ini kali pertama bagi gue. Ini—”
Kalimatku diinterupsi oleh kikikan dari Eli.
“Please Jul. usia lo udah bukan ABG lagi. Seharusnya lo ngerti kan. Bahwa lo bakalan punya insting alami ketika sudah berhadapan dengan dia?”
Aku tak menyahut namun membenarkan apa yang Eli katakan.
“Tapi El—”
“Jul.” Potong Eli cepat. “Tarik nafas dalam. Ingatlah di pikiran lo bahwa semua akan baik-baik saja dan semua orang mengalami hal itu. Yang terpenting lo harus focus dan tentu saja imbangi suami lo. Gue yakin meskipun usianya di bawah lo, dia bisa mengajari lo dengan baik.”
Sedikit demi sedikit aku mulai percaya diri.
“Lo yakin El, kalau gue bisa?”
“Yaelah Jul….lo enggak inget gue nikah di usia berapa?!”
Aku tertawa kecil.
“Tumben lo mau ngebahas tentang masa lalu lo?” ejekku.
“Ini demi lo kali. Kalau bukan demi lo gue juga enggak mau ngomongin tentang hal itu.”
aku tertawa. Ingin menanyakan apa yang Eli dan Doni bicarakan tadi sore namun urung. Lebih baik aku menanyakannya nanti, ketika bertemu Eli langsung. Lagipula ini bukan waktunya menanyakan hal itu. Ada hal lebih penting, dan itu adalah malam pertamaku.
“Baiklah. Selesaiakan malam ini dan jangan telepon gue lagi karena gue ngantuk.” Eli mengakhiri pembicaraan kami.
Setelah Eli menutup telepon, aku Kembali menatap wajahku di cermin. Memastikan bahwa semuanya dalam kondisi baik. Setelah menarik nafas panjang, perlahan aku membuka pintu. Bersiap menemui suamiku dan sebuah pengalaman baru.
Namun, aku sedikit tercengang Ketika melihat Reinard terlihat rapi dengan stelan kemejanya dan tas yang tersampir di bahunya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan kunci mobilnya.
“Lho, mau kemana?” tanyaku bingung.
Pria itu menatapku, dan berjalan mendekatiku dengan sedikit tergesa.
“Maaf, aku harus ke rumah sakit. Ada yang penting dengan pasienku.” Ia menepuk lenganku lantas berjalan kearah pintu.
Aku tercenung sesaat. Berharap Reinard sedang bercanda dengan ucapannya. Namun melihat bagaimana tergesanya ia sekarang, aku tahu jika dia tidak berbohong soal ini.
“Aku berangkat ya?”
Aku tidak menyahut, hanya mengikuitnya dengan hati yang kosong. Apalagi ketika ia membuka pintu, aku masih tidak mengeluarkan kalimat apapun dari mulutku.
“Oh ya….” Reinard menoleh sebelum benar-benar menutup pintu.
Aku mengangkat dagu.
“AKu tidak yakin kapan pulang, malam ini jangan tunggu aku.” Setelah itu ia menarik gagang pintu dan menutupnya dengan rapat.
Aku terdiam membeku di depan pintu untuk waktu yang cukup lama. Berharap pintu kamar hotel nomor 105 ini Kembali terbuka dan sosok Reinard muncul dari sana. Namun nihil.
Entahlah, apa aku harus bahagia atau sedih malam ini. Bahagia karena apa yang menjadi milikku masih utuh di sana, atau sedih karena suamiku tak tinggal denganku untuk malam pertama kali.
******
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi