Home / Romansa / Suami Idaman / pangeran idaman dan buzzer cinta

Share

pangeran idaman dan buzzer cinta

Author: vano ilham
last update Last Updated: 2025-05-09 08:34:44

Beberapa hari setelah kepulangan Aya ke rumah Elvano, berita tentang "Elvano sudah lulus kuliah" menyebar cepat.

Dan tentu saja, dunia sosialita pun heboh.

Elvano Dirgantara. Pangeran tampan, kaya raya, pewaris kerajaan bisnis raksasa.

Sekarang sudah resmi menyandang gelar sarjana.

Dan itu artinya...

Dia sudah siap menikah kapan saja.

Di kafe, di acara pesta, bahkan di pertemuan arisan, para wanita sibuk membicarakannya.

"Elvano itu idaman banget, tahu nggak sih?!"

"Iya! Ganteng, tajir, romantis lagi!"

"Aduh, kalau bisa dapetin dia, hidup kayak putri raja!"

Tiap hari, rumah keluarga Dirgantara kebanjiran kiriman hampers, kue, dan surat cinta.

Bahkan ada yang ngirim buket bunga sebesar kulkas dua pintu. Elvano cuma senyum geli.

Di meja makannya, sudah berjejer kotak-kotak cokelat mewah dan parfum mahal.

Aya lewat sambil membawa semangkuk mie instan, menatap sekilas dan bergumam sinis, "Apaan nih, bazar lamaran?"

Elvano yang duduk sambil membaca koran, mengangkat alis. "Bazar cinta, mungkin."

Aya mendengus keras. "Muntah gue."

Tanpa sungkan, Aya langsung selonjoran di sofa, menyeruput mie panas dari mangkuknya dengan suara keras sruuup sruup.

Di luar, suara klakson terdengar.

Beberapa wanita muda berdandan heboh sudah mulai berdatangan ke pagar rumah.

Ada yang membawa hadiah. Ada yang membawa undangan makan malam.

Ada juga yang nekat hanya memakai dress super mini dan menyapa sopan, "Selamat sore, Tuan Elvano!"

Elvano hanya melambaikan tangan dari dalam jendela.

Dia malas keluar.

Dia malas meladeni.

Dia... hanya melirik ke arah Aya, yang saat itu lagi asik main game di ponselnya sambil bersumpah-serapah karena karakternya kalah.

"Astagfirullah... udah kalah, malah ngomel ke handphone," gumam Elvano sambil menahan tawa.

Aya melirik dengan mata tajam. "Lo mau gue lempar mangkuk, Van?!"

Elvano langsung mengangkat tangan. "Damai... damai..."

Aya kembali fokus ke ponselnya, mengumpat pelan.

Elvano menghela napas.

Baginya, suara ribut, umpatan, dan wajah kusut Aya lebih hidup daripada senyuman palsu cewek-cewek yang rela tampil sempurna demi sekilas perhatian.

Sementara itu, di luar rumah, para wanita mulai saling dorong.

"Aku lebih dulu!"

"Tidak, aku sudah antri dari tadi!"

"Mundur, ini undangan resmi!"

Petugas keamanan rumah hampir kewalahan.

Mama Elvano hanya bisa tertawa cekikikan dari balkon lantai dua, melihat pemandangan seperti drama Korea live action di depan rumahnya.

Papa Elvano? Dia malah kabur ke ruang kerja, pura-pura sibuk.

Saat suasana makin ricuh, Aya bangkit dari sofa dengan wajah cemberut.

"Males banget liat beginian," gerutunya.

Dengan malas, Aya membuka pintu depan.

Dan...

Semua wanita langsung berhenti.

Semua mata terbelalak.

Mereka melihat seorang cewek barbar, tanpa make up, rambut berantakan kayak singa, memakai kaos lusuh bertuliskan "Males Ngapa-ngapain", berdiri di depan pintu Elvano Dirgantara.

Aya menguap lebar-lebar.

"Nih ya, semua pada denger. Yang mau ngejar Elvano... antre di ujung gang sono. Yang rese, gue semprot pake air got!"

Para wanita itu menelan ludah serentak.

Aya kemudian mengangkat selang taman di tangan kanannya dan dengan santai menyemprotkan air ke jalanan depan rumah, seakan-akan memperingatkan.

Basah semua.

Para wanita langsung kabur satu per satu, berteriak-teriak histeris.

Aya menutup pintu dengan bunyi brak keras, lalu kembali ke sofa, menyuap mie instan seenaknya.

Elvano memandanginya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Antara kagum... terhibur... dan makin jatuh hati.

Aya menyandarkan punggung ke sofa sambil berkata datar, "Gue nggak mau tinggal serumah sama cowok laku kayak lo. Ribet."

Elvano menyandarkan diri di sofa, tersenyum pelan. "Tapi aku justru mau serumah sama cewek ribut kayak kamu."

Aya melirik dengan tatapan membunuh.

"Apa lo bilang?"

Elvano hanya mengangkat tangan. "Damai, damai."

Aya menggerutu pelan, tapi tidak membantah lebih lanjut.

Di ruang tamu itu, di antara mie instan, suara game, dan aroma parfum mahal yang berserakan...

Diam-diam, cerita mereka berdua mulai bergerak.

Sangat pelan.

Tapi pasti.

---

Malam harinya, setelah semua kehebohan reda, rumah keluarga Dirgantara kembali tenang.

Aya duduk di lantai ruang keluarga, mengobrak-abrik kantong plastik isi cemilan yang dia beli tadi siang.

Di depannya, tumpukan keripik, cokelat, permen, dan minuman bersoda sudah berjejer rapi.

Dia membuka satu bungkus keripik pedas dan langsung menyerbu isinya.

Elvano duduk di sofa, mengamati dari kejauhan.

Dia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan cara Aya makan yang... benar-benar brutal.

Seolah-olah dunia mau kiamat besok.

"Kalau makan pelan-pelan dikunyah, mungkin kamu bisa nikmatin rasa makanannya, ya," komentar Elvano santai.

Aya melirik sinis. "Kalau lapar, yang penting kenyang dulu, ngerti?"

Elvano mengangguk sambil tertawa kecil.

Dia membiarkan Aya dengan gayanya sendiri.

Tak lama, Mama Elvano muncul dari dapur membawa nampan berisi teh hangat.

"Elvano, Mama mau bicara serius," katanya sambil duduk di sofa menghadap anaknya.

Aya pura-pura nggak dengar. Padahal kupingnya otomatis pasang radar.

"Ada apa, Ma?" tanya Elvano, sambil mengambil secangkir teh.

Mama Elvano meletakkan cangkirnya dengan elegan lalu berkata, "Mama dapat banyak lamaran buat kamu."

Elvano sudah menduga ke arah situ, dia hanya mengangkat alis.

"Mama kenal banyak keluarga baik-baik. Cantik-cantik. Sopan. Pintar. Cocok buat kamu."

Aya yang sedang mengunyah keripik pedas hampir tersedak.

Dia batuk-batuk keras sampai air matanya keluar.

Elvano refleks berdiri dan menepuk-nepuk punggung Aya.

"Pelan-pelan, barbar!" bisiknya sambil menahan tawa.

Aya melempar tatapan membunuh tapi tetap batuk-batuk parah.

Mama Elvano melanjutkan, seolah-olah tidak terganggu.

"Besok sore, Mama undang beberapa dari mereka buat datang. Kamu kenalan, ya."

Elvano tersenyum kecil, lalu mengangguk sopan.

"Iya, Ma," jawabnya ringan.

Aya menatap Elvano dengan pandangan aneh.

Cowok ini... gampang banget ya nurut kalau disuruh ketemu cewek lain?

Ada rasa sebal yang nggak bisa dia jelaskan.

Padahal, dia bukannya peduli.

Peduli amat!

Setelah Mama Elvano pergi, Elvano kembali duduk santai di sofa, menyeruput tehnya sambil menatap Aya.

Aya yang masih menyeka mulutnya dengan tisu, langsung pasang mode siaga.

"Apa liat-liat?"

"Lucu aja," jawab Elvano santai.

"Apanya yang lucu?"

"Kamu."

Aya melotot. "Sumpah kalau lo gombal lagi, gue siram teh panas ini ke lo."

Elvano tertawa pelan.

"Kamu nggak usah khawatir soal besok," kata Elvano tiba-tiba.

Aya mendengus. "Siapa juga yang khawatir?!"

Elvano hanya menatap Aya dengan pandangan penuh makna.

"Aku tetap lebih suka orang yang makan keripik kayak mau perang... daripada cewek yang senyumnya palsu."

Aya tercekat.

Bibirnya terbuka untuk membalas, tapi tidak ada kata-kata keluar.

Kenapa cowok ini... makin hari makin aneh?!

Dan kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak aneh juga?!

Dia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk memilih cemilan baru.

Sementara itu, di dalam hati kecilnya yang paling dalam, ada sesuatu yang mulai tumbuh.

Sangat kecil.

Sangat samar.

Tapi nyata.

Dan di sudut bibir Elvano, senyum kecil penuh harapan mulai merekah.

Besok mungkin akan jadi hari yang panjang.

Banyak wanita yang datang.

Tapi matanya... hatinya...

tetap hanya tertuju pada satu orang.

Gadis barbar yang bahkan belum sadar, bahwa dirinya...

sudah mulai menempati ruang di hati Elvano.

---

Keesokan sorenya, rumah keluarga Dirgantara berubah jadi semi resepsi kecil-kecilan.

Tamu-tamu berdatangan, mayoritas adalah gadis-gadis muda dari keluarga terpandang.

Mereka semua tampil maksimal: make up tebal, baju mewah, sepatu berkilauan.

Aya duduk di sudut ruang tamu sambil ngemil es krim, memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar.

Dalam hatinya dia mengeluh, Ini rumah atau butik berjalan sih?!

Sementara itu, Elvano berdiri di tengah ruangan, diserbu banyak gadis.

Semua dengan senyuman lebar dan suara manja.

"Elvano, hobimu apa sih?"

"Kamu suka traveling, nggak? Aku suka banget traveling, loh."

"Kamu suka makanan apa? Aku bisa masak, loh!"

Pertanyaan-pertanyaan standar.

Aya menggulung mata malas.

Dari kejauhan, dia lihat Elvano senyum-senyum kecil, tampak sopan tapi...

aneh.

Setiap ditanya, jawabannya absurd.

Ada gadis cantik berbaju biru bertanya, "Elvano, kamu suka cewek seperti apa?"

Jawaban Elvano dengan ekspresi serius:

"Suka cewek yang bisa makan tiga piring nasi dalam sekali duduk."

Si gadis bengong.

Yang lain ikut ketawa kecil, mengira Elvano bercanda.

Tapi Elvano tetap serius.

Tak lama, gadis lain bertanya, "Kalau soal penampilan, kamu suka yang feminin, kan?"

Elvano menjawab santai, "Saya lebih suka cewek yang makannya brutal tapi hatinya lembut."

Aya hampir nyembur es krim dari mulutnya.

Ini orang kenapa sih? Mau gagalin audisi jodoh apa gimana?!

Melihat semua gadis mulai saling melirik bingung, Mama Elvano buru-buru menegur anaknya lewat isyarat mata.

Tapi Elvano tetap kalem, malah tambah ngawur.

Saat salah satu gadis menawarkan diri untuk menyanyi, Elvano dengan polosnya bilang, "Kalau bisa joget sambil makan kerupuk sih baru keren."

Aya nggak tahan lagi. Dia pura-pura batuk sambil menutupi tawanya.

Akhirnya, satu per satu gadis mulai pamit pulang dengan wajah awkward.

Mama Elvano memijit pelipis, hampir menyerah.

Aya diam-diam mengamati Elvano.

Cowok itu tetap santai, menatap punggung para gadis yang pergi tanpa sedikit pun rasa menyesal.

Ketika semua tamu sudah pergi, hanya tersisa Elvano, Aya, dan Mama Elvano di ruang tamu.

Mama Elvano menghela napas panjang.

"Kamu kenapa sih, Van?" tanyanya frustasi.

Elvano tersenyum sopan. "Aku cuma mau ketemu orang yang... bisa jadi teman seumur hidup, Ma. Bukan sekadar yang kelihatan cocok dari luar."

Mama Elvano ingin memarahi, tapi begitu melihat tatapan serius anaknya, dia akhirnya menghela napas lagi dan memilih mundur.

Aya pura-pura sibuk bermain ponsel, padahal kupingnya pasang radar maksimal.

Elvano tiba-tiba mendekatinya.

Duduk di sofa samping Aya, menyandarkan tubuh santai.

"Kamu suka es krim rasa apa?" tanyanya santai.

Aya melirik malas. "Kenapa nanya begitu?"

"Ya siapa tahu, kan, nanti kalau aku mau traktir."

Aya mendengus. "Kalau mau traktir, traktir sekalian pizza, burger, kentang goreng, ayam goreng, semua."

Elvano tertawa kecil.

"Noted," katanya sambil mengedipkan mata jail.

Aya merasa jantungnya berdetak aneh lagi.

Dia buru-buru berdiri sambil berkata galak, "Gue ke dapur. Jangan ikutin."

Elvano hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

Dalam hatinya, dia merasa yakin.

Tak peduli berapa banyak gadis yang datang menawarkan cinta,

hatinya sudah menemukan orang yang ingin dia perjuangkan.

Gadis brutal berhati polos yang bahkan belum sadar kalau dia perlahan-lahan merebut seluruh dunianya.

---

Beberapa hari berlalu sejak acara perkenalan itu.

Aya pikir semuanya akan kembali normal.

Tapi ternyata dia salah besar.

Hari ini, saat baru pulang dari warung sambil membawa kantong plastik berisi mie instan dan kopi sachet, dia mendapati sesuatu yang aneh di ruang tamu rumahnya.

Papa dan Mama-nya duduk rapi, tampak... terlalu bersemangat.

Di hadapan mereka, ada Elvano.

Duduk tenang, senyum sopan, dengan teh di tangannya.

Aya berhenti di depan pintu, mengerutkan kening.

"Ada apa ini?" tanyanya curiga.

Mama Aya langsung berdiri dan menariknya masuk.

"Masuk, masuk! Aya, duduk sini!"

Aya yang masih bingung, ditarik paksa dan didudukkan di sebelah Elvano.

Dia menatap pria itu dengan tatapan setengah membunuh.

Elvano hanya tersenyum kalem, seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Papa Aya berdehem.

"Jadi begini, Aya... Papa dan Mama berpikir sudah saatnya kamu serius soal masa depan."

Aya memicingkan mata.

Feelingnya sudah nggak enak.

"Lalu?"

"Kami kenal baik keluarga Elvano. Orang baik, mapan, santun. Keluarga terpandang," lanjut Papa.

Mama Aya ikut menambahkan, "Kami pikir... daripada kamu nanti sembarangan pilih pasangan... lebih baik kamu dan Elvano bertunangan."

JLEB.

Aya membeku.

Dia menatap Elvano, berharap cowok itu akan membantah.

Tapi Elvano hanya tersenyum tipis sambil menyeruput tehnya.

Seolah-olah dia sudah tahu semua ini akan terjadi.

"Papa, Mama, kalian waras nggak sih?!" bentak Aya.

"Kenapa, Aya? Elvano itu calon suami idaman! Semua orang mau punya menantu kayak dia!" kata Mama berapi-api.

"Aku nggak pernah mau kawin! Apalagi sama orang kayak dia!" Aya menunjuk Elvano sambil terengah.

Elvano, yang dari tadi tenang, akhirnya bicara.

"Aku juga nggak maksa kamu, Aya. Aku cuma... nerima kalau kamu mau."

Jawabannya sederhana, tapi menampar hati Aya keras sekali.

Karena di balik kata-kata santainya itu, ada kesungguhan yang membuatnya sesak.

Aya berdiri sambil mengangkat tangan.

"Gue ke kamar! Jangan ganggu!" serunya galak.

Dia berbalik, menginjak lantai keras-keras, dan menghilang ke dalam kamarnya.

Sementara di ruang tamu, Papa dan Mama Aya hanya bisa menghela napas.

"Aya itu memang harus dilunakin pelan-pelan," kata Mama sambil geleng-geleng.

Elvano hanya tersenyum tipis.

Dalam hati, dia tahu ini bukan jalan yang mudah.

Tapi dia juga tahu, perempuan itu bukan sembarang perempuan.

Aya, si gadis barbar, si gadis pemarah...

Adalah satu-satunya orang yang membuat hatinya hidup.

Biar perlahan.

Biar butuh waktu lama.

Dia akan tetap menunggu, dan terus berusaha.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elvano benar-benar serius.

Bukan sekadar ingin memiliki.

Tapi ingin dicintai.

Dengan cara Aya yang paling jujur.

---

Sejak kejadian lamaran mendadak itu, Aya memutuskan satu hal:

Menjauh dari Elvano.

Setiap kali melihat cowok itu, insting barbar-nya langsung aktif.

Suatu pagi, saat Aya mau pergi ke minimarket, dia sengaja lewat jalan belakang, menghindari jalan utama di mana biasanya Elvano lewat.

Tapi sialnya, begitu belok di gang kecil, dia malah hampir tabrakan dengan... mobil Elvano.

Brakk!

Aya refleks mundur.

Elvano buru-buru keluar dari mobilnya.

"Waduh, maaf, Aya. Aku kira jalan ini sepi."

Aya mendengus.

"Ngapain sih lo di sini?!"

Elvano hanya tersenyum sopan. "Kebetulan lewat."

Kebetulan apanya, coba?! gerutu Aya dalam hati.

Lain hari, saat Aya nongkrong di warung bakso, Elvano juga tiba-tiba muncul.

Dengan setelan santai: kaus putih, jaket hitam, jeans.

Duduk di meja seberang.

Pesan bakso juga.

Aya curiga setengah mati.

"Ngapain di sini lagi?!" semprot Aya.

Elvano angkat mangkok baksonya.

"Ngidam bakso."

Aya menggertakkan gigi.

Ngidam apanya, biasanya makan steak hotel!

Tapi karena malas ribut di depan umum, Aya memilih fokus ke mangkok baksonya.

Sialnya, sepanjang makan, Elvano beberapa kali meliriknya diam-diam.

Setiap Aya merasa, matanya otomatis melotot galak.

Elvano hanya tersenyum kecil, tanpa takut sedikit pun.

Hari demi hari, 'kebetulan' Elvano semakin sering.

Kadang di minimarket.

Kadang di warung kopi.

Kadang di lapangan tempat Aya jogging sore-sore.

Sampai-sampai Aya merasa hidupnya kayak reality show bertema kejar-kejaran cowok bucin.

Namun, yang lebih menyebalkan, Aya mulai...

Ngerasa aneh.

Saat tidak melihat Elvano seharian, ada rasa kosong yang muncul.

Seperti ada yang kurang.

Tentu saja Aya keras kepala menolak mengakuinya.

"Mana mungkin gue kangen sama si ganteng songong itu!" gumamnya keras-keras di kamar.

Rafi, adiknya yang masih SMP, lewat di depan kamar sambil komentar, "Ngaku aja, Kak. Dikit-dikit ganteng, dikit-dikit songong."

Aya langsung melempar bantal ke arah pintu.

Tepat sasaran.

Rafi ketawa kabur.

Malam itu, Aya duduk di balkon, memandang bintang.

Ada sesuatu yang menggelitik di dadanya.

Mungkin... mungkin Elvano memang terlalu baik.

Terlalu sabar.

Terlalu tulus.

Dan semua itu... justru membuat Aya takut.

Takut patah hati.

Takut terluka.

Takut... benar-benar jatuh cinta.

Sambil memeluk lutut, Aya menghela napas berat.

"Kenapa harus dia sih..." gumamnya.

Di kejauhan, suara motor terdengar.

Aya mengintip dari balkon.

Dan benar saja.

Itu Elvano.

Dengan motor besar kesayangannya, dia lewat pelan di depan rumah Aya.

Seperti biasa, tanpa berhenti.

Tanpa memaksa.

Tanpa mengganggu.

Hanya sekedar lewat.

Sekedar memastikan.

Bahwa orang yang dia sayang... baik-baik saja.

Aya menggigit bibir, hatinya berdesir aneh.

Dan untuk pertama kalinya, dia tidak merasa terganggu.

Mungkin, hanya mungkin...

Dia mulai terbiasa dengan kehadiran Elvano.

Bahkan mulai...

Menunggunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Idaman   badai dibalik senyuman

    Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."

  • Suami Idaman   gengsi yang retak

    Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”

  • Suami Idaman   pelan-pelan menuju rasa

    Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala

  • Suami Idaman   titik awal yang baru

    Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp

  • Suami Idaman   saat hati belajar bicara

    Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m

  • Suami Idaman   saat hening mulai berbicara

    Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta

  • Suami Idaman   hati yang tak pernah dijemput

    Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.Aya sedang tertawa.Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.“Elvano?” tanya

  • Suami Idaman   jarak yang tak pernah dekat

    Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.Aya.Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya."Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.Seketika, pintu ruangannya diketuk.Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen."Ini

  • Suami Idaman   pertemuan yang tak disengaja

    Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar.Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman.Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan.Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan.Aya.Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghind

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status