Beberapa hari setelah kepulangan Aya ke rumah Elvano, berita tentang "Elvano sudah lulus kuliah" menyebar cepat.
Dan tentu saja, dunia sosialita pun heboh. Elvano Dirgantara. Pangeran tampan, kaya raya, pewaris kerajaan bisnis raksasa. Sekarang sudah resmi menyandang gelar sarjana. Dan itu artinya... Dia sudah siap menikah kapan saja. Di kafe, di acara pesta, bahkan di pertemuan arisan, para wanita sibuk membicarakannya. "Elvano itu idaman banget, tahu nggak sih?!" "Iya! Ganteng, tajir, romantis lagi!" "Aduh, kalau bisa dapetin dia, hidup kayak putri raja!" Tiap hari, rumah keluarga Dirgantara kebanjiran kiriman hampers, kue, dan surat cinta. Bahkan ada yang ngirim buket bunga sebesar kulkas dua pintu. Elvano cuma senyum geli. Di meja makannya, sudah berjejer kotak-kotak cokelat mewah dan parfum mahal. Aya lewat sambil membawa semangkuk mie instan, menatap sekilas dan bergumam sinis, "Apaan nih, bazar lamaran?" Elvano yang duduk sambil membaca koran, mengangkat alis. "Bazar cinta, mungkin." Aya mendengus keras. "Muntah gue." Tanpa sungkan, Aya langsung selonjoran di sofa, menyeruput mie panas dari mangkuknya dengan suara keras sruuup sruup. Di luar, suara klakson terdengar. Beberapa wanita muda berdandan heboh sudah mulai berdatangan ke pagar rumah. Ada yang membawa hadiah. Ada yang membawa undangan makan malam. Ada juga yang nekat hanya memakai dress super mini dan menyapa sopan, "Selamat sore, Tuan Elvano!" Elvano hanya melambaikan tangan dari dalam jendela. Dia malas keluar. Dia malas meladeni. Dia... hanya melirik ke arah Aya, yang saat itu lagi asik main game di ponselnya sambil bersumpah-serapah karena karakternya kalah. "Astagfirullah... udah kalah, malah ngomel ke handphone," gumam Elvano sambil menahan tawa. Aya melirik dengan mata tajam. "Lo mau gue lempar mangkuk, Van?!" Elvano langsung mengangkat tangan. "Damai... damai..." Aya kembali fokus ke ponselnya, mengumpat pelan. Elvano menghela napas. Baginya, suara ribut, umpatan, dan wajah kusut Aya lebih hidup daripada senyuman palsu cewek-cewek yang rela tampil sempurna demi sekilas perhatian. Sementara itu, di luar rumah, para wanita mulai saling dorong. "Aku lebih dulu!" "Tidak, aku sudah antri dari tadi!" "Mundur, ini undangan resmi!" Petugas keamanan rumah hampir kewalahan. Mama Elvano hanya bisa tertawa cekikikan dari balkon lantai dua, melihat pemandangan seperti drama Korea live action di depan rumahnya. Papa Elvano? Dia malah kabur ke ruang kerja, pura-pura sibuk. Saat suasana makin ricuh, Aya bangkit dari sofa dengan wajah cemberut. "Males banget liat beginian," gerutunya. Dengan malas, Aya membuka pintu depan. Dan... Semua wanita langsung berhenti. Semua mata terbelalak. Mereka melihat seorang cewek barbar, tanpa make up, rambut berantakan kayak singa, memakai kaos lusuh bertuliskan "Males Ngapa-ngapain", berdiri di depan pintu Elvano Dirgantara. Aya menguap lebar-lebar. "Nih ya, semua pada denger. Yang mau ngejar Elvano... antre di ujung gang sono. Yang rese, gue semprot pake air got!" Para wanita itu menelan ludah serentak. Aya kemudian mengangkat selang taman di tangan kanannya dan dengan santai menyemprotkan air ke jalanan depan rumah, seakan-akan memperingatkan. Basah semua. Para wanita langsung kabur satu per satu, berteriak-teriak histeris. Aya menutup pintu dengan bunyi brak keras, lalu kembali ke sofa, menyuap mie instan seenaknya. Elvano memandanginya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Antara kagum... terhibur... dan makin jatuh hati. Aya menyandarkan punggung ke sofa sambil berkata datar, "Gue nggak mau tinggal serumah sama cowok laku kayak lo. Ribet." Elvano menyandarkan diri di sofa, tersenyum pelan. "Tapi aku justru mau serumah sama cewek ribut kayak kamu." Aya melirik dengan tatapan membunuh. "Apa lo bilang?" Elvano hanya mengangkat tangan. "Damai, damai." Aya menggerutu pelan, tapi tidak membantah lebih lanjut. Di ruang tamu itu, di antara mie instan, suara game, dan aroma parfum mahal yang berserakan... Diam-diam, cerita mereka berdua mulai bergerak. Sangat pelan. Tapi pasti. --- Malam harinya, setelah semua kehebohan reda, rumah keluarga Dirgantara kembali tenang. Aya duduk di lantai ruang keluarga, mengobrak-abrik kantong plastik isi cemilan yang dia beli tadi siang. Di depannya, tumpukan keripik, cokelat, permen, dan minuman bersoda sudah berjejer rapi. Dia membuka satu bungkus keripik pedas dan langsung menyerbu isinya. Elvano duduk di sofa, mengamati dari kejauhan. Dia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan cara Aya makan yang... benar-benar brutal. Seolah-olah dunia mau kiamat besok. "Kalau makan pelan-pelan dikunyah, mungkin kamu bisa nikmatin rasa makanannya, ya," komentar Elvano santai. Aya melirik sinis. "Kalau lapar, yang penting kenyang dulu, ngerti?" Elvano mengangguk sambil tertawa kecil. Dia membiarkan Aya dengan gayanya sendiri. Tak lama, Mama Elvano muncul dari dapur membawa nampan berisi teh hangat. "Elvano, Mama mau bicara serius," katanya sambil duduk di sofa menghadap anaknya. Aya pura-pura nggak dengar. Padahal kupingnya otomatis pasang radar. "Ada apa, Ma?" tanya Elvano, sambil mengambil secangkir teh. Mama Elvano meletakkan cangkirnya dengan elegan lalu berkata, "Mama dapat banyak lamaran buat kamu." Elvano sudah menduga ke arah situ, dia hanya mengangkat alis. "Mama kenal banyak keluarga baik-baik. Cantik-cantik. Sopan. Pintar. Cocok buat kamu." Aya yang sedang mengunyah keripik pedas hampir tersedak. Dia batuk-batuk keras sampai air matanya keluar. Elvano refleks berdiri dan menepuk-nepuk punggung Aya. "Pelan-pelan, barbar!" bisiknya sambil menahan tawa. Aya melempar tatapan membunuh tapi tetap batuk-batuk parah. Mama Elvano melanjutkan, seolah-olah tidak terganggu. "Besok sore, Mama undang beberapa dari mereka buat datang. Kamu kenalan, ya." Elvano tersenyum kecil, lalu mengangguk sopan. "Iya, Ma," jawabnya ringan. Aya menatap Elvano dengan pandangan aneh. Cowok ini... gampang banget ya nurut kalau disuruh ketemu cewek lain? Ada rasa sebal yang nggak bisa dia jelaskan. Padahal, dia bukannya peduli. Peduli amat! Setelah Mama Elvano pergi, Elvano kembali duduk santai di sofa, menyeruput tehnya sambil menatap Aya. Aya yang masih menyeka mulutnya dengan tisu, langsung pasang mode siaga. "Apa liat-liat?" "Lucu aja," jawab Elvano santai. "Apanya yang lucu?" "Kamu." Aya melotot. "Sumpah kalau lo gombal lagi, gue siram teh panas ini ke lo." Elvano tertawa pelan. "Kamu nggak usah khawatir soal besok," kata Elvano tiba-tiba. Aya mendengus. "Siapa juga yang khawatir?!" Elvano hanya menatap Aya dengan pandangan penuh makna. "Aku tetap lebih suka orang yang makan keripik kayak mau perang... daripada cewek yang senyumnya palsu." Aya tercekat. Bibirnya terbuka untuk membalas, tapi tidak ada kata-kata keluar. Kenapa cowok ini... makin hari makin aneh?! Dan kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak aneh juga?! Dia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk memilih cemilan baru. Sementara itu, di dalam hati kecilnya yang paling dalam, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Sangat kecil. Sangat samar. Tapi nyata. Dan di sudut bibir Elvano, senyum kecil penuh harapan mulai merekah. Besok mungkin akan jadi hari yang panjang. Banyak wanita yang datang. Tapi matanya... hatinya... tetap hanya tertuju pada satu orang. Gadis barbar yang bahkan belum sadar, bahwa dirinya... sudah mulai menempati ruang di hati Elvano. --- Keesokan sorenya, rumah keluarga Dirgantara berubah jadi semi resepsi kecil-kecilan. Tamu-tamu berdatangan, mayoritas adalah gadis-gadis muda dari keluarga terpandang. Mereka semua tampil maksimal: make up tebal, baju mewah, sepatu berkilauan. Aya duduk di sudut ruang tamu sambil ngemil es krim, memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Dalam hatinya dia mengeluh, Ini rumah atau butik berjalan sih?! Sementara itu, Elvano berdiri di tengah ruangan, diserbu banyak gadis. Semua dengan senyuman lebar dan suara manja. "Elvano, hobimu apa sih?" "Kamu suka traveling, nggak? Aku suka banget traveling, loh." "Kamu suka makanan apa? Aku bisa masak, loh!" Pertanyaan-pertanyaan standar. Aya menggulung mata malas. Dari kejauhan, dia lihat Elvano senyum-senyum kecil, tampak sopan tapi... aneh. Setiap ditanya, jawabannya absurd. Ada gadis cantik berbaju biru bertanya, "Elvano, kamu suka cewek seperti apa?" Jawaban Elvano dengan ekspresi serius: "Suka cewek yang bisa makan tiga piring nasi dalam sekali duduk." Si gadis bengong. Yang lain ikut ketawa kecil, mengira Elvano bercanda. Tapi Elvano tetap serius. Tak lama, gadis lain bertanya, "Kalau soal penampilan, kamu suka yang feminin, kan?" Elvano menjawab santai, "Saya lebih suka cewek yang makannya brutal tapi hatinya lembut." Aya hampir nyembur es krim dari mulutnya. Ini orang kenapa sih? Mau gagalin audisi jodoh apa gimana?! Melihat semua gadis mulai saling melirik bingung, Mama Elvano buru-buru menegur anaknya lewat isyarat mata. Tapi Elvano tetap kalem, malah tambah ngawur. Saat salah satu gadis menawarkan diri untuk menyanyi, Elvano dengan polosnya bilang, "Kalau bisa joget sambil makan kerupuk sih baru keren." Aya nggak tahan lagi. Dia pura-pura batuk sambil menutupi tawanya. Akhirnya, satu per satu gadis mulai pamit pulang dengan wajah awkward. Mama Elvano memijit pelipis, hampir menyerah. Aya diam-diam mengamati Elvano. Cowok itu tetap santai, menatap punggung para gadis yang pergi tanpa sedikit pun rasa menyesal. Ketika semua tamu sudah pergi, hanya tersisa Elvano, Aya, dan Mama Elvano di ruang tamu. Mama Elvano menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih, Van?" tanyanya frustasi. Elvano tersenyum sopan. "Aku cuma mau ketemu orang yang... bisa jadi teman seumur hidup, Ma. Bukan sekadar yang kelihatan cocok dari luar." Mama Elvano ingin memarahi, tapi begitu melihat tatapan serius anaknya, dia akhirnya menghela napas lagi dan memilih mundur. Aya pura-pura sibuk bermain ponsel, padahal kupingnya pasang radar maksimal. Elvano tiba-tiba mendekatinya. Duduk di sofa samping Aya, menyandarkan tubuh santai. "Kamu suka es krim rasa apa?" tanyanya santai. Aya melirik malas. "Kenapa nanya begitu?" "Ya siapa tahu, kan, nanti kalau aku mau traktir." Aya mendengus. "Kalau mau traktir, traktir sekalian pizza, burger, kentang goreng, ayam goreng, semua." Elvano tertawa kecil. "Noted," katanya sambil mengedipkan mata jail. Aya merasa jantungnya berdetak aneh lagi. Dia buru-buru berdiri sambil berkata galak, "Gue ke dapur. Jangan ikutin." Elvano hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Dalam hatinya, dia merasa yakin. Tak peduli berapa banyak gadis yang datang menawarkan cinta, hatinya sudah menemukan orang yang ingin dia perjuangkan. Gadis brutal berhati polos yang bahkan belum sadar kalau dia perlahan-lahan merebut seluruh dunianya. --- Beberapa hari berlalu sejak acara perkenalan itu. Aya pikir semuanya akan kembali normal. Tapi ternyata dia salah besar. Hari ini, saat baru pulang dari warung sambil membawa kantong plastik berisi mie instan dan kopi sachet, dia mendapati sesuatu yang aneh di ruang tamu rumahnya. Papa dan Mama-nya duduk rapi, tampak... terlalu bersemangat. Di hadapan mereka, ada Elvano. Duduk tenang, senyum sopan, dengan teh di tangannya. Aya berhenti di depan pintu, mengerutkan kening. "Ada apa ini?" tanyanya curiga. Mama Aya langsung berdiri dan menariknya masuk. "Masuk, masuk! Aya, duduk sini!" Aya yang masih bingung, ditarik paksa dan didudukkan di sebelah Elvano. Dia menatap pria itu dengan tatapan setengah membunuh. Elvano hanya tersenyum kalem, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Papa Aya berdehem. "Jadi begini, Aya... Papa dan Mama berpikir sudah saatnya kamu serius soal masa depan." Aya memicingkan mata. Feelingnya sudah nggak enak. "Lalu?" "Kami kenal baik keluarga Elvano. Orang baik, mapan, santun. Keluarga terpandang," lanjut Papa. Mama Aya ikut menambahkan, "Kami pikir... daripada kamu nanti sembarangan pilih pasangan... lebih baik kamu dan Elvano bertunangan." JLEB. Aya membeku. Dia menatap Elvano, berharap cowok itu akan membantah. Tapi Elvano hanya tersenyum tipis sambil menyeruput tehnya. Seolah-olah dia sudah tahu semua ini akan terjadi. "Papa, Mama, kalian waras nggak sih?!" bentak Aya. "Kenapa, Aya? Elvano itu calon suami idaman! Semua orang mau punya menantu kayak dia!" kata Mama berapi-api. "Aku nggak pernah mau kawin! Apalagi sama orang kayak dia!" Aya menunjuk Elvano sambil terengah. Elvano, yang dari tadi tenang, akhirnya bicara. "Aku juga nggak maksa kamu, Aya. Aku cuma... nerima kalau kamu mau." Jawabannya sederhana, tapi menampar hati Aya keras sekali. Karena di balik kata-kata santainya itu, ada kesungguhan yang membuatnya sesak. Aya berdiri sambil mengangkat tangan. "Gue ke kamar! Jangan ganggu!" serunya galak. Dia berbalik, menginjak lantai keras-keras, dan menghilang ke dalam kamarnya. Sementara di ruang tamu, Papa dan Mama Aya hanya bisa menghela napas. "Aya itu memang harus dilunakin pelan-pelan," kata Mama sambil geleng-geleng. Elvano hanya tersenyum tipis. Dalam hati, dia tahu ini bukan jalan yang mudah. Tapi dia juga tahu, perempuan itu bukan sembarang perempuan. Aya, si gadis barbar, si gadis pemarah... Adalah satu-satunya orang yang membuat hatinya hidup. Biar perlahan. Biar butuh waktu lama. Dia akan tetap menunggu, dan terus berusaha. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elvano benar-benar serius. Bukan sekadar ingin memiliki. Tapi ingin dicintai. Dengan cara Aya yang paling jujur. --- Sejak kejadian lamaran mendadak itu, Aya memutuskan satu hal: Menjauh dari Elvano. Setiap kali melihat cowok itu, insting barbar-nya langsung aktif. Suatu pagi, saat Aya mau pergi ke minimarket, dia sengaja lewat jalan belakang, menghindari jalan utama di mana biasanya Elvano lewat. Tapi sialnya, begitu belok di gang kecil, dia malah hampir tabrakan dengan... mobil Elvano. Brakk! Aya refleks mundur. Elvano buru-buru keluar dari mobilnya. "Waduh, maaf, Aya. Aku kira jalan ini sepi." Aya mendengus. "Ngapain sih lo di sini?!" Elvano hanya tersenyum sopan. "Kebetulan lewat." Kebetulan apanya, coba?! gerutu Aya dalam hati. Lain hari, saat Aya nongkrong di warung bakso, Elvano juga tiba-tiba muncul. Dengan setelan santai: kaus putih, jaket hitam, jeans. Duduk di meja seberang. Pesan bakso juga. Aya curiga setengah mati. "Ngapain di sini lagi?!" semprot Aya. Elvano angkat mangkok baksonya. "Ngidam bakso." Aya menggertakkan gigi. Ngidam apanya, biasanya makan steak hotel! Tapi karena malas ribut di depan umum, Aya memilih fokus ke mangkok baksonya. Sialnya, sepanjang makan, Elvano beberapa kali meliriknya diam-diam. Setiap Aya merasa, matanya otomatis melotot galak. Elvano hanya tersenyum kecil, tanpa takut sedikit pun. Hari demi hari, 'kebetulan' Elvano semakin sering. Kadang di minimarket. Kadang di warung kopi. Kadang di lapangan tempat Aya jogging sore-sore. Sampai-sampai Aya merasa hidupnya kayak reality show bertema kejar-kejaran cowok bucin. Namun, yang lebih menyebalkan, Aya mulai... Ngerasa aneh. Saat tidak melihat Elvano seharian, ada rasa kosong yang muncul. Seperti ada yang kurang. Tentu saja Aya keras kepala menolak mengakuinya. "Mana mungkin gue kangen sama si ganteng songong itu!" gumamnya keras-keras di kamar. Rafi, adiknya yang masih SMP, lewat di depan kamar sambil komentar, "Ngaku aja, Kak. Dikit-dikit ganteng, dikit-dikit songong." Aya langsung melempar bantal ke arah pintu. Tepat sasaran. Rafi ketawa kabur. Malam itu, Aya duduk di balkon, memandang bintang. Ada sesuatu yang menggelitik di dadanya. Mungkin... mungkin Elvano memang terlalu baik. Terlalu sabar. Terlalu tulus. Dan semua itu... justru membuat Aya takut. Takut patah hati. Takut terluka. Takut... benar-benar jatuh cinta. Sambil memeluk lutut, Aya menghela napas berat. "Kenapa harus dia sih..." gumamnya. Di kejauhan, suara motor terdengar. Aya mengintip dari balkon. Dan benar saja. Itu Elvano. Dengan motor besar kesayangannya, dia lewat pelan di depan rumah Aya. Seperti biasa, tanpa berhenti. Tanpa memaksa. Tanpa mengganggu. Hanya sekedar lewat. Sekedar memastikan. Bahwa orang yang dia sayang... baik-baik saja. Aya menggigit bibir, hatinya berdesir aneh. Dan untuk pertama kalinya, dia tidak merasa terganggu. Mungkin, hanya mungkin... Dia mulai terbiasa dengan kehadiran Elvano. Bahkan mulai... Menunggunya.Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce
Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”
Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi
“Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”
Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d