"Sayang, tenang ya! Pak RW akan mengganti semua kerugian kita," bujukku.Aku sempat terkejut mendengar suara pekikan Kinanti yang sangat kencang. Aku istighfar dalam hati, "Astaghfirullah."Mixi dan Yura juga menangis. "Boneka kami bagaimana, Bu?"Ternyata saat mengetahui rumah di rusak warga dan pakaian telah dibakar yang mereka khawatirkan adalah boneka. Lucu sekali pikiran anak-anak. Ada banyak barang di rumah mengapa memilih mengkhawatirkan boneka?"Kalian cuma ingat boneka saja? Emang kalian nggak sedih kalau seragam sekolah kalian yang di bakar?" tanyaku iseng.Mereka berdua saling pandang, lalu semakin menangis. Mungkin mereka tersadar kalau ada hal-hal lain di rumah yang juga harus mereka khawatirkan."Ibu, bagaimana kami akan sekolah? Hiks ... hiks!" Mereka semakin menangis tersedu-sedu. Ya ampun aku jadi pusing, ada rasa menyesal menggoda mereka barusan. Mandengar anak-anak nangis begini ternyata sangat memekakkan telinga.Kinanti mencoba menenangkan mereka, "Sudah ya, Sayan
Ia terlihat sangat lemah tapi masih memaksakan untuk tetap bicara padaku. Aku mengusap kepalanya, ku berikan senyum terbaikku. Aku sungguh tidak masalah direpotkan olehnya."Tidak apa-apa! Abang bersihkan dulu ya."Sebenarnya dulu aku sangat jijik dengan muntah dan kotoran, tapi entah kenapa sekarang semuanya telah berubah. Sedari di rumah sakit kemarin aku telah membersihkan muntahan Kinanti siang dan malam, itu sama sekali tidak menjijikkan bagiku. Aku ikhlas melakukannya seperti dia yang ikhlas mengandung buah hatiku.Aku pergi ke belakang mengambil kain pel dan membersihkan muntahan itu. Setelah selesai, kususun kembali barang-barang yang telah kami bawa dari rumah sakit tadi.Akhirnya semua selesai. Sekarang aku pun merasa lapar, aku pamit pada isteriku untuk membeli makan siang, "Sayang, Abang sudah laparnih! Abang rasa anak-anak juga sudah lapar.""Iya, Bang! Sudah sesiang ini mereka belum makan siang!""Abang beli lauk dulu, ya!" pamitku.Aku pun keluar dari kamar, namun tak k
Beberapa menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda mereka bangun. Akhirnya kuketok lebih keras pintu itu hingga beberapa kali."Iya, Ayah!" Terdengar langkah kaki menuju pintu, aku pun bergeser ke kiri agar tidak melihat isi kamar anak-anak gadis itu.Ternyata Mixi yang ke luar. Wajahnya benar-benar lelah, ia menguap sambil menutup mulutnya."Sudah maghrib! Bangunkan Yura, ayo sholat!"Gadis itu masih bengong beberapa saat."Oh iya, tadi Ayah sudah belikan speaker mini buat dengar sholawat." Aku menyerahkan speaker itu pada Mixi. "Nanti habis sholat kalian bisa dengar nyanyi sholawat."Mixi tersenyum padaku, wajah lelah dan mengantuknya hilang ketika, saat mendapat speaker itu. "Makasih, Ayah!"Saat speaker itu beralih ke tangannya ia langsung mencoba menyalakan dan memencet tombol on. Terdengar seseorang mengucapkan bahasa Inggris, entahlah apa artinya. Ia memperhatikan tombol lain di speaker sambil menyerngitkan dahi. Ini benda baru bagi Mixi, hingga ia terlihat sangat penasaran.Ak
Bu Guru itu tersenyum, lalu bicara padaku, "Pak, sebenarnya seragam sekolah Yura dan kakaknya ada di rumah saya!"Aku heran mendengar penuturannya, sontak aku pun bertanya, "Bagaimana, Bu?"Ia menarik nafas dalam dan mulai bercerita, "Malam kemaren aku dengar dari suami, katanya warga yang biasa nongkrong di kedai bersamanya akan membakar pakaian Bapak dan keluarga. Tujuan mereka supaya Bapak tidak perlu lagi datang ke rumah itu setelah ibunya Yura keluar dari rumah sakit, warga ingin Bapak dan keluarga langsung mencari tempat baru,Tengah malam, warga sudah berkumpul termasuk saya yang ingin melihat-lihat saja. Pakaian itu sudah terkumpul dan siap menunggu api. Namun hati saya tidak tega melihat seragam menjadi debu, akhirnya saya putuskan untuk memungutnya sebelum warga menyiramnya dengan bensin," papar Bu Guru itu.Rumah kami memang tidak terlalu jauh, jadi sangat mungkin jika Bu guru Yura ini hadir dalam peristiwa pembakaran malam kemarin. Aku pun hanya bisa memakhlumi, bersyukur
"Benar, Sayang! Ibunya si Sholeh seratus persen benar! Semua yang terjadi pada kita memang berat, tapi kita jadi mengetahui Allah sangat mencintai kita."Kami sama-sama tersenyum, senyumnya begitu lembut penuh cinta. Kucium dahinya lalu kupandang wajah yang yang sangat aku cintai itu. Terimakasih ya Allah telah engkau gariskan jodohku dengannya."Abang berangkat ke Balai Desa dulu ya?" pamitku sambil berdiri.Baru satu langkah, aku berbalik lagi dan mencium perut tipis istriku. "Sayang baik-baik di dalam ya! Ingat jangan bolehkan ibu turun dari ranjang, jika ibu nakal tendang saja, ya!" ucapku pada si Sholeh."Aku belum bisa nendang, Ayah!" jawab Kinanti mewakili si Sholeh.Aku tidak peduli dan terus mengajak si Sholeh ngobrol, "Kalian berdua harus bed rest!" pesanku seolah janin itu bisa mendengar dan merespon yang aku ucapkan."Baik ayah hati-hati di jalan ya," balas istriku kembali menirukan suara anak kecil.Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku bergegas menuju becak mot
Pak RW menjeda ucapannya sejenak karena suara sorakan warga begitu sangat heboh. Entahlah itu sorakan setuju atau hanya untuk meramaikan suasana.Pak Kepala Desa berdiri, walaupun ia tidak bicara sepatah kata pun tapi mampu membuat warga tenang kembali. Pak RW melanjutkan kembali membaca hukuman untuk Bang Panji sekarang."Sedangkan hukuman untuk Panji Trisian. Karena terbukti dialah otak dari rencana fitnah ini dan juga menghasut warga untuk membakar pakaian Alfa dan keluarga, serta membuat warga melawan Pak RW,untuk kesalahan yang ia sengaja, kami memutuskan: Panji Trisian didenda seharga dua ekor sapi kepada korban yaitu Alfa dan keluarga dan dua ekor kambing ke pada kampung setelah anaknya lahir. Ia juga harus pergi dari kampung, tidak boleh menginjakkan kaki di kampung ini seumur hidup! Jika Panji melanggar, warga kampung boleh menghakimi bahkan membunuhnya."Warga kembali bersorak kali ini lebih ramai dan bersemangat, mereka juga bertepuk tangan. Hukuman yang diberikan yaitu me
"Ngapain tidur di teras?" tanyaku lebih lembut.Dengan wajah mengantuk mereka berdua memandangku. Aku pun menatap mereka menunggu mereka bicara."Kata ibu, pintu Ayah kunci dan kuncinya Ayah bawa. Jadi kami menunggu Ayah sampai tertidur," jelas Mixi. Sedangkan Yura kembali merebahkan badan di lantai, rupanya bocah yang satu ini memang sangat mengantuk.Mendengar penjelasan Mixi, aku langsung mengkhawatirkan istriku."Maafkan Ayah, ya! Ayo kita masuk." Aku melangkah dan membukakan pintu. Ternyata hanya Mixi yang mengikutiku, sementara Yura, ia kembali tidur."Bangunkan Yura!" titahku pada Mixi.Jika aku ayah kandungnya, aku akan menggendongnya saja masuk ke dalam rumah. Tapi balik lagi, aku membatasi kontak fisik dengan mereka.Mixi berbalik dan kembali membangunkan adiknya itu. "Ra!!! Kau bangun tidak? Atau kakak akan menendang mu!" ucapnya dengan keras."Hmm, Kak Mixi, aku tidur di sini saja, sejuk!" balas Yura dengan mata yang masih terpejam. Aku lihat cuaca semakin mendung, angin
"Ternyata alasan Siska memfitnahmu, itu karena ide dari Bang Panji. Siska hamil anaknya dan Bang Panji berjanji akan menikahinya, jika ia bersedia memfitnahmu," aku memulai ceritaku."Siska hamil?" kaget isteriku. "Lalu kenapa harus memfitnahku? Nikah ya tinggal nikah aja 'kan?"Iya kalau di pikir nggak ada hubungannya kehamilan Siska dengan memfitnah kami. Tapi itu terjadi, ahhh namanya juga manusia. Ada banyak hal di luar nalar yang kadang kita lakukan."Bang Panji ingin mengusir kita, karena ia cemburu. Kau lebih memilih aku dari pada dia," terangku.Sebenarnya aku tahu siapa saja sainganku waktu itu mendapatkan hati janda cantik ini, ada beberapa selain Bang Panji. Tapi yang lain berhenti saat Kinanti menolak.Sesuap nasi lolos begitu saja, aku melanjutkan cerita dan menambah sesuap lagi ke mulutnya. Belum ada tanda-tanda isteriku menolak atau merasa mual. Ceritaku terus berlanjut tentang hukuman yang harus diterima Siska dan Bang Panji.Tanpa sadar istriku makan lebih banyak kare