Share

Part 9

Penulis: Irma W
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-30 16:45:23

“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.

“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.

Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.

“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.”  menampakkan wajah sesal.

“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.

“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”

“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.

Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.

“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.

Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masalahnya, kalau sudah melihat Anin merengut begitu, pasti dia sedang ada masalah. 

“Aku ikut kamu ya,” kata Jonan sebelum Anin sampai di parkiran.

Anin berhenti dan menoleh. “Mobil kamu di mana?”

“Nggak bawa mobil. Aku naik taksi tadi,” jawab Jonan sambil nyengir. “Ikut ya?”

“Nggak ah!” tolak Anin. “Pulang saja sendiri!”

Jonan diam menatap Anin dengan sendu. Lama kelamaan tatapan itu berubah menjadi menyedihkan dan hampir membuat Anin ingin muntah.

“Ya oke!” kata Anin kemudian sebelum Jonan merengek.

Senyum puas seketika mengembang sempurna  di wajah Jonan. Tampang memelas memang terkadang berguna untuk merayu seseorang. Jonan mungkin saat ini sedang tertawa karena berhasil merayu Anin dan membuat wajah Anin merengut jengkel.

“Biar aku yang menyetir saja.” Jonan hendak menyerobot pintu sebelah kanan, tapi dengan cepat Anin langsung mencegahnya.

“Nggak usah!” hardik Anin. “Bukannya pulang, yang ada kamu bawa aku entah kemana.” Anin kemudian masuk ke dalam mobil.

Jonan yang masih di luar terlihat terkekeh sendiri. “Aku memang berniat bawa kamu pergi, Anin,” gumam Jonan.

“Cepetan!” lengkingan suara cempreng itu membuat Jonan kaget. “Mau aku tinggal?”

“Iya, iya, sebentar.” Jonan mendengkus. “Galak banget sih!”

“Terserah!” saur Anin.

Harusnya Jonan tahu kalau niat Anin bukan sedang marah-marah padanya. Anin hanya sedang mengalihkan pembicaraan yang mungkin saja akan menjurus ke hal sensitif. Itu yang biasa terjadi saat sedang ngobrol dengan Jonan, itu sebabnya Anin memilih bersikap sedikit kasar.

“Kamu kenapa marah-marah, sih?” tanya Jonan.

Anin tak menjawab. Anin tetap diam menatap lurus ke jalanan yang lumayan padat pengendara lain.

“Jawab dong!” sungut Jonan.

“Bisa diam nggak?” Anin melirik tajam. “Jangan ganggu, aku lagi nyetir.”

“Kamu cantik, Anin.”

Ciiiiit! Mobil berhenti mendadak. Untung saja mobil berhenti tepat di lampu merah. Setidaknya tidak terlalu membuktikan kalau Anin sedang terkejut dengan perkataan Jonan.

“Hati-hati, Anin,” celetuk Jonan yang sudah mencengkeram pegangan pintu. “Kamu buat aku kaget!”

“Salah kamu!” Anin memukul bundaran setir. “Bisa nggak, kalau kamu nggak ganggu aku, ha?” Anin membulatkan bola matanya lebar-lebar ke arah Jonan.

Bukan Jonan namanya kalau tidak berani membalas pelototan itu.

“Aku nggak ganggu. Aku kan cuma mengajak kamu ngobrol. Wajah kamu cemberut terus, makanya aku penasaran.”

Anin mendesah kemudian mengeraskan tulang rahang. “Dengar ya, Aku tahu kamu kasihan sama aku. Kamu kasihan karena aku selalu banyak masalah dengan suamiku. Tapi plis, jangan buat aku berharap lebih.” Anin mendesah lagi kemudian memutar pandangan ke depan karena lampu sudah kembali hijau.

Jonan masih betah memandangi Anin. Jonan bahkan sama sekali tak peduli dengan ocehan Anin, terkecuali untuk beberapa kata di bagian terakhir.

“Kamu pikir aku kasihan sama kamu?” tanya Jonan. Anin tetap diam. “Aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Untuk apa kamu dikasihani.”

Semakin tidak fokus, pada akhirnya Anin menepikan mobil di kiri jalan. Tepat di bawah pohon rindang yang tidak terlalu banyak mobil melintas.

Anin nampak masih diam. Kedua tangannya masih mencengkeram kuat bundaran setir. Pandangannya nanar dan tak lama kemudian mulai menitikkan buliran bening dari balik mata indah itu.

“Lho, kok malah nangis?” pekik Jonan tiba-tiba. “Hei!” Jonan melepas sabuk pengaman kemudian bergeser sedikit.

“Jonan,” lirih Anin. Jonan terkesiap. “Jangan buat Aku seolah sedang di perhatikan. Jangan memberi aku perhatian. Aku sedang ada masalah, aku mohon kamu jangan menambahinya.” Anin berbicara dalam isak tangis.

“Memangnya salah kalau aku kasih perhatian ke kamu?” tanya Jonan.

Anin menggeleng berat. “Aku nggak tahu. Aku hanya nggak mau salah tangkap nantinya,” kata Anggun tanpa berani menoleh sedikitpun.

“Apanya yang salah tangkap?” Jonan sungguh tak mengerti.

Anin menyedot ingus, lalu mengusap kasar air matanya. Sebelum berbicara lagi, Anin terlihat menghela napas beberapa kali.

“Jonan, stop memberi perhatian padaku. Berhenti menggangguku. Aku tahu kamu hanya sedang kasihan sama aku. Jadi ... cukup.” Anin tersenyum kecut sebelum kembali membuang muka.

“Tahu nggak.” Jonan berbicara dengan nada tinggi. “Aku heran kenapa kamu selalu berpikiran kalau aku kasihan sama kamu. Padahal aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Aku cuma nggak mau melihat kamu sedih. Harusnya kamu peka dengan perasaan aku, Anin.”

“Keluar,” pinta Anin. Jonan yang sudah berkata panjang lebar penuh tenaga, hanya terperanjat dan ternganga.

“Aku bilang, keluar,” kata Anin lagi. Air maya yang semula sempat berhenti itu, mendadak mengalir lagi lebih deras.

“Tapi Anin ....”

“KELUAR!” Anin berteriak dengan lantang sampai-sampai membuat Jonan terjungkat kaget.

Tak mau membuat Anin tambah marah-marah, Jonan diam sejenak. Keluar dari mobil ini tentu bukan cara yang tepat. Itu pikir Jonan. Anin sedang menangis dan dalam kondisi sedang tidak baik, akan bahaya kalau dibiarkan menyetir sendiri.

“Oke, Aku minta maaf. Aku salah,” kata Jonan kemudian. “Aku nggak akan bahas ini lagi atau ganggu kamu lagi, Tapi biarkan aku menemani kamu sampai rumah. Atau kalau boleh, biar aku yang menyetir.”

Jonan tidak menyangka kalau Anin menyetujui untuk bertukar tempat. Anin sudah beranjak berdiri dan keluar dari mobil. Jonan kemudian juga bergegas ikut keluar. Ketika saling berpapasan di depan moncong mobil, Jonan sempat menatap Anin, tapi Anin langsung melengos dan masuk ke dalam mobil.

“Maaf Jonan,” batin Anin usai memakai sabuk pengaman dan duduk bersandar. “Aku bukan berniat membentak kamu. Aku cuma nggak mau terbawa suasana saat sedang bersama kamu. Aku nggak mau kejadian di danau terulang lagi. Aku nggak mau semakin hanyut.”

Anin terdiam hingga lama-kelamaan bola matanya mengatup rapat. Anin jatuh ke dalam mimpi.

“Aku minta maaf, Anin,” gumam Jonan sambil mengusap rambut Anin. “Mungkin aku juga terlalu berharap sama kamu. Huh! Menyedihkan sekali aku!” Jonan tersenyum getir.

Jatuh cinta dengan istri sang kakak, tentu saja salah. Namun, Jonan tidak akan sampai sejauh ini kalau bukan karena Bagas mempermainkan Anin. Jonan sendiri sudah bertekat untuk mencari tahu alasan Bagas berbuat demikian, pun dengan sebuah foto itu.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wiryosentono Wiryosentono
sudah sampai part 10 tapi masih gitu gitu aja cerita nya huh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Kedua   Part 40 (Tamat)

    Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu

  • Suami Kedua   Part 39

    Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s

  • Suami Kedua   Part 38

    3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany

  • Suami Kedua   Part 37

    Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.

  • Suami Kedua   Part 36

    “Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen

  • Suami Kedua   Part 35

    Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status