"Kurang ajar! Siapa kamu berani menggangguku!" teriak Aditya sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Aku yang terdorong sampai terduduk di lantai dengan kemeja yang sudah tidak berkancing.
"Pakai ini!" ujar lelaki asin itu.
Jas berwarna abu-abu dilempar di pangkuanku. Segera kugunakan untuk menutup bagian dada yang terbuka. Aroma yang menguar begitu menenangkan, aku mengeratkannya.
"Mas! Kalau sama perempuan jangan kasar! Seperti banci saja!" seru laki-laki yang tiba-tiba hadir. Aku mengernyit menatap lelaki tinggi besar yang sedang mencengkeram krah baju Aditya. Matanya nyalang dengan satu tangan siap melayangkan satu pukulan lagi.
Kemeja putih, rambut disisir klimis, dan sepatu mengkilap. Penampilannya yang rapi menunjukkan kelasnya bukan orang sembarangan.
Siapa dia?
Aku tidak pernah berjumpa, apalagi kenal.
"Hei! Kenapa kamu mengganggu urusanku? Dia wanitaku. Terserah apa yang kami lakukan! Jangan ikut campur!" teriak Aditya sambil menepis tangan lelaki itu.
Mantanku itu mundur selangkah tidak bereaksi seperti biasanya. Mungkin dia mengukur kekuatan dengan lelaki di hadapannya. Dia kalah kuat. Dia yang tambun tidak sebanding dengan lelaki ini yang tinggi besar. Bisa-bisa dikibas langsung masuk rumah sakit.
Sekilas aku menangkap lelaki asing itu mengernyit. Seperti ada keraguan di sana. Tidak sedikit pasangan yang bermesraan dengan cara aneh. Saling menyiksa tapi berujung sama-sama terpuasakan.
Gawat!
Kalau dia percaya dengan omongan Aditya, bisa jadi tidak jadi menolongku. Dan artinya, ini bisa meluluskan niat mantan suami brengsek ini.
Secepatnya aku berdiri, meraih tangan orang yang tidak aku kenal itu dengan posisi menghadap dirinya.-membelakangi Aditya.
Sambil memberi tanda aku berkata, "Mas tolong jangan marah. Dia ini Mas Aditya mantan suamiku yang pernah aku ceritakan kemarin. Dia mengajakku rujuk karena dia tidak tahu kalau aku sudah mempunyai kamu. Aku menolak dan dia marah seperti tadi."
Sekali lagi aku mengerjapkan mata sambil berucap tanpa bersuara, "TOLONG SAYA. TOLONG."
Aku benar-benar memohon. Rasanya ingin menangis kalau dia tidak mengindahkan aku. Sesaat lelaki itu mengerutkan dahi. Aku bernapas lega ketika menangkap kepalanya mengangguk samar. Sorot mata yang nyalang terganti dengan kelembutan. Kemudian dia tersenyum sambil mengulurkan kedua tangannya untuk merekatkan jas yang aku pakai.
"Ini yang aku kawatirkan, Beb. Kalau kamu tidak memperkenalkan aku kepada orang yang kamu kenal. Bisa jadi orang yang masih berharap menjadi salah paham," ucapnya sambil menatapku lekat. Kedua tangannya menangkup lengan ini.
Suaranya yang rendah dan terdengar penuh kasih. Orang bisa salah mengira kalau lelaki ini benar-benar kekasihku. Tatapan dan sikapnya menunjukkan dia pintar bersandiwara.
Wah, jangan-jangan dia aktor yang kebetulan lewat sini?
"TERIMA KASIH," ucapku tanpa bersuara. Seperti mendapat tambahan energi, aku menegapkan diri.
"Maafkan Mas, ya. Datangnya terlambat. Ada yang sakit?" ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan ke arahku. Dengan lembut dia merapikan rambut ini yang berantakan gara-gara perlawanan tadi, menyelipkan di telinga.
Mengimbangi sandiwaranya, aku menggeleng sambil berkata, "Tidak, Mas. Yang penting kamu datang dan meluruskan kesalahpahaman ini."
Sesaat aku terpaku dengan tatapannya. Antara nyata dan tidak, tapi kenapa dada ini begitu berdebar? Dengan jarak dua jengkal, aku yang setinggi pundaknya menangkap wajahnya dengan jelas. Keindahan yang membuatku enggan berkedip. Mata sendu, didung mancung, rahang kokoh dengan di hiasi bulu-bulu halus.
Kami bersitatap, seakan aku hanya berdua dengannya. Duh, kalau artis dadakan seperti aku ini, tidak bisa membedakan antara sandiwara atau benaran. Pantas saja banyak pelaku sandiwara yang terlibat cinta lokasi. Berdalih membangun cemistry kemudian kebablasan tidak mau melepas hati yang terlanjur terikat.
Atau, apa ini efek janda yang sudah lama tidak berdekatan dengan laki-laki, ya? Sesuatu yang aku usahakan mati, dengan mudah terpatik seperti sekarang ini.
"Ja-jadi kamu calon suaminya Dek Laras? Ah, tidak mungkin!" Suara Aditya menyadarkan lamunanku. Menarikku ke dunia yang sebenarnya.
Satu kali gerakan, tanan kokohnya memutar badanku. Menarik diri ini untuk lebih dekat. Aku tersenyum tipis ketika melihat Aditya tertawa mengejek.
"Memang dia calon istriku."
"Masak?!"
"Mas Aditya! Kenapa kamu mengurus diriku. Memang dia calon suamiku. Dan inilah yang menjadi alasan kuat aku tidak mau kembali menjadi istrimu lagi. Lihat saja, dia lebih segala-galanya dari pada kamu. Sekarang, lebih baik kamu pergi!" Aku menggerakkan dagu ke arah pintu. Alih-alih mengerti, lelaki berperut buncit ini justru tertawa mengejek.
"Tidak mungkin kalau laki-laki ganteng seperti Mas ini mau denganmu. Perempuan bekas, dekil, dan tidak berkualitas," ucapnya kemudian mengalihkan pandangan ke lelaki di sampingku. "Masnya dibayar berapa sama dia? Mau-maunya diajak main sinetron tidak berkualitas seperti ini?"
***
"Tunggu sebentar," ucapnya setelah menggerutu. Dia beranjak dan keluar dari kamar. Kembali aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Mataku tertuju pada tirai yang begerak-gerak terkena angin pendingan ruangan. Perlahan aku singkap tirai berwarna hijau tosca, terhalang vitras warna senada nampak taman yang dilengkapi kandang burung berukuran besar."Pantas saja suara burung terdengar jelas," gumamku sambil melongokkan kepala pada jendela kaca berukuran lebar ini. Burung-burung itu bergerak dengan leluasa. Aktif seperti gembira menyambut pagi. Berukuran kecil dan berwarna-warni. Indah. "Kalau mau keluar, lewat sini." Aku menoleh. Tanpa aku sadari ternyata Mahendra sudah kembali ke kamar. Dia membuka tirai hijau itu lebar-lebar. Ternyata di sebelah pinggir itu pintu yang terbuat kari kaca juga. "Tamunya sudah pergi?""Sudah. Tadi anak-anak karang taruna minta iuran untuk Agustusan. Sini," serunya lagi sambil menarik tanganku.Mataku terbelalak melihat ke kanan dan ke kiri. Ternyata
Dalam kungkungannya, kami saling bersitatap dalam diam. Rasanya aku ingin segera tenggelam dalam tatapannya yang sendu ini. Seakan sepakat, dia mulai menyentuh dan aku pun memberikan keleluasaan. "Kamu tahu tidak, sejak di Bali aku kangen banget sama kamu," bisiknya saat mengambil jeda. Tangannya membelai tanpa melepas tatapan. "Iya? Bukankan di sana banyak wanita sexy berbikini." "Justru itu. Yang bikin aku tambah kangen. Mau cium dan peluk tapi kamu tidak ada. Seperti ini," ucapnye sebelum mengutip napas. Memberi sentuhan yang menjadikan tidak ingin berhenti. Satu persatu yang dikenakan pun tanggal. Mulai jaket, kemudian kancing pun satu persatu lolos, begitu juga penutup atas lepas dari kaitan. Kebutuhan orang dewasa mulai menunjukkan keberadaannya. Melepaskan diri dari akal sehat dan justru menuntut menenggelamkan diri lebih dalam. "Jangan..." Suaraku mencicit tapi tersapu dengan dengkusan. Dia yang menuli, sudah bermain di atasku. Tangan ini yang sempat mencekal, jus
"Apa seperti ini gaya hidup orang kota?" gumamku. Pandangan mata ini mengikuti langkah pasangan yang berlalu di depanku. Wanita yang tadi mencium Mahendra itu bergelayut manja pada lelaki yang berpenampilan bak model. Mereka seperti pasangan artis. Si wanita dengan sepatu tinggi berwarna merah dan baju sexy yang menunjukkan body seperti peragawati. "Terus apa maksudnya dia mencium pacar orang? Apa mungkin itu hanya say hello seperti di film-film itu, ya?" Rasanya lega. Ternyata wanita itu bukan siapa-siapa. Mungkin aku harus memperlebar sudut pandang supaya tidak selalu mencurigai kekasihku itu. Kembali aku menelisik penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Senyum mengembang seketika ketika pria yang menjulang itu nampak setelah rombongan ibu-ibu berlalu. "Mas Hendra!" Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi. Dia yang mengedarkan pandangan langsung tersenyum lebar saat pandangan kami bersitatap. Tergesa, langkah nya pun lebar-lebar dengan kedua tangan terentang. "Dek Laras
"Aku pernah baca. Kisahnya gini: ada pemuda alim dia tidak pernah melakukan dosa kecil apalagi dosa besar seperti membunuh atau memperkosa," ucapanku berhenti. Aku jeda dengan minum air putih. "Maaf, haus." "Terus?" Senyumku mengembang melihat kekasihku ini memperhatian omonganku. "One day, dia ingin sekali saja mencoba satu dosa. Yang kecil aja, lah. Tidak menyakiti orang lain. Tahu apa yang dia coba?" "Apa?" "Minum minuman beralkohol sampai mabok. Tahu apa yang selanjutnya terjadi?" Mata Mahendra mengerjap sambil menggelengkan kepala. Dalam hati sebenarnya gemas. Rambut yang acak-acakan menjadikan dia terlihat welcome untuk dipeluk. Tak sadar, aku mengulum bibir sendiri. "Apa, Dek? Ayo lanjut." "Eh, iya. Dia hilang akal. Tidak menguasai pikirannya. Saat itu dia kembali pulang dengan susah payah. Karena kesadarannya belum pulih, dia salah masuk rumah. Yang dimasukin rumah wanita cantik. Pemuda ini tidak menguasai diri dan memaksa wanita ini untuk melayani dia." "Wah,
"Isabelle datang bersama pacarnya, Dek. Kebetulan ada dia tidak bisa gabung dengan kami karena harus ke Lombok. Jadi kamu jangan mikir aneh-aneh." "Siapa yang berpikir aneh-aneh, Mas. Aku tidak masalah kamu makan malam sama siapa, atau menghabiskan malam sampai jam berapa," sahutku sambil membuang pandangan ke arah lain. Melalui sudut mata, aku menangkap dia tersenyum. Kekasihku ini kemudian menjelaskan kalau mereka di Bali tinggal selama musim dingin. Ketika di negaranya tidak bisa beraktifitas karena salju, mereka ke sini untuk berbisnis sekaligus liburan. Ya bersama kekasih atau keluarga. "Mereka sewa villa di sini. Menikmati kehidupan bahkan berbaur dengan penduduk." "Oh, jadi mereka seperti tinggal sementara di sini, ya?" "Betul banget. Sudah, ya. Aku kembali kepada mereka. Biar cepat pulang. Aku ngantuk dan pengen cepat tidur," ucapnya kemudian berhenti sambil mengerlingkan mata. "aku pengen cepat bermimpi ketemu kamu. Kalau dalam mimpi kamu kan bisa dipeluk dan diapa-ap
Aku menajamkan mata berkali-kali ke layar lap top, tetapi yang aku lihat benar-benar tidak salah. Nominal di mutasi rekening bank menunjukkan ada dana masuk bukan seratus juta seperti dijanjikan Mahendra. Namun, ini tiga ratus juga. Tidak ada catatan atau pesan apapun, tiba-tiba merubah kesepakatan. Selalu begitu, mengirim uang lebih yang tidak kira-kira. Segera aku mengambil ponsel. Kemarin dia pamit ke Bali ada urusan bisnis, katanya. Lebih baik aku tidak telpon. Siapa tahu dia masih sibuk. Aku foto layar lap top, kemudian aku kirim pesan. [Mas Hendra, ini salah transfer, ya? Kok tiga ratus? Bukankan kemarin kita sepakat seratus juta?] send. Centrang pada pesan masih belum berubah warna. Tanda belum dibaca. Atau mungkin dia sudah ketiduran? Mata ini bergulir ke arah jam dinding. Jam dinding dari kayu antik oleh-oleh dari pengrajin kemarin. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Sudah malam tapi masih sore bagi kekasihku itu untuk berlabuh di ranjang. 'Sibuk mungkin,' uca