"Mau, ya. Jadi istriku lagi." Suara berat itu terdengar dekat di telinga. Meluruhkan kenangan pahit yang berkelebat barusan.
Seketika aku menarik diri. Aroma kopi bercampur rokok yang begitu pekat membuatku begidik. Bagaimana pun dia sudah menjadi mantan suami yang sama kedudukannya dengan lelaki lain.
Sebenarnya enggan dia menerima mantan suaminya lama-lama berkunjung ke kedai yang masih buka. Jarum jam masih menunjuk angka sepuluh, masih satu jam lagi buka. Namun, aku memilih membuka tirai lebar-lebar yang sebelumnya hanya pintu yang aku buka. Sikap Mas Aditya yang mulai mendekatiku, sebenarnya membuatku was-was.
Saat kedatangan lelaki tadi, dia sebenarnya tidak mempersilakan masuk, tapi karena pintu warung terbuka Aditya menyelonong begitu saja dan duduk di bangku pelanggan. Demi sopan santun saja aku memberi suguhan layaknya pelanggan pada umumnya.
"Kalau kamu mau, warung ini aku tambahi modal. Kita besarkan dan kamu tidak repot-repot kerja berat."
"Sekali lagi terima kasih. Maaf saya lebih menyukai seperti sekarang ini."
"Dek Laras. Kamu ini dari dulu sama. Selalu berpikir bodoh. Berpikir profit oriented kenapa?"
Lagi-lagi aku menghela napas. Bicara dengan mantan suaminya ini tidak pernah menemukan titik temu, karena laki-laki yang punya usaha jual beli mobil ini selalu ingin menang sendiri. Apa yang diucapkan adalah paling benar.
"Dulu kamu tidak mau cerai karena jadi istri pertama, sekarang kan istri kedua. Kamu jadinya capek-capek seperti sekarang. Punya warung tidak punya karyawan. Kamu itu sama saja kerja seperti babu. Sampai kami tidak sempat merawat diri," ucap Aditya mulai sarkas. Selalu begitu, ucapannya mengandung hinaan. Bagiku sudah kebal. Dulu saat menjadi istrinya, aku hanya bisa menelan hinaan itu, tapi sekarang dia bukan istri lelaki ini lagi.
Anggap saja orang gila yang sedang kumat.
"Tidak apa-apa kerja seperti babu. Tapi senang dan tenang," sahutku itu sambil tersenyum. Menanggapi ucapan mantan suami dengan amarah, hanya membuang energi saja. Aku tidak seperti dulu yang menggunakan hati, sekarang lebih bersikap masa bodoh. Itu lebih bisa untuk menjaga kewarasan.Dulu aku mencintainya seratus persen. Semua aku serahkan ke dirinya sampai aku lupa mencintai diriku sendiri. Memang aku bodoh sampai buta kalau dikibuli.
"Tapi kamu tidak cantik lagi. Dekil tahu. Bauk dan tidak mulus seperti dulu." Larasati tersenyum. "Gak papa, Mas." "Gak apa-apa bagaimana? Mengganggu mata.""Ya tidak usah dilihat. Siapa yang suruh Mas Aditya ke sini?"
Lagi-lagi aku melayangkan senyuman. Melihat ke arah Aditya sebentar, kemudian menilik ponsel yang berbunyi. Ternyata ojek mobil online bertanya alamat. Aku mengirimkan peta lokasi dan memberi catatan kalau tempatku berwarna biru.
"Dek Laras." "Sebentar, Mas. Ada yang akan mengambil pesanan," sahutnya. Aku mengarahkan tangan tanda menyuruh dia diam.Tanpa memedulikan dia yang melotot, aku mengeluarkan satu persatu kresek merah, meletakkan di meja dekat pintu sehingga nanti memudahkan saat menaikkan ke mobil. Sekitar berjumlah sepuluh kresek masing-masing berisi delapan kotak.
Aditya mendekat. Sekilas aku menangkap bayangannya yang sudah berdiri di sebelahku. "Jadi ini yang menyebabkan kamu menolak niat baikku, hah?!" "Ada apa lagi, Mas?!" Dahi Larasati berkerut mendengar suara Aditya yang meninggi. "Kamu punya selingkuhan, ya? Dasar janda gatal! Kamu open BO?" "Cukup! Aku dari tadi sudah bersabar, ya! Aku diam saja. Tapi kamu semakim seenaknya bicara! Bisa tolong pergi dari sini?!" Aku teriak dengan tangan menunjuk pintu.Kesabaran yang aku rawat dari tadi mulai meranggas api amarah. Amarah yang tertahan dari tadi seakan muntah begitu saja. Harga diri sebagai wanita mulai terusik. Benar-benar dia ini mencari gara-gara.
"Eh, kamu berani melawan aku, ya?!" sahut Aditya dengan tak kalah berani. Dua orang yang sudah menjadi mantan berhadapan dengan mata berkilat. Dalam hatiku sebenarnya was-was. Hari masih pagi dan pelanggan warung belum ada yang datang. Bisa saja ada kemungkinan lelaki ini berbuat jahat kepadanya seperti dulu. Tamparan dan tendangan sudah kenyang yang pernah aku rasakan. Aku terima dengan dalih ini cara mendidikku untuk lebih baik.Namun, tidak untuk sekarang."Perempuan tidak tahu diri! Diatur malah melawan."
"Mas! Apa hakmu mengatur aku?! Kita ini sudah jadi mantan dan apa yang aku lakukan, terserah aku!" "Kamu ngotot sekali tidak mau jadi istriku lagi? Atau jangan-jangan kamu sudah banyak pelanggan, ya?" ucap Aditya kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Tidak mungkin, lah. Wong kamu sudah jelek gini. Paling kalau ada karena minta gratisan." Aku mendengkus kesal. Cara berpikir gila. Kalau tidak mau dengannya berarti sudah dengan orang lain. Memang laki-laki yang dipikir selangkangan saja, tidak ada yang lain.Ungkapan mantan suaminya ini begitu merendahkan. Ini sama saja menyebutnya sebagai pelacur. Memang apa salahnya menjanda? Kami wanita tidak masalah walaupun tidak ada laki-laki, terlebih seperti aku yang mempunyai tujuhan tidak sekadar mencari pasangan.
"Terserah apa yang kamu katakan atau yang kamu pikirkan. Aku tidak peduli. Jangan kamu ambil pusing tentang diriku. Urus saja istrimu. Apa begitu tidak memuaskan istrimu sampai menuntutku jadi istrimu lagi, aku wanita yang kamu buang?" Aku tersenyum puas membalas hinaannya. Aku sajikan ekspresi mengejek, sebelum membalikkan badan untuk masuk. Belum sempat melangkah, tangan ini dicekal Aditya. Dihentakkan tiba-tiba sehingga tubuh ini berlabuh di pelukannya. Belum sempat tersadar, lelaki ini mengutip paksa napasku. Membuatku bungkam tanpa sempat berteriak. Sekuat tenaga aku berontak, tapi kalah kuat. Tanganku masih dalam cengkeramannya, yang meleluasakan niatnya. Tidak puas sampai di situ, dengan kurang ajar tangan satunya menjelajah. Dalam posisi terkunci, mata ini tidak kuasa meneteskan air mata. Aku tidak mengira, lelaki yang dulu aku agungkan, ternyata tega melecehkan aku. Orang yang dulu pernah aku persembahkan baktiku, ternyata meletakkan aku sebagai wanita tidak berharga."Kenapa menolak? Bukankah kamu merindukan sentuhanku, kan?" bisiknya di telinga. setelah menjeda.
Ada kesempatan, aku berteriak, "Tol__"
Tangan besarnya memutus teriakanku. Jemari yang dulu memberikan kasih sayang, sekarang mengulang sikap kasar. "Aku pun rindu kepadamu, Laras. Rasamu masih teringat jelas dan membuatku ingin bersamamu."
Aku menatapnya dengan nyalang. Kakinya yang menekan kaki, menjadikan aku tidak bisa bergerak. Begidik aku dibuatnya saat menangkap sorot mata sendu dengan napas mulai memburu. Kebiasaannya dulu saat sedang ingin.
"Kamu memang jelek, tapi legit."
Jijik. Itu yang menjadi rasa yang berkuasa. Perutku mual dan ingin muntah.
"Aku lama berpuasa, Dek. Nayna kan baru melahirkan. Layani aku. Ingatanku akan kamu membuatku gila," bisiknya sebelum melanjutkan niatnya. Kali ini lebih mengintimidasi. Berontakku seakan memicu keinginannya. Satu kali hentak, kancing kemeja yang aku kenakan terburai.
'Tolong! Tolong lepaskan aku dari durjana ini!' teriakku dalam hati. Semua doa aku panjatkan. Semoga Tuhan mengirim dewa penolong. Itu saja yang bisa aku lakukan sekarang.
Tiba-tiba hentakan keras berhasil memisahkan aku dari lelaki nekad itu.
"Kurang ajar! Siapa kamu berani menggangguku!" teriak Aditya sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. * Lanjut?"Tunggu sebentar," ucapnya setelah menggerutu. Dia beranjak dan keluar dari kamar. Kembali aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Mataku tertuju pada tirai yang begerak-gerak terkena angin pendingan ruangan. Perlahan aku singkap tirai berwarna hijau tosca, terhalang vitras warna senada nampak taman yang dilengkapi kandang burung berukuran besar."Pantas saja suara burung terdengar jelas," gumamku sambil melongokkan kepala pada jendela kaca berukuran lebar ini. Burung-burung itu bergerak dengan leluasa. Aktif seperti gembira menyambut pagi. Berukuran kecil dan berwarna-warni. Indah. "Kalau mau keluar, lewat sini." Aku menoleh. Tanpa aku sadari ternyata Mahendra sudah kembali ke kamar. Dia membuka tirai hijau itu lebar-lebar. Ternyata di sebelah pinggir itu pintu yang terbuat kari kaca juga. "Tamunya sudah pergi?""Sudah. Tadi anak-anak karang taruna minta iuran untuk Agustusan. Sini," serunya lagi sambil menarik tanganku.Mataku terbelalak melihat ke kanan dan ke kiri. Ternyata
Dalam kungkungannya, kami saling bersitatap dalam diam. Rasanya aku ingin segera tenggelam dalam tatapannya yang sendu ini. Seakan sepakat, dia mulai menyentuh dan aku pun memberikan keleluasaan. "Kamu tahu tidak, sejak di Bali aku kangen banget sama kamu," bisiknya saat mengambil jeda. Tangannya membelai tanpa melepas tatapan. "Iya? Bukankan di sana banyak wanita sexy berbikini." "Justru itu. Yang bikin aku tambah kangen. Mau cium dan peluk tapi kamu tidak ada. Seperti ini," ucapnye sebelum mengutip napas. Memberi sentuhan yang menjadikan tidak ingin berhenti. Satu persatu yang dikenakan pun tanggal. Mulai jaket, kemudian kancing pun satu persatu lolos, begitu juga penutup atas lepas dari kaitan. Kebutuhan orang dewasa mulai menunjukkan keberadaannya. Melepaskan diri dari akal sehat dan justru menuntut menenggelamkan diri lebih dalam. "Jangan..." Suaraku mencicit tapi tersapu dengan dengkusan. Dia yang menuli, sudah bermain di atasku. Tangan ini yang sempat mencekal, jus
"Apa seperti ini gaya hidup orang kota?" gumamku. Pandangan mata ini mengikuti langkah pasangan yang berlalu di depanku. Wanita yang tadi mencium Mahendra itu bergelayut manja pada lelaki yang berpenampilan bak model. Mereka seperti pasangan artis. Si wanita dengan sepatu tinggi berwarna merah dan baju sexy yang menunjukkan body seperti peragawati. "Terus apa maksudnya dia mencium pacar orang? Apa mungkin itu hanya say hello seperti di film-film itu, ya?" Rasanya lega. Ternyata wanita itu bukan siapa-siapa. Mungkin aku harus memperlebar sudut pandang supaya tidak selalu mencurigai kekasihku itu. Kembali aku menelisik penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Senyum mengembang seketika ketika pria yang menjulang itu nampak setelah rombongan ibu-ibu berlalu. "Mas Hendra!" Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi. Dia yang mengedarkan pandangan langsung tersenyum lebar saat pandangan kami bersitatap. Tergesa, langkah nya pun lebar-lebar dengan kedua tangan terentang. "Dek Laras
"Aku pernah baca. Kisahnya gini: ada pemuda alim dia tidak pernah melakukan dosa kecil apalagi dosa besar seperti membunuh atau memperkosa," ucapanku berhenti. Aku jeda dengan minum air putih. "Maaf, haus." "Terus?" Senyumku mengembang melihat kekasihku ini memperhatian omonganku. "One day, dia ingin sekali saja mencoba satu dosa. Yang kecil aja, lah. Tidak menyakiti orang lain. Tahu apa yang dia coba?" "Apa?" "Minum minuman beralkohol sampai mabok. Tahu apa yang selanjutnya terjadi?" Mata Mahendra mengerjap sambil menggelengkan kepala. Dalam hati sebenarnya gemas. Rambut yang acak-acakan menjadikan dia terlihat welcome untuk dipeluk. Tak sadar, aku mengulum bibir sendiri. "Apa, Dek? Ayo lanjut." "Eh, iya. Dia hilang akal. Tidak menguasai pikirannya. Saat itu dia kembali pulang dengan susah payah. Karena kesadarannya belum pulih, dia salah masuk rumah. Yang dimasukin rumah wanita cantik. Pemuda ini tidak menguasai diri dan memaksa wanita ini untuk melayani dia." "Wah,
"Isabelle datang bersama pacarnya, Dek. Kebetulan ada dia tidak bisa gabung dengan kami karena harus ke Lombok. Jadi kamu jangan mikir aneh-aneh." "Siapa yang berpikir aneh-aneh, Mas. Aku tidak masalah kamu makan malam sama siapa, atau menghabiskan malam sampai jam berapa," sahutku sambil membuang pandangan ke arah lain. Melalui sudut mata, aku menangkap dia tersenyum. Kekasihku ini kemudian menjelaskan kalau mereka di Bali tinggal selama musim dingin. Ketika di negaranya tidak bisa beraktifitas karena salju, mereka ke sini untuk berbisnis sekaligus liburan. Ya bersama kekasih atau keluarga. "Mereka sewa villa di sini. Menikmati kehidupan bahkan berbaur dengan penduduk." "Oh, jadi mereka seperti tinggal sementara di sini, ya?" "Betul banget. Sudah, ya. Aku kembali kepada mereka. Biar cepat pulang. Aku ngantuk dan pengen cepat tidur," ucapnya kemudian berhenti sambil mengerlingkan mata. "aku pengen cepat bermimpi ketemu kamu. Kalau dalam mimpi kamu kan bisa dipeluk dan diapa-ap
Aku menajamkan mata berkali-kali ke layar lap top, tetapi yang aku lihat benar-benar tidak salah. Nominal di mutasi rekening bank menunjukkan ada dana masuk bukan seratus juta seperti dijanjikan Mahendra. Namun, ini tiga ratus juga. Tidak ada catatan atau pesan apapun, tiba-tiba merubah kesepakatan. Selalu begitu, mengirim uang lebih yang tidak kira-kira. Segera aku mengambil ponsel. Kemarin dia pamit ke Bali ada urusan bisnis, katanya. Lebih baik aku tidak telpon. Siapa tahu dia masih sibuk. Aku foto layar lap top, kemudian aku kirim pesan. [Mas Hendra, ini salah transfer, ya? Kok tiga ratus? Bukankan kemarin kita sepakat seratus juta?] send. Centrang pada pesan masih belum berubah warna. Tanda belum dibaca. Atau mungkin dia sudah ketiduran? Mata ini bergulir ke arah jam dinding. Jam dinding dari kayu antik oleh-oleh dari pengrajin kemarin. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Sudah malam tapi masih sore bagi kekasihku itu untuk berlabuh di ranjang. 'Sibuk mungkin,' uca