"Masnya dibayar berapa sama Laras? Mau-maunya diajak main sinetron tidak berkualitas seperti ini?"
Aditya mencibir kemudian tertawa sambil geleng-geleng kepala. Kedua tangan ini mengepal erat. Ingin rasanya melempar meja ke arah wajahnya yang menyebalkan. Tidak mungkin aku menuntut lelaki yang tidak aku kenal ini bersikeras dengan kebohongan. Terserah. Aku terduduk, hanya bisa pasrah, bersiap diri dengan kemungkinan yang terakhir. Seandainya lelaki disampingku ini mengaku kalau ini sandiwara, aku akan lari. Mungkin ke rumah pak RT untuk minta bantuan. "Ngaku aja kalian bersandiwara, kan?" Tatapanku nanar ke arah lelaki yang sedari tadi menghinaku. Rasa sedih, marah. kecewa, bercampur aduk menyesakkan dada. "Mas Aditya ...." "Iya, Dek Laras?" ucapnya sembari membungkukkan badan. Kepala meneleng sambil menyeringai penuh kemenangan, menunggu pengakuanku. "A-aku mengaku kalau___" Aku terkesiap, menghentikan ucapan ketika tangan besar menangkup lenganku, merapatkan tubuhku padanya. Seakan menenangkan lelaki menjulang ini mengusap-usap ujung bahu. "Biarkan aku yang bicara, Beb," ucapnya dengan tersenyum dan mengangguk padaku. "Tapi, Mas. Aku tidak mau membebanimu." "Membebani apa? Apa memberi kabar baik itu termasuk beban? Itu akan menjadi beban bagi orang yang kehilangan harapan." Seperti lelaki yang melindungi wanitanya, dia menarikku ke belakang. Seolah-olah menyembunyikan diriku dari serangan Aditya. Mantan suamiku itu pun mengundurkan badannya. Seringai di mulutnya berangsur-angsur pudar. "Ada siapa tadi? Mas.... Mas Aditya, ya? Duh saya kok lupa. Memang kalau sesuatu yang tidak penting sudah diingat." Aditya tertawa kecil. Tangannya bersendekap dengan mata menyelidik. Aku tahu walaupun dia mengesalkan tapi dia orang yang pintar. Walaupun kebablasan karena tidak menghargai orang lain. "Kami memang menyembunyikan ini. Tapi karena ini mendesak, saya mengaku kalau kami tidak sekadar pacaran atau hanya calon. Kami___" "Oh, tidak sekadar pacaran," sahut Aditya menyela. Senyumnya menyeringai kembali kemudian mendekat sambil berbisik, "Teman tidur maksudnya. Pantas saja dia tadi menolakku. Ternyata sudah ada penyaluran." "Mas Aditya! Bicaranya ngawur!" seruku tidak terima. Ucapannya sama aja menuduh aku kumpul kebo "Halah! Kita sama-sama dewasa. Sudah punya kebutuhan itu. Makanya aku heran, kamu kok betah puasa begitu lama. Aku saja puasa karena Nayna melahirkan saja sudah sakit kepala." "Itu kalau anda. Laras ini wanita bermartabat. Karenanya kami akan menikah dalam waktu dekat!" ucap lelaki itu dengan tegas. Sontak aku terkejut setengah mati. Niatku hanya bersandiwara demi mengusir mantan suami yang penasaran, eh malah terjebak. Mati aku! Aditya bukan orang yang gampang percaya. Bisa jadi dia semakin tersulut dan menuntut. "Mas!" teriakku. Alih-alih berhenti, lelaki kekar ini justru meraih tanganku. Menggenggam erat kemudian menciumnya dengan lembut. "Beb. Aku tidak mau keduluan orang. Aku sangat menyayangimu," ucapnya lembut, tidak peduli dengan Aditya yang melongo. Terlebih aku yang semakin bingung dengan perkembangan alur yang di luar prediksi. Kemudian, aku dibimbingnya untuk duduk di bangku. Saat mendudukkan aku, dia berbisik. "Tunggu sebentar. Akan aku bereskan serangga ini." Aku masih tidak mengerti maksudnya. Namun, ketika dia menderap ke arah Aditya.... "Dan kamu, ya!" teriaknya sambil menunjuk Aditya. "Dari tadi aku sudah bersabar! Tapi semakin disabari kamu semakin melunjak!" Wajahnya tampak garang. Kemarahan seakan mulau berkobar, terlihat dari telinga dan wajahnga yang putih mulai memerah 'Wah, hebat sekali akting orang ini,' bisikku dalam hari bersorak. Melihat mantan gila ini terlihat keder. "Sekali lagi saya dapati kamu mengganggu Larasku, akan aku hajar kamu!" serunya sambil mengangkat tangan kanan yang terkepal. "Ja-jadi kalian beneran?" cicit Aditya memandang kami bergantian. "Iya! Masih tidak percaya? Aku perlu aku tinju kamu supaya otakmu encer, hah! Dasar bebal!" Kali ini tidak hanya memamerkan kepalan. Lelaki itu juga menarik kerah Aditya. Wajah Aditya terlihat panik. Sorot matanya ke arahku seakan meminta bantuan. Aku balas dengan senyuman dan kedua bahu terangkat tanpa tidak bisa melakukan apa-apa. "Mau pergi, gak!?!" "I-iya. Sa-saya pergi," jawab Aditya bergetar. Saat kerah dilepaskan, lelaki tukang selingkuh itu lari tunggang langgang. Beberapa saat suasana menjadi lengang. Aku menghampiri lelaki asing yang terduduk sambil meraih air botolan. Seperti terburu-buru, meneguknya sampai tandas, bahkan beberapa membuat kemejanya basah. Warna putih tidak menyembunyikan otot-otot yang terrsembunyi di baliknya. "Ma-maaf, Mas. Saya merepotkan. Mas nya yang tidak tahu apa-apa malah terikut masalah. ""Tidak apa-apa. Sesama manusia harus saling menolong. Mbak Laras baik-baik saja, kan?"
"Baik, Mas. Maaf saya tinggal sebentar."
Lelaki itu melempar senyuman sambil mengangguk. Aku bergegas ke belakang sambil menangkup kemeja yang sudah tidak layak pakai.Warung ini berada di depan rumah warisan orang tuaku yang sudah meninggal. Rumahnya tidak besar, tapi cukup untukku yang sendirian. Aku membasuh wajah, menatap wajahku yang berantakan dari cermin di depannya. Beberapa bagian memerah karena perlawanan tadi.
Aku mendesah, tidak tahu apa yang terjadi seandainya orang tadi tidak datang menyelamatkan aku. Bukan tidak mungkin mantan gila itu menyeretku ke rumah untuk menuntaskan niatnya. Laki-laki kalau sudah gelap mata karena hasrat bisa nekad. Otak sudah dikuasai nafsu semata.
Setelah tenang, aku segera mengganti pakaian. Melempar kemeja dan rok kesayangan, berganti dengan kaos panjang dan celana panjang lebar berbahan kain. Sepertinya aku harus menggunakan baju seperti ini untuk menghindari niat jahat.
"Harus aku cuci dulu atau aku kembalikan sekarang, ya?" gumamku sambil menatap jas yang aku gantung. Aku menghidu di beberapa tempat. Aroma parfum yang menenangkan tapi bercampur bau keringatku.
Waduh!
Aku kembali ke warung sambil membawa nampan berisi teh hangat dan satu toples kue stik keju yang aku bikin kemarin. Adonan kue kering dengan keju berlimpah. Sengaja aku memunculkan rasa gurih dengan menambahkan gula seperempat takaran.
"Silakan dinikmati dulu." Aku menata yang aku bawa, kemudian duduk di seberangnya.
"Stik keju?" sahutnya sambil mengambil toples yang sudah aku buka. Dia langsung melahapnya dan berakhir dengan acungan jempol.
"Enak! Ini lebih enak daripada buatan orang rumah," ucapnya kemudian menyesap teh hangat.
Dahiku berkerut samar, mendengar kata 'orang rumah'. Bukankah pertanda lelaki ini sudah berkeluarga? Ah, benar kata Aditya. Lelaki seperti di depanku ini pasti dengan gampangnya mendapatkan wanita. Aku terlalu GR.
"Sekali lagi terima kasih. Jas nya saya cuci dulu. Tadi basah."
"Oh, gitu, ya? Sebenarnya tidak apa-apa. Tapi terserah, lah," sahutnya sambil melempar senyuman. Aku tawarkan makan sarapan, dia menolak. Berdalih makan stik keju dan teh manis ini saja sudah cukup. Iya, lah satu toples sudah nyaris habis.
"Maaf, saya bertanya. Sebenarnya Mas ini siapa?"
"Oh, ya saya lupa kita belum kenalan. Saya Mahendra. Mahendra Dinata." Aku menyambut uluran tangannya sambil menyebut nama lengkapku. Sudah tahu namanya, tapi ada yang membuatku penasaran. Kenapa orang bukan dari daerah ini ada di sini?
"Terus Mas nya mau kemana?" tanyaku sekali lagi.
Lelaki ini menghentikan tangannya yang akan mengambil stik lagi. Menepuk dahi sambil berucap, "Ya ampun! Kenapa saya lupa. Saya ke sini mau ambil pesanan nasi kuning!"
*****
Setelah pernikahan belum ada test kehamilan yang menunjukkan tanda dua strip atau tanda plus, membuatku menyerah. Bayang-bayang sebutan wanita mandul pun semakin menguat. Aku merasa putus asa. Apa yang usaha yang kurang aku lakukan? Semua nasehat, artikel, bahkan saran dari dokter pun aku lakukan. "Dek Laras, Istriku. Aku menikahi kamu itu untuk hidup bersama selamanya dalam suka dan duka. Anak itu adalah bonus, bukan tujuan utama pernikahan ini," ucap Suamiku menyemangatiku.Ucapan di mulut berbanding terbalik dengan sorot matanya yang berbinar ketika melihat bayi lucu. Bahkan tetangga sebelah yang mempunyai anak berumur satu tahun pun selalu digodanya. Terlihat jelas sekali dia merindukan kehadiran anak yang bisa diajarkan banyak hal. Katanya hasil tidak mengkhianati usaha. Nyatanya....Aku bahkan membeli buku tentang bagaimana pasangan cepat mendapat keturunan. Di dinding dapur, tertempel makanan yang harus aku dan Mahendra makan. Pola makanan sehat dan hidup sehat kami terapkan d
"Pak Mahendra, Mbak Laras, ada yang ingin bertemu. Monggo kita temuin mereka," ucap pengarah acara sambil menunjukkan ke arah yang membuatku terbelalak. Tidak pernah aku mengira akan menjadi seperti ini. Antrian mengular bukan karena untuk mengambil makan, justru mereka bersabar untuk mendapat giliran bersalaman dengan aku dan Mas Mahendra. Bahkan beberapa meminta ijin untuk berfoto selfi. "Mas Mahendra kenal dengan mereka?""Hmm? Tidak.""Tapi kok kelihatan akrab banget." Dia tertawa kecil. Semua yang datang di acara ini adalah mereka yang mendoakan kebahagiaan kita. Karenanya, mulai saat ini mereka adalah orang-orang kita. Tapi, bukankan mereka orang kampung sini?"Sekarang aku yang gelagapan. Terlihat sekali aku kurang bersosialisasi. Dulu ketika masih remaja lebih banyak bersembunyi di balik Ibu dan Bapak. Jarang sekali aku keluar rumah. Lulus SMA langsung menikah dan tidak di rumah lagi. Ketika sudah menjanda lebih nyaman menghindar dari mereka karena enggan dengan pertanyaan k
Suara musik dari depan mulai diperdengarkan. Suara keras tetapi merdu dan tetap enak ditangkap telinga. Ini permintaan khusus dari suamiku. "Dek, aku ingin semua yang hadir menikmati pesta tanpa jantungan karena musiknya terlalu keras. Apalagi yang datang banyak orang tua. Dan mereka masih bisa berbincang dengan orang sebelah tanpa teriak atau bisik-bisik di telinga."Saat itu aku mengiyakan saja. Mengingat kalau hajatan di kampung, pengeras suara sampai memekakkan telinga. Tidak jelas lagu apa yang diputar, seakan yang terpenting bikin huru-hara yang menunjukkan sedang berlangsung hajatan. Semuanya diurus oleh suamiku itu. "Yang penting kamu tidak banyak pikiran, Dek. Biar nanti saat dirias tidak terlihat cemas.""Memang pengaruh?""Kata tukang rias begitu. Kondisi emosi akan terpancar dari balutan make-up."Aku menatap bayanganku di depan cermin. Baju terusan berwarna putih dengan lengan pendek, dan potongan leher berbentuk V. Bahan yang berkelas menunjukkan keanggunan. Model ya
"Kasihan istrinya Aditya. Sebenarnya dia tadi itu mabok."Terkejut aku mendengarkan yang diucapkan suamiku. "Mabok? Maksudnya karena minum minuman keras?""Hu-um. Kalau tidak, mana dia berani mempermalukan diri seperti itu. Ditonton banyak orang.""Terus, kenapa ada orang yang menjemput dia?""Kamu tidak kenal dengan namanya Arya itu?"Aku menggelang. "Tidak, Mas. Walaupun Nayna sering bilang kalau dia temanku saat di SMA, aku tidak mengenal dekat dengannya. Apalagi saat selepas lulus.""Oh, gitu. Tadi selepas berbincang, aku meminta nomor telpon saudaranya yang bisa dihubungi. Istrinya Aditya sendiri yang memberikan nomor yang namanya Arya itu.""Oh, gitu. Berarti dia di tangan yang aman," ujarku merasa lega.Aku menghela napas. Sebegitu berat hidup Nayna sampai melakukan hal seperti itu. "Sebenarnya aku kasihan dengan dia, Mas. Anaknya masih bayi, suaminya seperti itu, dan sekarang suaminya malah masuk penjara.""Iya betul. Kabarnya, warungnya juga bangkrut." Aku tersenyum miris. Wa
POV Larasati Antara marah, gemas, bingung, dan kasihan. Rasa itu bercampur aduk saat melihat perempuan ini.Aku merasa tidak mempunyai salah kepadanya, tetapi kenapa dia terlihat dendam denganku? Bukannya seharusnya aku yang marah dengannya karena mengganggu rumah tanggaku yang terdahulu?"Yang menjadi korban tidak hanya aku, Nayna. Walaupun aku mencabut laporan, belum tentu suamimu bebas."Bukannya mengerti, dia justru semakin menjadi. Segala sumpah serapah dilontarkan. Bahkan orang yang berkerumun pun diserangnya karena menyebutnya perempuan tidak waras. "Kamu Laras. Seperti dewi tetapi sebenarnya kamu penghancur!""Maaf. Aku tidak pernah menghancurkan siapapun. Apalagi kamu yang aku tidak kenal. Bukankan kamu sendiri yang menenggelamkan hidup kamu menjadi seperti sekarang ini?" Aku tersenyum miring, teringat pertengkaran orang di kamar sebelah ketika di hotel. Yang aku yakin itu adalah Nayna. Sebenarnya aku bisa saja membuka fakta kalau dia menjebak Aditya dengan kehamilan yang
POV Nayna Aku mengidolakan dia sekaligus membencinya.Kalau teman sebaya mengidolakan artis, lain denganku yang mengidolakan teman satu sekolahan. Di mataku dia orang yang sempurna. Cantik, pintar, baik hati, tidak sombong, tetapi ada satu yang membuatku kecewa: dia tidak menjadikan aku temannya apalagi sahabatnya.Namun, bukan berarti aku menyerah untuk mendekatinya. Dulu ketika kami masih SMA, aku bahkan rela tidak jajan di kantin untuk ikut kebiasaannya membaca di perpustakaan saat jam istirahat. "Boleh aku duduk di sini?" "Silakan," jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari buku bacaannya.Aku duduk dengan tumpukan buku yang senada dengannya. Meskipun aku tidak tahu arti dari hukum fisika apalagi rumus kimia. Tak apalah, demi dekat dengan dia. Bukankah kita harus sehobby untuk menjadi teman?"Bagus bukunya?" Aku mencoba memancing percakapan. Harapanku, aku dan dia menjadi lebih dekat. Siapa yang tidak bangga berteman dengan Larasati si bintang sekolah. Dia melirikku s