Share

Bab 5

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-06-14 01:36:55

"Masnya dibayar berapa sama Laras? Mau-maunya diajak main sinetron tidak berkualitas seperti ini?"

Aditya mencibir kemudian tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Kedua tangan ini mengepal erat. Ingin rasanya melempar meja ke arah wajahnya yang menyebalkan. Tidak mungkin aku menuntut lelaki yang tidak aku kenal ini bersikeras dengan kebohongan.

Terserah.

Aku terduduk, hanya bisa pasrah, bersiap diri dengan kemungkinan yang terakhir. Seandainya lelaki disampingku ini mengaku kalau ini sandiwara, aku akan lari. Mungkin ke rumah pak RT untuk minta bantuan.

"Ngaku aja kalian bersandiwara, kan?"

Tatapanku nanar ke arah lelaki yang sedari tadi menghinaku. Rasa sedih, marah. kecewa, bercampur aduk menyesakkan dada.

"Mas Aditya ...."

"Iya, Dek Laras?" ucapnya sembari membungkukkan badan. Kepala meneleng sambil menyeringai penuh kemenangan, menunggu pengakuanku.

"A-aku mengaku kalau___"

Aku terkesiap, menghentikan ucapan ketika tangan besar menangkup lenganku, merapatkan tubuhku padanya. Seakan menenangkan lelaki menjulang ini mengusap-usap ujung bahu.

"Biarkan aku yang bicara, Beb," ucapnya dengan tersenyum dan mengangguk padaku.

"Tapi, Mas. Aku tidak mau membebanimu."

"Membebani apa? Apa memberi kabar baik itu termasuk beban? Itu akan menjadi beban bagi orang yang kehilangan harapan."

Seperti lelaki yang melindungi wanitanya, dia menarikku ke belakang. Seolah-olah menyembunyikan diriku dari serangan Aditya.

Mantan suamiku itu pun mengundurkan badannya. Seringai di mulutnya berangsur-angsur pudar.

"Ada siapa tadi? Mas.... Mas Aditya, ya? Duh saya kok lupa. Memang kalau sesuatu yang tidak penting sudah diingat."

Aditya tertawa kecil. Tangannya bersendekap dengan mata menyelidik. Aku tahu walaupun dia mengesalkan tapi dia orang yang pintar. Walaupun kebablasan karena tidak menghargai orang lain.

"Kami memang menyembunyikan ini. Tapi karena ini mendesak, saya mengaku kalau kami tidak sekadar pacaran atau hanya calon. Kami___"

"Oh, tidak sekadar pacaran," sahut Aditya menyela. Senyumnya menyeringai kembali kemudian mendekat sambil berbisik, "Teman tidur maksudnya. Pantas saja dia tadi menolakku. Ternyata sudah ada penyaluran."

"Mas Aditya! Bicaranya ngawur!" seruku tidak terima. Ucapannya sama aja menuduh aku kumpul kebo

"Halah! Kita sama-sama dewasa. Sudah punya kebutuhan itu. Makanya aku heran, kamu kok betah puasa begitu lama. Aku saja puasa karena Nayna melahirkan saja sudah sakit kepala."

"Itu kalau anda. Laras ini wanita bermartabat. Karenanya kami akan menikah dalam waktu dekat!" ucap lelaki itu dengan tegas.

Sontak aku terkejut setengah mati. Niatku hanya bersandiwara demi mengusir mantan suami yang penasaran, eh malah terjebak.

Mati aku!

Aditya bukan orang yang gampang percaya. Bisa jadi dia semakin tersulut dan menuntut.

"Mas!" teriakku.

Alih-alih berhenti, lelaki kekar ini justru meraih tanganku. Menggenggam erat kemudian menciumnya dengan lembut.

"Beb. Aku tidak mau keduluan orang. Aku sangat menyayangimu," ucapnya lembut, tidak peduli dengan Aditya yang melongo. Terlebih aku yang semakin bingung dengan perkembangan alur yang di luar prediksi.  

Kemudian, aku dibimbingnya untuk duduk di bangku. Saat mendudukkan aku, dia berbisik. "Tunggu sebentar. Akan aku bereskan serangga ini."

Aku masih tidak mengerti maksudnya. Namun, ketika dia menderap ke arah Aditya....

"Dan kamu, ya!" teriaknya sambil menunjuk Aditya. "Dari tadi aku sudah bersabar! Tapi semakin disabari kamu semakin melunjak!"

Wajahnya tampak garang. Kemarahan seakan mulau berkobar, terlihat dari telinga dan wajahnga yang putih mulai memerah

'Wah, hebat sekali akting orang ini,' bisikku dalam hari bersorak. Melihat mantan gila ini terlihat keder.

"Sekali lagi saya dapati kamu mengganggu Larasku, akan aku hajar kamu!" serunya sambil mengangkat tangan kanan yang terkepal.

"Ja-jadi kalian beneran?" cicit Aditya memandang kami bergantian.

"Iya! Masih tidak percaya? Aku perlu aku tinju kamu supaya otakmu encer, hah! Dasar bebal!" Kali ini tidak hanya memamerkan kepalan. Lelaki itu juga menarik kerah Aditya.

Wajah Aditya terlihat panik. Sorot matanya ke arahku seakan meminta bantuan. Aku balas dengan senyuman dan kedua bahu terangkat tanpa tidak bisa melakukan apa-apa.

"Mau pergi, gak!?!"

"I-iya. Sa-saya pergi," jawab Aditya bergetar.

Saat kerah dilepaskan, lelaki tukang selingkuh itu lari tunggang langgang.

Beberapa saat suasana menjadi lengang. Aku menghampiri lelaki asing yang terduduk sambil meraih air botolan. Seperti terburu-buru, meneguknya sampai tandas, bahkan beberapa membuat kemejanya basah. Warna putih tidak menyembunyikan otot-otot yang terrsembunyi di baliknya.

"Ma-maaf, Mas. Saya merepotkan. Mas nya yang tidak tahu apa-apa malah terikut masalah. "

"Tidak apa-apa. Sesama manusia harus saling menolong. Mbak Laras baik-baik saja, kan?"

"Baik, Mas. Maaf saya tinggal sebentar."

Lelaki itu melempar senyuman sambil mengangguk. Aku bergegas ke belakang sambil menangkup kemeja yang sudah tidak layak pakai.

Warung ini berada di depan rumah warisan orang tuaku yang sudah meninggal. Rumahnya tidak besar, tapi cukup untukku yang sendirian. Aku membasuh wajah, menatap wajahku yang berantakan dari cermin di depannya. Beberapa bagian memerah karena perlawanan tadi. 

Aku mendesah, tidak tahu apa yang terjadi seandainya orang tadi tidak datang menyelamatkan aku. Bukan tidak mungkin mantan gila itu menyeretku ke rumah untuk menuntaskan niatnya. Laki-laki kalau sudah gelap mata karena hasrat bisa nekad. Otak sudah dikuasai nafsu semata. 

Setelah tenang, aku segera mengganti pakaian. Melempar kemeja dan rok kesayangan, berganti dengan kaos panjang dan celana panjang lebar berbahan kain. Sepertinya aku harus menggunakan baju seperti ini untuk menghindari niat jahat.

"Harus aku cuci dulu atau aku kembalikan sekarang, ya?" gumamku sambil menatap jas yang aku gantung. Aku menghidu di beberapa tempat. Aroma parfum yang menenangkan tapi bercampur bau keringatku. 

Waduh!

Aku kembali ke warung sambil membawa nampan berisi teh hangat dan satu toples kue stik keju yang aku bikin kemarin. Adonan kue kering dengan keju berlimpah. Sengaja aku memunculkan rasa gurih dengan menambahkan gula seperempat takaran.

"Silakan dinikmati dulu." Aku menata yang aku bawa, kemudian duduk di seberangnya. 

"Stik keju?" sahutnya sambil mengambil toples yang sudah aku buka. Dia langsung melahapnya dan berakhir dengan acungan jempol.

"Enak! Ini lebih enak daripada buatan orang rumah," ucapnya kemudian menyesap teh hangat.

Dahiku berkerut samar, mendengar kata 'orang rumah'. Bukankah pertanda lelaki ini sudah berkeluarga? Ah, benar kata Aditya. Lelaki seperti di depanku ini pasti dengan gampangnya mendapatkan wanita. Aku terlalu GR. 

 "Sekali lagi terima kasih. Jas nya saya cuci dulu. Tadi basah."

"Oh, gitu, ya? Sebenarnya tidak apa-apa. Tapi terserah, lah," sahutnya sambil melempar senyuman. Aku tawarkan makan sarapan, dia menolak. Berdalih makan stik keju dan teh manis ini saja sudah cukup. Iya, lah satu toples sudah nyaris habis.

"Maaf, saya bertanya. Sebenarnya Mas ini siapa?"

"Oh, ya saya lupa kita belum kenalan. Saya Mahendra. Mahendra Dinata." Aku menyambut uluran tangannya sambil menyebut nama lengkapku. Sudah tahu namanya, tapi ada yang membuatku penasaran. Kenapa orang bukan dari daerah ini ada di sini?

"Terus Mas nya mau kemana?" tanyaku sekali lagi.

Lelaki ini menghentikan tangannya yang akan mengambil stik lagi. Menepuk dahi sambil berucap, "Ya ampun! Kenapa saya lupa. Saya ke sini mau ambil pesanan nasi kuning!"

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 39

    "Tunggu sebentar," ucapnya setelah menggerutu. Dia beranjak dan keluar dari kamar. Kembali aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Mataku tertuju pada tirai yang begerak-gerak terkena angin pendingan ruangan. Perlahan aku singkap tirai berwarna hijau tosca, terhalang vitras warna senada nampak taman yang dilengkapi kandang burung berukuran besar."Pantas saja suara burung terdengar jelas," gumamku sambil melongokkan kepala pada jendela kaca berukuran lebar ini. Burung-burung itu bergerak dengan leluasa. Aktif seperti gembira menyambut pagi. Berukuran kecil dan berwarna-warni. Indah. "Kalau mau keluar, lewat sini." Aku menoleh. Tanpa aku sadari ternyata Mahendra sudah kembali ke kamar. Dia membuka tirai hijau itu lebar-lebar. Ternyata di sebelah pinggir itu pintu yang terbuat kari kaca juga. "Tamunya sudah pergi?""Sudah. Tadi anak-anak karang taruna minta iuran untuk Agustusan. Sini," serunya lagi sambil menarik tanganku.Mataku terbelalak melihat ke kanan dan ke kiri. Ternyata

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 38

    Dalam kungkungannya, kami saling bersitatap dalam diam. Rasanya aku ingin segera tenggelam dalam tatapannya yang sendu ini. Seakan sepakat, dia mulai menyentuh dan aku pun memberikan keleluasaan. "Kamu tahu tidak, sejak di Bali aku kangen banget sama kamu," bisiknya saat mengambil jeda. Tangannya membelai tanpa melepas tatapan. "Iya? Bukankan di sana banyak wanita sexy berbikini." "Justru itu. Yang bikin aku tambah kangen. Mau cium dan peluk tapi kamu tidak ada. Seperti ini," ucapnye sebelum mengutip napas. Memberi sentuhan yang menjadikan tidak ingin berhenti. Satu persatu yang dikenakan pun tanggal. Mulai jaket, kemudian kancing pun satu persatu lolos, begitu juga penutup atas lepas dari kaitan. Kebutuhan orang dewasa mulai menunjukkan keberadaannya. Melepaskan diri dari akal sehat dan justru menuntut menenggelamkan diri lebih dalam. "Jangan..." Suaraku mencicit tapi tersapu dengan dengkusan. Dia yang menuli, sudah bermain di atasku. Tangan ini yang sempat mencekal, jus

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 37

    "Apa seperti ini gaya hidup orang kota?" gumamku. Pandangan mata ini mengikuti langkah pasangan yang berlalu di depanku. Wanita yang tadi mencium Mahendra itu bergelayut manja pada lelaki yang berpenampilan bak model. Mereka seperti pasangan artis. Si wanita dengan sepatu tinggi berwarna merah dan baju sexy yang menunjukkan body seperti peragawati. "Terus apa maksudnya dia mencium pacar orang? Apa mungkin itu hanya say hello seperti di film-film itu, ya?" Rasanya lega. Ternyata wanita itu bukan siapa-siapa. Mungkin aku harus memperlebar sudut pandang supaya tidak selalu mencurigai kekasihku itu. Kembali aku menelisik penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Senyum mengembang seketika ketika pria yang menjulang itu nampak setelah rombongan ibu-ibu berlalu. "Mas Hendra!" Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi. Dia yang mengedarkan pandangan langsung tersenyum lebar saat pandangan kami bersitatap. Tergesa, langkah nya pun lebar-lebar dengan kedua tangan terentang. "Dek Laras

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 36

    "Aku pernah baca. Kisahnya gini: ada pemuda alim dia tidak pernah melakukan dosa kecil apalagi dosa besar seperti membunuh atau memperkosa," ucapanku berhenti. Aku jeda dengan minum air putih. "Maaf, haus." "Terus?" Senyumku mengembang melihat kekasihku ini memperhatian omonganku. "One day, dia ingin sekali saja mencoba satu dosa. Yang kecil aja, lah. Tidak menyakiti orang lain. Tahu apa yang dia coba?" "Apa?" "Minum minuman beralkohol sampai mabok. Tahu apa yang selanjutnya terjadi?" Mata Mahendra mengerjap sambil menggelengkan kepala. Dalam hati sebenarnya gemas. Rambut yang acak-acakan menjadikan dia terlihat welcome untuk dipeluk. Tak sadar, aku mengulum bibir sendiri. "Apa, Dek? Ayo lanjut." "Eh, iya. Dia hilang akal. Tidak menguasai pikirannya. Saat itu dia kembali pulang dengan susah payah. Karena kesadarannya belum pulih, dia salah masuk rumah. Yang dimasukin rumah wanita cantik. Pemuda ini tidak menguasai diri dan memaksa wanita ini untuk melayani dia." "Wah,

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 35

    "Isabelle datang bersama pacarnya, Dek. Kebetulan ada dia tidak bisa gabung dengan kami karena harus ke Lombok. Jadi kamu jangan mikir aneh-aneh." "Siapa yang berpikir aneh-aneh, Mas. Aku tidak masalah kamu makan malam sama siapa, atau menghabiskan malam sampai jam berapa," sahutku sambil membuang pandangan ke arah lain. Melalui sudut mata, aku menangkap dia tersenyum. Kekasihku ini kemudian menjelaskan kalau mereka di Bali tinggal selama musim dingin. Ketika di negaranya tidak bisa beraktifitas karena salju, mereka ke sini untuk berbisnis sekaligus liburan. Ya bersama kekasih atau keluarga. "Mereka sewa villa di sini. Menikmati kehidupan bahkan berbaur dengan penduduk." "Oh, jadi mereka seperti tinggal sementara di sini, ya?" "Betul banget. Sudah, ya. Aku kembali kepada mereka. Biar cepat pulang. Aku ngantuk dan pengen cepat tidur," ucapnya kemudian berhenti sambil mengerlingkan mata. "aku pengen cepat bermimpi ketemu kamu. Kalau dalam mimpi kamu kan bisa dipeluk dan diapa-ap

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 34

    Aku menajamkan mata berkali-kali ke layar lap top, tetapi yang aku lihat benar-benar tidak salah. Nominal di mutasi rekening bank menunjukkan ada dana masuk bukan seratus juta seperti dijanjikan Mahendra. Namun, ini tiga ratus juga. Tidak ada catatan atau pesan apapun, tiba-tiba merubah kesepakatan. Selalu begitu, mengirim uang lebih yang tidak kira-kira. Segera aku mengambil ponsel. Kemarin dia pamit ke Bali ada urusan bisnis, katanya. Lebih baik aku tidak telpon. Siapa tahu dia masih sibuk. Aku foto layar lap top, kemudian aku kirim pesan. [Mas Hendra, ini salah transfer, ya? Kok tiga ratus? Bukankan kemarin kita sepakat seratus juta?] send. Centrang pada pesan masih belum berubah warna. Tanda belum dibaca. Atau mungkin dia sudah ketiduran? Mata ini bergulir ke arah jam dinding. Jam dinding dari kayu antik oleh-oleh dari pengrajin kemarin. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Sudah malam tapi masih sore bagi kekasihku itu untuk berlabuh di ranjang. 'Sibuk mungkin,' uca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status