Home / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 8: Desakan Yang Menyebalkan

Share

Bab 8: Desakan Yang Menyebalkan

Author: Nanasshi
last update Last Updated: 2025-01-11 09:27:03

Langit-langit ruang makan keluarga Wihardjo dipenuhi ukiran-ukiran kayu yang rumit, seolah mencoba mencerminkan kekayaan dan keanggunan yang tak terbantahkan. Lampu gantung kristal di atas meja panjang berkilauan lembut, memantulkan cahaya ke piring-piring porselen yang berisi hidangan mahal. Namun, kemewahan itu tidak mampu menyamarkan atmosfer yang dingin dan penuh tekanan.

Karana duduk tegak di kursinya, ekspresinya tak tergoyahkan seperti biasa. Di sampingnya, Hasya tampak tenang, meski dalam hatinya ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di ladang duri. Ayah Kara, Tuan Aditya Wihardjo, duduk di ujung meja dengan tatapan tajam yang tak memberikan ruang untuk perbedaan pendapat.

“Karana,” suara berat pemilik nama belakang Wihardjo memecah keheningan. “Aku harap kau sudah mulai memikirkan soal momongan. Usia tidak menunggu siapa pun.”

Kara meneguk air putihnya perlahan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang merayap di balik matanya. “Kami sudah memikirkan hal itu, Ayah,” jawabnya singkat.

Tapi jawaban Kara tidak cukup memuaskan ayahnya.“Memikirkan saja tidak cukup. Kalau perlu, kalian bisa pergi ke luar negeri, konsultasi dengan dokter terbaik. Aku bisa mengatur semuanya.”

Kara menggenggam gelasnya lebih erat, jari-jarinya memutih. “Ayah, aku dan Hasya sedang mengurus banyak hal. Kami akan mempertimbangkannya di waktu yang tepat.”

Alice, sepupu Kara yang duduk di sebelah ibu tiri Kara, menutup mulutnya seolah menahan tawa kecil. “Oh, Karana Wihardjo, selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku kadang bertanya-tanya, apakah kau benar-benar ingin punya keturunan?”

Komentar itu menusuk seperti belati yang dilapisi sutra. Ibu tiri Kara menambahkan dengan nada manis yang beracun, “Tentu saja Karana pasti ingin. Tapi, siapa tahu… mungkin ada alasan lain kenapa belum ada kabar baik?”

Hasya, yang sedari tadi berusaha menahan diri, merasa darahnya mendidih. Ia tahu hubungan Kara dengan keluarganya tidak selalu harmonis, dan sindiran ini hanyalah sebagian kecil dari tekanan yang diterima wanita itu setiap hari.

Hasya akhirnya membuka suara, nadanya tegas namun penuh kehangatan. “Kami sedang berusaha, tante,” katanya, matanya menatap Alice dan ibu tiri Kara bergantian. “Tidak semua hal harus diumumkan kepada dunia. Beberapa hal butuh waktu dan kesabaran.”

Alice menyipitkan mata, merasa tertantang. “Oh, benar begitu? Kalau begitu, kalian harus membuktikannya.”

Hasya tidak menjawab dengan kata-kata. Ia memutar tubuhnya ke arah Kara dan, di depan semua orang, ia mencium pipinya dengan lembut namun penuh makna. “Kami sedang berusaha,” ucap Hasya pelan, tapi cukup keras untuk didengar semua orang di meja itu. “Jadi, tolong beri kami waktu.”

Kara tentu saja terkejut. Ia tidak mem-briefing Hasya demikian tadi. Tidak ada skinship yang ia haruskan pada Hasya hanya untuk membalas ucapan dua rubah di depan mereka.

Tapi Kara melirik sekilas pada ayahnya, menemukan senyuman yang penuh arti tatkala melihat bagaimana Hasya memperlakukannya dengan manis tadi.

"Terima kasih, sayang," jawab Kara seraya menggenggam tangan Hasya. "Terima kasih karena kamu sudah menjadi suami yang paling pengertian."

Hasya mengangguk kecil. Ia lantas mecubit gemas ujung hidung Kara, yang jelas membuat perempuan itu sedikit terkejut. Itu benar-benar tidak ada di dalam skrip drama keduanya!

Alice dan sang ibu tiri yang melihat kelakuan kasmaran dua manusia di depan mereka, hanya bisa mendecih kesal. Niat mereka mengompori soal momongan adalah untuk membuat keduanya bertengkar dan saling tidak nyaman. Bukan justru saling melakukan lovey-dovey seperti ini.

Termasuk Alice, yang diam-diam tidak menyangka bahwa ternyata Kara jago juga bersandiwara.

^^^

Setelah makan malam yang menegangkan itu, Kara dan Hasya pulang ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan, Kara tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang keluar jendela mobil, matanya kosong seperti langit malam yang kehilangan bintang.

Di apartemen, Kara langsung melepas sepatunya dan berjalan ke balkon. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang tertahan di udara.

Hasya mengikutinya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di samping Kara, membiarkan kesunyian berbicara untuk mereka.

“Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan,” akhirnya Kara membuka suara, suaranya serak dan rendah. “Tapi kenapa rasanya mereka selalu berhasil membuatku merasa kurang?”

Hasya memandang Kara dengan lembut. “Mereka hanya mencoba mengendalikanmu. Seperti biasa.”

Kara mendengus, bibirnya melengkung dalam senyuman pahit. “Aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi kali ini… rasanya berbeda.” Ia menoleh, matanya bertemu dengan mata Hasya. “Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kekacauan ini.”

“Sudah terlambat untuk itu,” kata Hasya dengan nada ringan, mencoba meredakan suasana. “Aku sudah berada di tengah kekacauan ini. Dan aku tidak keberatan.”

Kara menatap Hasya, mencoba mencari kebohongan dalam kata-katanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.

“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Kara pelan.

“Melakukan apa?”

“Melindungiku. Membelaku di depan mereka.”

Hasya tersenyum kecil, senyuman yang membawa kehangatan di tengah udara malam yang dingin. “Karena aku tahu bagaimana rasanya berada di bawah tekanan. Dan karena…” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Karena aku peduli padamu.”

Kara mengernyit bingung. 'Kata peduli' yang dilontarkan Hasya terasa ambigu di telinganya. Ia sudah jelas, menarik batas di antara mereka berdua. Bahwa hubungan ini adalah sebuah sandiwara dan bentuk kerja sama semata. Sebuah simbiosis mutualisme. Kara yang terhindar dari tuntutan menikah dan Hasya yang mendapatkan uang untuk pengobatan.

Sudah.

Hany itu.

Lantas kenapa, ketika Hasya mengatakan soal kepedulian, Kara jadi bingung sendiri.

Padahal, mungkin saja, iya mungkin, Kara memang berperan peduli sebagaimana ia seharusnya berlakon sebagai suami yang baik. Bukan benar-benar peduli selayaknya orang yang dekat dengannya. Peduli yang bear-benar datang dari hati.

Iya, Kara harus berpikir demikian.

"Kamu jangan peduli padaku, Hasya." Kara berbalik, hendak masuk dan meninggalkan Hasya di balkon. Dalam posisi membelakangi Hasya, Kara kembali bicara. "Karena kita bukan orang yang benar-benar dekat dan harus melakukan itu."

Lalu Kara pergi. Meninggalkan Hasya yang termangu lalu menghela napas panjang.

"Dasar perempuan keras kepala," gumam Hasya pelan.

^^^^

Pagi itu, Kara menemukan Hasya di dapur, sedang membuat kopi. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa kehangatan yang anehnya terasa menenangkan. Padahal jelas, semalam, sebelum tidur, ia meninggalkan Hasya d balkon dengan kalimat yang terasa sangat dingin.

"Pagi, nona." Hasya menyapa seraya menoleh dan tersenyum pada Kara.

Perempuan tu hanya mendehem, tidak membalas ucapan laki-laki itu. Kara lalu duduk di stool dan mmperhatikan gerakan cekatan Hasya dalam mengolah makanan. Kara masih terpekur dalam diam ketika tiba-tiba Hasya meletakkan secangkir kopi di hadapan perempuan itu.

Kara mengernyit, menatap Hasya -setengah mendongak. "Aku bisa buat kopi sendiri."

Hasya kembali tersenyum, sekalipun tangannya masih sibuk dengan spatula. "Tapi tidak da salahnya 'kan kalau ada orang yang berbaik hati membuatkannya untukmu? Lagi pula, kopinya enak kok."

Kara diam, meraih cangkir yang disodrkan Hasya. Perempuan itu menyesapnya pelan. Tidak menjawab ucapan Hasya. Tapi ia setuju soal kopi buatan Hasya yang enak.

"Nah sekarang, nasi goreng spesial sudah siap. Selamat menikmati sarapan."

Kara kembali menatap Hasya. "Aku tidak sarapan di pagi hari selain secangkir kopi," tandas Kara dengan suara yang dingin.

Hasya menggeleng. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "No. no, no. Mulai sekarang kamu harus sarapan. Kamu ingat semalam ayah membahas apa?" Hasya trsenyum iseng. "Hanya minum kopi di pagi harii, itu sangat~ tidak baik untuk perempuan yang sedang melakukan promil."

Kara mendengus. Ia menatap Hasya yang terkekeh jahil.

Laki-laki itu mengejknya soal 'promil' yang jelas-jelas tidak mereka lakukan.

Bagaimana mau promil kalau sendirinya pernikahan yang keduuanya lakukan hany sebuh hubungan kerja sama?

Bagaimana ppula mereka mau melakukan promil kalau interaksi keduanya hanya paling jauh ... berciuman. Tidak lebih.

"Kamu mengejek?" tanya Kara masih dengan ekspresi yang dingin.

Hasya menggeleng. "Tidak. Aku nggak mengejek. Aku cuma sedang menyiapkan saapan pagi agar kamu mulai makan dengan teratur." Hasya lalu melihat jam tangan di pergelangan tangannya. "Tenang saja, masih banyak waktu sebelum kita berangkat kekantor, istriku," goda Hasya seraya menyendokkan nai goreng dan mengangsurkan sendok tersebut di depan mulut Kara.

Kara bergeming. Hasya memasang wajah lucu sambil memohon.

"Baiklah, kali ini saja."

Hasya tersenyum saat Kara akhirnya menrima suapannya. Perempuan itu lantas meraih piring dan sendok dari Kara, enggan disuapi lagi.

"Anak baik," puji Hasya.

Kara tertegun. Merasa berdebar tanpa alasan.

Hanya karena tangan Hasya mengusap puncak kepalanya saat mengatakan 'anak baik' tadi.

Wah ... sepertinya Kara mulai tidak waras!

^^^^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 35 : Ending Story About Kara-Hasya

    Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 34 : Alice Biang Kerok

    Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 33 : Konferensi Pers

    Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 32 : Rahasia Terbongkar

    Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 31 : Hasya Galau

    Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 30 : Rahasia yang Diketahui Dhea

    Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status