Home / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 7 : Sekilas Kenangan Lama

Share

Bab 7 : Sekilas Kenangan Lama

Author: Nanasshi
last update Last Updated: 2025-01-10 21:21:18

Hasya duduk di ujung meja makan yang panjang dan mewah, memandangi piring porselen yang tampak lebih mahal daripada seluruh perabotan di rumah lamanya. Di hadapannya, Kara sedang membaca sesuatu di ponselnya sambil sesekali menyeruput kopi pagi.

Di antara mereka, terasa sunyi. Tidak ada satu yang berbicara. Hanya suara detak jarum jam dan robot penghisap debu yang bolak-balik di bawah meja yang terdengar. Lalu setelahnya, helaan napas Kara yang terdengar. Perempuanitu menatap Hasya sebentar dan kembali menekuri ponselnya.

“Hasya,” Kara memanggilnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

“Ya?” Hasya menegakkan punggungnya.

“Kamu bisa santai sedikit, tahu?” Kara akhirnya mendongak dan menatap Hasya dengan alis terangkat. “Kamu terlihat seperti tamu yang takut menyentuh barang di sini.”

Hasya tersenyum kikuk. “Aku nggak terbiasa dengan semua ini.”

Kara mendengus kecil. “Kamu tinggal di sini sekarang. Bukan tamu. Bersikaplah seperti itu." Perempuan itu meraih kembali cangkir kopinya. "Kamu cepat sekali akrab dengan bibir dan tubuhku, bahkan tidak ada kecanggungan sama sekali. Lantas kenapa kamu harus emrasa canggung dengan segala yang ada di rumah ini?"

Hasya memandang peremmpuan itu, telinganya tiba-tiba menjadi merah. Ia merona. Ia malu. Ucapan Kara sepertinya tepat sasaran.

"Kamu merona," ledek Kara. "Usia awal 20-an memang sedang menggebu-gebu ya soal skinsip."

Hasya mendengus. Ia tidak suka sekali sikap blak-blkan perempuan itu. Apalagi, mengingatkan ia pada bermalam-malam lalu -lebih tepatnya malam pertama mereka- yang terasa cukup panas namun berhenti di tengah-tengahnya.

"Maaf, lain kali aku akan lebih hati-hati," jawab Kara seraya bangkit. Ia hendak masuk ke dalam kamarnya. Kata ganti yang tepat, karrena setelah malam pertama yang hampir menanggalkan bathrobe Kara malam itu, perempun itu memutuskan untuk keduanya tidur terpisah.

Kara meletakkan ponselnya, memandang Hasya pekat. "Kamu memang harus berhati-hati soal skinship denganku. Kalau kamu lupa, pernikahan kita hanya hitam di atas putih." Kara turut bangkit, meraih tasnya dan mendekat pada Hasya yang berdiri di depan pintu kamar. "Tapi di luar, ketika banyak mata yang melihat, kamu harus bersikap seperti malam itu. Agresif tapi malu-malu." Kara terkekeh pelan. "Agar mereka percaya, pernikahan kita nyata, menyenangkan dan panas."

Kara lantas menepuk pundak Hasya ppelan sebelum akhirnya berlalu. Meninggalkan Hasya yang terkekeh pelan. Karena sejujurnya, ia tidak tahu mengapa sekarang di kepalanya, bersarang banyak ide untuk mempermainkan Kara ketika di hadapan publik.

Bukankah perempuan itu sudah memberikan izin dan sekaligus menyuruhnya berlaku demikian?

LIhat saja.

^^^^

17 tahun lalu, Kediaman Hasya

Hasya kecil berdiri di depan peti mati orang tuanya, menggenggam tangan kakaknya, Ayu, erat-erat. Air mata tidak menetes di pipinya, selayaknya memang ia tahan sekuat tenaga. Ia -sekalipun anak kecil- tetaplah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Ia yang melihat Ayu -sanng kakak- menangis hingga pingsan, menjadikannya bertekad.

Ia tidak akan menangis.

Ia anak laki-laki.

Ia yang akan menjaga Ayu.

Nyatanya, hidup pedih tidak pernaha berhenti menjelajah hidup Hasya. Saat peran orang tua diambil alih oleh Ayu, tepatnya ketika di pertengahan masa kuliahnya, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ayu tiba-tiba tidak bisa melihat ketika bangun disuatu pagi. Matanya buram dan lama-kelmaan menjadi gelap seutuhnya.

Hasa yang panik terus berusaha membawa Ayu ke tempat-tempat yang katanya bisa menyembuhkan. Dokter, pengobatan alternatif, hingga pengobatan herbal. Ia lakukan segalanya, dengan modal seadanya, sebisanya, sebagai seorang anak muda.

Tapi dokter tetap bersikukuh, Ayu harus segera menjalani pengobatan. Tentu saja, ia butuh uang yang banyak dengan deretan nol yang membuat Hasya pusing melihatnya.

Dalam tertatih itu, setelah tahun-tahun dilewati Hasya dengan harapan yangs emakin menciut, nyatanya Tuhan berbaik hati juga. Ia bertemu dengan Kara dan terlibat perjanjian dengannya.

Hasya sedih?

Tidak juga.

Baginya, Ayu yang bisa melihat lagi, lebih dari apapun. Apalagi bila hanya dibandingkan dengan perasaannya. Itu tidak ada apa-apanya.

^^^^

Masa Sekarang, Setelah Pernikahan

Kara berdiri di depan pintu kamar Hasya, memandang pintu yang sedikit terbuka. Ia bisa melihat Hasya duduk di tempat tidur, membaca buku dengan ekspresi serius.

Ia teringat percakapannya dengan Hasya tadi pagi. Laki-laki itu benar-benar terlihat seperti anak kecil yang tersesat di dunia orang dewasa.

“Kenapa dia begitu kaku?” gumam Kara pada dirinya sendiri. Sebagai seseorang yang selalu mendominasi di ruang mana pun, Kara merasa aneh menghadapi seseorang seperti Hasya.

Tapi ada sesuatu yang membuatnya lucu—cara Hasya mencoba beradaptasi, cara ia menghindari tatapan matanya, bahkan cara ia selalu memanggilnya “Bu Kara” dengan nada formal.

Kara mengetuk pintu, membuat Hasya mendongak dengan kaget.

“Boleh masuk?” tanyanya sambil melipat tangannya di depan dada.

“Eh, tentu saja,” jawab Hasya, langsung bangkit dari tempat tidur.

Kara melangkah masuk, melihat buku yang sedang dibaca Hasya. “Apa itu?” tanyanya.

“Oh, ini... buku tentang strategi bisnis,” jawab Hasya sambil memperlihatkan sampulnya.

Kara mengangkat alis. “Kamu tertarik dengan bisnis?”

Hasya mengangguk. “Aku pikir, kalau aku mau bertahan di dunia ini, aku harus belajar.”

Kara terdiam sejenak, merasa kagum meskipun tidak mengatakannya. Lalu ia tersenyum tipis. “Bagus. Tapi jangan terlalu serius. Kadang kamu harus bersantai juga.”

Hasya hanya tersenyum kecil, tidak tahu bagaimana menanggapi saran itu.

"Kalau kamu serius ingin belajar soal perusahaan, besok ... aku akan meminta Pak Sultan untuk mengajari kamu seglanya. Dia orang hebat dan kepercayaan Wihardjo."

Mata Hasya berbinar. Ia senang tentu saja. Sekalipun menyenangkan menjadi istri Karana Wihardjo dan jadi menantu konglomerat, tetap saja ini semu. Hanya satu tahund an ia akan kembali ke rumah kumuh miliknya.

Andai sekalipun tidak ada uang yang bisa ia bawa, membawa bekal berupa pengetahuan dari orang yang kredibel juga tidak buruk. Dengan begitu, ia bisa memulai kariernya nanti dengan lebih baik. Dengan pengetahuan yang lebih mumpuni. Saat Kara menceraikannya.

Duh ... kenapa Hasya merasa sedikit sedih memikirkannya.

"Serius? Wah ..." Hasya mendekat, meraih tangan Kara dan terlonjak senang di depan perempuan itu. Ia lantas tiba-tiba sekali, memeluk Kara. "Terima kasih ya, Kara. Terima kasih."

Kara tidak menjawab. Ia tertegun sejenak namun jelas, dadanya sedikit aneh?

Ia berdebar-debar, ternyata.

^^^^

Dua Tahun Lalu, Takdir Tak Terduga

Sore yang hujan itu menyebalkan. Kara memukul kemudianya berulang-ulang. Tiba-tiba sekali, mobilnya mati. Padahal ia suah terlalu lelah setelah seharian sibuuk dengan meeting dan persiapan peluncuran produk baru. Ponselnya pun mati, jadi sangat tidak memungkinkan baginya untuk menelepon bengkel langganan apalagi memesan taksi online.

Kara mengambil payungnya, turun dan tergesa membuka kap mobil. a tidak tahu, mengapa ia melakukan hal tersebut. Padahal jelas sekali, ia but soal mesin.

"Mobilnya mati, ya?"

Kara sedikit terlonjak, kaget. Ia dengan cepat menoleh ke sisinya dan menemukan eksistensi seorang pemuda yang basah kuyup dalam balutan jas hujan. Ia tidak kenal dan tentu harus waspada.

Kara berjingit mundur. Tidak menjawab.

Si pemuda sepertinya tahu persepsi yanga da di kepala Kara. Oleh karena itu, ia tersenyum seraya sedikit mundur. "Aku bukan orang aeh, kok." Hasya sedikit berteriak karena suara hujan sore itu berisik sekali. "Aku juga tahu soal mesin."

Kara -meski ragu- akhirnya mempersilakan Hasya untuk melihat kap mobilnya. Pemuda itu lantas fokus menekuri mesin-mesin itu. Ia melakukannya di bawah naungan payung Kara.

"Sekarang, coba masuk dan hidupin," perintah Hasya.

Kara menurut meskipun pandangannya amsih terlihat curiga. Namun ajaibnya, mobil Kara akhirnya menyala.

Perempuan itu kmbali turun dan menghampiri Hasya dengan lembaran uang berwarna merah di tangannya.

"Sebagai ucapan terima kasih."

Hasya menggeleng. "Nggak, nggak usah."

Kara mengernyit. "Itu bayaran karena kamu sudah mebantu saya."

Pemuda tu tersenyum, kembali menolak uang tersebut. "Aku cuma berbuat baik, bukan untuk meminta imbalan."

Kara ... sebagai seseorang yang terlahir dari keluarga pebisnis, dimana segala sesuatu diukur atas untung dan rugi, jelas tidak mengerti. Ia tidak paham konsep menolak lembaran uang tersebut ketika pemuda itu nampak memakai motor biasa dengan jas hujan yang sduah usang.

Tapi, pemuda itu tersenyum.

Yang sialnya, terus berkutat di kepala Kara hingga malam sebelum terlelap.

^^^^

Sekarang, kehidupan Setelah Pernikahan

Kara sedang duduk di sofa, membaca laporan kerja, ketika Hasya datang dengan wajah sedikit bingung.

“Ada apa?” tanya Kara tanpa mengalihkan pandangan dari dokumennya.

“Eh, aku mau masak makan malam. Tapi… aku nggak tahu cara nyalain kompor di dapurmu.”

Kara menatap Hasya, lalu tertawa kecil. Ini pertama kalinya ia benar-benar tertawa di depan Hasya.

“Kamu serius?” tanyanya sambil bangkit dari sofa.

Hasya mengangguk malu-malu. “Serius. Kompornya terlalu canggih.”

Kara menggelengkan kepala sambil berjalan menuju dapur, diikuti oleh Hasya. Ia menunjukkan cara menggunakan kompor listrik itu, sambil sesekali mengolok-olok Hasya.

“Kamu ini benar-benar seperti anak kampung yang tersesat di kota besar,” katanya dengan nada menggoda.

Hasya hanya tersenyum kecil, tidak membantah. Dalam hatinya, ia tahu Kara benar.

Namun, meskipun Kara terlihat dingin dan perfeksionis, Hasya bisa merasakan bahwa wanita itu sebenarnya peduli, meski ia tidak pernah mengatakannya secara langsung.

Dan malam itu, Hasya dan Kara makan malam bersama di meja panjang yang biasanya terasa dingin dan sepi. Meskipun canggung, ada sesuatu yang hangat di antara mereka—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, tapi mulai tumbuh perlahan. Sekalipun percakapan, hanya bisa dihitung dengan jari.

Itu mungkin karena memang Karana Wihardjo bukan tipe perempuan yang suka bicara panjang lebar selain urusan pekerjaan.

Dan Hasya mafhum itu.

^^^^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 35 : Ending Story About Kara-Hasya

    Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 34 : Alice Biang Kerok

    Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 33 : Konferensi Pers

    Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 32 : Rahasia Terbongkar

    Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 31 : Hasya Galau

    Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 30 : Rahasia yang Diketahui Dhea

    Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status