Marsha belum tidur meski sudah tiba di rumah sejak tadi.
Ia menunggu Derren kembali.Begitu melihat pantulan cahaya motor yang tampaknya milik pria itu memantul di kaca jendela, Marsha segera keluar dan memandang Derren yang spontan buang muka.Melihat itu, Marsha pun berucap dengan dingin. “Bisa bicara sebentar?”Langkah kaki Derren yang hendak masuk ke dalam rumah pun terhenti.Derren terdiam beberapa saat dan memandang Marsha yang berdiri di teras rumahnya sendiri dengan tatapan bingung. “A-apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?”Marsha mengangkat map coklat yang ia bawa dan menunjukkannya pada Derren. “Luangkan waktumu. Aku ingin berbicara.”Tubuh Derren jelas langsung tegang begitu melihat berkas tersebut. Seketika ia teringatpemerkosaan yang ia lakukan. Ia kira itu adalah surat panggilan pengadilan.Tapi, nyatanya bukan.[Perjanjian Pernikahan]Lama, Derren melihat kontrak pernikahan yang Marsha ajukan padanya, hingga suara perempuan itu kembali terdengar.“Ayo menikah.”“Apa?”Derren menelan ludahnya susah karena begitu terkejut. Namun, Marsha terus menatapnya serius. Melihat itu, ia pun terdiam.Hal itu membuat Marsha menghela napas panjang.“Aku terlibat perjodohan,” ucapnya kembali, “aku tak ingin menikah dengan lelaki itu.”“Kenapa?” tanya Derren spontan dan membuatnya langsung menutup mulut.“Karena aku tak mau ayahku bisa semakin kaya.”Derren mengerutkan keningnya dalam.Alasan macam apa itu? Tapi, Marsha tak terlihat bercanda saat mengatakan alasannya tak mau menikah. Alhasil, Derren mau tak mau harus percaya dengannya.“Lalu, alasan Anda memilih saya untuk menik–“Marsha menaikkan sebelah alisnya membuat Derren berhenti berbicara.“Pertanggungjawabkan kesalahanmu,” perintah Marsha, “aku tak mau tahu alasanmu. Kamu tak diberi pilihan menolak di sini. Aku tidak sedang mengajakmu negosiasi.”Wanita itu lalu menyodorkan kontrak pernikahannya dan mengulas senyum palsu. “Jadi, cepat tanda tangan.”Derren menatap kertas di depannya dengan tatapan terkejut.Tak sengaja, ia melihat kompensasi yang ditawarkan setelah perceraian. Jumlahnya sangat fantastis!Bahkan, ada ayat kontrak yang berbunyi “jika Marsha bersedia membayar studi Derren, dan uang bulanan.”Di sisi lain, Marsha tersenyum dalam hati. Ia tadi sempat mencari tahu tentang Derren dari para tetangga. Katanya, pria itu harus membesarkan kedua adik perempuannya setelah kabur dari rumah orang tuanya.Jadi, Derren pasti sulit menolak karena nominal yang ditawarkan Marsha tidaklah sedikit.“Anda harus tahu.” Derren mulai berbicara, “Saya memiliki keluarga yang kacau.”Ada jeda di sana.Tampaknya, ia enggan menerima kerja sama yang lebih menguntungkan untuknya dari pada wanita itu.Namun, melihat reaksi Marsha yang tampak tenang dan menyimak, ia kembali berbicara, “Ayah saya pemabuk berat. Ibu saya pegawai kantor, tapi ia masih sering mencuri uang saya untuk memenuhi kehidupan glamornya. Ia juga orang yang kasar. Lalu, Anda tak akan bisa melakukan kesepakatan ini jika Anda hanya membiayai saya.”Marsha menaikkan sebelah alisnya dan memiringkan kepalanya. “Kenapa?”“Saya memiliki dua adik perempuan yang masih sekolah dan membutuhkan biaya lebih banyak dari saya. Jadi-““Saya tahu.” Marsha mengambil bolpoin dan menatap Derren–siap menambahkan syarat kontrak mereka, asalkan Derren menyetujuinya nanti.“Siapa nama kedua adikmu itu? Aku tak keberatan mencantumkan nama mereka ke kontrak kita. Toh, aku bukan seseorang yang pelit uang. Menghidupi 3 anak kecil seperti kalian bukan masalah besar untukku.” lanjut Marsha, membuat Derren syok dengan sikap angkuh dan santainya.“N-naya dan Yana,” jawab Derren, tergagap.Wanita itu segera menuliskan kedua nama itu di kontrak dan kembali memberikan berkas itu pada Derren.“Apa lagi yang harus aku dengar?” tanya Marsha, sambil meletakkan kembali pena yang ada di dalam genggaman tangannya dengan santai ke atas meja.Derren menarik napas lembut dan melanjutkan. “Saya punya mantan kekasih yang merepotkan.”“Namanya Lea. Usianya lebih tua dari saya 4 tahun.”Melihat tatapan menyelidik dari Marsha, pria itu kembali berbicara, “Ia bukan Sugar Momy saya! Hanya saja, saya memang suka yang lebih tua.”Malu-malu, pria itu menjelaskan, “Saya bersama dengannya selama satu tahun. Awalnya ia orang yang dewasa, seperti tipe ideal saya. Tapi semakin lama, sikap posesifnya sangat merepotkan dan itu menjadi alasan saya untuk mengakhiri hubungan saya dengannya.”Derren menatap wajah Marsha yang menyimak dengan tenang. “Lea masih menyukai saya sampai saat ini, dan ia juga menjadi alasan kita bisa tidur bersama. Hari itu, saya menjenguknya dan ia memberikan menyuguhkan segelas air. Saya harusnya tidak menerima itu. Tapi–"Menunjukkan wajah bersalah pada Marsha yang diam saja mendengarkan ceritanya dengan tenang. "Kecelakaan itu– saya benar-benar meminta maaf kepada Anda, Sungguh.”Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Baiklah. Aku bisa menerimanya.”“Apa Anda tidak keberatan? Saya juga bukan orang baik seperti yang Anda lihat.” Derren berusaha mencari alasan lagi, “ada banyak masalah di sekitar saya.”“Asalkan kamu bukan buronan, pembunuh, atau perampok, tak masalah bagiku,” tegas Marsha, “tanda tangani surat itu segera karena aku lelah!”Derren mendenguskan napas lalu mengambil bolpoin. “Saya harap Anda tak menyesal.”Sesuai perjanjian, hari ini keduanya melangsungkan pernikahan. Tak terlalu mewah dan hanya didatangi orang terdekat. Bahkan, orang tua Marsha tidak hadir sekarang. Di sisi lain, Derren kini menempelkan permukaan bibirnya di atas kening Marsha–wanita yang telah menjadi istri sahnya satu menit yang lalu– dengan canggung. Sebaliknya, Marsha hanya diam. Tak ada perasaan gugup di wajah wanita itu karena ia hanya senang karena semuanya berjalan sesuai rencana. Hanya saja, Derren terlihat gugup, sampai membuat kedua tangan yang menggenggam tangan Marsha, gemetar, dan berkeringat. “Senyum," ucap Marsha mengingatkan. Perlahan, senyuman canggung mulai terbit di wajah suaminya itu. Jepret! Suara lensa kamera yang mengambil foto mereka terdengar beberapa kali. Marsha pun mengambil beberapa gaya dengan luwes. Sementara Derren, ia masih kaku seperti semula. “Ini yang terakhir. Mas, tolong jangan canggung!” Pak fotografer tiba-tiba berseru–menegur Derren yang terus menunjukkan wajah kaku t
“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya. Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?” Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran. Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!” “Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!” Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan. “Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?” Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?” Derren diam. Ia memandang Marsha dengan tat
Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan
16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po