Share

SLTC - 004

“Sova...!!!”

Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya.

“Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa.

“Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya.

Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebarkan oksigen ke seluruh aliran darah, meletakkan tas di balik selimut, barulah ia menghampiri ibu tirinya. Ia khawatir, wanita yang sudah beberapa tahun ia panggil Mama itu akan berbuat kasar lagi kepada ayahnya yang tak berdaya. Bagaimana pun, Ia tetap menyayangi pak Harun sepenuh hati.

“Sova bersihin Ayah dulu,” ucapnya sambil melewati bu Devi yang masih berdiri, berkacak pinggang dengan mata terus menguntit langkah dirinya.

“Ma, ayo!” teriak Yulia yang membuat wanita itu tersadar dari tatapan tajamnya kepada Sova. Mereka pun kembali ke kamar untuk menuntaskan pekerjaaan rias merias mereka.

Dari ujung mata, Sova melihat dandanan Yulia yang mirip dengan ondel-ondel. “Hihi...” Ia pun menahan tawa, meskipun masih terdengar oleh bu Devi yang masih berada di pintu kamar Yulia.

“Ngapain ketawa?” ketus bu Devi yang kembali berbalik menatap Sova.

“Enggak Ma, tadi ada cicak kena tepung. Lucu.” Sova sedikit berlari sambil membawa dua ember yang diisi air bersih, yang biasanya ia letakkan di dapur. Ia meletakkan ember itu di kamar ayahnya, tepat di ujung ranjang. Ia tak ingin memperpanjang obrolannya dengan bu Devi.

Saat Ia berada di mulut kamar pak Harun, Ia pun menatap Ayahnya yang tak berdaya sedang menangis, meneteskan air mata sambil mengeluarkan kata-kata yang tak terdengar memiliki arti. Hanya ada suara kesedihan dari sana. Ia pun terenyuh, merasa tak tega jika harus meninggalkan Ayahnya dalam keadaan ini.

“Ayah, kenapa nembus ya? Padahal aku udah pakein plastik. Maafin Sova ya Yah, maaf gara-gara Sova kurang rapi memakaikan popok, Ayah jadi enggak nyaman.”

Sova membersihkan sang Ayah sambil nyerocos tanpa henti. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit yang ia terima karena keputusan sepihak ibu tirinya. Juga, demi menghentikan tangisan Ayahnya.

Dengan telaten, Sova melepaskan popok yang sudah terkontaminasi air kencing pak Harun. Bahkan, ia pun mengganti seprai dan baju Ayahnya. Untungnya, di bawah seprai ia letakkan plastik sebagai antisipasi hal seperti saat ini terjadi.

Pada awalnya, Sova merasa malu saat harus membersihkan dua kemaluan sang Ayah. Tapi, ia berusaha membiasakan dirinya karena darurat. Lagipula, pak Harun adalah ayah kandungnya sendiri, sehingga tak ada alasan baginya membiarkan pak Harun dengan keadaan kotor, karena tak sekalipun bu Devi mau membersihkan kotoran pak Harun.

Sova memakaikan popok pak Harun. Bukan popok dewasa yang biasa dibeli di minimarket, tapi kain yang dilipat-lipat dan dialasi oleh kantong plastik yang dibentuk agar nyaman dipakai di selangkangan, kemudian diikat di pinggang ayahnya.

“Beres,” ucapnya seraya mengembangkan senyuman termanisnya.

Sova pun segera bangkit, membawa ember yang berisi pakaian kotor berbau pesing. “Sova mau nyuci dulu ya, Yah!” pamit gadis cantik itu sambil membawa ember dan melangkah keluar.

***

Sova meletakkan ember cuciannya di sumur umum. Ia nekad untuk pergi mengikuti lomba debat bahasa Inggris. Ia yakin jika Ayahnya tak akan mendapatkan masalah apapun karena kepergiannya hanya sebatas untuk mengikuti lomba. Ya, Ia memang mengurungkan niat untuk kabur karena memikirkan nasib Ayahnya. Bagaimana pun, pak Harun merupakan orang tua kandung satu-satunya yang masih Ia miliki.

“Kenapa celingak-celinguk?” tanya Ceu Empur yang sedang mencuci di sumur umum.

“Enggak apa-apa. Sova pamit ya Ceu!” ucap Sova seraya mengambil langkah seribu.

“Pamit? Mau kemana?” tanya Ceu Empur sambil berteriak karena langkah kaki Sova yang semakin menjauh.

Sova hanya mengangkat tangan kanannya tanpa menoleh lagi. Ia berjalan setengah berlari, memburu waktu yang menurutnya sudah terlambat karena waktu menunjukkan hampir jam 7 pagi, saat Ia keluar dari rumah ibu tirinya.

Ceu Empur pun tak mempermaslahakan hal itu. Justru, kebanyakan tetangga sering mengompori Sova agar pergi dari rumah yang menurut mereka tak memberikan kebahagiaan bagi Sova.

Sova terus berlari, kakinya Ia langkahkan menuju jalan desa yang lebih pantas disebut sungai kering. Jalanan berbatu tajam dan sudah tak beraspal sama sekali. Lebar jalan pun cukup untuk satu mobil, menyulitkan bagi mobil apabila terjadi perewis. Desa yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta, namun cukup terbelakang dari segi pembangunan maupun dari segi SDM.

Tin... tin... tin...

“Neng, mau kemana?” tanya seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor. Entahlah, Sova tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu tetap berjalan tanpa peduli.

“Neng, mau kemana?” Tiba-tiba, sepeda motor itu berhenti tepat di depan Sova dan menghalangi jalannya.

“Om, ngapain ganggu saya?” kesal Sova pada seorang lelaki paruh baya, namun masih terlihat gagah. “Jangan kira Saya takut, Saya bisa bela diri!” ucap Sova yang terpaksa menghentikan langkahnya sambil bersedekap dada. Di pikirannya hanya satu, Dia harus sampai di Sekolah secepatnya. Harusnya jam 7 dia sudah berada di Sekolah, tapi karena ada masalah, dia jadi terlambat.

“Justru karena kamu bisa beladiri, Saya percaya dan enggak akan berani ganggu. Saya Cuma mau antar kamu ke Sekolah, tadi guru-guru kamu udah enggak tenang karena kamu belum sampai Sekolah. Saya anter biar cepet nyampe Sekolah!” ucap lelaki paruh baya yang masih sangat tampan dan terlihat necis. Tapi, penampilan lelaki itu tentu saja luput dari pandangan Sova karena pikirannya hanya berkutat tentang Sekolah.

Entah keberanian yang berasal dari mana, akhirnya Sova nekad naik ke boncengan motor lelaki tersebut tanpa berpikir panjang. Berbeda dengan kebiasaannya selama ini yang selalu berhati-hati dengan orang asing.

Lelaki paruh baya itu langsung menancap gas dan membawa Sova dalam boncengannya yang cukup ngebut di jalanan yang sangat bergejolak. Sova tak protes sama sekali. Ia masih memikirkan waktu yang harus Ia habiskan di jalanan ini. “Semoga bu Halimah dan pak Syamsul belum berangkat, semoga mereka enggak marah,” desis Sova dalam hati.

Sova tiba di sekolah sekitar jam 7 lewat 15. Bangunan sekolah SD yang digunakan untuk jenjang SMP dan SMA pada siang harinya sehingga disebut Sekolah satu atap. Bahkan, Ia belajar hanya 3 jam dari keseharusan waktu belajar, tapi hal itu tentu saja tak menyurutkan niatnya untuk tetap mendapatkan pendidikan yang setara diakui oleh negara.

“Sova, alhamdulillah akhirnya kamu sampai juga. Ayo kita langsung berangkat!” panggil bu Halimah yang menyongsongnya dari balik mobil yang akan digunakan oleh rombongan menuju tempat acara lomba di kabupaten.

“Iya Bu. Makasih... Om,” Sova agak menghentikan ucapannya saat Ia berbalik dan tak mendapati lelaki paruh baya yang tadi mengantarnya ke Sekolah.

“Mana dia? Tom Cruise tadi...?” Sova celingak celinguk mencari sosok lelaki yang baru Ia sadari mirip aktor Hollywood. Namun, panggilan dari gurunya membuat Ia segera berbalik menuju mobil, membawa seribu tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status