“Sova...!!!”
Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya.“Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa.“Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya.Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebarkan oksigen ke seluruh aliran darah, meletakkan tas di balik selimut, barulah ia menghampiri ibu tirinya. Ia khawatir, wanita yang sudah beberapa tahun ia panggil Mama itu akan berbuat kasar lagi kepada ayahnya yang tak berdaya. Bagaimana pun, Ia tetap menyayangi pak Harun sepenuh hati.“Sova bersihin Ayah dulu,” ucapnya sambil melewati bu Devi yang masih berdiri, berkacak pinggang dengan mata terus menguntit langkah dirinya.“Ma, ayo!” teriak Yulia yang membuat wanita itu tersadar dari tatapan tajamnya kepada Sova. Mereka pun kembali ke kamar untuk menuntaskan pekerjaaan rias merias mereka.Dari ujung mata, Sova melihat dandanan Yulia yang mirip dengan ondel-ondel. “Hihi...” Ia pun menahan tawa, meskipun masih terdengar oleh bu Devi yang masih berada di pintu kamar Yulia.“Ngapain ketawa?” ketus bu Devi yang kembali berbalik menatap Sova.“Enggak Ma, tadi ada cicak kena tepung. Lucu.” Sova sedikit berlari sambil membawa dua ember yang diisi air bersih, yang biasanya ia letakkan di dapur. Ia meletakkan ember itu di kamar ayahnya, tepat di ujung ranjang. Ia tak ingin memperpanjang obrolannya dengan bu Devi.Saat Ia berada di mulut kamar pak Harun, Ia pun menatap Ayahnya yang tak berdaya sedang menangis, meneteskan air mata sambil mengeluarkan kata-kata yang tak terdengar memiliki arti. Hanya ada suara kesedihan dari sana. Ia pun terenyuh, merasa tak tega jika harus meninggalkan Ayahnya dalam keadaan ini.“Ayah, kenapa nembus ya? Padahal aku udah pakein plastik. Maafin Sova ya Yah, maaf gara-gara Sova kurang rapi memakaikan popok, Ayah jadi enggak nyaman.”Sova membersihkan sang Ayah sambil nyerocos tanpa henti. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit yang ia terima karena keputusan sepihak ibu tirinya. Juga, demi menghentikan tangisan Ayahnya.Dengan telaten, Sova melepaskan popok yang sudah terkontaminasi air kencing pak Harun. Bahkan, ia pun mengganti seprai dan baju Ayahnya. Untungnya, di bawah seprai ia letakkan plastik sebagai antisipasi hal seperti saat ini terjadi.Pada awalnya, Sova merasa malu saat harus membersihkan dua kemaluan sang Ayah. Tapi, ia berusaha membiasakan dirinya karena darurat. Lagipula, pak Harun adalah ayah kandungnya sendiri, sehingga tak ada alasan baginya membiarkan pak Harun dengan keadaan kotor, karena tak sekalipun bu Devi mau membersihkan kotoran pak Harun.Sova memakaikan popok pak Harun. Bukan popok dewasa yang biasa dibeli di minimarket, tapi kain yang dilipat-lipat dan dialasi oleh kantong plastik yang dibentuk agar nyaman dipakai di selangkangan, kemudian diikat di pinggang ayahnya.“Beres,” ucapnya seraya mengembangkan senyuman termanisnya.Sova pun segera bangkit, membawa ember yang berisi pakaian kotor berbau pesing. “Sova mau nyuci dulu ya, Yah!” pamit gadis cantik itu sambil membawa ember dan melangkah keluar.***Sova meletakkan ember cuciannya di sumur umum. Ia nekad untuk pergi mengikuti lomba debat bahasa Inggris. Ia yakin jika Ayahnya tak akan mendapatkan masalah apapun karena kepergiannya hanya sebatas untuk mengikuti lomba. Ya, Ia memang mengurungkan niat untuk kabur karena memikirkan nasib Ayahnya. Bagaimana pun, pak Harun merupakan orang tua kandung satu-satunya yang masih Ia miliki.“Kenapa celingak-celinguk?” tanya Ceu Empur yang sedang mencuci di sumur umum.“Enggak apa-apa. Sova pamit ya Ceu!” ucap Sova seraya mengambil langkah seribu.“Pamit? Mau kemana?” tanya Ceu Empur sambil berteriak karena langkah kaki Sova yang semakin menjauh.Sova hanya mengangkat tangan kanannya tanpa menoleh lagi. Ia berjalan setengah berlari, memburu waktu yang menurutnya sudah terlambat karena waktu menunjukkan hampir jam 7 pagi, saat Ia keluar dari rumah ibu tirinya.Ceu Empur pun tak mempermaslahakan hal itu. Justru, kebanyakan tetangga sering mengompori Sova agar pergi dari rumah yang menurut mereka tak memberikan kebahagiaan bagi Sova.Sova terus berlari, kakinya Ia langkahkan menuju jalan desa yang lebih pantas disebut sungai kering. Jalanan berbatu tajam dan sudah tak beraspal sama sekali. Lebar jalan pun cukup untuk satu mobil, menyulitkan bagi mobil apabila terjadi perewis. Desa yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta, namun cukup terbelakang dari segi pembangunan maupun dari segi SDM.Tin... tin... tin...“Neng, mau kemana?” tanya seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor. Entahlah, Sova tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu tetap berjalan tanpa peduli.“Neng, mau kemana?” Tiba-tiba, sepeda motor itu berhenti tepat di depan Sova dan menghalangi jalannya.“Om, ngapain ganggu saya?” kesal Sova pada seorang lelaki paruh baya, namun masih terlihat gagah. “Jangan kira Saya takut, Saya bisa bela diri!” ucap Sova yang terpaksa menghentikan langkahnya sambil bersedekap dada. Di pikirannya hanya satu, Dia harus sampai di Sekolah secepatnya. Harusnya jam 7 dia sudah berada di Sekolah, tapi karena ada masalah, dia jadi terlambat.“Justru karena kamu bisa beladiri, Saya percaya dan enggak akan berani ganggu. Saya Cuma mau antar kamu ke Sekolah, tadi guru-guru kamu udah enggak tenang karena kamu belum sampai Sekolah. Saya anter biar cepet nyampe Sekolah!” ucap lelaki paruh baya yang masih sangat tampan dan terlihat necis. Tapi, penampilan lelaki itu tentu saja luput dari pandangan Sova karena pikirannya hanya berkutat tentang Sekolah.Entah keberanian yang berasal dari mana, akhirnya Sova nekad naik ke boncengan motor lelaki tersebut tanpa berpikir panjang. Berbeda dengan kebiasaannya selama ini yang selalu berhati-hati dengan orang asing.Lelaki paruh baya itu langsung menancap gas dan membawa Sova dalam boncengannya yang cukup ngebut di jalanan yang sangat bergejolak. Sova tak protes sama sekali. Ia masih memikirkan waktu yang harus Ia habiskan di jalanan ini. “Semoga bu Halimah dan pak Syamsul belum berangkat, semoga mereka enggak marah,” desis Sova dalam hati.Sova tiba di sekolah sekitar jam 7 lewat 15. Bangunan sekolah SD yang digunakan untuk jenjang SMP dan SMA pada siang harinya sehingga disebut Sekolah satu atap. Bahkan, Ia belajar hanya 3 jam dari keseharusan waktu belajar, tapi hal itu tentu saja tak menyurutkan niatnya untuk tetap mendapatkan pendidikan yang setara diakui oleh negara.“Sova, alhamdulillah akhirnya kamu sampai juga. Ayo kita langsung berangkat!” panggil bu Halimah yang menyongsongnya dari balik mobil yang akan digunakan oleh rombongan menuju tempat acara lomba di kabupaten.“Iya Bu. Makasih... Om,” Sova agak menghentikan ucapannya saat Ia berbalik dan tak mendapati lelaki paruh baya yang tadi mengantarnya ke Sekolah.“Mana dia? Tom Cruise tadi...?” Sova celingak celinguk mencari sosok lelaki yang baru Ia sadari mirip aktor Hollywood. Namun, panggilan dari gurunya membuat Ia segera berbalik menuju mobil, membawa seribu tanya."Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya