Mas Dayat menatapku tajam. "Apa benar kamu tidak mau ngasih lauk untuk Ibu?" Suaranya keras melontarkan pertanyaan itu padaku.
"Iya, Dayat, bahkan dia mau memu-kulku. Kamu lihat sendiri, kan?" Aku melongo mendengar fitna-han yang keluar dari mulut Mbak Anis, benar-benar ular berbisa! "Halimah, kamu sudah keterlaluan. Mbak Anis Kakakku, harusnya kamu lebih hormat padanya." Aku tertawa kecil mendengar ucapan Mas Dayat. Kami sudah menikah selama lama, tetapi dia seolah-olah tidak mengenal karakter istrinya. "Mas percaya apa yang dia adukan? Faktanya semua fit-nah. Dia yang memu-kul aku duluan, lihat pipiku!" Aku menunjuk bekas tam-paran Mbak Anis. "Mas tahu kenapa aku kasar padanya? Dia mau ambil u@ngku, gara-gara aku tidak sempat masak lauk untuk Ibu. Mas tahu sendiri Gio demam tinggi dari semalam, jangankan memasak, makan saja aku belum sempat." Mas Dayat diam mendengar kalimat panjang dariku. Mungkin dia tidak mengira aku akan membalas tudingannya lebih keras. Maaf, Mas, aku tidak mau dijadikan tum-bal keluargamu lagi, terutama fit-nahan Mbak Anis. "Benar apa yang dikatakan Halimah, Mbak?" Mas Dayat menoleh ke Kakaknya untuk memastikan. Ada yang tergores di dadaku karena lelaki itu tidak mempercayai ucapanku. "Bohong! Mana mungkin aku memu-kulnya. Memang istrimu pintar sekali bersilat lidah." "Terserah Mas percaya atau tidak, yang pasti mulai hari ini aku tidak mau lagi memasak untuk Ibu. Sekarang Mbak Anis sudah tinggal sama Ibu, suruh dia yang masak daripada ongkang-ongkang kaki di rumah. Ingat, ya, aku menantu bukan ba-bu yang bisa diperintah seenaknya." Aku meninggalkan Mas Dayat dan Mbak Anis setelah menyatakan sikapku. Selama ini aku selalu diam menerima perlakuan keluarga Mas Dayat. Mencoba bersabar karena permintaan suamiku, tetapi aku insan yang punya batas kemampuan. Binatang saja akan melawan bila terus-menerus ditindas, apalagi aku manusia yang diberi akal. Tidak selamanya perlakuan buruk harus dimaklumi. Aku tidak peduli pengaduan apa lagi yang dikatakan Mbak Anis, toh aku tetap salah di mata Mas Dayat. Jadi, percuma terus-menerus membela diri. Sakit rasanya tidak dipercaya suami sendiri. Sejak pacaran aku tahu kalau Mas Dayat selalu disetir keluarga terutama Ibunya. Sempat ingin mengakhiri hubungan kami, tetapi dia meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. Cinta buta membuatku b0doh sehingga mengabaikan sikap keluarganya. Kupikir aku bisa merubah Mas Dayat dengan cintaku, ternyata sia-sia saja. Harusnya aku tahu, percuma membangun rumah kalau pondasinya sudah bobrok. Kupikir menikahi lelaki sejati, ternyata disetir Mami. * Aku terbangun ketika merasakan usa-pan di pipiku. Saat membuka mata aku melihat Mas Dayat tersenyum ke arahku. "Ayo, bangun. Aku punya sesuatu untukmu." Aku mengumpulkan kesadaran sebelum bangkit dari tempat tidur. Aku tidak tahu jam berapa tertidur, lelah hati dan pikiran membuatku mudah sekali terlelap. Sebelum keluar kamar aku meraba dahi Gio. Aku sedikit lega karena panasnya sudah berkurang, putraku itu terlihat tidur sangat nyeyak. "Halimah, sini." Mas Dayat yang sedang duduk di meja makan melambaikan tangan padaku. "Apa ada, Mas?" Aku duduk di sebelah lelaki itu sambil menahan rasa kantuk. Tidak kulihat lagi Mbak Anis, mungkin Mas Dayat sudah menyuruhnya pulang Mas Dayat membuka kantong kresek di atas meja lalu mengeluarkan isinya. "Aku beli nasi padang untuk makan malam. Kamu belum makan, kan?" Aku menatap bungkus nasi yang sudah terbuka. Aroma rendang menguar menggugah seleraku, apalagi sambel hijau dan rebusan sayur singkong membuat perutku berontak minta lekas di isi. Namun, sikap Mas Dayat tadi membuat seleraku lenyap. Masih jelas di benak rautnya saat meragukan penjelasanku. "Aku tidak lapar, Mas saja yang makan." Aku bangkit dari kursi lalu mengambil air dingin dari dalam kulkas. Harga diriku terluka, sebab dia lebih mempercayai kata-kata Mbak Anis. Padahal dia tahu karakter saudarinya itu, tetapi seakan menutup mata. "Imah, Mas minta maaf. Tadi Mas capek pulang kerja malah lihat kamu bertengkar sama Mbak Anis, jadi tidak bisa mikir." Aku berdecak pelan. Alasannya sangat klise, harusnya dia tahu setelah melihat jejak merah di pipiku. Bahkan, sampai sekarang rahangku masih terasa sakit. "Sayang, sudah marahnya. Tidak baik lama-lama merajuk sama suami, dosa." Dosa? Tahu apa Mas Dayat perkara dosa? Harusnya dia bisa menengahi perseteruanku dengan keluarganya, tetapi dia selalu berpihak ke Ibu dan Mbak Anis. Tidak sekali dua kali aku diperlakukan tidak adil, tetapi dia selalu menutup mata. Aku tidak menanggapi ucapannya. Aku lelah berdebat, capek menjelaskan apa yang kurasakan. Darah lebih kental daripada air. Aku istrinya, tetapi dianggap orang lain. "Halimah, kamu dengar Mas bicara apa? Mas capek berantem terus karena masalah yang sama." Aku tersenyum sinis. "Mas capek, aku lebih capek," balasku ketus. "Selama ini aku tidak pernah mencari masalah dengan Ibu atau Mbak Anis. Aku selalu berusaha menjadi menantu yang baik. Rela bolak-balik dari sini ke rumah Ibumu setiap hari, tetapi apa yang kulakukan tidak pernah ada harganya di mata Ibumu." Akhirnya apa yang selama ini kusimpan rapat di dada mele-dak juga. Demi baktiku pada Ibu Mertua, setelah selesai membersihkan rumah dan memasak, aku membawa Gio ke rumah Ibu Mas Dayat yang jaraknya sekitar lima kilo dengan mengendarai sepeda motor. Di sana aku menyalin lauk untuknya, memasak nasi kemudian membersihkan rumah. Tidak hanya itu, aku mencuci tumpukan piring kotor juga mencuci baju, itu pun sambil mengasuh Gio, karena Ibu enggan menjaga cucunya. Setelah semua bersih baru aku pulang menjelang sore hari. Mas Dayat mengusap wajahnya, tentu saja dia tidak bisa menyangkal, karena apa yang aku katakan benar adanya. "Imah, Mas minta maaf atas nama Ibu. Tolong kamu lebih sabar lagi, ya. Ibu sudah tua, jadi agak cerewet." Wajah Mas Dayat memelas membuat iba menyusup ke dalam hatiku. Aku menghela napas untuk menekan emosi yang masih bersarang di dada. Baiklah, aku akan mengalah lagi demi ketenangan rumah tangga kami. "Sudahlah, Mas. Tidak usah dibahas lagi, tetapi aku tidak mau lagi bantu-bantu di rumah Ibu. Sekarang ada Mbak Anis, suruh dia saja." "Iya, iya, sekarang kita makan. Mas juga belum makan dari tadi." Aku menurut ketika Mas Dayat membimbingku kembali ke meja makan. Aku berusaha menikmati makanan yang dibeli Mas Dayat, setidaknya dia masih ingat kalau aku belum makan. "Sayang, ini belanja bulanan, kamu pegang dulu, ya." Dahiku berkerut ketika menghitung u-ang belanja yang diberi Mas Dayat. "Lima ratus ribu, tidak salah ini, Mas?" Aku memprotes, sebab u-ang belanja yang dia beri semakin lama makin berkurang. Hal ini sudah berlangsung selama enam bulan belakangan. Mas Dayat mengangguk. "Toko sepi akhir-akhir ini. Jadi, Mas harap kamu pandai-pandai berhemat." "Mas, lima ratus ribu dapat apa? Listrik, air, susu Gio, belum untuk lauk. Ini tidak cukup." Bukan tidak bersyukur, tetapi jumlah u-ang yang diberi Mas Dayat tidak mungkin cukup memenuhi kebutuhan kami. "Imah, tolong mengerti. Mas kalau ada u-ang pasti kasih lebih ke kamu. Sekarang sedang sulit, jadi tolong mengerti." Aku tidak membalas, karena tidak mau memancing pertengkaran lagi. Bukan berarti aku percaya begitu saja. Aku akan mencari tahu, kalau sampai Mas Dayat berbohong lihat saja apa yang akan aku lakukan."Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap
"Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps
Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru
"Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S