Share

Ipar Tak Tahu Diri

Author: Maheera
last update Last Updated: 2024-12-06 23:28:36

"Imah, mana nasi sama lauk untuk Ibu?"

Suara Mbak Anis terdengar keras membuatku harus menjauhkan ponsel dari daun telinga. Ini bukan pertama kali Kakak Iparku berkata ketus seperti itu. Bisa dibilang sudah menjadi kebiasaannya dan selama ini aku hanya bisa diam. Pernah membantah justru fitnahan yang dia lontarkan padaku.

"Maaf, Mbak, aku tidak masak hari ini." Aku menjawab sambil menepuk-nepuk bokong Gio yang tertidur di gendongan.

"Aku tidak mau tahu, kamu harus antar lauk ke sini. Kalau tidak aku lapor ke Dayat."

Nada suara  Mbak Anis semakin keras. Lazimnya orang meminta pasti akan bersuara lemah-lembut, tetapi berbeda dengan Kakak iparku itu. Dia selalu ketus dan sinis, apa yang dia perintahkan harus dikerjakan. Tidak peduli aku sedang repot. Pernah mengeluh pada Dayat, suamiku, namun dia menyuruhku sabar, sebab Mbak Anis memang dimanja sejak kecil. Apa pun yang diminta pasti dipenuhi oleh Ibunya. Apalagi dia baru cerai dari suaminya sehingga emosinya tidak stabil.

"Gio demam, Mbak, maunya digendong terus. Aku tidak bisa ngapa-ngapain." Aku masih berusaha sabar. Bukan takut, aku tidak mau Gio terbangun. Dia baru saja tertidur setelah merengek dari pagi. Beruntung kemarin siang aku membawa Gio ke dokter, telat sedikit saja mungkin harus dirawat.

"Alasan terus. Kamu, kan, bisa beli? Jangan bisanya minta uang sama Adikku. Dasar par@sit!"

Aku menghela napas mendengar makian Mbak Anis. Pantas tidak ada lelaki yang tahan dengannya. Tiga kali menikah, sebanyak itu pula bercerai. Aku memilih memutus sambungan telepon daripada sakit hati mendengar hinaannya. Aku juga mematikan ponsel agar Mbak Anis berhenti mene-rorku. Aku sangat paham tabiatnya, tidak akan berhenti mengusikku sampai keinginannya terpenuhi. Aku memilih menidurkan Gio di atas tempat tidur. Sejak semalam panas menyerang tubuh putraku walau sudah diberi obat penurun panas. Aku terpaksa berjaga semalaman sebab tak ingin kejadian beberapa waktu yang lalu terulang. Saking panasnya Gio sampai mengalami kejang. Padahal aku sudah mengompres dengan air hangat, tetapi tidak mempan. Ruhku seakan tersedot keluar melihat kondisi Gio saat itu, yang bisa kulakukan memegang tangan sambil memanggil namanya. Sejak saat itu setiap dia demam aku fokus padanya saja.

Baru saja mere-bahkan badan di samping Gio, gedoran keras serta teriakan terdengar di pintu. Aku memijit pelipis yang terasa nyeri, dari suaranya saja aku bisa menebak milik siapa. Ingin mengabaikan, tetapi gedorannya pasti mengganggu tetangga.

"Mbak, bisa pelan? Gio baru tidur." Aku memilih membukakan pintu daripada Mbak Anis meng@muk membuat malu. Apalagi ada ibu-ibu berkumpul di depan rumah, biasa bila sore menjelang pasti mereka nongkrong. Ada-ada saja topik obrolan mereka, dari percakapan santai sampai menjurus gibah.

"Memangnya aku peduli anakmu tidur atau tidak?" Mbak Anis memelotot. Andai tidak ada hukum di negara ini pasti sudah kuc0lok matanya. "Mana u@ng?"

Dahiku berkerut melihat Mbak Anis menadahkan tangan kepadaku. "U-ang apa?"

"U@ng untuk beli lauklah."

"Ibu, kan, sudah diberi ua-ng sama Mas Dayat. Untuk apa minta sama aku lagi?"

"Heh, banyak omong kamu. Salah sendiri disuruh masakin lauk untuk Ibu kenapa tidak mau? Emang dasar tidak ta-hu diri." Mbak Anis melipat tangan sambil menatapku dengan sorot menge-jek.

Aku mengepalkan kedua telapak tangan untuk meredam gelegak emosi yang melesat ke ubun-ubun, rasanya tengkorak kepa-laku hendak pecah melihat sikap kurang ajar Mbak Anis. Sabar, Halimah, sabar. Menghadapi orang sin-ting memang harus kuat iman. Aku membatin.

"Mbak, aku memang dimintai tolong masak untuk Ibu, tetapi sekarang ada Mbak di rumah. Mbak aja yang masak, lagian Mbak tidak sibuk, kan?"

"Apa?" Muka Mbak Anis seketika berubah garang. "Kamu pikir aku pemban-tu? Kamu benar-benar harus dikasih pelajaran biar tahu diri!"

Mbak Anis mendo-rong tubuhku hingga aku tersaruk ke belakang, untung saja di belakangku ada meja sehingga bisa berpegangan di pinggirannya.

"Mbak, mau ngapain?" Aku menyusul Mbak Anis ke dapur. Di sana dia mengacak-acak dapurku. Dia juga membuka lemari tempat aku biasa menyimpan makanan.

"Nah, ini dia." Mbak Anis meraih dompetku lalu mengambil isinya. Tentu saja aku tidak membiarkan tindakannya itu.

Aku merebut dompet juga uang yang ada di tangan Mbak Anis. "Ini u-angku bukan ua-ngmu. Silakan keluar dari sini!" Aku menunjuk pintu keluar dengan suara lantang, tidak ada lagi rasa seganku pada wanita itu. Percuma, dikasih hati minta jan-tung. Kalau aku terus diam lama-lama kepalaku yang di-injak.

"Berikan uang itu. Aku mau beli makanan untuk Ibu!" Mbak Anis bersikeras merebut u-ang tadi dari tanganku.

"Tidak, Mas  Dayat sudah ngasih u-ang untuk Ibu. Masak saja sendiri, selama kamu masih sehat dan bisa masak, isi perut kalian bukan tanggung jawabku!"

Kalimat ta-jam dari mulutku sukses membuat Mbak Anis ternganga. Kakak Iparku itu tidak terima dengan perkataanku hingga satu tam-paran dilayangkan padaku. Aku tidak sempat bereaksi, karena gerakannya begitu cepat. Panas menjalar di pipiku. Sejak kecil aku tidak pernah dipu-kul orang tua membuat reaksiku semakin frontal. Aku balas menam-par Mbak Anis, tetapi belum sampai tanganku melayang  teguran keras menerobos gendang telingaku.

"Halimah, apa-apaan kamu?"

Aku melihat Mas Dayat berdiri di tengah ruangan dengan sorot mena-jam.

"Dayat, lihat istrimu. Aku minta lauk untuk Ibu dia malah mau mu-kul aku dan bilang tidak ada jatah lauk lagi."

Aku geleng-geleng kepala melihat pandainya Kakak Iparku itu memutar balik fakta, ternyata apa yang dikatakan orang-orang kalau Mbak Anis bermuka dua benar adanya. Bukan hanya muka dua, tetapi dia juga muka tembok. Baiklah, Mbak Anis. Kamu yang membuatku harus bersikap tegas sejak hari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kasmi Alvara
hahaha iparku adalah maut. cocok dijadikan sambel terasi. apa pengaruh belum punya pasangan ya?
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau goblok. klu kau punya toko berarti punya penghasilan tapi pasrah aja diperlakukan seperti binatang. binatang aja tidak sebodoh kamu limah. punya otak tapi g berguna.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 62 (Ending)

    "Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 61

    "Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 60

    Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 59

    "Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 58

    "Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 57

    Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status