Bab 17Satu jam kemudian aku turun bersama Irene. Mama dan anak-anakku sedang menonton televisi.Mereka tertawa-tawa menonton acara lawakan yang menurutku gak ada lucunya itu."Lho, kenapa kalian masih bersantai. Sebentar lagi Dhifa datang kemari!"Aku kesal karena mereka tak mengindahkan perintahku tadi. Kumatikan televisi dengan gemas. "Papi lupa ya?" tanya Alea sambil tersenyum."Lupa apa?" tanyaku kesal."Lupa dengan syaratku kalau kalian tak mau mengurus Mama dan anak-anak, maka kalian harus angkat kaki dari sini!" Suara dingin Nadhifa mengejutkanku. Dia masuk tanpa suara dan langsung mengatakan hal yang aku lupakan selama ini.Aduh, kenapa aku bisa lupa. Ya ampun, gawat ini. Langsung aku pasang wajah manis pada mereka. Bisa-bisa aku yang diusir malam ini."Aku gak lupa kok Fa. Aku hanya bercanda tadi." "Mas!" sela Irene dengan kesal. "Sstt sudah kamu diam dulu!" bisikku."Sebaiknya kamu dan Irene segera mengemasi pakaian kalian Mas. Aku mau malam ini juga kalian pergi dari r
Bab 18Pov Fatan lagi.Aku dan Irene tiba di kontrakan ayahnya Irene saat hujan semakin deras. Setelah turun dari taksi, aku berlari sambil membawa dua buah koper besar. Irena menyusul beberapa langkah di belakang. "Assalamualaikum," salamku begitu berada di depan pintu. Hari mulai larut, ditambah lagi sedang hujan. Mungkin kedua mertuaku sudah tidur, pikirku. "Ayah, Ibu kami datang!" teriak Irene sambil mengetuk pintu tak sabaran. "Pelan-pelan saja, Ren. Mungkin mereka sudah tidur," ukarku mengingatkan Irena. "Aku sudah kedinginan, Mas," keluh Irena. Memang sebagian pakaiannya basah terkena hujan saat kami menunggu taksi datang tadi. Pintu terbuka, wajah kusut mertuaku muncul dari balik pintu. Kami pun masuk ke dalam, mertuaku hanya diam melihat kami."Ada apa kalian datang malam-malam begini?" tanyanya seraya melirik koper yang ada di Samling kakiku. "Kami diusir, Bu," jawabku malu dan kesal. "Bu, mulai malam ini kami tinggal di sini!" ucap Irene. "Masuklah!" Ibu mertuaku m
Bab 19"Saat hari terakhir di kota, Mas masih berusaha menawarkan diri pada orang yang membutuhkan tenaga Mas. Tapi mungkin nasib lagi apes, sampai sore tak ada satupun yang mau menerima Mas. Mas putus asa, mau pulang ke rumah Budhe, uang buat ongkos sudah habis. Mas terpaksa pulang jalan kaki, saat itu sudah pukul 7 malam. Mas memilih jalan memotong biar cepat sampai.""Terus?" "Jalan yang Mas pilih sangat sepi, sangat jarang orang atau kenderaan yang lewat. Mas berjalan kadang berlari biar cepat sampai. Tetapi saat Mas mendekati areal pemakaman Mas melihat sebuah mobil yang berhenti dengan lampu menyala. Mas dekati ternyata mobil itu habis kerampokan. Pengemudi dan istrinya pingsan." Mataku mnerawang, seolah semua kejadian itu tergambar jelas di depan mataku. "Terus Mas lapor polisi?" tanya Irene penasaran."Gak, Mas pernah belajar bawa mobil waktu di kampung. Mas bawa korban ke rumah sakit. Saat mereka sadar dan sudah sembuh, mereka sangat berterima kasih dan merasa berhutang bud
Bab 20Seminggu kemudian, saat aku baru pulang dari kantor. Irene menyambutku di depan pintu lalu menyerahkan sebuah amplop coklat padaku.Hm, surat dari Pengadilan Agama, jadwal sidang sepuluh hari lagi. Oke, waktunya kamu menangis semakin dekat Dhifa."Mas gak pakai jasa pengacara untuk mendampingi Mas. Soalnya kan harta yang Mas tuntut gak sedikit," usul Irene.Iya juga ya, aku bakal kerepotan menghadapi pengacaranya Dhifa nanti."Nanti Mas coba hubungi teman Mas yang pengacara," sahutku."Jangan kelamaan Mas, biar Mas dan Pengacara itu nanti bisa membuat persiapan yang matang!" "Iya, sekarang Mas lapar. Kamu masak apa?" "Gak masak Mas, aku beliin baso aja ya atau gado-gado buat teman nasi?" Yah Ren, semenjak tinggal disini kamu jadi malas masak. Bosan Mas makan baso lagi."Terserah deh!" ucapku akhirnya.Kalau gak nanti Irene ngambek, bisa runyam lagi nanti. Bakalan tidur di ruang tamu lagi aku."Ya sudah Mas mandi dulu, biar aku beliin gado-gadonya!" Aku masuk ke rumah sambil
Bab 21Pov Nadhifa.Aku tersenyum geli membayangkan wajah bingung Mas Fatan saat tahu mobil dan rumahnya sudah dijual. Enak saja dia mau menuntut harta gono gini. Kerja saja gak becus, kalau tidak dibantu staf-staf khusus yang aku tugaskan mengawasi dan menjalankan Perusahaan mungkin perusahaan itu sudah bangkrut sekarang.Ah, bodoh sekali aku dulu. Mudah luluh dan termakan rayuan manis Mas Fatan. Kamu memang playboy cap Musang Mas. Aku cinta mati dan menutup mata dan telinga dari nasehat teman-temanku. Padahal mereka telah mengingatkan aku kalau Mas Fatan itu suka melirik cewek lain saat bersamaku.Cinta memang telah membutakan mata dan hatiku. Kukira setelah menikah Mas Fatan akan merubah sifatnya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin melayaninya di rumah. Tapi ternyata dia masih merasa kurang. Batas kesabaran ini telah habis, oke Mas kita lihat sampai mana kamu bisa bertahan hidup dalam keterbatasan finansial."Apa kamu sudah siap, Fa?" tanya Mas Riko. Mas Riko menjadi Pengaca
Bab 22"Selamat siang Bu," sapa para karyawanku saat aku masuk. "Siang, kalian sudah makan semua?" tanyaku. Karena kulihat pelanggan lumayan ramai hari ini. Aku khawatir karyawanku asyik bekerja jadi lupa makan."Sudah Bu, tadi bergantian." jawab mereka."Bagus, saya pengen perawatan rambut hari ini!" "Baik Bu," ucap Nia. Aku memilih posisi di sudut agar tak mengganggu pelanggan yang lain.Rambutku mulai disiram dan diberi shampo ketika ada pelanggan baru masuk.Dia masuk dengan langkah dan gayanya yang angkuh. Aku hanya melirik sekilas. Dia terus berjalan dan memilih tempat duduk di sampingku. Aku kaget melihat wajahnya. Irene, mengapa dari sekian banyak salon yang ada di kota ini dia memilih salonku.Dia tak kalah terkejut melihatku. Lalu seringai kesombongan muncul di bibirnya."Wah gak nyangka bisa ketemu istri tua disini. Nyalon juga Mbak, dandan buat siapa?" ejeknya.Nia yang sedang mengeringkan rambutku hendak menjawab. Aku memberi kode dengan gelengan. Nia mengangguk men
Bab 23Pov Irene."Huh selamat," gumamku pelan.Aku heran dengan Ibu-ibu sekarang. Doyan banget main keroyokan nge-bully aku. Aku kan gak salah. Aku bukan pelakor, aku kan sudah menikah dengan Mas Fatan. Sedangkan pelakor itu hanya pacaran aja sama laki orang. Dasar Ibu-ibu rese, gagal deh niatku buat perawatan. Itu juga para lelaki di teras dan parkiran salon, kenapa mereka tertawa melihatku. Untung aku cepat menyetop angkot ini tadi.Eh ini kenapa para penumpang juga pada senyum-senyum melihatku. Pak supir juga berulang kali menoleh ke belakang melihatku. Pada kenapa sih?"Eh kamu ngapain senyum-senyum terus melihatku. Naksir ya melihat kecantikanku?" semprotku pada pemuda yang duduk didepanku."Naksir? Buahahaha!" tawanya malah meledak seketika.Yang lain juga kompak tertawa terbahak-bahak. "Mbak mau ngelenong dimana?" tanya seorang Bapak berkopiah."Ngelenong?" tanyaku tak mengerti."Mbak punya ponsel gak, coba deh dilihat wajahnya. Hahaha!" saran pemuda di depanku masih tert
Bab 24Pov Fatan."Ratna anaknya Rogaye, ya ampun gak nyangka ya. Cantik-cantik doyannya sama laki orang. Mau jadi pelakor dia!" sambung Bu Tika kesal."Jaman sekarang gak usah heran Bu, kita harus hati-hati sama pelakor. Awas aja kalau ketahuan ada pelakor di komplek kita. Tak kasih bubuk cabe itu rawa-rawanya!" sambar Bu Mila di sampingku.Hah pelakor, bubuk cabe? Aku bergidik mendengarnya. "Bang maaf ya, belanjanya gak jadi." Aku bergegas kembali ke rumah. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Entah kenapa sekarang kalau ada sekumpulan Ibu-ibu dan mereka mengucapkan kata pelakor aku ketakutan setengah mati.Aku meneguk segelas air mencoba menenangkan hatiku. Mas Fatan baru keluar dari kamar mandi. "Mana belanjaanmu Ren?" tanyanya."Gak jadi Mas, sayurannya gak ada yang bagus," jawabku berbohong."Masakkan Mas mi instan, Mas mau ke kantor!" "Mas yakin gak pergi ke Pengadilan. Kalau Mas gak pergi hari ini, gugatan si Dhifa dikabulkan Pengadilan lho?" tanyaku.Mas Fatan yang sedan