Sirine ambulans memecah malam. Lampu merah-biru memantul di dinding rumah sakit mewah itu. Para petugas medis yang semula bersiap menerima pasien lain, tiba-tiba berhamburan ke luar begitu suara radio memberi kode merah.
“AMBULANS MASUK! KODE MERAH! CEPAT SIAPKAN TIM!” Salah satu koordinator jaga berteriak sambil berlari ke arah pintu otomatis. Ban ambulans berhenti dengan rem mendecit. Pintu belakang terbuka kasar. Dua paramedis segera menurunkan brankar, dan tubuh tergeletak di atasnya membuat semua orang menahan napas. “Astaga... itu... itu Direktur Jennie!” Salah satu perawat hampir menjatuhkan clipboard di tangannya. Tangannya gemetar. “Jangan bengong! SEMUA SIAP!” bentak Dokter Yoon, segera berlari sambil menarik sarung tangan medis. “Pasien perempuan, dua puluh tujuh tahun! Luka robek dalam di pelipis kanan, benturan kepala parah, kehilangan kesadaran sesaat di TKP!” “Tekanan darah 80/50! Saturasi turun! Ada respons mata, tapi lemah!” Paramedis di sisi kiri masih menggenggam tangan Jennie. “Mrs, kami di sini. Dengar suara saya, bertahan, ya... kamu kuat.” Jennie menggeliat lemah. Bibirnya bergerak pelan. “Liam...” Suster menahan napas. Air matanya jatuh tak tertahankan. “Dia sadar... dia memanggil suaminya...” “KITA HARUS MASUK SEKARANG!” Dokter Yoon mengatur arah brankar. “Tahan luka dengan tekanan konstan! Siapkan jalur infus! Panggil ruang operasi jaga; INI MUNGKIN KASUS KRANIUM!” Tim medis mendorong brankar ke lorong menuju IGD. Semua terlihat kacau, tapi tetap terkoordinasi. “AWAS SAMPING! HATI-HATI BELAKANG!” “Apa ruang IGD sudah steril?” “Sudah! Dokter Cha dan tim saraf siap di dalam!” Darah terus menetes dari pelipis Jennie, membasahi leher hingga bantal tandu. Napasnya tidak teratur. Oksigen mengalir deras melalui masker yang menutupi wajahnya. “Suster, pasang second line IV! Jangan biarkan tekanan darah drop lebih jauh!” “Kami butuh kantong darah A+ dalam lima menit!” “Dia dokter kita! DIA NYAWA KITA SEMUA! CEPAT!” jerit salah satu senior yang terlihat nyaris panik. Mereka membelok tajam di koridor. Lantai rumah sakit yang biasanya bersih, kini dipenuhi jejak roda brankar dan noda darah. “TINGGALKAN LORONG! INI KODE KHUSUS!” Security berteriak sambil membuka jalan. Sejumlah suster magang menyingkir sambil menutup mulut menahan tangis. “PINTU IGD SUDAH DIBUKA! MASUKKAN!” “SATU, DUA, ANGKAT!” Dengan gerakan cepat namun tetap hati-hati, mereka mengangkat Jennie ke tempat tidur khusus penanganan awal. “Lepaskan semua perhiasan! Buka pakaian bagian atas! Hubungkan EKG sekarang juga!” Monitor mulai berbunyi, menunjukkan detak jantung yang tidak stabil. “KITA BISA KEHILANGKAN DIA KAPAN SAJA! SIAPKAN SEMUA!” Pintu ruang IGD tertutup otomatis dengan suara klik, memisahkan tim dari orang-orang yang masih menangis di luar. Jennie, sang penyelamat ratusan nyawa, kini berada di ujung tanduk; dan semua orang di rumah sakit tahu pagi itu bukan pagi biasa. *** “Tekanan darah naik ke 90/60, tapi masih tidak stabil!” Suster Wen menyeka pelipis Jennie yang basah oleh darah dan keringat dingin. “Pupil masih responsif, tapi kita harus cepat!” ujar Dokter Cha, spesialis bedah saraf yang memimpin penanganan. “Luka robek di pelipis kanan cukup dalam, perlu dijahit segera. Tapi yang lebih genting adalah kemungkinan perdarahan dalam di otak.” “CT scan belum bisa dilakukan sampai tekanan stabil, Dok!” tim radiologi bersiap di luar ruangan, tapi belum bisa melakukan tindakan lebih lanjut. “Baik, kita jahit dulu lukanya. Beri dosis ketiga analgesik. Pastikan dia tetap tenang.” Suster Ji menahan tangisnya sambil membersihkan area luka. “Dok, ini... ini Direktur kita. Dia selalu ada buat pasien lain, dan sekarang...” “Fokus, Ji. Kalau kamu menangis, siapa yang akan menyelamatkannya?” Suara Dokter Cha tajam tapi lembut. Tangannya terus bekerja sigap membersihkan luka dengan gerakan profesional. “Scalpel. Forcep. Benang 4.0. Kita mulai.” Suster-suster lainnya menyiapkan alat steril. Proses penjahitan dimulai. Ketegangan terasa begitu nyata. “Ada pendarahan aktif dari cabang temporal! Tekan lebih kuat, jangan sampai mengalir ke mata!” “Darah terus mengalir, Dok!” Suster Ha-eun menekan area samping dengan kasa sambil menggigit bibirnya sendiri. “Jangan panik. Sudut jahitan berikutnya harus lebih dalam. Saya butuh ruang, Ji, sinar lebih dekat ke pelipis!” Tik… tik… tik… Suara monitor jantung terdengar cepat, naik turun seolah mengikuti ketegangan suasana. “Kita sudah hampir selesai,” bisik Dokter Cha, keringatnya menetes di dahi. “Empat jahitan lagi... tiga... dua... satu. Oke. Bersihkan area sekitar.” “Darah berhenti.” Suara suster terdengar lega. “Luka pelipis tertutup total. Tapi lebam di dahi dan sisi rahang butuh observasi lanjut.” Jennie masih tidak sadarkan diri. Monitor menunjukkan detak jantung perlahan menurun ke ritme normal. Semua menarik napas lega. “Berapa lama dia pingsan sejak kejadian?” “Sekitar 25 menit sebelum sampai IGD. Sampai sekarang total sudah lebih dari satu jam dia belum sadar.” jawab Suster Ha-eun. Dokter Cha melirik hasil scan kepala awal yang diproses cepat di layar kecil. “Tidak ada perdarahan masif, tapi ada indikasi memar otak bagian temporal. Kita harus jujur.” Ia menoleh ke para tim medis yang menunggu putusan. “Begitu dia siuman nanti… ada kemungkinan dia mengalami temporary amnesia. Terutama pada memori jangka pendek, atau bahkan memori emosional.” Semua terdiam. Suster Ji menutup mulutnya dengan tangan. “Apa maksudnya... dia bisa lupa siapa dirinya?” “Itu mungkin terjadi. Tapi bisa juga hanya kehilangan sebagian kenangan 24 jam terakhir, atau lebih. Kita tidak bisa pastikan sampai dia sadar penuh.” “Tuhan... Mrs, Jen...” “Kita akan pantau selama 12 jam pertama. Siapkan ruang ICU. Jangan sampai ada suara keras. Jaga dia seperti kalian menjaga hidup kalian sendiri.” Tim medis mulai membersihkan alat. Jennie dipindahkan perlahan ke ranjang ICU yang sudah menunggu di luar ruangan. Dokter Cha menatap wajah pucat Jennie, lalu menoleh ke jendela kaca di sisi ruangan. “Di luar sana, suami yang sangat mencintaimu... sekarang sedang menunggu kabar.” *** [TV Nasional – Breaking News] "Baru saja kami menerima kabar mengejutkan dari pusat kota Seoul. Direktur muda Kim Medical Center, Dokter Jennie Kim, mengalami kecelakaan tragis saat melaju menggunakan mobil sport miliknya di kawasan Gangnam. Mobil bertabrakan dengan kendaraan dari arah berlawanan dan sempat terguling hingga menabrak pembatas jalan. Saat ini, korban sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit milik keluarganya." Potongan rekaman drone memperlihatkan mobil sport berwarna putih yang ringsek di sisi jalan, dengan polisi sibuk memasang garis pembatas. Di sudut layar, wajah Jennie muncul bersama profilnya: “Jennie Kim – Direktur Kim Medical Center, lulusan terbaik Harvard Medical School.” [Media Sosial – Trending Topic] #PrayForJennieKim #DirekturKimKecelakaan #KimMedicalCenter Komentar netizen membludak. “Baru tadi pagi beliau meresmikan klinik anak gratis di Busan. Astaga, semoga selamat…” “Aku pasiennya… dia dokter yang hangat banget. Please jangan kenapa-kenapa.” “Ada yang tahu update kondisi Direktur Kim?” *** “Apa?? Kecelakaan?” Nyonya Kim menjatuhkan gelas teh yang dipegangnya saat menyaksikan TV. Pecahan kaca menyebar di lantai. Byur! “Tidak! Itu… Jennie…” Wajahnya pucat pasi. Tuan Kim berdiri membeku di depan televisi, matanya tak lepas dari tayangan yang terus memutar gambar mobil rusak. “Itu... mobil Jennie. Astaga…” Tanpa menunggu, ia meraih ponsel dan segera menekan tombol speed dial. “Hubungi supir sekarang juga! Kita ke rumah sakit!” “Jennie… Tuhan… putriku!” Nyonya Kim hampir terjatuh, tapi dibantu pembantu rumah mereka. Tuan Kim masih dengan tangan gemetar menghubungi seseorang. “Halo. Raka?” “Paman Kim?” Suara Raka terdengar ragu di seberang. “Raka, kau sudah tahu tentang kecelakaan Jennie?” “Kecelakaan?” Raka terdiam sejenak. “Tidak, aku baru pulang dari luar kota. Apa maksud paman?” “Jennie kecelakaan. Dia sedang dirawat di rumah sakit kami. Keadaannya... kritis.” Suara Tuan Kim serak. “A-apa...?” Raka terdengar tercekat. “Aku... aku akan ke sana sekarang.” “Cepatlah. Kami juga sedang menuju ke sana.” Tuan Kim menutup telepon dan menatap istrinya yang kini tak berhenti menangis. “Dia tak sendirian. Kita harus di sana… sekarang!” *** Suasana di dalam café siang itu cukup tenang. Beberapa pelanggan sibuk dengan laptop, sebagian lagi asyik berbincang pelan. Di sudut dekat kasir, layar televisi besar yang tergantung di dinding memutar berita nasional. Gambar mobil sport putih yang ringsek memenuhi layar. “Breaking News: Direktur Rumah Sakit Kim Medical Center, Dokter Jennie Kim, mengalami kecelakaan parah malam ini di kawasan Gangnam. Korban saat ini sedang menjalani penanganan intensif di rumah sakit milik keluarganya. Sumber menyebutkan kondisi beliau cukup kritis…” Liam berdiri di balik meja kasir, mengenakan apron hitam dengan kemeja lengan tergulung. Satu tangan menyandarkan tubuh ke laci kasir, sementara mata tajamnya menatap ke layar televisi tanpa berkedip. Wajah Jennie muncul di layar. Potret resmi. Tersenyum. Mobil hancur. Lalu gambar brankar yang dikerumuni petugas medis. Pelanggan di dekatnya terkesiap. “Astaga… itu Jennie Kim! Direktur muda itu…!” “Oh Tuhan… kecelakaan? Aku suka banget waktu dia jadi pembicara di seminar kesehatan bulan lalu.” Namun, tidak ada satu pun reaksi di wajah Liam. Tidak ada kejutan. Tidak ada panik. Tidak ada amarah. Hanya diam. Beku. Tangannya perlahan meraih gelas kopi yang sudah dingin di samping mesin kasir. Ia menyesapnya sedikit, menatap layar itu sejenak… lalu menurunkan pandangannya. “Aku tidak merasa apa-apa,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. “Karena hatiku… sudah mati pagi itu.” “Dia memilih jalan yang menghancurkan segalanya. Dan inilah akibatnya.” Bisikan itu keluar pelan, hanya untuk dirinya sendiri. ***Cahaya matahari pagi mengintip dari balik tirai jendela ruang makan mereka yang mungil tapi hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik mengisi udara, berpadu dengan harum minuman cokelat kesukaan Liam. Meja makan bundar dari kayu yang hanya berisi dua kursi itu dipenuhi dengan keheningan hangat khas pasangan yang saling memahami; tak perlu banyak kata untuk merasa nyaman. Jennie duduk berhadapan dengan Liam, mengenakan blouse putih dan rok pensil abu-abu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih tanpa makeup tebal. Liam di sisi lain terlihat kasual tapi rapi, mengenakan kemeja hitam dan celana panjang kain berwarna krem. Wajahnya tenang, namun ada sedikit ketegangan di sudut matanya. “Hmm... Jadi nanti aku bawa makan siang aja ya,” gumam Jennie sambil menusuk potongan sosis di piringnya. “Aku bisa keluar istirahat sekitar jam satu, terus ke cafemu dan kita makan bareng.” Liam mengangkat wajahnya, menatapnya penuh sayang. “Sayang...” katanya lembut, suaranya serak pagi. “Ka
Setelah makan siang bersama teman-teman, Liam dan Jennie akhirnya tiba di apartemen baru mereka yang terletak di jantung kota Berlin. Gedung pencakar langit modern itu menjulang megah dengan balkon kaca bening yang menghadap langsung ke lanskap kota. Dari jendela, tampak deretan gedung tinggi, lalu lintas kota yang ramai namun teratur, dan langit biru yang mulai dihiasi semburat jingga menjelang senja. Jennie membuka pintu apartemen dengan senyum bangga. “Selamat datang di rumah kita selama di Jerman, Sayang,” ujarnya sambil menoleh ke arah Liam yang berdiri di ambang pintu, memandang takjub. Liam melangkah masuk perlahan, matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan penuh kagum. Langit-langit tinggi, dinding putih bersih, perabotan kayu berdesain minimalis, dan jendela lebar yang membiarkan cahaya alami membanjiri ruangan. “Wow…” gumamnya pelan, lalu menoleh dan tersenyum hangat. “Sayang, ini… luar biasa.” Jennie tertawa pelan. “Kau suka?” Liam mengangguk dengan penuh semangat. “
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka resmi menikah kembali. Tiga hari yang mereka habiskan di dalam mansion tanpa keluar sama sekali; hanya berdua, menikmati kehangatan rumah yang kini benar-benar terasa seperti rumah. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya setelah hari pernikahan, mereka keluar. Jennie duduk di balik kemudi, mengenakan blouse putih sederhana dengan celana jeans terang yang memperlihatkan pesonanya yang alami. Rambutnya diikat longgar ke belakang, beberapa helai tergerai, menambah kesan manis di wajahnya. Liam duduk di samping, diam-diam memperhatikannya sejak mereka meninggalkan gerbang mansion. “Sayang,” Jennie membuka suara sambil menatap sekilas ke arah suaminya, “kita mampir sarapan di kedai dulu, atau beli makanan terus makan di cafe barumu?” Liam masih menatap wajah istrinya. Tatapan yang membuat Jennie merasa seperti tengah diperhatikan oleh mata paling lembut di dunia. Tanpa mengalihkan pandangan, Liam menjawab pelan, “Kita parkir aja dulu di cafe, lalu jalan
Hari itu, langit Seoul seolah merestui kebahagiaan yang kembali terajut. Matahari bersinar hangat tanpa menyilaukan, angin semilir menari di antara dedaunan, dan denting lonceng gereja terdengar syahdu, menyambut momen yang akan selamanya terpatri dalam hidup Jennie dan Liam. Gereja putih bergaya klasik itu tampak megah namun tenang. Di dalamnya, bangku-bangku kayu diisi para tamu undangan yang hadir dengan penuh antusias dan haru. Di barisan depan, Tuan dan Nyonya Kim duduk berdampingan, tampak anggun dalam balutan busana formal. Wajah mereka mencerminkan kebanggaan dan rasa damai, karena akhirnya putri tercinta mereka menikah kembali dengan pria yang sungguh mencintainya. Di sisi lain, tampak Jiah tersenyum lembut sambil merangkul Jehan yang duduk di pangkuannya, sementara para karyawan kafe Liam; Minjae, Jihye, dan lainnya; berdiri dengan mata berbinar. Teman-teman Jennie dari Jerman pun duduk tak jauh dari altar, beberapa masih tak percaya bahwa sahabat mereka telah membawa mere
10 bulan kemudian...Hari itu langit Berlin tampak sendu, seolah ikut merasakan suasana hati banyak orang di Rumah Sakit Jerman tempat Jennie bekerja selama satu tahun setengah. Di depan gedung utama rumah sakit, puluhan rekan kerja, staf medis, perawat, bahkan beberapa pasien dan keluarga pasien yang mengenalnya berkumpul mengantar kepergian Jennie ke Korea Selatan.Jennie berdiri dengan koper kecil di sisinya, mengenakan trench coat krem panjang, syal rajut abu-abu yang dililitkan oleh salah satu perawat, dan mata berkaca-kaca yang sulit menyembunyikan haru di balik senyumnya.“Aku… nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Jennie pelan, suaranya sedikit bergetar saat ia berdiri di tengah-tengah semua rekan kerjanya. “Tapi, terima kasih. Terima kasih karena sudah menerima aku, membimbing aku, mengizinkan aku belajar dan bekerja di tempat ini dengan semua cinta dan kepercayaan.”Suara isakan pelan terdengar dari beberapa perawat wanita yang berdiri di barisan belakang.“Selama di sini,
Langit Berlin pagi itu berwarna kelabu, mendung seperti menyatu dengan suasana hati Jennie yang berdiri dalam pelukan terakhir suaminya di terminal keberangkatan Bandara Tegel.Pelukan mereka erat dan penuh bisu, seolah mencoba mengunci waktu, menolak kenyataan bahwa mereka akan kembali terpisah jarak dan waktu untuk sepuluh bulan ke depan.“Aku akan kembali, Sayang...” bisik Jennie pelan di dada Liam, suaranya terdengar serak menahan tangis. “Sepuluh bulan lagi. Setelah masa praktik ini selesai, aku akan kembali ke Seoul. Lalu kita akan menikah lagi. Aku janji.”Liam mengeratkan pelukannya sesaat, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka, menatap wajah Jennie yang mulai memerah karena air mata yang tertahan.Tangannya terulur, membelai anak rambut Jennie yang keluar dari balik telinga. Lembut dan penuh kasih.“Aku akan menunggu, J.” suara Liam terdengar tenang namun penuh makna. “Tak peduli berapa lama... Aku siap menikahimu kembali. Kali ini, tanpa jeda. Tanpa luka.”Jennie menggigit