Share

Suami Malang Tunarunguku
Suami Malang Tunarunguku
Penulis: UKIR PENA

Cerai

Penulis: UKIR PENA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-18 19:34:23

Suara langkah kaki Jennie terburu-buru menuruni tangga. Tangannya menggenggam kunci mobil dan tas tangan besar berwarna cokelat tua. “Aku pergi dulu, Sayang! Ada pasien emergency yang harus kutangani,” serunya sambil menuruni tangga, tak menoleh sedikit pun ke arah pria yang duduk di ruang kerja dengan buku tebal di pangkuannya.

Liam hanya mengangguk kecil dari balik kacamata bacanya. Ia tidak membalas dengan ucapan atau tanda, hanya melambaikan tangan sebagai isyarat, seperti biasa.

Pintu depan tertutup. Hening menggantung sesaat di dalam rumah besar itu.

Liam menutup buku di pangkuannya dan berdiri perlahan, berencana membereskan cangkir kopi milik Jennie yang belum sempat disentuh di atas meja kerja di ruang baca. Tapi saat melewati ruang kerja pribadi istrinya, ia melihat cahaya dari layar laptop menyala, terbuka. Sepertinya laptop itu lupa ditutup saat Jennie tergesa pergi.

“Jangan sentuh barang pribadi orang lain, Liam...” suara hati kecilnya mengingatkan.

Namun langkahnya seakan punya kehendaknya sendiri. Cahaya dari layar laptop itu seperti memanggil.

Ia melangkah masuk.

Tangannya ragu menyentuh touchpad laptop itu. Tapi saat layar terbuka penuh, pandangannya membeku. Sebuah email terbuka—judulnya membuat jantungnya mencelos:

Transfer rutin untuk Raka - Maret 2025

Matanya menyusuri isi surel. Ada lampiran bukti transfer sebesar Rp70.000.000 ke rekening luar negeri atas nama Raka Ardiansyah. Setiap bulan. Selama dua tahun.

Liam terduduk perlahan. Jari-jarinya gemetar saat membuka folder di samping email itu: “Project Raka – Private”

Dia klik satu dokumen.

> “Raka akan tetap berada di Brisbane sampai masa pengalihan kasus selesai. Semua surat keterangan dari pengadilan sudah saya atur. Sisa pembayaran ke pengacara akan saya kirimkan minggu depan.”

Dada Liam terasa sesak. Nafasnya tercekat.

“Tidak... Tidak mungkin...” batinnya mulai berteriak.

Ia mencari folder lain. "Case Ayah – Bukti CCTV"

Klik.

Tersimpan dengan baik, rekaman saat mobil menabrak seseorang di malam itu. Ayahnya. Dan Raka... yang mengendarai mobil.

Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan tangis yang menumpuk selama ini. Luka lama terbuka, dan kini ditaburi garam oleh orang yang paling ia percayai.

Tangannya meraih surat lain.

> “Liam tidak tahu apa-apa. Aku hanya butuh waktu sampai dia menandatangani surat permohonan penangguhan penahanan. Setelah itu, dia bebas. Kau tenang saja di sana, Raka. Aku akan urus semua ini.”

Liam menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya berguncang hebat. Air mata jatuh tak terbendung.

“Jadi... ini alasannya...”

“Dua puluh kali... dua puluh kali kau memohon aku menerima pernikahan ini... hanya demi membebaskan pembunuh ayahku?”

Dadanya seperti diremas. Suara batinnya meraung. Ia merasa dipermainkan. Dijadikan alat. Semua kebaikannya selama dua tahun ini hanya untuk seseorang yang bahkan tidak pantas mendapatkannya.

Tangannya gemetar saat menutup laptop itu.

Ia berdiri perlahan, menahan tubuhnya yang limbung. Matanya merah, tapi tidak lagi basah. Ada bara api yang tumbuh di balik tatapannya. Luka yang tak terlihat, namun menghancurkan segalanya.

Ia berjalan ke kamar. Langkahnya berat. Setiap bayangan kenangan selama dua tahun terakhir menghantam pikirannya.

Saat ia menyiapkan air hangat untuk berendam sang istri…

Saat ia memasakkan sarapan favoritnya…

Saat ia mengecup keningnya setiap pagi dan malam…

Saat ia diam saat orang-orang mengejek keadaannya, karena ia tuli… tapi ia tetap berdiri, demi cinta yang ia pikir tulus.

Liam membuka laci meja kecil di samping ranjang. Mengambil kertas yang ia temukan sebulan lalu; surat cerai bertanda tangan Jennie.

Saat itu ia tidak paham. Kini semua jelas.

Ia menarik napas dalam-dalam, menandatangani bagian untuk pihak suami. Perlahan, ia lepas cincin dari jari manisnya. Diletakkan rapi di atas surat cerai. Liam mengirim pesan pada istrinya.

***

Ting!

Pesan masuk dari Liam:

"Ada yang ingin aku katakan padamu. Kembalilah sekarang."

Jennie baru saja memasuki jalan besar setelah keluar dari komplek rumah. Mobilnya melaju stabil, tetapi pesan itu menghentikan aliran pikirannya seketika. Alisnya berkerut.

"Tidak seperti biasanya... Liam tidak pernah kirim pesan kayak gini. Tumben pakai kalimat langsung." gumamnya, jemarinya menekan tombol lampu sen untuk berputar balik.

Ada tekanan emosional dalam pesan suaminya. Dia bisa merasakannya. Ada yang salah.

Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah. Rumah sakit bisa menunggu; meski ada pasien yang membutuhkan dirinya. Tapi suaminya... suaminya yang biasanya diam dan sabar, mengirim pesan langsung? Itu bukan hal kecil.

***

Di kamar utama lantai dua, Liam duduk di tepi kasur dengan wajah datar dan mata memerah. Di tangannya, ada cincin yang telah ia lepaskan tadi. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang sangat menyakitkan. Dia memandangi pintu, menunggu.

Klik!

Suara pintu terbuka membuat tubuhnya menegang.

Jennie masuk dengan langkah cepat. “Sayang... kenapa?” tanyanya sambil menatap wajah suaminya; wajah yang begitu asing saat ini.

Tatapan Liam kosong, namun penuh luka. Ia berdiri, menatap lurus ke arah wanita yang telah mengisi hari-harinya. Wanita yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri.

“Kenapa?” suara Jennie lirih, nyaris tak terdengar. Ada ketakutan yang mulai merayap di dadanya.

Liam menatap matanya dalam-dalam. Satu kata keluar dari mulutnya dengan jelas.

“Cerai.”

Deg!

Kata itu seperti ledakan. Dunia Jennie berhenti seketika. Jantungnya seperti diremas keras.

“A... apa?” suaranya tercekat.

“Apa maksudmu... cerai? Liam... kamu bercanda, ya?” Dia mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya patah. Ia melangkah maju, hendak menggenggam lengan suaminya.

Tapi Liam mundur dua langkah. Tatapan lembut yang biasa menatapnya kini telah berubah. Penuh luka. Penuh benci.

“Liam...”

Tangannya terulur, gemetar. “Tolong jangan lihat aku seperti itu. Tolong jelaskan... setidaknya beri aku alasan!”

Air mata Jennie langsung mengalir deras.

“Liam... aku mohon,” ucapnya panik.

Tapi Liam hanya memejamkan mata, menahan perih yang sudah terlalu dalam. Ia mengambil dompet, ponsel, dan mengenakan jaket tipis.

“Liam, tolong jangan pergi. Tolong... kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini...”

Jennie menarik ujung bajunya. “Kita bisa bicara baik-baik. Kumohon... jangan pergi seperti ini!”

Liam menepis tangannya pelan. Tak kasar, tapi tegas. Ia menatap wajah wanita itu terakhir kali; wajah yang pernah ia sebut rumah.

Lalu, dia pergi. Menuruni tangga dengan langkah cepat. Pintu depan terbanting pelan.

Jennie berdiri terpaku di ambang pintu kamar, lalu jatuh berlutut.

“Tidak... Liam...” suaranya pecah. Tubuhnya gemetar.

Air matanya tumpah seolah tak bisa berhenti. Ia memukul dadanya sendiri sambil menjerit pelan.

"Kenapa... kenapa aku begini bodoh... Liam... aku minta maaf... aku minta maaf..."

Matanya tiba-tiba tertuju pada meja kecil di samping ranjang. Di sana, sebuah cincin kawin... dan lembar surat.

Surat cerai.

Tangannya gemetar saat mengambilnya.

Sudah ditandatangani oleh Liam.

“Tidak... tidak... jangan seperti ini...!” ia berteriak. Suaranya serak dan putus asa.

Jennie bangkit. Ia menyeka air matanya sambil mengambil tas kecil.

“Aku harus menemukannya... aku harus bicara langsung... aku harus menjelaskan semuanya!”

Ia berlari menuruni tangga, masuk ke dalam mobilnya. Mesin dinyalakan dengan tangan gemetar. Matanya masih basah, napasnya tersengal.

“Tolong... jangan pergi dariku, Liam. Aku tahu aku salah. Tapi jangan tinggalkan aku...!”

Di tengah perjalanan...

Mobil Jennie melaju cepat. Tangannya menggenggam setir dengan erat.

“Liam... tolong... angkat teleponmu... lihat pesanku... tunggu aku sebentar saja...”

Namun dalam kekalutan dan air mata yang memburamkan pandangan, ia tak menyadari mobil dari arah berlawanan melaju terlalu cepat di tikungan...

BRAAAK!!!

Benturan keras terdengar. Mobil Jennie terguling ke sisi jalan. Kaca pecah. Asap mulai keluar dari kap mesin.

Darah menetes dari pelipisnya. Pandangannya kabur. Tapi bibirnya masih berusaha mengucapkan satu nama...

“Liam...”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lensasenja2104 99
Wow... Sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Malang Tunarunguku   Akhir Bahagia

    Tiga tahun telah berlalu... Laviska Ruby Meshach kini genap berusia enam tahun—masih menjadi satu-satunya buah hati dalam keluarga kecil yang penuh cinta itu. Hari ini menjadi hari bersejarah baginya, hari pertama masuk sekolah dasar. Sejak semalam, Laviska tak henti-hentinya mempersiapkan perlengkapannya sendiri: seragam yang digantung rapi di dekat tempat tidur, sepatu yang disemir bersama Daddy, hingga kotak makan lucu berisi camilan kesukaannya yang disiapkan oleh Mommy. Wajahnya semringah penuh antusias, begitu tak sabar ingin memperkenalkan diri di depan kelas, bertemu guru-guru, dan menjalin pertemanan dengan anak-anak lain. Namun di sisi lain, Jennie; sang Eomma, mengalami malam yang sangat berbeda. Bukannya tidur lelap karena hari besar putrinya akan segera tiba, Jennie justru menghabiskan malam dalam pelukan suaminya dengan tangis pelan yang tak berhenti. Tangis seorang ibu. Tangis akan waktu yang berjalan terlalu cepat. Tangis karena putri kecilnya kini sudah cu

  • Suami Malang Tunarunguku   Appa Eomma Hebat

    Waktu makan malam tiba. Lampu ruang rawat sedikit diredupkan, hanya cahaya dari layar televisi yang menampilkan film animasi keluarga dan lampu kota dari jendela besar yang menyinari ruangan itu dengan lembut. Jennie duduk di samping suami dan putrinya, sambil membawa mangkuk bubur hangat.Di pangkuan Liam, Laviska meringkuk manja, bersandar pada dada bidang ayahnya, menolak bergerak bahkan sedetik pun. Sejak tadi sore, Laviska tidak ingin berpisah dari Liam. Ia bahkan menangis ketika Liam hendak ke kamar mandi.“Laviska, sayang… sekarang waktunya makan malam,” kata Jennie dengan suara lembut sambil membelai rambut anak gadisnya yang lembut dan sedikit kusut.Laviska menggeleng cepat, wajahnya meringis. “Enggak mau… enggak lapar, Eomma…”Jennie tersenyum sabar. “Kalau kamu enggak makan, nanti tubuhmu makin lemas, Nak. Luka di keningnya juga nanti lama sembuhnya…”Liam mencium ubun-ubun Laviska dan berkata dengan suara hangat, “Sayang, kalau kamu makan yang banyak, nanti bisa cepat lep

  • Suami Malang Tunarunguku   Tragedi

    Pagi hari, tepat pukul 07.00, ketiganya; Jennie, Liam, dan Laviska; baru saja selesai menikmati sarapan sederhana bersama di ruang makan mereka yang hangat dan penuh cahaya matahari pagi. Piring-piring sudah hampir kosong, dan gelas jus jeruk milik Laviska tinggal setengah. Jennie mengelap bibir Laviska dengan lembut menggunakan tisu, lalu menatap putrinya yang duduk di pangkuannya. “Sayang, hari ini mau ikut Eomma ke rumah sakit atau ikut Appa ke kafe?” tanya Jennie sambil membelai rambut hitam lurus Laviska. Gadis kecil itu menoleh ke arah ayahnya, lalu kembali menatap ibunya dengan mata bulat penuh semangat. “Mau ikut Appa ajaa~!” jawabnya dengan cadel khas anak kecil. “Appa janji kemarin mau main sama Laviska di kafe, kan?” Jennie tertawa kecil. “Iya, Appa ingat.” Ia menoleh ke arah Liam yang hanya tersenyum sambil menyesap kopi hangatnya. “Kalau begitu, janji ya,” Jennie kembali menatap La

  • Suami Malang Tunarunguku   Hari Bahagia

    Tiga tahun telah berlalu dengan cepat. Hari itu, mentari pagi menelusup hangat ke dalam kamar utama mansion mewah keluarga kecil Kim. Di atas ranjang empuk berbalut seprai putih bersih, Jennie telah terjaga lebih dulu bersama Laviska; putri mungilnya yang hari ini genap berusia tiga tahun. "Selamat ulang tahun, sayang Eomma," bisik Jennie lembut, mengecup pelipis Laviska yang duduk di antara dirinya dan Liam yang masih terlelap. Laviska mengedip pelan. Mata bulatnya yang besar menatap wajah sang Appa yang tertidur pulas dengan posisi menyamping membelakangi mereka. Helaan napas Liam terdengar teratur. Ia baru pulang larut malam setelah menyelesaikan urusan di café yang akan mereka buka ulang dengan konsep baru: ramah anak. Café mereka. "Eomma..." bisik Laviska pelan. "Hmm?" Jennie mengusap anak rambut putrinya yang acak-acakan. "Appa... ngolok," ucap Laviska sambil menunjuk Liam

  • Suami Malang Tunarunguku   LAVISKA RUBY MESHACH

    9 bulan 9 hari. Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk lewat jendela besar ruang perawatan bersalin VIP di rumah sakit ternama kota. Ruangan itu terasa hangat, namun tetap penuh ketegangan. Di dalamnya, Jennie terbaring di ranjang pasien dengan wajah yang mulai pucat dan lelah, sementara Liam duduk di sebelahnya, tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan sang istri. Tuan dan Nyonya Kim telah menginap sejak malam sebelumnya, menemani dan membantu putri mereka. Tapi pagi itu mereka sedang pergi ke kantin untuk membelikan sarapan ringan untuk mereka dan Liam, yang sedari subuh belum beranjak dari sisi Jennie. Liam perlahan mengangkat botol air minum yang dia pegang sedari tadi. “Minum dulu, Sayang,” ucapnya lembut, membantu Jennie yang sedikit bersandar untuk minum. Jennie meneguk perlahan, napasnya sedikit terengah. “Terima kasih… Appa Debay…” bisiknya pelan, senyum lemah tersungging di bibirnya yang mulai kering.

  • Suami Malang Tunarunguku   Pembukaan

    Mobil hitam itu melaju pelan melewati jalanan kota pagi itu. Di dalamnya, Jennie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan cardigan lembut berwarna pastel dan masker yang sedikit diturunkan saat menyuapi suaminya dengan potongan kecil sandwich hangat yang mereka bungkus dari rumah. Di kursi pengemudi, Liam fokus menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menerima suapan dengan pasrah dan manja. "Aaah...," gumam Jennie sambil mengangkat potongan sandwich ke mulut Liam. Liam membuka mulutnya sambil melirik istrinya dengan senyum kecil. Setelah mengunyah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Kamu tahu," katanya dengan suara sedikit serak karena menahan mual, "aku masih nggak percaya... aku yang ngidam, bukan kamu." Jennie tersenyum lembut, lalu menyeka remah roti dari sudut bibir suaminya dengan jari. "Aku yang hamil, tapi kamu yang mual dan muntah. Aku yang bawa debay di perut, tapi kamu yang ngidam mi instan jam tiga pagi dan nangis karena kehabisan susu stroberi," godan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status