(Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut).
Setelah makan siang bersama teman-teman, Liam dan Jennie akhirnya tiba di apartemen baru mereka yang terletak di jantung kota Berlin. Gedung pencakar langit modern itu menjulang megah dengan balkon kaca bening yang menghadap langsung ke lanskap kota. Dari jendela, tampak deretan gedung tinggi, lalu lintas kota yang ramai namun teratur, dan langit biru yang mulai dihiasi semburat jingga menjelang senja. Jennie membuka pintu apartemen dengan senyum bangga. “Selamat datang di rumah kita selama di Jerman, Sayang,” ujarnya sambil menoleh ke arah Liam yang berdiri di ambang pintu, memandang takjub. Liam melangkah masuk perlahan, matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan penuh kagum. Langit-langit tinggi, dinding putih bersih, perabotan kayu berdesain minimalis, dan jendela lebar yang membiarkan cahaya alami membanjiri ruangan. “Wow…” gumamnya pelan, lalu menoleh dan tersenyum hangat. “Sayang, ini… luar biasa.” Jennie tertawa pelan. “Kau suka?” Liam mengangguk dengan penuh semangat. “
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka resmi menikah kembali. Tiga hari yang mereka habiskan di dalam mansion tanpa keluar sama sekali; hanya berdua, menikmati kehangatan rumah yang kini benar-benar terasa seperti rumah. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya setelah hari pernikahan, mereka keluar. Jennie duduk di balik kemudi, mengenakan blouse putih sederhana dengan celana jeans terang yang memperlihatkan pesonanya yang alami. Rambutnya diikat longgar ke belakang, beberapa helai tergerai, menambah kesan manis di wajahnya. Liam duduk di samping, diam-diam memperhatikannya sejak mereka meninggalkan gerbang mansion. “Sayang,” Jennie membuka suara sambil menatap sekilas ke arah suaminya, “kita mampir sarapan di kedai dulu, atau beli makanan terus makan di cafe barumu?” Liam masih menatap wajah istrinya. Tatapan yang membuat Jennie merasa seperti tengah diperhatikan oleh mata paling lembut di dunia. Tanpa mengalihkan pandangan, Liam menjawab pelan, “Kita parkir aja dulu di cafe, lalu jalan
Hari itu, langit Seoul seolah merestui kebahagiaan yang kembali terajut. Matahari bersinar hangat tanpa menyilaukan, angin semilir menari di antara dedaunan, dan denting lonceng gereja terdengar syahdu, menyambut momen yang akan selamanya terpatri dalam hidup Jennie dan Liam. Gereja putih bergaya klasik itu tampak megah namun tenang. Di dalamnya, bangku-bangku kayu diisi para tamu undangan yang hadir dengan penuh antusias dan haru. Di barisan depan, Tuan dan Nyonya Kim duduk berdampingan, tampak anggun dalam balutan busana formal. Wajah mereka mencerminkan kebanggaan dan rasa damai, karena akhirnya putri tercinta mereka menikah kembali dengan pria yang sungguh mencintainya. Di sisi lain, tampak Jiah tersenyum lembut sambil merangkul Jehan yang duduk di pangkuannya, sementara para karyawan kafe Liam; Minjae, Jihye, dan lainnya; berdiri dengan mata berbinar. Teman-teman Jennie dari Jerman pun duduk tak jauh dari altar, beberapa masih tak percaya bahwa sahabat mereka telah membawa mere
10 bulan kemudian...Hari itu langit Berlin tampak sendu, seolah ikut merasakan suasana hati banyak orang di Rumah Sakit Jerman tempat Jennie bekerja selama satu tahun setengah. Di depan gedung utama rumah sakit, puluhan rekan kerja, staf medis, perawat, bahkan beberapa pasien dan keluarga pasien yang mengenalnya berkumpul mengantar kepergian Jennie ke Korea Selatan.Jennie berdiri dengan koper kecil di sisinya, mengenakan trench coat krem panjang, syal rajut abu-abu yang dililitkan oleh salah satu perawat, dan mata berkaca-kaca yang sulit menyembunyikan haru di balik senyumnya.“Aku… nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Jennie pelan, suaranya sedikit bergetar saat ia berdiri di tengah-tengah semua rekan kerjanya. “Tapi, terima kasih. Terima kasih karena sudah menerima aku, membimbing aku, mengizinkan aku belajar dan bekerja di tempat ini dengan semua cinta dan kepercayaan.”Suara isakan pelan terdengar dari beberapa perawat wanita yang berdiri di barisan belakang.“Selama di sini,
Langit Berlin pagi itu berwarna kelabu, mendung seperti menyatu dengan suasana hati Jennie yang berdiri dalam pelukan terakhir suaminya di terminal keberangkatan Bandara Tegel.Pelukan mereka erat dan penuh bisu, seolah mencoba mengunci waktu, menolak kenyataan bahwa mereka akan kembali terpisah jarak dan waktu untuk sepuluh bulan ke depan.“Aku akan kembali, Sayang...” bisik Jennie pelan di dada Liam, suaranya terdengar serak menahan tangis. “Sepuluh bulan lagi. Setelah masa praktik ini selesai, aku akan kembali ke Seoul. Lalu kita akan menikah lagi. Aku janji.”Liam mengeratkan pelukannya sesaat, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka, menatap wajah Jennie yang mulai memerah karena air mata yang tertahan.Tangannya terulur, membelai anak rambut Jennie yang keluar dari balik telinga. Lembut dan penuh kasih.“Aku akan menunggu, J.” suara Liam terdengar tenang namun penuh makna. “Tak peduli berapa lama... Aku siap menikahimu kembali. Kali ini, tanpa jeda. Tanpa luka.”Jennie menggigit
Apartemen Jennie – Berlin, Jerman. Malam Tahun Baru. Pintu apartemen mewah itu terbuka, menyambut dua insan yang baru saja melewati malam penuh makna. Jennie dan Liam memasuki ruangan yang hangat dengan pencahayaan lembut keemasan. Interior apartemen itu bergaya modern-klasik, dinding marmer putih bersih, jendela besar menghadap kota Berlin, dan lantai kayu mengilap memberikan kesan elegan namun nyaman. "Wow…" gumam Liam pelan, matanya menyapu ruangan luas itu. Jennie tersenyum sambil melepas jaket dan syalnya. "Kau bilang apa?" "Katamu apartemenmu kecil," Liam menoleh padanya dengan alis terangkat. Jennie terkekeh kecil, "Kalau dibandingkan mansion Kim, ini masih kecil." Mereka meletakkan jaket dan syal mereka di gantungan pintu masuk. Jennie melepas sepatunya dan menoleh ke arah Liam, "Kau ingin minum sesuatu? Teh? Susu hangat?" Liam menggeleng pelan, "Air putih hangat saja sudah cukup, aku sedikit menggigil." "Oke, tunggu di ruang TV, ya? Duduk-duduk dulu. Aku baw