Mobil hitam itu melaju pelan melewati jalanan kota pagi itu. Di dalamnya, Jennie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan cardigan lembut berwarna pastel dan masker yang sedikit diturunkan saat menyuapi suaminya dengan potongan kecil sandwich hangat yang mereka bungkus dari rumah. Di kursi pengemudi, Liam fokus menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menerima suapan dengan pasrah dan manja. "Aaah...," gumam Jennie sambil mengangkat potongan sandwich ke mulut Liam. Liam membuka mulutnya sambil melirik istrinya dengan senyum kecil. Setelah mengunyah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Kamu tahu," katanya dengan suara sedikit serak karena menahan mual, "aku masih nggak percaya... aku yang ngidam, bukan kamu." Jennie tersenyum lembut, lalu menyeka remah roti dari sudut bibir suaminya dengan jari. "Aku yang hamil, tapi kamu yang mual dan muntah. Aku yang bawa debay di perut, tapi kamu yang ngidam mi instan jam tiga pagi dan nangis karena kehabisan susu stroberi," godan
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus tirai ruang makan, menyapa meja makan keluarga Kim yang sudah tertata rapi dengan menu sarapan khas Korea. Di kursi panjang tengah, Tuan Kim duduk membaca berita dari tablet-nya, sementara Nyonya Kim sedang menyeruput sup hangat dari mangkuknya. Jennie dan Liam baru saja bergabung, keduanya terlihat segar meski baru kembali dari perjalanan panjang. "Aigoo... Sarapan hari ini sungguh menggoda," ucap Jennie dengan mata berbinar sambil duduk di samping Liam, yang langsung menuangkan air hangat ke cangkirnya. "Selamat pagi, Mom, Dad," sapa Liam dengan senyum lembut, lalu mengangguk hormat ke kedua mertuanya. "Selamat pagi, Sayang. Liam," balas Nyonya Kim lembut. "Kalian tidur cukup semalam?" Jennie mengangguk. "Cukup, Mom. Malah tidur dalam pelukan penghangat portable ini," ujarnya sambil menyenggol
Setibanya di mansion Kim yang megah dan masih berdiri kokoh seperti delapan bulan lalu, Jennie menatap bangunan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat jemari Liam, dan senyumnya muncul perlahan, penuh kenangan. "Delapan bulan berlalu... tapi rasanya seperti kemarin kita terakhir berdiri di sini," ucap Jennie lirih, suaranya diselimuti kerinduan. Liam menoleh padanya dan mengangguk, "Iya, Sayang. Tidak ada yang berubah… bahkan aroma pohon cemara di halaman depan masih sama. Hangat dan menenangkan." Nyonya Kim yang mendengar itu dari belakang mereka langsung menyahut dengan senyum lembut, "Tentu saja tidak ada yang berubah, Sayang. Kami tidak ingin mengubah apa pun sebelum kalian kembali." "Rumah ini adalah rumahmu, Jennie… rumah kalian berdua," sambung Tuan Kim sambil menepuk bahu menantunya dengan penuh kebanggaan. Jennie menoleh dengan mata berbinar. “Terima kasih, Mom, Dad…” Nyonya Kim menggandeng tangan Jennie dan mengusapnya pelan, “Kami hanya menunggu wakt
Hari Pertama...Langit Berlin tampak cerah hari itu. Langit biru membentang luas di atas Gerbang Brandenburg yang ikonik, tempat yang kaya akan sejarah, kini menjadi saksi cinta dua insan yang tengah menanti hadirnya buah hati mereka. Jennie dan Liam berjalan bergandengan tangan, langkah mereka pelan seolah tak ingin melewatkan satu detik pun dari hari istimewa itu.Jennie mengenakan dress hangat berwarna coklat susu dan cardigan tebal yang melindungi tubuhnya dari hembusan angin musim gugur. Liam, dengan mantel hitam dan scarf abu-abu yang dililit rapi di lehernya, tak pernah melepaskan genggaman tangan sang istri.Mereka duduk di bangku taman, persis di seberang gerbang. Aroma kopi dan makanan khas jalanan tercium samar di udara. Hiruk pikuk kota terdengar lembut, tertutup oleh suara musik dari para musisi jalanan yang memainkan alat musik klasik dengan penuh penghayatan.Jennie menyandarkan kepalanya ke bahu Liam, tersenyum damai.“Tempat i
Satu bulan berlalu... Pagi itu, matahari Berlin belum terlalu tinggi, cahayanya hangat menembus jendela kaca besar ruang kerja Jennie. Aroma kopi dan cahaya matahari yang menari di atas meja kerjanya menambah kehangatan suasana pagi itu, meski hatinya terasa campur aduk. Jennie duduk diam di kursi kerjanya, jari-jarinya perlahan menyusuri permukaan meja kayu yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak cerita: tangisan pasien, tawa bahagia saat operasi berhasil, pelukan rekan kerja, juga malam-malam panjang ketika ia memilih menetap di rumah sakit demi menyelamatkan nyawa seseorang. Di hadapannya tergeletak sebuah map cokelat dengan tulisan kecil di bagian sampulnya: "Surat Pengunduran Diri - Dr. Jennie Kim, Sp.JP." Ia menarik napas dalam, seolah berusaha menahan emosi yang mulai menggerayangi dada. Lembaran terakhir. “Ruangan ini terlalu banyak kenangan,” gumam Jennie pelan, menatap sekitar. Ia menatap foto-foto di dinding: bersama rekan sejawat saat perayaan keberhasil
Dua bulan berlalu…Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui sela tirai putih kamar mereka. Liam terbangun lebih dulu. Wajah istrinya yang terlelap dalam dekapan hangatnya membuatnya tersenyum penuh cinta. Dengan perlahan, ia mengecup pipi Jennie dengan penuh kasih.Chup!Chup!Liam menatap wajah Jennie yang damai. Tangannya membelai lembut rambut istrinya, dan tak lama kemudian, Jennie menggeliat manja. Mata indahnya perlahan terbuka, lalu tersenyum begitu menyadari sumber ciuman hangat tadi.“Aku dibangunkan dengan manis,” gumam Jennie dengan suara serak khas bangun tidur. “Morning too, sayang…” ucapnya pelan, lalu mengecup dada suaminya yang telanjang.Liam tertawa kecil, senang melihat wajah istrinya yang masih mengantuk. “Oh, masih ngantuk, hm?” tanyanya sambil mempererat pelukannya, seperti enggan melepaskan sang istri dari pelukannya.Jennie mengangguk kecil, wajahnya bersandar di dada Liam. “Rasanya… sangat hangat. Nyaman sekali tidur di dekapanmu. Aku suka aroma tubu