Sudah satu minggu berlalu sejak hari itu; sejak ia menyaksikan Liam tersenyum di hadapan wanita lain sambil menyuapi anak kecil yang bukan darah daging mereka. Hatinya belum tenang. Pikirannya masih bising dengan tanya yang tak kunjung mendapat jawaban.Hari itu, Jennie duduk di balik meja kerjanya di ruang direktur Kim Hospital. Ia memeluk tumpukan berkas yang hampir semuanya telah ia tandatangani, matanya nanar menatap kertas demi kertas; seolah huruf-huruf di dalamnya hanya membentuk bayangan Liam.Tok. Tok.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh cepat, menarik napas dalam dan berkata, "Masuk."Pintu terbuka perlahan. Sesosok wanita berpakaian dokter berdiri di ambang pintu."Selamat siang, Direktur Jennie. Maaf mengganggu," ujar dokter Cha dengan sopan sambil sedikit menunduk.Jennie mengerutkan alisnya sebelum menutup map di depannya. "Ah, dokter Cha. Silakan duduk."Dokter Cha memilih sofa di sisi ruangan. Jennie bangkit dan ikut duduk di hadapan pria itu, tubuhn
Supermarket Premium, Siang HariMusik lembut dari speaker supermarket mengalun tenang, menambah kesan adem di dalam gedung yang sejuk oleh pendingin ruangan. Aroma roti baru panggang dari bagian bakery bercampur dengan segarnya tumpukan sayuran yang baru saja disusun oleh pegawai. Lorong-lorong terlihat rapi, dengan beberapa pelanggan yang sibuk memilih kebutuhan masing-masing.Di salah satu lorong dekat kasir, Liam tengah mendorong troli belanjaannya yang sudah setengah penuh. Bahu lebarnya tampak sedikit tegang karena sudah hampir tiga puluh menit ia mengitari supermarket, mencocokkan belanjaan dengan daftar yang ada di ponselnya.“Hmm... gula sudah... susu dua liter juga udah masuk. Whipping cream? Sudah,” gumam Liam sambil menyapukan jari ke layar ponselnya, mencoret daftar satu per satu. “Sirup caramel… nah, itu juga udah ada.”Setelah memastikan semua bahan yang dibutuhkan cafe-nya lengkap, Liam mendesah kecil dan mulai mendorong troli menuju kasir.Di baris paling kiri, kasir w
Jennie berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya, mengamati bayangannya sendiri. Ia mengenakan celana dasar hitam berpotongan lurus, dipadukan dengan kemeja biru muda, dan dilapisi blazer warna abu muda yang membuatnya tampak profesional namun tetap lembut. Rambut panjangnya yang cokelat kemerahan ia biarkan terurai rapi, menambah kesan anggun pada sosoknya.Dengan gerakan pelan, Jennie menyemprotkan parfum favoritnya ke leher dan pergelangan tangan.“Cantik seperti biasanya, Mrs, Direktur...” gumamnya sambil tersenyum pada refleksinya. Tangannya menyentuh pelan bekas jahitan di kening kirinya; luka yang belum lama sembuh akibat kecelakaan mobil. “Bahkan dengan bekas ini, kau tetap luar biasa.”Ia menghela napas pendek, lalu mengambil tas tangan hitam dari tempat gantungan. Setelah memastikan semuanya lengkap, Jennie melangkah keluar kamar dan mulai menuruni anak tangga mansion perlahan-lahan, hak sepatunya berdetak ringan di anak tangga yang mahal. Senyum cerah menghiasi wajahn
Pukul 08.30 pagi, di parkiran depan café, Liam berdiri bersandar santai di sisi mobil, mengenakan hoodie tipis abu-abu dan celana pendek hitam. Sepasang sandal selop dan rambutnya yang sedikit berantakan membuat penampilannya terlihat lebih santai dari biasanya. Di sampingnya ada Jisoo yang dari tadi sudah mondar-mandir sambil mengecek jam tangannya setiap lima menit. "Kemana sih manusia satu itu?" gerutunya kesal, jelas ditujukan untuk Jihye yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Minjae yang berdiri di dekat bagasi mobil membuka tutup botol air mineralnya dengan satu tangan lalu meneguk sedikit. Ia menyandarkan punggung di mobil dan menenangkan, "Hei, tenanglah. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi. Dia belum telat, Jisoo." "Tetap saja, Minjae," timpal Hana yang berdiri tak jauh dari mereka dengan kacamata hitam bertengger di atas kepala. "Kita sudah dari tadi menunggu. Kalau dia datang lebih awal, kan bisa lebih banyak waktu kita habiskan di pantai. Main voli, surfing,
Eomma Jihye meletakkan kimchi ke dalam mangkuk makan Liam sambil tersenyum hangat. “Kau harus makan yang banyak supaya cepat pulih dan benar-benar sembuh, ya,” ujarnya lembut. Liam mengangguk, tersenyum tulus. “Ne, terima kasih, Eomma. Masakan Eomma memang yang terbaik.” “Benarkah? Kau sangat murah hati melontarkan pujian. Sangat berbeda dengan Jihye yang selalu saja mengomel setiap kali makan di rumah,” kata Eomma sambil menambahkan potongan daging ke mangkuk Liam. “Aku tidak suka berbohong, Eomma,” jawab Liam jujur. Tatapannya beralih pada Jihye yang duduk di seberangnya, sedang mengunyah sambil mengerutkan kening kesal karena ibunya mengungkapkan semua kebiasaan buruknya di depan bosnya. Liam melanjutkan, nadanya lembut tapi penuh makna. “Kau harus lebih murah hati dalam melontarkan pujian untuk masakan dan semua hal yang Eommamu lakukan untukmu. Suatu hari nanti, kau akan menangis dan menyesal saat Eommamu sudah tak ada lagi. Jadi manfaatkan waktu bersama orang yang kau s
(Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut).Ruang UGD, Rumah Sakit Kim – Pukul 23:45. "Luka di bagian pelipis kanan cukup dalam, segera siapkan peralatan jahit luka!" seru Dokter Cha begitu melihat kondisi Liam yang tak sadarkan diri dan wajahnya penuh darah. Dua perawat di sampingnya sigap menuruti perintah. "Sudah dicek tekanan darahnya?" tanya Dokter Cha cepat, sambil dengan cekatan membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Liam. "Sudah, Dokter. Masih dalam batas aman, tapi denyut nadinya sedikit lemah," jawab salah satu perawat sambil menyerahkan kasa steril. Dokter