Share

Pergerakan Jennie

Penulis: UKIR PENA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-06 22:23:30

Sudah satu minggu berlalu sejak hari itu; sejak ia menyaksikan Liam tersenyum di hadapan wanita lain sambil menyuapi anak kecil yang bukan darah daging mereka. Hatinya belum tenang. Pikirannya masih bising dengan tanya yang tak kunjung mendapat jawaban.

Hari itu, Jennie duduk di balik meja kerjanya di ruang direktur Kim Hospital. Ia memeluk tumpukan berkas yang hampir semuanya telah ia tandatangani, matanya nanar menatap kertas demi kertas; seolah huruf-huruf di dalamnya hanya membentuk bayangan Liam.

Tok. Tok.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh cepat, menarik napas dalam dan berkata, "Masuk."

Pintu terbuka perlahan. Sesosok wanita berpakaian dokter berdiri di ambang pintu.

"Selamat siang, Direktur Jennie. Maaf mengganggu," ujar dokter Cha dengan sopan sambil sedikit menunduk.

Jennie mengerutkan alisnya sebelum menutup map di depannya. "Ah, dokter Cha. Silakan duduk."

Dokter Cha memilih sofa di sisi ruangan. Jennie bangkit dan ikut duduk di hadapan pria itu, tubuhn
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Suami Malang Tunarunguku   Pulang

    Hari Pertama...Langit Berlin tampak cerah hari itu. Langit biru membentang luas di atas Gerbang Brandenburg yang ikonik, tempat yang kaya akan sejarah, kini menjadi saksi cinta dua insan yang tengah menanti hadirnya buah hati mereka. Jennie dan Liam berjalan bergandengan tangan, langkah mereka pelan seolah tak ingin melewatkan satu detik pun dari hari istimewa itu.Jennie mengenakan dress hangat berwarna coklat susu dan cardigan tebal yang melindungi tubuhnya dari hembusan angin musim gugur. Liam, dengan mantel hitam dan scarf abu-abu yang dililit rapi di lehernya, tak pernah melepaskan genggaman tangan sang istri.Mereka duduk di bangku taman, persis di seberang gerbang. Aroma kopi dan makanan khas jalanan tercium samar di udara. Hiruk pikuk kota terdengar lembut, tertutup oleh suara musik dari para musisi jalanan yang memainkan alat musik klasik dengan penuh penghayatan.Jennie menyandarkan kepalanya ke bahu Liam, tersenyum damai.“Tempat i

  • Suami Malang Tunarunguku   Perpisahan

    Satu bulan berlalu... Pagi itu, matahari Berlin belum terlalu tinggi, cahayanya hangat menembus jendela kaca besar ruang kerja Jennie. Aroma kopi dan cahaya matahari yang menari di atas meja kerjanya menambah kehangatan suasana pagi itu, meski hatinya terasa campur aduk. Jennie duduk diam di kursi kerjanya, jari-jarinya perlahan menyusuri permukaan meja kayu yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak cerita: tangisan pasien, tawa bahagia saat operasi berhasil, pelukan rekan kerja, juga malam-malam panjang ketika ia memilih menetap di rumah sakit demi menyelamatkan nyawa seseorang. Di hadapannya tergeletak sebuah map cokelat dengan tulisan kecil di bagian sampulnya: "Surat Pengunduran Diri - Dr. Jennie Kim, Sp.JP." Ia menarik napas dalam, seolah berusaha menahan emosi yang mulai menggerayangi dada. Lembaran terakhir. “Ruangan ini terlalu banyak kenangan,” gumam Jennie pelan, menatap sekitar. Ia menatap foto-foto di dinding: bersama rekan sejawat saat perayaan keberhasil

  • Suami Malang Tunarunguku   Inspirasi

    Dua bulan berlalu…Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui sela tirai putih kamar mereka. Liam terbangun lebih dulu. Wajah istrinya yang terlelap dalam dekapan hangatnya membuatnya tersenyum penuh cinta. Dengan perlahan, ia mengecup pipi Jennie dengan penuh kasih.Chup!Chup!Liam menatap wajah Jennie yang damai. Tangannya membelai lembut rambut istrinya, dan tak lama kemudian, Jennie menggeliat manja. Mata indahnya perlahan terbuka, lalu tersenyum begitu menyadari sumber ciuman hangat tadi.“Aku dibangunkan dengan manis,” gumam Jennie dengan suara serak khas bangun tidur. “Morning too, sayang…” ucapnya pelan, lalu mengecup dada suaminya yang telanjang.Liam tertawa kecil, senang melihat wajah istrinya yang masih mengantuk. “Oh, masih ngantuk, hm?” tanyanya sambil mempererat pelukannya, seperti enggan melepaskan sang istri dari pelukannya.Jennie mengangguk kecil, wajahnya bersandar di dada Liam. “Rasanya… sangat hangat. Nyaman sekali tidur di dekapanmu. Aku suka aroma tubu

  • Suami Malang Tunarunguku   Kabar Bahagia

    Sudah lima bulan berlalu, pagi itu, matahari baru saja menyapa perlahan dari balik jendela kamar apartemen ketika Jennie terbangun lebih dulu dari tidur lelapnya. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat, dan dadanya seperti ditekan sesuatu yang membuatnya ingin muntah. Tanpa sempat membangunkan Liam, dia bangkit dan berlari ke kamar mandi. Sesampainya di sana, tubuhnya gemetar, tangannya bertumpu pada wastafel, dan dia pun memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya melemas, lututnya hampir tak mampu menopang berat badannya. Beberapa kali dia terduduk lemas di lantai kamar mandi, napasnya tersengal dan wajahnya pucat pasi. Sementara itu, di kamar tidur, tangan Liam meraba-raba sisi ranjang mencari keberadaan istrinya. Saat tangannya menyentuh tempat tidur yang dingin dan kosong, alisnya langsung mengernyit. Ia membuka mata, menoleh ke arah pintu kamar mandi, dan samar-samar mendengar suara yang membuat jantungnya mencelos.

  • Suami Malang Tunarunguku   Hari Baik

    Cahaya matahari pagi mengintip dari balik tirai jendela ruang makan mereka yang mungil tapi hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik mengisi udara, berpadu dengan harum minuman cokelat kesukaan Liam. Meja makan bundar dari kayu yang hanya berisi dua kursi itu dipenuhi dengan keheningan hangat khas pasangan yang saling memahami; tak perlu banyak kata untuk merasa nyaman. Jennie duduk berhadapan dengan Liam, mengenakan blouse putih dan rok pensil abu-abu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih tanpa makeup tebal. Liam di sisi lain terlihat kasual tapi rapi, mengenakan kemeja hitam dan celana panjang kain berwarna krem. Wajahnya tenang, namun ada sedikit ketegangan di sudut matanya. “Hmm... Jadi nanti aku bawa makan siang aja ya,” gumam Jennie sambil menusuk potongan sosis di piringnya. “Aku bisa keluar istirahat sekitar jam satu, terus ke cafemu dan kita makan bareng.” Liam mengangkat wajahnya, menatapnya penuh sayang. “Sayang...” katanya lembut, suaranya serak pagi. “Ka

  • Suami Malang Tunarunguku   Pendukung Terbaik

    Setelah makan siang bersama teman-teman, Liam dan Jennie akhirnya tiba di apartemen baru mereka yang terletak di jantung kota Berlin. Gedung pencakar langit modern itu menjulang megah dengan balkon kaca bening yang menghadap langsung ke lanskap kota. Dari jendela, tampak deretan gedung tinggi, lalu lintas kota yang ramai namun teratur, dan langit biru yang mulai dihiasi semburat jingga menjelang senja. Jennie membuka pintu apartemen dengan senyum bangga. “Selamat datang di rumah kita selama di Jerman, Sayang,” ujarnya sambil menoleh ke arah Liam yang berdiri di ambang pintu, memandang takjub. Liam melangkah masuk perlahan, matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan penuh kagum. Langit-langit tinggi, dinding putih bersih, perabotan kayu berdesain minimalis, dan jendela lebar yang membiarkan cahaya alami membanjiri ruangan. “Wow…” gumamnya pelan, lalu menoleh dan tersenyum hangat. “Sayang, ini… luar biasa.” Jennie tertawa pelan. “Kau suka?” Liam mengangguk dengan penuh semangat. “

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status