Rupa wanita yang duduk di seberang meja tampak asing. Namun, sebelum mengajak Litha bertemu, wanita itu sudah menjelaskan siapa dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu, Litha tidak perlu repot-repot untuk menanyakan nama dan maksud wanita itu.Mereka duduk saling berhadapan di sebuah meja cafe yang menghadap dinding kaca. Litha menunggu wanita anggun—yang usianya lebih tua sekiranya dua puluhan tahunan darinya—untuk memulai perbincangan. Bisa dibilang wanita ini mungkin seusia dengan ibunya.“Silakan katakan apa yang perlu saya ketahui,” ujar Litha begitu merasa sudah dua puluh menit mereka saling berdiam. Ia mulai tak tahan dengan keheningan di meja mereka. Entah apa yang membuat Salma kesulitan untuk mengutarakan maksudnya.Salma meletakkan cangkir kopi yang isinya tinggal separuh. “Baru-baru ini aku tahu perbuatan Indira. Dia memang lebih tua dari kamu, tapi dia impulsif dan orangnya kurang tenang. Dia sudah menyinggung kamu dan karena itulah aku meminta maaf atas namanya.”Salma t
Beberapa menit yang lalu, Litha dengan enggan menerima ajakan Kalandra untuk pergi bersama. Pria itu mengatakan, bahwa sesampainya di sana, Litha akan memancarkan wajah bahagia.Litha sempat berpikir Kalandra mungkin mengajaknya ke sebuah restoran terkenal atau ke hotel ternama. Namun, jauh dari bayangan Litha. Mereka malah sampai di kediaman utama. Di kediaman yang tak pernah menyambut Litha dengan baik. Kediaman yang tak menyambutnya sebagai menantu.“Aku tahu kamu tidak bisa tidur kalau belum melihat Gemini. Gimana kamu senang, kan?”Litha menampilkan senyum canggung sebagai balasan. Tentu saja dia senang bisa melihat putrinya malam ini, tetapi sialnya ia juga akan bertemu para penghuni kediaman.Lelaki itu berinisiatif menggenggam tangan Litha, tetapi berbeda dengan Litha yang tak ingin disentuh. Ia lekas menjauhkan tangannya dari lelaki itu.“Masalah di antara kita belum selesai, Kalandra.”Kalandra hanya mampu menelan kepahitan dari kenyataan. Dia memberikan istrinya waktu, teta
Embusan angin merusak tatanan rambut Litha. Jemari Litha menyapu untaian rambut legamnya lalu dibawa ke belakang telinga. Malam ini cukup dingin apalagi ia tengah di berdiri di balkon kediaman tersebut. Bukan keinginan Litha untuk berada di sana, melainkan ia hanya mengikuti kemauan Kinasih.Perempuan itu menyimpan kekesalan yang sudah mengakar pada Litha. Dan tentu saja masih mengarahkan tatapan tajam pada wajah Litha.Jujur saja Litha merasa risi dengan perlakuan Kinasih saat ini. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kesalahpahaman mereka lantas pulang.“Kamu sengaja mencari perhatian Kirana ‘kan? Dengan begitu kamu bisa gunakan Kirana untuk mencari perhatian Mama. Aku udah bisa tebak rencana busuk kamu, Litha!”Tuduhan yang dilontarkan Kinasih bahkan tak berdasar. Wanita itu mengarang omong kosong hanya untuk menjatuhkan mental Litha.Litha mendesah sebelum menyanggah ucapan Kinasih. “Buat apa aku melakukan itu, Kak? Kalau aku mau dekat dengan Mama, aku bisa melakukannya dengan caraku.
Tadi malam, karena sangat menyesal Kalandra berusaha membujuk Litha agar tak jadi datang. Namun, tampaknya wanita itu langsung bersemangat karena bisa bertemu dengan orang yang pernah menghancurkannya sekali. Litha ingin melihat seberapa tebal wajah Indira ketika mereka bertemu nanti.Ah, entah apakah Salma sudah pernah menyebutkan bahwa mereka pernah berbincang. Entahlah.Pesta makan malam tersebut digelar di sebuah hotel milik Hedy. Setiap orang yang Kalandra lewati menyapanya dengan ramah dan hormat. Tak lupa mereka juga berbisik tentang wanita dalam balutan gaun sage green di sebelah Kalandra.“Aku tahu Pak Produser udah punya istri, tapi aku baru tahu wajah istrinya sekarang. Cukup cantik sih.”“Aku juga dengar mereka sudah punya anak umur lima tahun. Padahal mereka menikah satu tahun lalu.”“Kalau kayak di novel-novel, istrinya kabur bawa anaknya gitu.”“Mungkin sih begitu.”Kalandra melirik Litha untuk memastikan bahwa istrinya tak merasa kecewa pada apa yang baru saja mereka d
Litha mencengkram kuat-kuat gelas mocktail tersebut. Sembari menarik napas dalam untuk memadamkan amarah agar tidak menyiram Indira dengan mocktail yang masih tersisa dalam gelasnya. Tangan Litha sudah nampak gemetar, lekas ia meletakkan gelas pada meja di sebelah kirinya.“Kamu sedang berhalusinasi rupanya. Semenjak kedatanganku ke dalam hidup Kalandra, sejak saat itu pula kamu sudah tersingkir,” balasnya dengan suara rendah karena ia tak ingin orang-orang di sekitar mendengar perselisihan mereka.“Kamu akan tahu sebentar lagi. Apakah aku berhalusinasi atau tidak. Kita buktikan saja.” Ekspresi Indira menampilkan cibiran. “Mau ke mana?” Litha spontan mencengkram lengan Indira kala wanita itu berniat untuk melangkah pergi.Kening Indira berkerut bersamaan dengan munculnya air muka jejap. “Mau cari Kalandra. Kita lihat apa dia berani beritahu rahasia itu sama kamu.”“Tidak perlu mencari suamiku karena aku udah tahu perbuatan murahan kamu.”
Ketika tiba di rumah, Indira lekas mencari Salma. Tempat bercerita ternyaman sepanjang hidupnya tentu saja adalah ibunya. Indira menyandarkan kepala di bahu Salma sambil berkata, “Aku tidak merasa membalas perbuatan mereka di masa lalu itu salah, Ma. Aku yang tertindas dan juga tersakiti. Apa aku salah membalas mereka?”Salma perlahan menarik dan mengembuskan napas panjang. Sudah dapat ditebak kalau pesta makan malam beberapa saat lalu menyebabkan Indira terguncang.“Kalau kamu balas mereka dengan cara sehat, itu tidak salah, Sayang. Kekacauan yang kamu buat beberapa waktu lalu sudah Mama bereskan. Dan Litha juga setuju untuk tidak memperpanjang masalah itu. Mama sangat berterima kasih padanya.”Indira mengangkat kepala, meluruskan punggungnya seraya menatap Salma. Baru kali ini dia dengar ibunya bertemu Litha. “Kapan kalian bertemu, Ma? Apa saja yang kalian bicarakan?” Tiba-tiba Indira geram sekaligus merasa dikhianati.“Mama hanya ingin
Litha sempat tertegun saat melihat tiga orang distributor bunga yang pernah bekerja sama dengannya—berdiri di depan florist miliknya. Ketiga orang itu memang sempat menghubungi Litha, hanya saja Litha kurang percaya bahwa mereka benar-benar datang.“Selamat siang, Bu Litha.” Ketiga orang itu menyapa Litha bersamaan. Dua di antaranya merupakan wanita dan yang berdiri paling depan adalah seorang pria.“Bapak sama Ibu sudah lama menunggu saya?”“Tidak begitu lama, kok, Bu Litha. Kedatangan kami ke sini ya karena mau minta maaf.”“Ayo, masuk dulu. Kita mengobrol di dalam aja,” ajak Litha. Lekas ia merogoh kunci dari dalam tas, membuka lalu mendorong daun pintu tersebut. Karena mereka sudah tutup hampir sebulan, jadi Litha tidak memiliki minuman ataupun kudapan di sana. “Silakan duduk dulu. Saya mau pesan kopi dan kudapan untuk Bapak dan Ibu.”“Tidak usah repot-repot Bu Litha,” tolak Bu Mariani. Perempuan itu memiliki ekspresi serius lalu sege
“Urgh! Capek banget.” Devita menghamburkan diri ke sofa. Paras cantiknya nampak lesu usai bekerja seharian. “Bi, tolong bawain air putih,” pinta Devita dengan suara lemah.Mendengar permintaan Devita, pelayan kediaman bergegas ke dapur. Litha saat ini sudah menyelesaikan urusan dengan Rosella, mendapati adik iparnya terkapar di sofa. Segera ia menghampiri gadis itu.“Dev,” panggil Litha.Devita yang masih lelah memicingkan mata untuk melihat ke asal suara. “Kak Litha.” Gadis itu berusaha menegakkan punggung sambil meminta Litha untuk duduk di sebelahnya. “Tumben Kak Litha mampir ke sini.”“Ini airnya, Non. Juga ada kue dari Nyonya Litha.”“Makasih, Bi.”Pelayan tersebut mengangguk dan tak lagi mengganggu mereka.Setelah hanya mereka berdua yang berada di ruang tamu, Litha menjawab pertanyaan Devita. “Ada sedikit urusan sama Mama.”Mata Devita langsung membeliak. Air yang baru sampai kerongkongan mendadak ingin k