Dana kompensasi yang masuk ke rekening Litha membuat matanya tak mengejap. Belum lagi nama si pemilik rekening yang mengirim uang tersebut adalah Indira. Sekarang apakah sudah jelas bahwa wanita itu menyesal akan tindakannya?
Entahlah. Litha belum dapat memastikan.Dikarenakan ia bingung untuk menerima uang tersebut atau dikembalikan, ia putuskan mencari Kalandra. Kabarnya sekarang Kalandra tengah berada di lokasi syuting, dan untungnya lokasi tersebut tak begitu jauh.Kalandra lebih dulu menemukan Litha yang celingukan mencari dirinya lalu menghampiri dengan segera.“Cie, Pak Produser dicari sama istrinya.”“Kira-kira mau ngapain ya sampai datang ke lokasi syuting?”“Dengar-dengar beliau ditawari casting sama Pak Sutradara.”“Hah? Yang benar? Emangnya masih butuh pemain tambahan?”“Hush! Kerja! Jangan banyak ngegosip. Apalagi menggosipkan istri Produser kita. Kalian mau diusir?”Meski mereka sudah berhGaun pesta dan hadiah ulang tahun sudah Litha siapkan. Kini saatnya ia pergi ke kamar Gemini untuk mendandani gadis itu. Ia mendapati Gemini sudah menunggu di depan cermin—tengah mengamati wajah dan mata bulatnya.“Aku juga mau pakai bando, Ma,” katanya setelah selesai memakai gaun dan menata rambut. Litha membiarkan rambut bergelombang Gemini tergerai sampai punggung.“Kamu mau pilih yang mana?”“Yang warnanya senada sama gaunku.”“Oke. Mama yang pilih, ya.”Litha menyematkan bando berwarna biru muda senada dengan gaun pesta yang dikenakan Gemini. Senyum gadis kecil itu mengembang sempurna di wajahnya. Sekarang mereka sudah siap berangkat ke pesta ulang tahun Anggita—yang sudah ditunggu-tunggu oleh Gemini. Pasalnya di sekolah Anggita selalu membicarakan rencana pesta ulang tahun dan gaunnya yang sudah gadis itu siapkan.Pesta tersebut akan diadakan di sebuah hotel pada pukul empat sore. Mereka masih memiliki waktu sekitar empat puluh menit sebelum pesta dimulai. Litha membantu Gemin
“Kakak tidak marah, Jer. Kakak cuma… panik.” Raut panik Litha tergantikan oleh ekspresi haru sekaligus bahagia melihat adiknya berada di depan mata. Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa dia sangat bahagia bertemu kembali dengan Jeremy, yang dulu selalu menempel padanya.“Kenapa Kakak harus panik? Aku sempat dengar mereka membicarakan Kakak tadi. Aku mau membungkam mulut mereka sekarang!” Kepala Jeremy terasa panas setelah ingat ucapan orang-orang di dalam sana. Jeremy pun berpikir bahwa kakaknya selalu mendapatkan cibiran setelah keluar dari rumah.“Jer. Kamu ke sini emang mau ribut sama ibu-ibu itu?”Mendengar pertanyaan Litha, Jeremy menggeleng. “Tentu saja tidak. Hanya saja aku kesal karena mereka menyakiti perasaan Kakak.” Jeremy menjawab lalu menambahkan, “aku ke sini sama pacarku, Kak. Pacarku Tantenya Anggita. Kakak sendiri kenapa bisa di sini?”Setelah membenahi perasaan haru, Litha mengukir senyum. Mungkin apa yang akan dia katakan pada Jeremy merupakan sebuah kejutan. “Kepo
“Apa Kakek nanti tidak marah kalau Om Jeremy nganter kita pulang?” Pertanyaan Gemini membuat Jeremy tersenyum kecut. Pria itu tengah melajukan mobil, menuju ke rumah Litha dan Gemini. Jelas sang ayah akan marah, meski begitu Jeremy tak takut. Dia sudah menuruti semua perkataan ayahnya, bahkan ketika dijodohkan dengan Adsila, Jeremy juga tidak menolak.“Kakek orangnya baik, kok. Jadi tidak akan marah. Hm… kenapa Gemini bisa bertanya begitu?”“Karena sampai sekarang kakek tidak pernah mencari kami.” Jawaban Gemini terdengar pahit sampai-sampai Jeremy tak dapat menguraikan perasaanya. Bagaimana dia harus menanggapi ucapan si kecil ini? Dada Jeremy terasa sesak.Andai saja sang ayah melihat Gemini, mungkin hatinya akan melunak meski sedikit.“Kamu mau ketemu Kakek dan Nenek?”“Hm…,” Gemini menepuk-nepuk dagunya sembari memandang lalu lintas dari balik jendela mobil. “Gimana, ya. Gemini takut nanti mereka marah-marah.”“Haha.” Jeremy tertawa canggung. Memang mungkin saja mereka akan mar
Ketika Litha melangkah keluar dari kamar mandi, ia mendapati Kalandra tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. “Kamu mau ke mana?”“Maaf, Sayang, aku belum sempat bilang sama kamu. Ada beberapa adegan yang mesti diambil di luar kota, kurang lebih selama tiga hari aku bakal di sana.”Tadinya setelah Litha pulang dari hotel, Kalandra ingin memberitahunya, tetapi sayang ada tamu tak terduga mampir ke rumah.Litha segera menghamburkan diri ke dalam dekapan Kalandra. Ia harus melalui tiga hari ke depan tanpa Kalandra. Sekarang saja ia sudah merasa merindukan lelaki itu.“Apa harus selama itu? Tiga hari itu lama, Sayang.” Litha mendongak untuk menatap wajah bersih Kalandra.Tatapan teduh lelaki itu jatuh pada wajah Litha. “Kamu mau ikut?”“Gemini harus sekolah.”“Aku bakal sering video call,” ujar Kalandra, memeluk istrinya semakin erat diselingi dengan mengecup daun telinga Litha.“Sayang, bereskan dulu koper kamu. Kamar jadi berantakan tahu!”Kalandra tersenyum tak berdaya dan terpaksa h
Beberapa waktu ini Litha jadi lebih sering berkunjung ke kediaman utama. Walaupun atmosfer yang menyapa tetap terasa dingin. Ketika ia sampai, Rosella memerintahkan untuk menemaninya ke salon. Suatu ajakan yang luar biasa dan jarang terjadi pada Litha.Mertua yang biasanya terang-terangan mencibir di depan banyak orang, kini dengan suara teduh mengajak Litha pergi ke salon favorit. Biasanya wanita paruh baya itu selalu ditemani oleh menantu pertama. Namun, kali ini Rosella berhasil membuat dagu kedua menantunya jatuh.Litha masih menelan saliva dalam-dalam. Bahkan, saat sampai di salon. Hari ini Rosella ingin mengganti gaya rambutnya, bahkan menyarankan Litha untuk membenahi gaya rambutnya juga. Litha pun setuju seraya menunggu hal apa yang mungkin akan dikatakan Rosella nanti.Jelas Litha tahu Rosella mengajaknya ke salon bukan semata-mata untuk menemani.“Perusahaan sedang membutuhkan dana untuk pengembangan proyek baru. Papa Mertua kamu berharap bisa bekerja sama dengan Mahardika
“Buat apa kamu datang ke sini?” Mata Indira sedikit membeliak kala melihat Hedy berada di lokasi syuting. Dengan cepat dia menyembunyikan seulas senyum di wajahnya barusan.Saat ini mereka tengah berada di sebuah perbukitan—tempat pengambilan adegan.Sebelum menjawab, Hedy menjulurkan tangan yang memegang paper bag. “Aku sudah sampai dari kemarin. Aku mau lihat pengambilan adegan hari ini dan sekaligus memberikan ini buat kamu.” Hedy dengan gemas memberikan benda di tangannya pada Indira.“Aroma masakan. Buatan kamu? Kamu mau aku mencicipi kembali masakanmu, ya.”Hedy mengangguk kecil. “Ya, begitulah.”“Apa dia menyukai masakanmu?“Siapa?”“Perempuan yang sedang kamu pikirkan.”Hedy memilih tak menjawab, perlahan duduk di seberang Indira seraya memperhatikan wanita itu membuka kotak makan kayu berwarna hitam. Indira mencomot sedikit menggunakan sumpit lalu melirik pada Hedy.“Hm, kamu semakin mahir. Bumbu dan kematangan lauknya sangat pas. Rasanya lebih baik dari masakan asisten rumah
Syuting hari kedua telah rampung malam ini. Semua orang berharap dapat merampungkan adegan yang tersisa untuk besok. Para kru dan artis yang kelelahan mendapatkan waktu istirahat mereka—yang sangat berharga.Kalandra sempat mengobrol dengan Hedy sebelum kembali ke hotel. Sementara itu Hedy masih di lokasi syuting, sedang menunggu Indira. Begitu sosok Indira memasuki penglihatan, Hedy menarik wanita itu ke dalam mobilnya. Kening wanita itu berkerut dalam dibarengi tatapan tak senang.“Ada apa, sih?”“Kita ke sauna.” Hedy menjawab datar. “Di resort tempatku menginap,” tambahnya.Kebetulan Indira merasa lelah dan stres. Setelah bekerja cukup lama, Indira mulai berpikir aneh-aneh; seperti dirinya mungkin akan mengacaukan produksi karena perbuatannya pada Litha. Haruskah dia mengundurkan diri di tengah-tengah syuting? Rasa cemas yang melanda pikirannya sungguh mengganggu.“Kamu sedang memikirkan apa? Muka kamu kucem banget.” Hedy sesekali melirik Indira yang bersandar di sebelahnya.“Aku m
Litha berkali-kali merapikan busananya setelah turun dari mobil. Ia barusan datang bersama Rama dan Genta, tetapi mengendarai mobil yang berbeda. Degup jantung Litha semakin kencang kala melangkah mendekati ruangan VIP—tempat mereka makan malam.AC di hotel tersebut jelas menyala, tetapi hanya Litha yang merasa suhu dalam hotel membara. Ia merasa gerah sampai-sampai bulir keringat hampir merusak polesan wajahnya. Ia sudah bersusah payah berdandan rapi supaya tak mengecewakan ayah mertua—yang menaruh harapan padanya.Rama sadar bahwa Litha berjalan lebih lambat dari mereka. “Apa sepatu hak tinggi itu menyulitkanmu berjalan?” Rama menghentikan langkah kala pertanyaan itu sampai ke telinga Litha dan Genta.“Bukan, Pa,” balas Litha yang merasa jantungnya meletup-letup seakan ia dilahap oleh rasa gugup.“Kamu gugup?” Betul sekali tebakan Rama. Lelaki itu mengurai senyum kecil lalu menghampiri Litha. “Maaf sudah menyusahkanmu.” Rama lantas berdiri di sebelah Litha, mengisyaratkan agar Litha