Share

7. Khawatir

Begitu sampai di depan sekolah, Litha segera turun dari taksi. Langkahnya begitu terburu-buru lantaran anak-anak TK sudah keluar bersama orang tua mereka. Salahkan jalanan yang macet sampai membuat Litha terlambat menjemput Gemini.

“Ya, ampun! Gemini pasti ngambek, deh.”

Ya, biasanya anak itu akan merajuk jika Litha telat menjemputnya. Gemini tidak suka menunggu sendirian, jadi kalau Litha telat, biasanya dia akan menunggu di ruang guru.

“Gemini di mana?”

Litha sudah masuk ke dalam sekolah, tetapi sekolah sudah mulai sepi saat ini menyebabkan ia merasa gelisah.

“Ah, iya, ruang guru!”

Ia berjalan cepat ke ruang guru. Untungnya Litha mendapati wali kelas Gemini masih di dalam ruangan. Pandangannya menyapu ke dalam ruang guru, tetapi tak menemukan putrinya di sana.

“Selamat siang, Bu Vita. Apa Ibu tahu di mana Gemini?” tanya Litha.

“Gemini tidak ada meminta saya menemaninya, Bu Litha. Saya pikir Ibu sudah menjemputnya tadi,” balas Vita sembari menghampiri Litha.

“Hari ini saya terlambat karena jalanan padat, Bu. Biasanya, kan Gemini akan menunggu di sini.

“Gemini tadi pulang bersama Kirana dan ibunya,” celetuk salah seorang guru yang baru memasuki ruangan tersebut. “Saya sempat bercakap-cakap tadi dengan ibunya Kirana.”

Seketika dahi Litha berkerut dalam. Namun, ia tidak memperlihatkan kekesalannya dengan jelas. Setelah berterima kasih, Litha menarik langkah meninggalkan sekolah.

Litha tidak tahu harus berterima kasih atau mengumpat pada Kinasih. Yang jelas ia tahu satu hal, Kinasih sengaja tak memberitahunya agar ia kelabakan.

“Aku ingin sekali mengumpat di depannya. Tapi, sayangnya dia punya dukungan kuat.” Litha menghela napas berat. Lagi-lagi dia harus ke rumah mertuanya. Ia hanya perlu mencari Gemini lalu mengajaknya pulang. Toh, tidak ada yang menyambutnya di sana, jadi buat apa berlama-lama.

“Nek, aku juga mau mangga,” rengek Gemini sesaat setelah melihat Rosella menyuapi sepotong mangga pada Kirana. Rasanya pasti enak dan manis, pikir Gemini.

Sejenak Rosella memandangi Gemini tanpa menjawab anak itu. Wanita itu menusuk sepotong mangga lalu memberikannya pada Gemini. Aksi Rosella sontak mengagetkan Kinasih.

Kenapa bisa begitu?

Bukannya Rosella membenci Litha dan Gemini?

Kinasih tak mengerti bagaimana pikiran Rosella bekerja.

Dengan senyum mengembang dan tangannya yang terjulur, Gemini mengambil potongan mangga tersebut. “Makasih, Nenek.”

“Gemini, mangganya manis, kan?” tanya Kirana.

Gemini mengangguk-angguk beberapa kali. “Manis banget.”

“Ambil lagi kalau begitu. Ini mangga kesukaan Nenek dan aku juga jadi suka sama mangga ini,” tutur Kirana. Kemudian gadis itu mengalihkan tatapan ke arah Rosella. “Nek, kalau Gemini sering-sering datang ke rumah dan menemani aku belajar, boleh, kan?” Mata Kirana berbinar penuh harap. Memiliki teman belajar seperti Gemini adalah harapan gadis kecil itu.

“Bukannya sudah ada Mbak Tina yang menemani kamu belajar? Dan lagi, Gemini mana dibolehkan sering-sering ke sini sama Tante Litha,” ucap Kinasih mendahului Rosella, sehingga ia mendapat tatapan tajam ibu mertuanya. “Maaf, Ma.”

“Boleh kalau itu keinginan Kirana,” kata Rosella.

“Ma—”

Rosella memotong ucapan Kinasih dengan tatapan tajamnya. “Anak kamu yang minta, makanya mama turuti. Kinasih, kamu harus lebih perhatian sama Kirana. Temani dia belajar sesekali.”

“Iya, Ma.” Kinasih terlalu takut menolak keinginan mertuanya. Dia akan menjadi menantu penurut di depan Rosella.

“Asyik! Akhirnya aku bisa main sama Gemini! Eh, maksudnya belajar.”

“Ya, sudah. Sudah waktunya makan siang. Kirana ajak Gemini ke ruang makan, ya.” Rosella lalu berdiri diikuti oleh Kinasih. Namun, sebelum mereka beranjak, terdengar bunyi bel pintu.

Seorang pelayan bergegas ke arah pintu. Wajah pelayan itu langsung terperangah lantaran mendapati orang yang berdiri di depannya adalah Litha. Raut tak suka jelas menghiasi wajah pelayan tersebut yang membuat Litha mengerutkan kening.

Ya, beginilah cara mereka menyambut Litha.

“Aku mau jemput Gemini,” kata Litha tanpa basa-basi.

“Sepertinya tidak bisa karena Non Gemini akan menemani Non Kirana belajar hari ini,” kata pelayan tersebut tanpa mempersilahkan Litha masuk.

“Oh, kalau begitu biarkan aku masuk. Apa kamu akan terus-terusan membiarkan aku berdiri di depan pintu?”

Lagi-lagi pelayan itu tercengang. Dia menyingkirkan diri ke samping guna membiarkan Litha memasuki rumah.

“Selalu saja tidak sopan. Sepertinya pelayan di rumah ini memang tidak diajarkan sopan santun. Harusnya Mama mengadakan kelas etika buat mereka,” gerutu Litha yang jelas terdengar oleh pelayan tersebut. Dan bahkan, juga didengar oleh Rosella.

Begitu Litha menghentikan langkah, dia bisa mendengar ibu mertuanya berdecak. Sebenarnya, ia bukannya sengaja menggerutu, tetapi ia begitu kesal pada pelayan itu. Andai saja pelayan itu dikirim ke rumahnya, Litha benar-benar akan mengadakan kelas etika.

“Mama!” Gemini sontak berlari ke arah ibunya. Tentunya senyum senang gadis kecil itu terpasang di wajahnya. “Mama ke sini buat jemput aku, ya? Tapi, hari ini aku sudah janji mau belajar bareng sama Kirana.”

“Ya, awalnya Mama memang mau menjemput kamu,” sahut Litha.

“Gemini akan menemani Kirana hari ini, jadi kamu pulang saja,” kata Rosella yang sekaligus mengusir Litha.

“Aku juga mau ke greenhouse, kok, Ma.” Litha memasang senyum kecil, meski tak dilirik oleh Rosella.

Bukannya dia berpura-pura ramah. Dia melakukan itu di depan anak-anak karena tak ingin mereka berpikir, bahwa ia dan nenek mereka sedang bertengkar. “Tapi, sebelum pergi, aku mau bicara sama Kak Kinasih.”

“Kirana, Gemini, ikuti Nenek ke ruang makan.” Nada Rosella memang terdengar lunak jika berbicara pada cucu-cucunya.

“Kamu ikuti Nenek. Jangan rewel di sini. Dan jangan bikin Nenek sampai marah, oke?”

“Oke, Mama!”

Usai ketiganya meninggalkan ruang tamu, Litha mengambil tempat duduk di hadapan Kinasih.

“Apa, sih, yang mau kamu bicarakan?” Kinasih terlihat kesal dan dengan enggan dia kembali duduk.

“Kenapa kamu tidak mengabari aku kalau Gemini pulang sama kamu?”

“Kenapa aku mesti repot-repot mengabari? Anak kamu yang merengek minta pulang bareng. Aku sebenarnya mana mau ngajak dia pulang ke sini.”

Belum sempat Litha melemparkan balasan, ponselnya berdering. Segera ia merogoh ponsel tersebut dari dalam tasnya. Wajah Kinasih melongo begitu melihat tas branded keluaran terbaru milik Litha.

“Sialan, dia sudah lebih dulu punya tas itu,” batin Kinasih menahan iri.

“Iya, ada apa Pak Kerta?” Litha menjawab panggilan Pak Kerta.

“Gawat,

Bu. Semua mawar di greenhouse mengering. Ibu harus cepat datang ke sini.”

“Apa?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status