Begitu sampai di depan sekolah, Litha segera turun dari taksi. Langkahnya begitu terburu-buru lantaran anak-anak TK sudah keluar bersama orang tua mereka. Salahkan jalanan yang macet sampai membuat Litha terlambat menjemput Gemini.
“Ya, ampun! Gemini pasti ngambek, deh.”Ya, biasanya anak itu akan merajuk jika Litha telat menjemputnya. Gemini tidak suka menunggu sendirian, jadi kalau Litha telat, biasanya dia akan menunggu di ruang guru.“Gemini di mana?”Litha sudah masuk ke dalam sekolah, tetapi sekolah sudah mulai sepi saat ini menyebabkan ia merasa gelisah.“Ah, iya, ruang guru!”Ia berjalan cepat ke ruang guru. Untungnya Litha mendapati wali kelas Gemini masih di dalam ruangan. Pandangannya menyapu ke dalam ruang guru, tetapi tak menemukan putrinya di sana.“Selamat siang, Bu Vita. Apa Ibu tahu di mana Gemini?” tanya Litha.“Gemini tidak ada meminta saya menemaninya, Bu Litha. Saya pikir Ibu sudah menjemputnya tadi,” balas Vita sembari menghampiri Litha.“Hari ini saya terlambat karena jalanan padat, Bu. Biasanya, kan Gemini akan menunggu di sini.“Gemini tadi pulang bersama Kirana dan ibunya,” celetuk salah seorang guru yang baru memasuki ruangan tersebut. “Saya sempat bercakap-cakap tadi dengan ibunya Kirana.”Seketika dahi Litha berkerut dalam. Namun, ia tidak memperlihatkan kekesalannya dengan jelas. Setelah berterima kasih, Litha menarik langkah meninggalkan sekolah.Litha tidak tahu harus berterima kasih atau mengumpat pada Kinasih. Yang jelas ia tahu satu hal, Kinasih sengaja tak memberitahunya agar ia kelabakan.“Aku ingin sekali mengumpat di depannya. Tapi, sayangnya dia punya dukungan kuat.” Litha menghela napas berat. Lagi-lagi dia harus ke rumah mertuanya. Ia hanya perlu mencari Gemini lalu mengajaknya pulang. Toh, tidak ada yang menyambutnya di sana, jadi buat apa berlama-lama.“Nek, aku juga mau mangga,” rengek Gemini sesaat setelah melihat Rosella menyuapi sepotong mangga pada Kirana. Rasanya pasti enak dan manis, pikir Gemini.Sejenak Rosella memandangi Gemini tanpa menjawab anak itu. Wanita itu menusuk sepotong mangga lalu memberikannya pada Gemini. Aksi Rosella sontak mengagetkan Kinasih.Kenapa bisa begitu?Bukannya Rosella membenci Litha dan Gemini?Kinasih tak mengerti bagaimana pikiran Rosella bekerja.Dengan senyum mengembang dan tangannya yang terjulur, Gemini mengambil potongan mangga tersebut. “Makasih, Nenek.”“Gemini, mangganya manis, kan?” tanya Kirana.Gemini mengangguk-angguk beberapa kali. “Manis banget.”“Ambil lagi kalau begitu. Ini mangga kesukaan Nenek dan aku juga jadi suka sama mangga ini,” tutur Kirana. Kemudian gadis itu mengalihkan tatapan ke arah Rosella. “Nek, kalau Gemini sering-sering datang ke rumah dan menemani aku belajar, boleh, kan?” Mata Kirana berbinar penuh harap. Memiliki teman belajar seperti Gemini adalah harapan gadis kecil itu.“Bukannya sudah ada Mbak Tina yang menemani kamu belajar? Dan lagi, Gemini mana dibolehkan sering-sering ke sini sama Tante Litha,” ucap Kinasih mendahului Rosella, sehingga ia mendapat tatapan tajam ibu mertuanya. “Maaf, Ma.”“Boleh kalau itu keinginan Kirana,” kata Rosella.“Ma—”Rosella memotong ucapan Kinasih dengan tatapan tajamnya. “Anak kamu yang minta, makanya mama turuti. Kinasih, kamu harus lebih perhatian sama Kirana. Temani dia belajar sesekali.”“Iya, Ma.” Kinasih terlalu takut menolak keinginan mertuanya. Dia akan menjadi menantu penurut di depan Rosella.“Asyik! Akhirnya aku bisa main sama Gemini! Eh, maksudnya belajar.”“Ya, sudah. Sudah waktunya makan siang. Kirana ajak Gemini ke ruang makan, ya.” Rosella lalu berdiri diikuti oleh Kinasih. Namun, sebelum mereka beranjak, terdengar bunyi bel pintu.Seorang pelayan bergegas ke arah pintu. Wajah pelayan itu langsung terperangah lantaran mendapati orang yang berdiri di depannya adalah Litha. Raut tak suka jelas menghiasi wajah pelayan tersebut yang membuat Litha mengerutkan kening.Ya, beginilah cara mereka menyambut Litha.“Aku mau jemput Gemini,” kata Litha tanpa basa-basi.“Sepertinya tidak bisa karena Non Gemini akan menemani Non Kirana belajar hari ini,” kata pelayan tersebut tanpa mempersilahkan Litha masuk.“Oh, kalau begitu biarkan aku masuk. Apa kamu akan terus-terusan membiarkan aku berdiri di depan pintu?”Lagi-lagi pelayan itu tercengang. Dia menyingkirkan diri ke samping guna membiarkan Litha memasuki rumah.“Selalu saja tidak sopan. Sepertinya pelayan di rumah ini memang tidak diajarkan sopan santun. Harusnya Mama mengadakan kelas etika buat mereka,” gerutu Litha yang jelas terdengar oleh pelayan tersebut. Dan bahkan, juga didengar oleh Rosella.Begitu Litha menghentikan langkah, dia bisa mendengar ibu mertuanya berdecak. Sebenarnya, ia bukannya sengaja menggerutu, tetapi ia begitu kesal pada pelayan itu. Andai saja pelayan itu dikirim ke rumahnya, Litha benar-benar akan mengadakan kelas etika.“Mama!” Gemini sontak berlari ke arah ibunya. Tentunya senyum senang gadis kecil itu terpasang di wajahnya. “Mama ke sini buat jemput aku, ya? Tapi, hari ini aku sudah janji mau belajar bareng sama Kirana.”“Ya, awalnya Mama memang mau menjemput kamu,” sahut Litha.“Gemini akan menemani Kirana hari ini, jadi kamu pulang saja,” kata Rosella yang sekaligus mengusir Litha.“Aku juga mau ke greenhouse, kok, Ma.” Litha memasang senyum kecil, meski tak dilirik oleh Rosella.Bukannya dia berpura-pura ramah. Dia melakukan itu di depan anak-anak karena tak ingin mereka berpikir, bahwa ia dan nenek mereka sedang bertengkar. “Tapi, sebelum pergi, aku mau bicara sama Kak Kinasih.”“Kirana, Gemini, ikuti Nenek ke ruang makan.” Nada Rosella memang terdengar lunak jika berbicara pada cucu-cucunya.“Kamu ikuti Nenek. Jangan rewel di sini. Dan jangan bikin Nenek sampai marah, oke?”“Oke, Mama!”Usai ketiganya meninggalkan ruang tamu, Litha mengambil tempat duduk di hadapan Kinasih.“Apa, sih, yang mau kamu bicarakan?” Kinasih terlihat kesal dan dengan enggan dia kembali duduk.“Kenapa kamu tidak mengabari aku kalau Gemini pulang sama kamu?”“Kenapa aku mesti repot-repot mengabari? Anak kamu yang merengek minta pulang bareng. Aku sebenarnya mana mau ngajak dia pulang ke sini.”Belum sempat Litha melemparkan balasan, ponselnya berdering. Segera ia merogoh ponsel tersebut dari dalam tasnya. Wajah Kinasih melongo begitu melihat tas branded keluaran terbaru milik Litha.“Sialan, dia sudah lebih dulu punya tas itu,” batin Kinasih menahan iri.“Iya, ada apa Pak Kerta?” Litha menjawab panggilan Pak Kerta.“Gawat, Bu. Semua mawar di greenhouse mengering. Ibu harus cepat datang ke sini.”“Apa?!”Mata Litha tak percaya mendapati seluruh bunga dalam greenhouse-nya mati, tenggorokannya ikut terasa kering, sehingga ia tak mampu berkata-kata. Pak Kerta segera menyodorkan sebotol air mineral pada Litha. Tangannya gemetar kala ia membawa botol tersebut ke bibirnya. Ia bahkan merasa kesulitan untuk meneguk air tersebut. Mengapa? Pertanyaan itu ada dalam benaknya. Litha menggeleng beberapa kali lantaran tak percaya bisnisnya hancur dalam sekejap. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Bunga-bunga tersebut masih terlihat segar dan siap dipanen. “Tolong jelasin sama saya, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini?” Litha melirik para karyawannya satu per satu, tetapi mereka semua menunduk cemas. Hanya Pak Kerta yang berani melihat wajah kecewa Litha. “Kami merawat tanamannya seperti biasa, Bu. Tapi, sempat mencium bau obat pembasmi rumput, Bu. Saya tanya sama semua karyawan, mereka juga bilang tidak tahu siapa pelakunya,” jelas Pak Kerta. Seketika tatapan semua orang beralih pa
“Apa bisnis Litha benar-benar hancur?” Pertanyaan itu terlepas dari mulut Rosella yang terdengar bernada datar. Dia yang tidak pernah peduli akan Litha, sekarang untuk pertama kalinya tertarik untuk membahas menantunya. Mungkin saja karena kegagalan bisnis juga akan berimbas pada Kalandra.“Bener, Ma,” sahut Kinasih terdengar antusias. Kemudian wanita berusia tiga puluh tahun itu menjelaskan dengan mata berbinar seakan-akan hancurnya bisnis Litha adalah berita baik untuk mereka. “Entah siapa orang baik yang menggunakan tangannya untuk menghancurkan Litha. Sekarang wanita itu tidak akan berani menyombong lagi.”Di meja makan itu hanya Kinasih yang terlihat bersemangat. Sedangkan suami dan adik iparnya tak berkomentar apa pun. Namun, adik iparnya memiliki ekspresi tak setuju dengan perkataan Kinasih. Seingat Devita, Litha tidak pernah menyombongkan bisnisnya selama ini. Devita memutar bola mata setiap kali mendengar ucapan Kinasih yang menjelekkan Litha.“Hati-hati dengan perkataan kamu,
“Mama. Lihat aku bawa apa,” celetuk gadis kecil berwajah bulat tersebut yang agaknya berhasil mengagetkan ibunya. Kedua tangan Gemini saat ini memegang baki yang berisi bolu gulung.Litha bergegas mengambil alih baki tersebut lantas menaruhnya di atas meja. “Kenapa kamu bawa sendiri kuenya?”“Biar spesial dong, Ma,” sahutnya terdengar menggemaskan.Sejak satu jam lalu mereka berada di ruang keluarga. Tepatnya mereka menonton sebuah film kartun. Namun, beberapa saat yang lalu, tanpa Litha ketahui, Gemini keluar untuk mengambil bolu gulung tersebut.“Tadi aku minta Bi Rina buatin bolu gulung ini pakai resep buatan Mama.” Tangan mungilnya perlahan mengambil bolu gulung dan disodorkan pada Litha. “Buat Mama,” imbuhnya dengan lengkungan senyum terpasang di wajahnya.Litha terkesima mengetahui betapa perhatian putrinya. Beberapa hari ini dia memang agak murung dan sudah membuat Gemini khawatir.Hati Litha dipenuhi kehangatan dan segera memeluk putrinya. “Makasih, Sayang. Maaf, ya, Mama kuran
Jemari ramping wanita itu sibuk memijat pelipisnya. Sesekali alis indahnya akan berkerut kala menahan rasa sakit. Seorang wanita dengan busana gaun putih polos tergesa-gesa menghampiri Indira sembari membawa sebutir obat dan segelas air putih pada kedua tangannya.“Kamu tidak mau ke rumah sakit, Sayang?” Salma menyodorkan kedua benda di tangannya pada Indira, lalu diambil satu per satu oleh wanita itu.Usai minum obat, Indira menggeleng kecil sembari masih memijat pelipisnya. “Cuma sakit kepala biasa, Ma. Ini gara-gara Kalandra dan Litha.”Setelah berdebat dengan Kalandra kemarin, dan pagi ini dia mendapat pemberitahuan bahwa dia dan timnya dikeluarkan dari proyek film. Dia langsung sakit kepala. Sekarang Indira tidak akan bisa lagi berpura-pura menjadi wanita lemah lembut—yang tersakiti—di depan Kalandra. Karena dia sudah memperlihatkan wajah aslinya. Begitu juga bagus, karena terkadang Indira merasa muak jika harus memelas di hadapan Kalandra.“Kalandra jahat banget Ma. Hanya karena
Dukungan dari Kalandra, ternyata mampu membuat hati Litha tergerak untuk kembali membangkitkan bisnisnya. Meski, bayang-bayang kegagalan sebelumnya tak lepas dari benaknya, dia sudah berjanji untuk menjadi pribadi yang dapat mengubah kegagalan ini menjadi peluang.Hari ini ia datang ke perkebunan seorang teman lama. Bisa dibilang juga berkat orang itu, Litha bisa menjalankan bisnisnya.Ia membawa langkah memasuki perkebunan tersebut. Di mana semua bibit mawar yang Litha beli dulu, tentunya berasal dari tempat ini. Kemudian Litha menghentikan langkah kaki rampingnya tepat di depan kantor resepsionis perkebunan tersebut.Seseorang di balik kaca menyapa Litha dengan ramah. “Mbak Litha?”“Hai, Dianti.”“Mau ketemu Bu Wilda?”“Iya, nih.”“Mbak Litha sudah buat janji?”“Maaf, Dianti. Saya belum bikin janji sama Bu Wilda. Apa Bu Wilda sibuk?”“Bu Wilda susah datang, sih dari tadi. Sebentar, saya akan beritahu Bu Wilda dulu. Mbak Litha duduk saja dulu.”Litha mengangguk sembari berterima kasih
“Aku dengar dari Bi Rina, katanya Kak Kinasih nganter Gemini terus mampir. Apa dia mengusik kamu?” tanya Kalandra saat mereka tengah berdua di kamar. Kalandra tahu persis sifat kakak iparnya itu. Salah satu pengikut ibunya yang selalu siap untuk berdebat dengan Litha. Saat mendengar pertanyaan tersebut, tangan Litha masih sibuk mengendurkan dasi pria itu. Gerakan tangannya sempat berhenti sesaat, sebelum ia kembali melakukan aksinya mencopot benda itu dari kerah Kalandra. Wajahnya terangkat, menempatkan pandangan terpaku pada wajah tampan sang suami. Litha dengan sengaja menarik lembut kerah Kalandra agar lelaki itu memfokuskan perhatian padanya. Sontak aksinya tersebut membuat mata Kalandra membola lalu menurunkan tatapannya. “Dia memang datang mau menyusahkan aku, tapi dia kalah sebelum bertarung. Jika dipikir-pikir dia sangat menggemaskan.” “Dia? Menggemaskan kamu bilang?” “Iya, dia menggemaskan. Contohnya, saat dia mulai iri. Dia bakal menekuk alisnya, tapi tidak sampai dua
Momen berdua di dalam kamar, merupakan hal yang Kalandra tunggu. Kalandra merangkul tubuh istrinya, bersiap melabuhkan kecupan. Namun, sayang waktu seperti mempermainkannya karena suara teriakan Gemini.“Papa, Mama.”Keduanya kemudian berlari keluar kamar menuju kamar Gemini. Wajah mereka diliputi kepanikan karena gambaran-gambaran negatif menyerbu pikiran mereka.“Ada apa, Sayang?” Litha bergegas menghampiri putrinya usai Kalandra membuka pintu kamar gadis kecil itu.Mereka mendapati putri mereka menahan air mata yang pada pelupuk matanya. Tak kuasa melihat putrinya bersedih, Litha segera memeluknya.“Gambar yang Gemini buat rusak, Ma,” jawabnya bernada sendu.“Rusak?” Litha menoleh ke arah buku gambar yang sedang dipegang Gemini, sedangkan Kalandra berjongkok di sebelah putrinya sembari meraih buku gambar tersebut.“Ini masih bisa diperbaiki, Sayang,” tutur Kalandra menenangkan anaknya yang siap menyemburkan tangis.Gambar berupa kupu-kupu berwarna biru dengan corak hitam pada tepi s
Rapat yang sudah Kalandra persiapkan memang berjalan lancar. Tanggal syuting pun sudah ditentukan. Namun, rencana hari ini untuk mengajukan penggantian penata kostum utama tak terelakkan harus gagal. Semua itu karena investor utama, Hedy membuat Kalandra harus bungkam soal mengeluarkan Indira dari tim.Apa boleh buat, Kalandra harus menerima kenyataan bahwa dia gagal memenuhi permintaan istrinya. Dia merasa menjadi suami yang tak dapat diandalkan.Meskipun dia berkeinginan keras mengeluarkan Indira, tetapi dia juga mengetahui sebesar apa risikonya. Hedy bisa saja menarik investasinya yang berujung penghentian produksi sementara. Lebih parahnya lagi skandal tersebut bisa menyebabkan gagal produksi.Usai rapat, semua kru yang berkepentingan hadir—meninggalkan ruang rapat. Ruangan itu hanya menyisakan tiga orang yang saling berdiam sampai suasana lebih mencair.“Apa pun masalah kamu dan dia,” ujar Hedy memberi jeda sejenak untuk menoleh pada Kalandra dan Indira. Dia kemudian melanjutkan u