"Mas Bayu?"Langkah Bayu Sagara terhenti saat mendengar Maharani memanggil namanya, dan langsung menoleh ke arah perempuan yang disayanginya itu. Terlihat Maharani menepuk-nepuk bale di sebelahnya, memberikan tanda agar Bayu kembali duduk di sampingnya, dan pria itu menuruti, membatalkan untuk mengikuti sang mami. "Biarkan mamih tenang dulu, Mas. Jangan dipaksa. Nanti setelah dirasa tenang, baru dibicarakan," ujar Maharani memberikan saran. "Iya, Mbak, saya paham. Saya hanya tidak ingin seumur hidupnya nanti, mamih terus menyimpan dendam.""Iya Mas, saya paham. Tetapi biarkan mamih tenang dahulu ya, Mas?" Bayu mengangguk. "Oh,iya, Mas Bayu panggil Rani saja ya, Mas. Tidak usah pakai Mbak.""Tidak apa-apa jika saya memanggil Adek saja? Walaupun saya tahu dari ibu Mbak Rani jika kita lahir di tahun yang sama.""Tidak apa-apa, Mas. Saya tidak keberatan kok.""Alhamdulillah, jika begitu."Maharani hanya tersenyum. Entah, dia sendiri mulai bingung dengan hatinya sendiri, dia seperti mer
Bayu Sagara kembali tersenyum atas pertanyaan wanita yang baru saja menerima lamarannya tadi. Hal yang wajar berdasarkan, mengingat dia dan Riswan memiliki papah yang sama. "Semalam saya cerita 'kan, tentang masa kecil dan remaja saya yang sampai terjerat narkoba dan membuat saya hampir mati?"Maharani mengangguk mengiya 'kan. "Itu masa-masa di mana saya belum bisa menerima kenyataan yang sebenarnya. Masa di mana saya sangat benci kepada pria yang meninggalkan mamih begitu saja. Tetapi saat itu saya belum tahu jika pria itu juga sudah punya putra laki-laki. Yang sepertinya lebih tua tiga tahun di atas saya. "Saya mengetahui tentang Riswan itu setelah saya lulus SMA dan melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan beliau, dan hanya berbeda jurusan.""Beneran Mas Bayu satu kampus dengan Mas Aries?" Bayu mengangguk. "Tetapi saya belum pernah bertemu secara langsung dengannya, mungkin karena kami berbeda jurusan dan beliau pun jauh di atas saya. "Tetapi dari kabar yang saya dengar d
"Hari ini juga, Mas?" tanya balik Maharani, saat Bayu meminta untuk secepatnya mereka berkunjung ke tempat kediaman Risma. "Jika Dek Rani tidak keberatan, lagi pula sepertinya tidak jauh dari sini 'kan?""Palingan sekitar 2 jam, Mas," jawab Maharani, mulai berdiri dari bale. "Bisa hari ini?""Bisa Mas, tetapi kemungkinan kita harus menginap di sana. Tidak apa sih, rumahnya cukup luas dan banyak kamar khusus untuk tamu.""Boleh apa jika saya menginap di sana?""Sepertinya boleh Mas, toh kita tidak tidur sekamar ini 'kan, lagi pula di sana banyak orang?""Lah, iya, kan kita belum mahram."Bayu tertawa, Maharani pun tertawa, dia semakin merasa nyaman dengan Bayu, yang bisa diajak bercanda dan membahas apa saja. "Kita bicara dengan ibu saja dulu, setelah itu kita langsung ke sana."Maharani mengangguk, berjalan beriringan masuk ke rumah untuk menemui Sarmila. Di dalam hatinya Maharani merasakan yakin, jika restu sudah dia dapatkan dari ibu calon mertuanya tersebut. ÷÷÷Sarmila terliha
231Ibu dari Sarmila hanya terdiam saat putrinya terus menangis di pangkuannya, minta tolong agar dia tidak diusir dari rumah ini. "Bu, tolong Mila Bu, Mila benar-benar tidak ingin keluar dari rumah ini. Mila takut, Bu ..."Hartini hanya bungkam. Hanya Air mata yang menetes dari pipinya. Pandangannya terlihat kosong, membocorkan ke arah pintu keluar kamar Sarmila. Perempuan paruh baya itu benar-benar tidak menyangka jika kejadian seperti ini menimpa keluarganya. "Sarmila minta ampun Bu, Sarmila mengaku salah. Tolong bilang sama bapak, Bu. Jangan usir Sarmila dari rumah ini. Mila harus pergi kemana Bu ... jangan usir Milah keluar dari rumah ini. Milah takut Bu, tolong Milah Ibu."Hartini masih diam mematung. Tangannya sama sekali tidak bergerak untuk mengusap atau memegang putrinya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Kain yang dipakainya sudah basah oleh airmata putrinya tersebut, yang masih menangis terisak-isak, Memohon-mohon agar mereka berdua tidak mengusirnya dari rumah ini.
Hampir setengah jam, adiknya meninggalkan lokasi. Sarmila masih belum tahu dia harus pergi kemana. Dia benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Sarmila tidak menyalahkan Wahyu, Ibu dan adiknya yang lain di dalam keluarga karena tidak ikut membelanya. Karena dia tahu, keras dan tegas sang ayah di dalam mendidik dan menjaga mereka sebagai kepala rumah tangga. Kesalahan yang dia lakukan bersama Mukhtar Kusumateja, hal yang seharusnya tidak dia lakukan, selalu terjadi di waktu bekerja. Andai pun jika di luar jam kerja, selalu urusan dalam pekerjaan yang menjadi tujuan untuk bisa keluar dari rumah dan mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya.. Bukan hal yang sulit baginya, jika kawan-kawan yang lain bekerja seperti biasa, maka dengan kekuasaan yang ada pada Mukhtar, Sarmila bisa pergi di saat jam kerja, dan bahkan sering sekali hanya datang untuk absen kehadiran saja. Tidak ada yang berani menegur bahkan melarangnya, bahkan pimpinan tempat di mana dia bekerja sekali pun.
"Mi, Mami!"Sekali lagi terdengar suara panggilan dari luar kamar Sarmila. "Masuk, Mas," ujar Sarmila, sambil menghapus basahan air mata dari pipinya. Pintu kamar terbuka, Bayu langsung masuk ke dalam kamar dan duduk di samping sang mami. "Bayu minta maaf, Mih. Bayu tidak bermaksud melukai hati Mamih." ucap Bayu, sembari memegang jemari Sarmila. "Tidak apa-apa, Mas. Mungkin mamih saja yang lagi baperan, jadi mudah tersinggung.""Bayu tidak bermaksud untuk menyalahkan, Mamih. Bayu hanya tidak ingin, di hati Mamih masih menyimpan dendam kepada orang yang sudah tiada."Sarmila terdiam mendengar penjelasan dari putranya tersebut. "Hidup kita akan jauh lebih tenang jika mau mengikhlaskan semua yang terjadi, Mih. Perjalanan hidup kita, semua sudah digariskan oleh Allah, bahkan sebelum kita dilahirkan. Mengikhlaskan adalah salah satu cara kita menerima sebuah ketetapan yang tidak mungkin lagi bisa diubah, karena semuanya sudah terjadi, Mih"Bayu berucap dengan perlahan, sambil terus men
Bayu bisa ikut merasakan, kerinduan yang dirasakan oleh sang mamih. kerinduan yang membuat dilema, karena larangan untuk pulang jika ayahnya sang mamih yang juga kakeknya bila masih hidup. Kerinduan yang membuat jiwa dan hati mamihnya tertekan, di anggap sebagai anak yang terbuang. Tidak lagi diakui keberadaannya. Memang bagi sebagian orang. keyakinan, nama baik dan kehormatan, diatas segalanya. Sampai ada kisah seorang ayah di Afganistan, yang tega menembak mati kedua putrinya karena dianggap sudah mempermalukan keyakinan yang mereka anut dan mencoreng kehormatan keluarga hanya untuk beberapa potong pakaian. Sebegitu mulianya mereka menempatkan keyakinan, kehormatan, dan norma-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat di atas segalanya. Bahkan, hubungan darah sekalipun tidak mampu menahannya. "Bayu akan mengantarkan Mamih untuk menemui keluarga kita sekarang. Bayu pun ingin bertemu dengan keluarga Mamih yang sesungguhnya," ujar Bayu, mengungkapkan dalam wajah Sarmila yang masih t
"Yuk Mih, kita turun sekarang?" ajak Bayu, mematikan mesin kendaraannya lalu menoleh ke belakang. Sarmila terdiam di kursi belakang kendaraan sedan yang dikemudikan Bayu, dan Maharani ada duduk di sampingnya. "Ma-mamih takut, Mas. Mamih takut keluarga akan mengusir mamih," peringatan beralasan, wajahnya terlihat pucat. Kepergiannya berpuluh-puluh tahun yang lalu dibuat menjadi gamang. keluarganya menganggap dirinya bagian dari mereka. "Mamih tidak usah takut. Ada Bayu yang akan selalu menemani, Mamih.""Ta-tapi, Mas. Tubuh mamih terasa lemas."Maharani yang sedari tadi hanya terdiam, lalu memberanikan diri untuk ikut bicara."Mas?""Iya, Dek." Bayu beralih membocorkan ke Arah Maharani. "Menurut Rani, sebaiknya Mas Bayu turun terlebih dahulu menemui mereka, untuk memastikan apakah rumah ini masih ada oleh keluarga besar mamih atau tidak."Bayu terdiam mendengar penjelasan calon istrinya tersebut. Dia berpikir jika apa yang dikatakan Maharani ada benarnya. Sebelum Bayu menjawab, Mah