"Yuk Mih, kita turun sekarang?" ajak Bayu, mematikan mesin kendaraannya lalu menoleh ke belakang. Sarmila terdiam di kursi belakang kendaraan sedan yang dikemudikan Bayu, dan Maharani ada duduk di sampingnya. "Ma-mamih takut, Mas. Mamih takut keluarga akan mengusir mamih," peringatan beralasan, wajahnya terlihat pucat. Kepergiannya berpuluh-puluh tahun yang lalu dibuat menjadi gamang. keluarganya menganggap dirinya bagian dari mereka. "Mamih tidak usah takut. Ada Bayu yang akan selalu menemani, Mamih.""Ta-tapi, Mas. Tubuh mamih terasa lemas."Maharani yang sedari tadi hanya terdiam, lalu memberanikan diri untuk ikut bicara."Mas?""Iya, Dek." Bayu beralih membocorkan ke Arah Maharani. "Menurut Rani, sebaiknya Mas Bayu turun terlebih dahulu menemui mereka, untuk memastikan apakah rumah ini masih ada oleh keluarga besar mamih atau tidak."Bayu terdiam mendengar penjelasan calon istrinya tersebut. Dia berpikir jika apa yang dikatakan Maharani ada benarnya. Sebelum Bayu menjawab, Mah
Keterkejutan Halimah dengan suara terpekik, membuat putrinya Fitri kembali datang menghampiri dengan bergegas. Takut terjadi apa-apa dengan sang ibu yang sedang bersama pria asing, yang belum mereka kenal. "Ibu kenapa, Bu?" tanyanya cepat. Lalu melihat ke arah Bayu. "Tidak apa-apa, Fit. Ibu hanya kaget saja.""Kaget kenapa, Bu?" tanyanya lagi. "Mas ini ternyata keponakan Ibu. Kakak sepupu kamu--putra dari Uni Syarmila--kakak pertama ibu yang sudah lama menghilang."Fitri pun terganga, kembali melihat ke arah Bayu. Secara, dia pun teringat jika ibunya pernah bercerita kepadanya tentang kakak pertamanya tersebut. "Ibumu kenapa tidak ikut kemari?" tanya Halimah kepada Bayu. "Jadi benar, jika Uni Halimah adik dari ibu saya?" Bayu malah balik bertanya, dia benar-benar ingin memastikan kebenarannya. "Benar, Mas. Saya adik bungsunya beliau. Saat Uni Syarmila pergi dari rumah hampir 30 tahun yang lalu, saat itu usia saya baru 10 tahun," jelas Halimah. "Mana sekarang ibumu, Mas?""A-ada
237"Masuk dulu yuk, Un. Kita bicara di dalam," ajak adiknya Halimah. "Ayah, Bundo, ada di dalam 'kan?" tanya Syarmila lagi. Halimah tidak menjawab dan hanya tersenyum, lantas menggandeng tangan kakaknya tersebut ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah, ruang tamu keluarga, Syarmila berdiri terdiam memandangi sekeliling ruangan. Matanya berkaca-kaca. Setelah puluhan tahun kepergiannya, tidak ada sama sekali yang berubah bentuk dalam rumah tersebut, persis sama dengan di saat masa kecil dan remajanya dahulu. Selintas memori itu kembali terbayang. "Duduk dulu, Un," ucapan Halimah menyadarkannya. Tersenyum, lalu duduk di bangku mebel yang sama dengan yang dahulu. Bayu dan Maharani pun ikut duduk. Halimah lantas meminta putrinya, Fitri, untuk membuatkan minuman, dan dia sendiri langsung duduk di samping Syarmila. Tangan Halimah menggenggam erat kedua tangan kakaknya tersebut. "Kok rumahnya sepi. Keluarga kamu di mana,Imah? Ayah Bundo di mana?" tanya Syarmila lagi, terus bertanya
238Kedua ibu dan anak tersebut masih berpelukan dalam keharuan. Mendapatkan kabar gembira yang tidak disangka-sangka, yang berhubungan dengan kelanjutan pendidikan Fitri. "Fitri rencananya mau kuliah di mana?" Maharani kali ini yang bertanya. "Fitri rencananya mau ikut test masuk Perguruan tinggi negeri dulu, Ka.""Di Universitas mana?""Kepinginnya yang tidak terlalu jauh, semacam di UI dahulu, agar tidak usah ngekost. Tetapi jika tidak pengen juga di UGM atau di Undip Semarang, Ka.""Aamiin, semoga diterima." Doa harap dari Maharani, dan di aamiinkan oleh semua. "Terserah Fitri mau kuliah di mana saja. Uda Bayu siap saja. Tetapi Uda hanya minta, kamu fokus dan harus konsentrasi untuk menyelesaikan pendidikan, siapa tahu nanti bisa membantu perekonomian ibumu." Bayu kali ini yang mengingatkan. "Iya, Uda. Fitri janji akan fokus belajar. Karena memang harapan ibu hanya pada Fitri."Halimah terlihat menghapus limpahan air matanya dengan ujung jilbabnya. Berucap pelan kepada keluarg
239Maharani menatap Syarmila dengan sedikit menunduk, mendapatkan pertanyaan dari ibu dari seorang pria yang ingin mengkhitbah-nya jelas membuatnya terkejut karena tidak menyangka. "Maaf Mih, untuk saat ini saya tidak punya hak untuk mengungkapkan pendapat saya antara memilih setuju atau tidak. Karena walau bagaimanapun saya masih terhitung orang di luar dari lingkaran keluarga. Tetapi, jika ditanyakan bagaimana pendapat saya dengan yang ingin Mas Bayu perbuat untuk membantu keluarga, maka saya bilang itu sudah sebuah tindakan yang tepat. Karena, sebelum kita membantu orang lain, utamakan kita membantu keluarga atau kerabat dahulu yang terdekat yang memang sedang membutuhkan bantuan. Dan agama kita pun menganjurkan seperti itu. "Mohon maaf, Mih, jika ucapan saya dianggap salah atau pun tidak tepat." Maharani menutup perkataannya dengan permintaan maaf. Semua yang mendengar tersenyum, termasuk juga Syarmila. Yang langsung berucap. "Secepatnya kamu lamar gadis baik ini, Mas. Mamih i
Syarmila terus mencecar Halimah, dia sangat penasaran ingin mengetahui permasalahan yang sedang terjadi di keluarganya. Sehingga untuk melihat keadaan kedua orang tuanya pun Halimah tidak bisa. "Ibu tidak punya salah apa-apa dengan Uwa Farida, Mak Tuo," jawab Fitri mewakili ibunya. "Jika tidak punya salah kok kalian bisa bermusuhan seperti itu. Bahkan, Wahyu pun ikut-ikutan memusuhi kalian berdua?""Uwa Wahyu sepertinya hanya kena hasut Uwa Farida, Mak Tuo. Seolah-olah kesannya, ibu yang salah." Fitri terus berusaha menjelaskan. Syarmila kembali menatap dalam Halimah. "Cerita Halimah, ada apa sebenarnya?" Syarmila kembali bertanya kepada adiknya tersebut yang sedari tadi hanya terdiam saja. Halimah tersenyum tipis, terlihat menghela napas, ingin mengurangi rasa sesak di dalam hatinya. "Sebenarnya, suaminya Imah--bapaknya Fitri itu adik kandungnya Uni Farida, Un." Syarmila terkejut juga mendengarkan penjelasan Halimah. "Jadi, mantan suamimu dan Farida itu kakak beradik? Siapa nama
"Tidak jauh 'kan rumah Wahyu dari sini?" tanya Syarmila lagi. "Tidak jauh kok, Un. Sekitar 15 menit dari sini.""Ya sudah kita langsung ke sana saja. Semoga ayah bundo sudah tidak marah lagi sama uni," ucap harap Syarmila. "Semoga tidak, Un. Justru sekarang mereka sering menanyakan, kapan Uni akan menemui mereka. Sebegitu marah dan benci kah Syarmila sama kami? Tidak rindu kah dia dengan orang tuanya. Bundo sering bilang begitu Un dulu saat masih tinggal di sini.""Maafkan Uni yang keras hati. Uni memang anak durhaka," ujar Syarmila ke dirinya sendiri. Mulai menyesali sikapnya yang sedikit pedendam, dan menyembunyikan jati diri keluarganya bahkan terhadap putranya sendiri. "Uni nggak boleh bicara seperti itu. Imah yakin, walaupun Uni tidak bertemu secara langsung, tetapi Uni pasti mendoakan ayah dan bundo." Syarmila hanya tersenyum, matanya sudah kembali berkaca-kaca. "Yuk, kita ke sana secepatnya. Bayu pun sudah kepingin bertemu beliau berdua," ucap Bayu sembari berdiri dari temp
Syarmila langsung bergegas ingin masuk, tetapi putranya Bayu memberikan isyarat untuk menunggu dan bersabar dahulu. Suara makian Farida kembali terdengar. "Bersihin itu sampai hilang bau pesingnya! Rumah gue malah jadi tempat panti jompo! Orang tua gue aja ogah gue rawat, lah ini orang lain malah nyusahin." Masih tidak ada jawaban, hanya suara tangis wanita tua saja yang terdengar. "Sudah diem! Jangan mewek terus. Bersihin nggak sekarang!" bentak Farida lagi, dan Bayu melihat jika sang mamih mengalir air matanya dalam diam sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. "Awas lu ye, jika sampai ngadu sama anak lo. Gue racunin lo berdua. Masih dendam gue sama lo berdua tua bangka."Bayu yang tadinya ingin masuk, kembali menahan diri. Farida menyebutkan kata, dendam. Bayu penasaran, tentang alasan yang membuat istri dari pamannya tersebut dendam kepada kakek dan neneknya. Farida kembali terdengar mengoceh. "Untung saja Pak tua ini stroke, tidak bisa bicara. Kalo bisa mungkin sudah ngom