Rasa amarah membara di dada Cani. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Victory yang berdiri di hadapannya. Wajah Victory, yang biasanya memancarkan keceriaan, kini terlihat begitu menyebalkan di mata Cani.
"Aku ingin sekali menghancurkan wajahmu yang menyebalkan itu!" desis Cani, tangannya mengepal erat. "Ngomong apa sih, Mbak? Orang miskin bisa apa? Ambil lagi nih uangmu!" Victory melempar amplop pemberian Cani tepat mengenai wajah Cani. Cani berusaha keras untuk menahan diri, meski tingkah Victory sudah keterlaluan. "Gayamu, Dek. Padahal dulu uang segitu sudah banyak buat kamu. Sekarang kamu sombong banget," ujar Cani. Cani agak miris melihat kelakukan congkak keluarganya. Mereka seakan melupakan kehidupan mereka sebelumnya. Terutama untuk Ibu Tiri dan adiknya. "Apaan sih, Mbak. Dulu ya dulu. Manusia itu mengalami peningkatan sosial. Bukan penurunan sosial kayak kamu!" ketus Victory. "Sayang, ayo kita pulang saja," ajak Han menggenggam lengan Cani. "Pulang sana! Aku udah eneg ngelihat muka kalian berdua! Bikin noda di pestaku aja!" usir Victory. Dengan sedikit rasa kekesalan, Cani berlalu meninggalkan tempat pesta pernikahan. Mereka berdua pulang, dengan mengendarai motor butut milik Han. Selama perjalan menuju rumah. Cani tak bisa berhenti menggerutu. Tubuh Cani yang kecil dan pendek, berusaha mensejajarkan diri dengan tubuh besar sang suami. "Mereka tuh apa-apaan sih? Jadi kayak gitu! Songong amat!" gerundel Cani mengerucutkan bibir. Han tersenyum tipis, lalu berkata, "Keluargamu pasti kesal. Karena kamu menikah denganku yang bukan orang kaya ini." Melihat suaminya merendahkan diri, hati Cani terasa sesak. Ia tak suka melihat suaminya seperti itu. "Mereka aneh. Seharusnya mereka tidak boleh seperti itu. Toh, mereka juga bukan orang kaya. Ibuku terlalu sombong, setelah punya menantu kaya raya," terang Cani, suaranya terdengar lirih. "Yeah, begitulah manusia," timpal Han. Cani mengangguk pelan. Gelombang kekesalan yang menggelegak di dadanya tiba-tiba surut, tergantikan oleh ketenangan yang hanya suaminya yang bisa berikan. Tangan Cani semakin erat memeluk perut Han yang berotot. "Sayang banget sama Mas Han. Aku nggak bakal lepasin Mas Han." *** Jantung Cani berdebar setiap kali membuka lapaknya. Keripik pisang, sumber penghidupannya. Ia bersyukur masih memiliki tempat kecil itu, tempat ia berjuang untuk bertahan hidup. Mbak Fatin, kakak perempuan Cani yang jauh lebih tua, berjualan es campur di samping lapak adiknya. Perbedaan usia mereka terlihat jelas. Cani dan Mbak Fatin berjualan di depan toko bekas milik orang tua mereka. Toko yang sudah tidak beroperasi lagi. Dan di belakang toko, ada rumah kecil milik keluarga yang ditinggali oleh Cani, dan suaminya. "Laris ya daganganmu," ucap Mbak Fatin. "Iya, Mbak. Aku bersyukur banget. Akhir-akhir ini dikasih rezeki melimpah," jawab Cani senang. Mbak Fatin terlihat tidak senang. Padahal es campur jualannya juga laris manis karena cuaca yang panas. Tapi masih saja merecoki Cani. "Kamu pakek resep ibu buat bikin keripik pisang?" tanya Mbak Fatin. Ibu yang dimaksud Mbak Fatin ialah ibu kandung mereka berdua. Ibu yang telah lama meninggal dunia. "Iya, Mbak. Aku mau nerusin usaha ibu dulu. Resep yang aku pakai juga masih sama," jelas Cani. Mbak Fatin langsung mengeluarkan ekspresi meremehkan. "Ya iyalah! Kamu, kan anak kesayangan ibu. Anak yang tiap hari diajak jualan ya kamu. Heran banget! Padahal kamu waktu itu masih kecil." Mbak Fatin nyinyir. Cani tersenyum tipis. Ia teringat dengan kenangannya bersama sang ibu, sebelum ibunya menghilang selamanya. "Harusnya kamu berterima kasih sama Bu Helena yang sudah merawatmu. Padahal kamu bukan anak kandungnya. Bukannya jadi pembangkang kayak gini," berondong Mbak Fatin. Cani menghembuskan napas lelah. "Kapan sih, Mbak. Aku jadi pembangkang? Aku selalu nurut kok sama Bu Helena," tukas Cani. "Buktinya, kamu nggak mau menikah sama pria pilihan Bu Helena. Kamu malah menikah sama si Han itu!" cela Mbak Fatin. "Aku nggak mau menikah sama juragan buah. Orangnya suka main cewek. Terus mesum juga. Masak baru kenal sudah berani colek-colek. Aku yo takut," ungkap Cani. Cani bergidik ngeri mengingat pengalaman tak mengenakkan yang pernah dia alami saat Bu Helena selalu menjodoh-jodohkannya dengan 'pria pilihan Bu Helena'. Kalau dipikir-pikir kembali, Bu Helena selalu memperkenalkan Cani kepada pria yang tidak beres. Entah itu terlalu tua, atau lelaki mata keranjang. Mereka memang kaya, tapi seperti tidak layak untuk dijadikan imam. "Yang penting kaya! Punya banyak duit. Biar kamu bisa hidup enak! Bukan malah nikah sama cowok kere yang nggak punya apa-apa." Mbak Fatin mencaci maki Cani. Cani menatap datar kakaknya yang kini sikapnya sebelas dua belas persis dengan Bu Helena. "Lah, Mbak sendiri menikah sama tukang parkir," batin Cani. Ingin rasanya Cani membalas, mengomentari kehidupan Mbak Fatin yang juga serba kekurangan. Mbak Fatin jelas ada dipihak Victory. Karena sekarang, Victory lah yang memiliki kuasa. "Ngomong-ngomong, rumah yang kamu tinggali itu masih rumah keluarga. Kapan kamu bakal bayar ke saudara-saudaramu? Atau Mau diusir kah?" Cani terkejut. Tiba-tiba Mbak Fatin menyinggung mengenai satu-satunya peninggalan ayah mereka. Saat Cani hendak membalas ucapan Mbak Fatin, ada seseorang yang datang untuk membeli keripik pisang. Tatapan tidak suka terpampang jelas di wajah kusut Mbak Fatin. Apalagi setelah tahu jika dagangan Cani diborong oleh ibu-ibu itu. "Terima kasih, Bu." Setelah menanggapi ucapan Cani dengan anggukan. Si Pembeli berlalu pergi. "Syukurlah ... Stok hari ini habis," ucap Cani penuh kelegaan. "Halah! Baru habis sekali aja, bangga. Itu sombong namanya," cibir Mbak Fatin. "Sombong dari mana sih, Mbak?" Cani menggelengkan kepala, heran dengan kakaknya. "Kamu harus nyiapin uang secepatannya. Kalau enggak, siap-siap aja hengkang dari rumah ini. Soalnya, suami Victory bakal beli tanah beserta bangunan peninggalan bapak," jelas Mbak Fatin memperingati. Cani dibuat tercengang. "Rumah keluarga harus dibagi ke seluruh ahli waris," kata Mbak Fatin. "Loh?" "Kalau kamu masih pengen tinggal di rumah keprabon. Kamu harus membeli bagian-bagian dari saudaramu. Ngerti 'kan? Masak nggak ngerti?" Dalam istilah jawa, rumah keprabon berarti rumah warisan turun-temurun. Untuk memiliki rumah keprabon, salah satu ahli waris harus memberi uang kepada ahli waris lain, sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini biasanya terjadi karena orang tua ahli waris meninggal sebelum sempat membuat surat warisan. Cani terdiam sambil merenungi penjelasan Mbak Fatin. "Mangkanya, disuruh nikah sama orang kaya, malah milih nikah sama cowok miskin. Gitu lah, akibatnya," imbuh Mbak Fatin. "Ayah baru meninggal satu bulan lalu. Kok tega kalian ungkit warisan? Mbak Fatin butuh uang banget ta?" Cani sedikit menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang mungkin menyakiti hati Mbak Fatin. "Oh ... Kamu nggak butuh uang ta? Mau terbelenggu dalam kemiskinan terus? Iya!" cecar Mbak Fatin. "Bukan begitu, Mbak. Aduh ... Maaf. Aku nggak maksud nyinggung. Sudahlah, Mbak. Jangan dibahas lagi. Puyeng kepalaku." Cani pusing sendiri. Cani membereskan mejanya, bersiap untuk tutup. "Padahal masih punya stok di dalam rumah. Belum waktunya tutup kok tutup?" sindir Mbak Fatin. Cani memilih untuk tidak merespon. Ia memilih fokus membersihkan tempatnya. Tak berselang lama, Han datang, pria itu memarkirkan motor bututnya, lalu menghampiri Cani. "Tumben, Mas sudah pulang? Masih jam tiga sore, loh." Cani menyambut kedatangan Han dengan segera mencium punggung tangan sang suami. "Suami nggak guna aja dilayani segala," hina Mbak Fatin. "Mbak Fatin, mau aku bantuin beres-beres? Kayaknya, dagangan Mbak sudah habis," tawar Han. Han tetap membalas kakak iparnya dengan tindakan baik. Cani sudah mengajarinya akan hal itu. "Apanya yang habis? Sok tahu!" tolak Mbak Fatin. "Aku pikir sudah habis," ucap Han seraya melempar senyuman tipis. "Kamu mengejekku?" sungut Mbak Fatin. "Mas Han, kok sudah pulang? Bukannya hari ini pulang jam delapan malam?" Cani kembali mempertanyakan pertanyaannya yang tidak terjawab sebelumnya. "Dipecat kali," sahut Mbak Fatin. "Mas Han dipecat?" Bersambung...Setelah menghancurkan tablet tersebut hingga tak berbentuk, tiba-tiba layar televisi di sampingnya menyala sendiri, menampilkan adegan di mana Hime mengakui segala kebohongannya mengenai kemandulan Han. Seketika tubuh Hime melorot dan terjatuh di atas lantai.Perhatian Hime kembali fokus pada layar televisi ketika sosok Han tampil di sana. Han menyatakan jika kini ia sudah tidak peduli kepada Hime. Han juga telah mengeluarkan Hime dari Black Ice. Han mencabut segala fasilitas yang ia berikan pada Hime.Di akhir ocehan Han, pria itu tersenyum dan berterima kasih pada Hime. Namun Han berjanji akan menjaga keselamatan Hime.“Sialan! Beraninya kamu membuangku setelah semua yang aku lakukan untukmu!” geram Hime melempar piring berisi makanan ke layar telivi yang masih menyala.Hime berteriak seperti orang kehilangan akal. Semua rencanya berantakan, dan sekarang justru rencana itu berbalik menusuknya. Dia sama sekali tak menyangka jika Han aka
Setelah makan malam romantis, Han mengajak Hime ke sebuah hotel bintang lima yang sangat terkenal di kota. Keduanya menikmati suasana nyaman yang tersaji dari balkon kamar, dengan Han yang memeluk Hime dari belakang.“Han ... Apa kamu benar-benar menyukaiku?” tanya Hime mamastikan.“Tak hanya menyukaimu, aku juga mencintaimu,” jawab Han cepat.Hime tertawa kecil. “Tapi ... Kita tidak bisa bersama.”“Kenapa?” Han membalik tubuh Hime agar menghadap dirinya.“Karena ada Cani,” bisik Hime menenggerkan kedua lengannya pada pundak lebar Han.Han tertawa renyah, ia berkata, “Itu bisa diatur.”“Jadi, kamu akan menceraikan wanita kampung itu?”Han tidak menjawab, ia justru menggendong Hime, dan membawa tubuh sexy Hime menuju ranjang. Han melempar tubuh Hime di atas kasur, lalu menindihnya.“Han? Kamu serius?” Hime melototkan kedua matanya. Apalagi saat Han merobek gaun indah yang dikenakan Hime.“Hime, apa kamu tahu? Cani sedang hami sekarang,” ucap Han bernada rendah.Sontak Hime terkejut, na
Jika memang benar Cani hamil sebelum diculik oleh Rio, maka bayi yang dikandung Cani merupakan darah daging Han. Demi membuktikan, dan meluruskan segalanya, hari ini juga Han mengunjungi klinik dokter kenalan Hime yang menyatakan bahwa ia mandul.Begitu sampai di klinik, Han langsung mengobrak-abrik tempat praktik dokter tersebut. bahkan Han juga menyandera para asisten dokter guna makin memberi tekanan.Han memaksa Dokter untuk mengatakan yang sebenarnya, jika tidak, Han akan melubangi kepala Dokter dengan peluru. Tak hanya itu, Han juga mengancam akan membuat kematian Dokter terasa sangat menyakitkan. Dalam kata lain, Han tak ‘kan begitu saja melenyapkan nyawa Sang Dokter.Dengan ekspresi penuh ketakutan, Dokter akhirnya mengaku jika ia dibayar Hime untuk membohongi Han mengenai kesuburan. Darah Han seketika mendidih ketika Dokter mengungkapkan segalanya.Han yang berada dalam kendali amarah, langsung memasukkan ujung pistol ke dalam mulut Dokter, dan melepas peluru yang membuat kep
Hime tersenyum tipis. “Yang memintaku tinggal di sini adalah Han. Tapi, jika Kepala Keluarga Ditmer mengusirku, aku akan hengkang.”Albert mencengkeram pergelangan tangan Hime ketika wanita itu hendak beranjak meninggalkannya. Ia sangat ingin membahas mengenai dokter perkebunan yang meninggal mengenaskan, namun Albert menundanya. Entah mengapa, perasaannya tidak enak.“Kembalilah mengurus Kartel, aku membutuhkan bantuanmu,” pinta Albert.Hime melipat kedua tangan pada dada. Ia menghela napas sebelum berkata, “Kamu masih membutuhkan bantuanku untuk mengurus Kartel? Bukankah aku di sini untuk membantu Cani?” Hime mengernyitkan dahi.“Sudah banyak pelayan yang membantu Cani,” sahut Albert. “Biarkan Cani mengurus segala urusan di rumah ini sendirian,” tandasnya menatap lurus Hime.Dengan amat sangat terpaksa, Hime menyetujui permintaan Albert.“Aku menurutimu karenam neghomatimu sebagai Pemimpin Black Ice,” pungkas Hime berlalu meninggalkan Albert yang terdiam.Dari sekian banyak pria di
Beberapa hari berlalu, Han melangkah pelan ke sisi ranjang, tangannya terulur untuk meraih tangan Cani yang dingin. Han tahu istrinya masih bersedih, masih terombang-ambing dalam kenyataan pahit tentang siapa ayah dari bayi di perutnya.Tanpa berkata apa pun, Han menggenggam tangan Cani, memberikan ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh sentuhan lembut seorang suami.Cani terisak, sesekali mengusap perutnya yang masih tampak rata. Kehamilannya, seharusnya menjadi kabar gembira, namun malah membuatnya hancur."Sayang ...." bisik Han lembut. "Percayalah, aku tak peduli siapa ayah bayi kita. Yang penting, bayi ini akan tumbuh dalam keluarga kita, dengan cinta dan kasih sayang kita berdua. Aku akan menjadi ayahnya, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya."Air mata Cani kembali menetes, kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan haru. Han bersungguh-sungguh, Cani dapat melihatnya dari sorot mata Han yang penuh kasih sayang."Kenapa? Aku telah mengkhianatimu, Mas," lirih Cani mengalihka
Senja menyelimuti kediaman keluarga Albert. Di ruang kerjanya yang luas, Albert, kepala keluarga yang disegani, duduk termenung dengan ditemani secangkir kopi yang masih hangat di tangannya. Pikiran Albert dipenuhi oleh cerita Eila, pelayan pribadi sekaligus sahabat Nyonya Ditmer, tentang kecurigaan Eila terhadap sikap aneh Hime.Setelah beberapa saat berpikir, Albert mengambil keputusan. Ia bangkit dari kursinya, wajahnya dipenuhi dengan keraguan. Ia memanggil anak buahnya yang berada tak jauh darinya. "Ya, Tuan?"“Aku perlu kau melakukan sesuatu. Awasi Hime. Laporkan setiap gerak-geriknya kepadaku. Lakukan dengan hati-hati, jangan sampai ia menyadari hal ini.” Suara Albert terdengar tegas. Pria tinggi tegap itu mengangguk hormat, menerima perintah tanpa bantahan.***Di sisi lain, angin yang berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah dan sedikit bau anyir dari kandang buaya raksasa.Hime memandang Han yang berdiri sambil memperhatikan buaya peliharaannya, beberapa ekor buay