Share

Cinta Pertama Bidadariku

Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.

“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.

“Sampai kapan.”

“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.

Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan itu tak lagi tampak sejak segala hal keliru yang dia putuskan mulai kutentang kuat. Selalu saja prasangka yang hadir di antara kami hingga perdebatan berakhir pertengkaran selalu mewarnai kebersamaan kami.

“Maksudmu apa?” tanya lelaki itu. Sejak pengadilan ketuk palu atas status kami, Mas Marwan selalu kesal dan ketus bicara padaku.

“Biar Syifa ikut tinggal bersamaku sementara waktu. Izinkan dia  melihat ibunya berkegiatan dan melakukan sesuatu. Kalau dia ingin ayahnya akan kuantar  atau, Mas jemput. Mari berdamai soal anak. Kita jangan ribut anak mau ikut siapa. Kasihan mereka kalau harus memilih.”

“Itukan mau kamu, Bu. Belum puas kau menghancurkan pernikahan kita!?”

Sabar… hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Melayani amarahnya hanya akan menimbulkan pertengkaran yang tak ada habisnya. Entah apa maunya lelaki ini.  Seakan perpisahan ini hanya aku yang salah.

“Sudahlah. Berusahalah jadi ayah yang baik biar tak kehilangan anak setelah istri.  Mereka bukan barang yang bisa disimpan di mana saja kita ingin. Ada hati yang perlu dijaga.” Mas Marwan hanya menunduk menekuri lantai. Selalu begitu kalau ketegasanku timbul.

“Jadi sudah kamu putuskan? Syifa dan ….”

“Ayolah, Mas … Syifa baru tiga tahun. Gunakan hati seorang ayah. Bisa?” Aku beranjak meninggalkan papa Syifa agar diskusi mbuled ini tak berlanjut.

Sebenarrnya Syifa masih dalam asuhan ibunya karena masih kecil, hanya entah kenapa Mas Marwan ngotot banding agar lepas ASI putrinya sudah ada di bawah hak asuhnya seperti kedua kakaknya.

“Sayang … papa mau pulang. Salim dulu ya…” kataku pada Syifa yang tengah ngambeg di kamar.

Melihatnya tengkurap memeluk boneka panda dari mantan suamiku membuat hati gerimis. Kubalikkan tubuh mungil itu. Ya Allah … mata bulatnya penuh kacakaca. Kupeluk erat justru isaknya mulai terdengar.

“Ada apa, Sayang … Syifa mau apa?”

“Bunda … Syifa pingin ikut Papa.” Aku tertegun melihatnya.

“Papa lama kalau kesini. Syifa mau boboknya sama papa aja setiap hari. Boleh ya, Bun ….”

Bagaimana aku menolaknya? Setiap papanya berkunjung sebulan sekali Syifa selalu ngambeg tak mau ditinggal lagi. Ikatan batinnya begitu kuat padahal waktunya lebih banyak bersamaku ibunya tapi tak membuatnya lebih menyayangiku. Saat ada Mas Marwan, makan, mandi bahkan tidur selalu bersamanya. Syifa seperti tak membutuhkanku. Mungkinkah karena sering kutinggal?

“Syifa tak sayang lagi sama bunda?”

“Sayang, tapi Syifa juga sayang, Papa. Nanti juga Syifa ke sini kalau kangen Bunda, kan? Sama Papa juga.” Ya Allah… bagaimana ini?

“Iya. Syifa boleh ikut,” kata Mas Marwan di belakangku. Entah sejak kapan dirinya masuk kamar ini.

“Yeaaa!!” Syifa memekik gembira sambil meloncat ke pelukan papanya.

“Mas ….” Aku menatapnya memelas.

“Di sana ada Dian. Kalau Syifa tak betah dan minta pulang akan kuantar segera. Percayalah, aku juga ayahnya tak mungkin kubiarkan dia kenapanapa.”

Mendengar penjelasananya sekonyong seraut wajah keibuan melintas di kepalaku. Aku tak akrab dengannya tapi bisa mempercayainya. Wanita yang cukup baik yang mampu mendampingi suami seperti Mas Marwan. Mereka memang sudah menikah sejak tahun pertama perceraian kami. Dian menghargai hubungan kami yang punya anakanak. Dirinya jarang ikut kesini saat suami mengunjungi anak dari pernikahan sebelumnya.. Hanya sesekali saja mendampingi itu pun dengan sikap canggung yang agak berlebihan menurutku. Mungkin tidak nyaman bertemu mantannya suami. Entahlah.

Bagiku keberadaan ibu tiri bagi Syifa juga beban batin bagiku jika mereka tinggal bersama. Bukan aku tak percaya, Dian bisa jadi ibu tiri yang baik, atau curiga dia jahat seperti di filmfilm tivi yang ditonton bibi di serambi dapur, tapi lebih takut bersaing mendapatkan cinta putih putriku.

“Bunda! Panda dibawa ya!”

Suara Syifa membawaku terlonjak ke dunia nyata. Ah putriku begitu girang, tak mungkin kukacaukan dengan kegelisahanku. Tubuhnya melesat keluar kamar untuk mengumpulkan barang yang akan dibawa.

“Sudah jangan melamun saja. Dian juga wanita sholehah yang sayang anakanak,” kata Mas Marwan seperti tahu isi hatiku.

Akhirnya aku menyerah melepaskan Syifa pada ayahnya. Kubereskan pakaian, alat belajar, mainan juga barang kesayangannya dengan air mata berderai.

“Sudahlah, Bu, Syifa bukannya pergi sangat jauh dan tak bakal kembali,” kata Mas Marwan sengit. Dasar tak peka.

Cinta pertama anak perempuan pada ayahnya memang nyata. Contohnya Syifa. Sejak bayi merah sudah langsung diam saat rewel begitu nempel di tangan Mas Warwan. Saat diajak bercanda respontnya pun luar biasa ceria. Tawa khas bayi memenuhi ruang. Momen yang jarang terjadi lagi setelah kubawa pulang ke rumah bapak ibuku.

Sekarang bidadariku memilih meninggalkan diri ini. Memilih mengikuti cinta pertamanya keluar sana. Seperti sangat jauh tak terjangkau. Hatiku sungguh remuk.

Harinya bersamaku memang tak selalu kudampingi. Aku harus bekerja. Usaha kuliner yang kurintis banyak menyita waktu kebersamaan kami.Tak bisa menyalahkan keadaan. Aku yakin darah akan lebih kental dari air. Syifa tetap milikku di manapun berada. Demi kebahagiaannya lebih baik aku mengalah.

“Sayang, baikbaik di sana ya … sering telphon bunda. Salam sama Mama Dian ya, semoga kalian jadi teman yang akrab,” pesanku pada Syifa.

“Iya, Bun … sampai sana Syifa vcall,” katanya sok dewasa. Aku tersenyum dalam tangis.

“Jangan nangis, Bunda …kata papa Jakarta enggak jauh.” Ya Allah … malah menasihati ibunya. Bukan sedih ibunya menangis. Syifa … begitu sayangnya sama papa, Nak? Batinku menjerit.

Mobil Mas Marwan sudah meninggalkan halaman rumah. Membawa sebagian hatiku serta. Lebih sakit rasanya saat aku yang pergi meninggalkan papanya dulu. Bagiku anakanak dalam dekapan adalah segalanya. Tapi aku sadar, mereka bukan milikku seutuhnya. Ayahnya pun berhak. Dan Syifa bahkan terang terangan memilih ayahnya dari pada  aku ibunya.

Masuk rumah aku segera meraih handphon. Kucari kontak Dian yang sempat kuminta pada suaminya sebelum pergi tadi.

‘Assalamualaikum, Dik Dian… tolong titip Syifa. Sayangi dia ya, Dik … tolong dibantu. Di dalam tasnya ada catatan kebiasaannya di rumah, makanan kesukaannya dan resep beberapa makanan favoritenya.’

Kukirimkan pesan pada Dian. Tak lama kemudian balasannya kuterima.

‘Ya, Mbak … in sya Allah.’ Padat singkat.

Malam pertama tanpa Syifa aku kembali menangis. Rumah ini terasa sepi tanpa celotehnya yang ramai. Aku duduk di ranjang mungilnya. Aku akan tidur di sini malam ini. Menghirup aroma minyak telon dan bedak tabur. Harumnya tubuh Syifa putriku. Getar ponsel membawaku kemeja belajar Syifa dengan malas. Notifikasi pesan dari Mas Marwan. Untuk pertama kalinya setelah berpisah aku amat senang menerima pesannya.

‘Kami sudah sampai. Syifa senang lihat rumah dan kamar barunya. Dian sudah menyiapkannya. O, iya dia bukan pengasuh Syifa jadi biarkan mengalir begitu saja, kamu jangan mendikte Dian dalam pengasuhan Syifa. Ok?’

Tanpa kumatikan, benda pipih itu kuletakkan begitu saja dengan masih mengantarkan suara mantan suami tapi entah apa yang dibicarakan. Kepala ini sudah berat, Gusti … salah lagi, kah aku? Pipi banjir lagi setelah sempat kering tadi. Kutelungkupkan wajah di bantal mungil Syifa. Kelelahan menangis membawaku jatuh terlelap. Semoga pagi besok semua jadi lebih baik. Syifa … Bidadariku sayang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status