Home / Romansa / Suami Mudaku / Cinta Pertama Bidadariku

Share

Cinta Pertama Bidadariku

Author: Wening
last update Last Updated: 2021-09-20 13:42:30

Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.

“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.

“Sampai kapan.”

“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.

Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan itu tak lagi tampak sejak segala hal keliru yang dia putuskan mulai kutentang kuat. Selalu saja prasangka yang hadir di antara kami hingga perdebatan berakhir pertengkaran selalu mewarnai kebersamaan kami.

“Maksudmu apa?” tanya lelaki itu. Sejak pengadilan ketuk palu atas status kami, Mas Marwan selalu kesal dan ketus bicara padaku.

“Biar Syifa ikut tinggal bersamaku sementara waktu. Izinkan dia  melihat ibunya berkegiatan dan melakukan sesuatu. Kalau dia ingin ayahnya akan kuantar  atau, Mas jemput. Mari berdamai soal anak. Kita jangan ribut anak mau ikut siapa. Kasihan mereka kalau harus memilih.”

“Itukan mau kamu, Bu. Belum puas kau menghancurkan pernikahan kita!?”

Sabar… hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Melayani amarahnya hanya akan menimbulkan pertengkaran yang tak ada habisnya. Entah apa maunya lelaki ini.  Seakan perpisahan ini hanya aku yang salah.

“Sudahlah. Berusahalah jadi ayah yang baik biar tak kehilangan anak setelah istri.  Mereka bukan barang yang bisa disimpan di mana saja kita ingin. Ada hati yang perlu dijaga.” Mas Marwan hanya menunduk menekuri lantai. Selalu begitu kalau ketegasanku timbul.

“Jadi sudah kamu putuskan? Syifa dan ….”

“Ayolah, Mas … Syifa baru tiga tahun. Gunakan hati seorang ayah. Bisa?” Aku beranjak meninggalkan papa Syifa agar diskusi mbuled ini tak berlanjut.

Sebenarrnya Syifa masih dalam asuhan ibunya karena masih kecil, hanya entah kenapa Mas Marwan ngotot banding agar lepas ASI putrinya sudah ada di bawah hak asuhnya seperti kedua kakaknya.

“Sayang … papa mau pulang. Salim dulu ya…” kataku pada Syifa yang tengah ngambeg di kamar.

Melihatnya tengkurap memeluk boneka panda dari mantan suamiku membuat hati gerimis. Kubalikkan tubuh mungil itu. Ya Allah … mata bulatnya penuh kacakaca. Kupeluk erat justru isaknya mulai terdengar.

“Ada apa, Sayang … Syifa mau apa?”

“Bunda … Syifa pingin ikut Papa.” Aku tertegun melihatnya.

“Papa lama kalau kesini. Syifa mau boboknya sama papa aja setiap hari. Boleh ya, Bun ….”

Bagaimana aku menolaknya? Setiap papanya berkunjung sebulan sekali Syifa selalu ngambeg tak mau ditinggal lagi. Ikatan batinnya begitu kuat padahal waktunya lebih banyak bersamaku ibunya tapi tak membuatnya lebih menyayangiku. Saat ada Mas Marwan, makan, mandi bahkan tidur selalu bersamanya. Syifa seperti tak membutuhkanku. Mungkinkah karena sering kutinggal?

“Syifa tak sayang lagi sama bunda?”

“Sayang, tapi Syifa juga sayang, Papa. Nanti juga Syifa ke sini kalau kangen Bunda, kan? Sama Papa juga.” Ya Allah… bagaimana ini?

“Iya. Syifa boleh ikut,” kata Mas Marwan di belakangku. Entah sejak kapan dirinya masuk kamar ini.

“Yeaaa!!” Syifa memekik gembira sambil meloncat ke pelukan papanya.

“Mas ….” Aku menatapnya memelas.

“Di sana ada Dian. Kalau Syifa tak betah dan minta pulang akan kuantar segera. Percayalah, aku juga ayahnya tak mungkin kubiarkan dia kenapanapa.”

Mendengar penjelasananya sekonyong seraut wajah keibuan melintas di kepalaku. Aku tak akrab dengannya tapi bisa mempercayainya. Wanita yang cukup baik yang mampu mendampingi suami seperti Mas Marwan. Mereka memang sudah menikah sejak tahun pertama perceraian kami. Dian menghargai hubungan kami yang punya anakanak. Dirinya jarang ikut kesini saat suami mengunjungi anak dari pernikahan sebelumnya.. Hanya sesekali saja mendampingi itu pun dengan sikap canggung yang agak berlebihan menurutku. Mungkin tidak nyaman bertemu mantannya suami. Entahlah.

Bagiku keberadaan ibu tiri bagi Syifa juga beban batin bagiku jika mereka tinggal bersama. Bukan aku tak percaya, Dian bisa jadi ibu tiri yang baik, atau curiga dia jahat seperti di filmfilm tivi yang ditonton bibi di serambi dapur, tapi lebih takut bersaing mendapatkan cinta putih putriku.

“Bunda! Panda dibawa ya!”

Suara Syifa membawaku terlonjak ke dunia nyata. Ah putriku begitu girang, tak mungkin kukacaukan dengan kegelisahanku. Tubuhnya melesat keluar kamar untuk mengumpulkan barang yang akan dibawa.

“Sudah jangan melamun saja. Dian juga wanita sholehah yang sayang anakanak,” kata Mas Marwan seperti tahu isi hatiku.

Akhirnya aku menyerah melepaskan Syifa pada ayahnya. Kubereskan pakaian, alat belajar, mainan juga barang kesayangannya dengan air mata berderai.

“Sudahlah, Bu, Syifa bukannya pergi sangat jauh dan tak bakal kembali,” kata Mas Marwan sengit. Dasar tak peka.

Cinta pertama anak perempuan pada ayahnya memang nyata. Contohnya Syifa. Sejak bayi merah sudah langsung diam saat rewel begitu nempel di tangan Mas Warwan. Saat diajak bercanda respontnya pun luar biasa ceria. Tawa khas bayi memenuhi ruang. Momen yang jarang terjadi lagi setelah kubawa pulang ke rumah bapak ibuku.

Sekarang bidadariku memilih meninggalkan diri ini. Memilih mengikuti cinta pertamanya keluar sana. Seperti sangat jauh tak terjangkau. Hatiku sungguh remuk.

Harinya bersamaku memang tak selalu kudampingi. Aku harus bekerja. Usaha kuliner yang kurintis banyak menyita waktu kebersamaan kami.Tak bisa menyalahkan keadaan. Aku yakin darah akan lebih kental dari air. Syifa tetap milikku di manapun berada. Demi kebahagiaannya lebih baik aku mengalah.

“Sayang, baikbaik di sana ya … sering telphon bunda. Salam sama Mama Dian ya, semoga kalian jadi teman yang akrab,” pesanku pada Syifa.

“Iya, Bun … sampai sana Syifa vcall,” katanya sok dewasa. Aku tersenyum dalam tangis.

“Jangan nangis, Bunda …kata papa Jakarta enggak jauh.” Ya Allah … malah menasihati ibunya. Bukan sedih ibunya menangis. Syifa … begitu sayangnya sama papa, Nak? Batinku menjerit.

Mobil Mas Marwan sudah meninggalkan halaman rumah. Membawa sebagian hatiku serta. Lebih sakit rasanya saat aku yang pergi meninggalkan papanya dulu. Bagiku anakanak dalam dekapan adalah segalanya. Tapi aku sadar, mereka bukan milikku seutuhnya. Ayahnya pun berhak. Dan Syifa bahkan terang terangan memilih ayahnya dari pada  aku ibunya.

Masuk rumah aku segera meraih handphon. Kucari kontak Dian yang sempat kuminta pada suaminya sebelum pergi tadi.

‘Assalamualaikum, Dik Dian… tolong titip Syifa. Sayangi dia ya, Dik … tolong dibantu. Di dalam tasnya ada catatan kebiasaannya di rumah, makanan kesukaannya dan resep beberapa makanan favoritenya.’

Kukirimkan pesan pada Dian. Tak lama kemudian balasannya kuterima.

‘Ya, Mbak … in sya Allah.’ Padat singkat.

Malam pertama tanpa Syifa aku kembali menangis. Rumah ini terasa sepi tanpa celotehnya yang ramai. Aku duduk di ranjang mungilnya. Aku akan tidur di sini malam ini. Menghirup aroma minyak telon dan bedak tabur. Harumnya tubuh Syifa putriku. Getar ponsel membawaku kemeja belajar Syifa dengan malas. Notifikasi pesan dari Mas Marwan. Untuk pertama kalinya setelah berpisah aku amat senang menerima pesannya.

‘Kami sudah sampai. Syifa senang lihat rumah dan kamar barunya. Dian sudah menyiapkannya. O, iya dia bukan pengasuh Syifa jadi biarkan mengalir begitu saja, kamu jangan mendikte Dian dalam pengasuhan Syifa. Ok?’

Tanpa kumatikan, benda pipih itu kuletakkan begitu saja dengan masih mengantarkan suara mantan suami tapi entah apa yang dibicarakan. Kepala ini sudah berat, Gusti … salah lagi, kah aku? Pipi banjir lagi setelah sempat kering tadi. Kutelungkupkan wajah di bantal mungil Syifa. Kelelahan menangis membawaku jatuh terlelap. Semoga pagi besok semua jadi lebih baik. Syifa … Bidadariku sayang. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Mudaku   Bab 128. Musibah atau Berkah?

    Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu

  • Suami Mudaku   Bab 127. Sah sebagai Janda

    Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su

  • Suami Mudaku   Bab 126. Mengalah untuk Menang

    Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka

  • Suami Mudaku   Bab 125. Keluargaku yang Berharga

    “Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a

  • Suami Mudaku   Bab 124. Perjuangan Rindi

    Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel

  • Suami Mudaku   Bab 123

    Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de

  • Suami Mudaku   Bab 122

    Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu

  • Suami Mudaku   Bab 121

    “Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia

  • Suami Mudaku   Bab 120

    Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status