“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam.
Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar.
“Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana.
Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa.
Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM.
“Datang ke gedung serba guna.
Aku juga di sana.
Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya waktu itu.
Tak menyangka dirinya termasuk pemateri favorite yang handal. Sebelum naik mimbar, lelaki berperawakan tinggi itu selalu menyempatkan diri menggodaku. Awalnya aku tak merasa terganggu tapi belakangan candanya mulai keterlaluan. Dia tak lagi formal memperlakukanku sebagai seorang ibu yang lebih tua darinya.
“Perlakuanmu itu akan semakin membuat image status jandaku semakin buruk,” kataku ketus sambil meninggalkannya.
Janda selalu saja dipandang buruk. Jika tak waspada bertindak ada saja yang mengira aku bisa dibawa siapa saja bahkan ada pula yang terang terangan mengajak cek in hotel bersama. Busana yang tertutup rupanya belum membuat mereka paham bahwa kami menjaga diri. Terlalu.
Mengingat berbagai kejadian di komunitas itu aku memilih tak meneruskannya saja. Pagi ini aku memilih berkutat dengan berbagai resep untuk kukombinasikan menjadi sebuah resep menu yang unik. Orang kebanyakan mudah bosan dengan menu yang itu-itu saja hingga pengusaha kuliner harus kreatif menyiasatinya.
Getar ponsel membawaku melangkah di antara kertas yang berserak menuju nakas. Tanpa melihat dulu siapa yang memanggil kugeser icon terima sambil mata masih focus ke kertas yang kupegang.
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.
‘Datang ke pertemuan sekarang atau kujemput segera!’ Sambutan di seberang sana membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Ada apa dengannya?
Kuletakkan kembali benda kotak warna putih itu asal. Siapa dia bisa mengaturku seenaknya? Belum lagi aku kembali duduk notifikasi pesan berbunyi. Kembali bangkit kubuka pesan itu.
‘Memangnya ada apa dengan statusmu? Kau terlalu merasa rendah diri. Banyak janda bermartabat dan kuharap kau salah satunya. Untuk sukses kau harus tangguh. Jangan terlalu baperan.’
Ya ampun ini bocah kurang akhlak. Aku mengelus dada. Kembali duduk dan melupakan semuanya. Baru sadar kalau belum sarapan, aku kembali beranjak keruang makan. Masakan ibu yang sarat bumbu rempah dan santan terhidang di meja. Aku memilih roti dan mengolesinya dengan selai kacang. Baru kugigit setengah ketika ibu datang tergopoh.
“Nduk ada tamu sudah ibu suruh nunggu di ruang tamu, ya.” Aku mengangguk dan menyambar jilbab instan lalu memakainya sambil berjalan. Tak menyangka ancamannya benarbenar dilakukan.
Pria itu duduk dengan tenang. Nampak gagah dengan pakaian semi formal, Celana bahan berwarna hitam dan kemeja biru langit lengan panjang yang digulung hampir ke siku membuatnya tampak dewasa. Usianya baru dua puluh delapan tahun. Begitu yang kutahu.
“Ehem!”
Menyadari kehadiranku yang tengah memperhatikannya, dia berdehem membuatku jadi kikuk. Tapi aku segera mengatasi keadaan. Kupasang wajah tegas padanya dengan kata sambutan formal sebagai andalan.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak Dio?”
“Enjang ….”
“Bu Enjang!” Aku mengoreksi panggilannya.
“Maaf.”
“Untuk?”
“Aku ingin mengkhitbahmu,” katanya mantap. Aku tertegun kehilangan kata.
“Aku memang tengil. Tapi itu hanya padamu agar aku punya keberanian mendekat. Aku suka padamu sejak awal kita ketemu. Status dan perbedaan usia bukan masalah bagiku.”
“Tapi masalah bagiku,” kataku pelan setelah lama diam. Memilah kata agar tak membuatnya tersinggung,
“Ada masyarakat yang menilai. Restu keluargamu juga hati anakanakku. Ini tidak mudah, percayalah!”
“Tak perlu dengarkan kata orang, kita yang menjalani. Soal keluarga aku pasti bisa mengatasinya.”
“Sudahlah. Cari saja seorang gadis yang cantik lagi baik, temui walinya jika sudah niat menikah. Kau hanya terobsesi padaku.”
“Aku tidak mau. Maunya kamu, sama kamu. Mau ya …,“ katanya sambai menangkup tangan.
Kau masih muda, tampan dan kaya. Akan mudah mencari gadis sholihah untuk dijadikan istri.” Aku jadi tak focus bicara karena tatapannya yang intens. Apa ada yang aneh dengan penampilanku?
Setelan piyama tidur berbahan kaus celana dan lengan panjang yang kukenakan cukup tebal. Dipadu kerudung bergo warna senada yang terjulur panjang menutupi dada biasa jadi busana rumahanku karena sangat nyaman.
“Tampan, muda, kaya?
Apa sesempurna itu menurutmu?
Apa cukup sepadan denganmu?
Berarti tak ada alasan kau menolak, kan?” Senyum tengilnya kambuh membuat aku reflek memanyunkan bibir.
“Jangan manyun begitu, jadi pingin cium.”
“Dio!” Aku mulai gusar. Dia malah tertawa pelan. Manis, eh.
“Pulanglah! Jangan bikin aku di posisi sulit.” Aku berusaha mengusirnya dengan halus. Keberadaannya di sini sungguh berbahaya. Kami hanya berdua di ruangan ini.
Ibu entah kemana. Semua orang di rumah ini sibuk sendirisendiri karena biasanya tamuku tak lebih dari rekanan pedagang dan urusan yang tidak makan waktu lama. Pasti tak menyangka jika ini ada urusannya dengan sebuah rasa. Hatiku berkhianat untuk bersikap anggun. Aku menyukainya. Setan pasti bersorak padaku. Sungguh aku malu sama umur.
“Sebenarnya apa yang membuatmu tertarik sama aku?
Kurang kasih sayang emak, kah?”
“Kau tangguh dan menjaga diri juga semangat menjalani hidup. Tidak jatuh terpuruk seperti orang lain menghadapi kemelut. Lagian kamu cantik. Apa yang salah?” katanya sambil nyengir.
“Kau tak tahu kan kalau aku punya bujang yang bahkan usianya tak beda jauh darimu?” Aku merasa menemukan ide untuk membuatnya mundur. Entahlah bahasa kami justru jadi intim. Pria berkulit sawo matang itu sungguh pintar merubah suasana.
“Apa kau akan menerimaku kalau putramu merestui?” tanyanya antusias.
Namun aku yakin Royyan tak akan membiarkan ibunya jatuh di tangan brondong itu. Apalagi Dio akan tampak seperti kakaknya timbang ayahnya. Aku sangat yakin anak sulungku itu akan malu kalau punya ayah tiri yang begitu muda.
“Ok! Coba saja kau tak akan berhasil.” Aku tersenyum mengejek. Sementara matanya justru berbinar seperti seorang anak mendapat mainan atau ice cream rasa baru. Terlalu.
“Kita lihat nanti,” katanya sambal tersenyum misterius.
“Kalau begitu aku pamit ya. Tunggu aku, Baby. Assalamualaikum.” Dia beranjak pergi tanpa menunggu balasan salam dariku. Aku sendiri sampai lupa menutup mulut yang terbuka. Baby katanya?
Ya ampun aku menutup wajah dengan telapak tangan. Keringat dingin membanjiri punggung. Ada apa denganku. Menghadapi pria tengil itu bikin aku jadi lapar.
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k
“Berita itu tidak benar, Bu … yang datang itu hanya bertanya soal hubungan kami.Putranya meminta agar melamarku pada bapak dan ibu .Sarah dan Dio tak menjalin hubungan selain hanya kenal saja.” Aku terus menceracau agar ibu percaya.“Ya, Allah, Nduk … sadar!”Aku semakin pusing karena segala hal di sekitarku berputar sangat kencang tapi ibu seperti tak terganggu sama sekali. Ini sangat berbahaya kenapa ibu hanya sibuk memelukku sambil berkata yang tak begitu jelas kudengar?“Ibu. Itu tak penting ayo sekarang kita keluar.Goncangannya makin kencang, Bu!” pekikku karena ibuku menghiraukan peringatanku.Ini gempa dan sangat berbahaya kalau tetap di dalam rumah. Aku mencoba terus menggapai tangan ibu meski putaran ini semakin hebat. Kupejamkan rapat-rapat mata agar mengurangi pusing yang melanda. Aku mulai merasa mual.
Aku mendengarkan kepanikan dari seberang sana dengan rasa yang datar saja, tak ingin menanggapi apa lagi peduli tentang apa yang dia rasakan. Tidak juga merasa senang karena dikhawatirkan. Semua juga karena kegilaannya.‘Kemarin ibuku menemuimu?Apa yang beliau lakukan padamu?Kau baik baik saja kan?Aku minta maaf Enjang.’Suaranya beruntun seperti petasan.Aku hanya bisa mendengus sebal. Segera kuloudspeker dan meletakkannya di Kasur. Biarka dia puas bicara sendiri, aku tak mau ambil pusing.‘Aku pasti akan bisa mengatasinya. Tak perlu khawatir, putramu juga sudah memberi restu.Hallo Enjang! Kau masih di sana?Jangan bilang kau berubah pikiran karena kedatangan ibuku!Enjang!Enjang!Kau dengar aku?’“Iya,” kataku lemah.‘Apa, kau sakit?’ Suaranya terdengar mere
Jaman sekarang akan sulit mendapatkan wanita yang mau berbagi suami. Apa lagi seorang gadis muda. Tak masalah. Kalau Dio sudah menikah nanti, aku yakin perasaannya padaku mungkin akan berubah. Menyiapkan hati saja untuk itu.Sejak saat itu hubungan kami menggantung. Tak pernah lagi saling sapa lewat pesan apa lagi bersua. Aku mulai melupakannya dengan berbagai kesibukan. Menghindari acara yang kami ikuti bersama sebelumnya dan juga menghindari pembahasan tentangnya di mana pun.Hingga kabar pernikahannya kudengar. Tak ada undangan untuk keluargaku mau pun untukku pribadi. Dio seperti menghilang dan melepaskan diriku. Lega tapi ada sisi kecil hatiku tercubit. Sakit.“Ra popo, Nduk. Udu jodo sing apik,”kata ibu membesarkan hatiku.Pasti beliau juga mendengar tetangga nyiyir soal gagalnya pinangan pemuda tampan lagi kaya pada seorang janda. Entah siapa biang gossip yang tahu saja
Sikap diam Dio membuat kedua orangtuanya resah. Putra kebanggaan satu satunya itu tak lagi mempan dibujuk sang ibu. Pramudya Dio Pratama jadi pemurung dan lebih gila kerja dari biasanya.“Biarkan saja Dio menikahi janda itu, Mah! Dari pada dia kehilangan gairah hidup begitu kan malah bahaya, “kata sang ayah saat sedang sarapan bersama keluarga termasuk putranya yang hanya mengaduk aduk makanan di piringnya.“Tidak bisa, Pa! Enjang itu sudah berumur.Kita hanya punya Dio sekarang sebagai harapan kita meneruskan generasi Pratama.Kalau saja putri kita ….” Pipi wanita itu telah basah sebelum menyelesaikan kalimatnya.“Sudahlah, Ma … jangan diingat lagi,” kata Pak Bayu sambil mendesah pelan.Diletakkannya sendok dan garpu mengakhiri sarapan yang belum lagi separo disantap selera makannya menguap.Anak kedua mereka mening