Share

Perpisahan 3

“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.

Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.

Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.

Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumayan mahal. Mungkin sudah diingatkan suaminya agar tidak tampil berlebihan. Agar mengimbangi dirinya yang tetap apa adanya di moment tak biasa itu.

“Istriku ingin pisah dariku,” kata pak Marwan suatu kali. Entah sejak kapan kami memang agak dekat. Beberapa project kantor kami tangani bersama.

“Apa yang terjadi?” tanyaku prihatin. Dia lebih lusuh dari biasanya. Beda soal penampilan, soal profesionalisme jangan tanya. Seniorku itu sangat disiplin tapi kami tak bersekat saat di luar. Aku suka itu di mana banyak rekan kami yang lain jadi lebih arogan jika posisi ada di atas yang lain.

“Orang tuanya mencampuri urusan rumah tangga kami,” katanya dengan tatapan sendu sambal mengaduk makanan tanpa menyuapkannya ke mulut. Masalah ruamh tangga mungkin membuatnya kehilangan selera makan. Padahal saat itu kami berada di kantin kantor dengan menu yang katanya kesukaan tapi jarang dibeli karena mahal.

Aku tak mengerti masalah rumah tangga yang sepertinya pelik. Di usia hampir kepala tiga  tapi jodohku belum menghampiri. Padahal menurul beberapa rekan aku bukan berwajah jelek. Manis kata Pak Marwan suatu kali saat aku tersenyum.

Pria matang yang supel itu selalu bisa menutupi penampilannya yang sangat biasa. Ditunjang dompet tebal bagi yang mengenalnya jelas pasangan yang dirindukan perempuan untuk sebuah kenyamanan sebagai pasangan. Bu Enjang istrinya seperti kurang bersyukur memilikinya.

Anganku jadi berkelana jika bisa menarik hati lelaki ini. Akan kuberikan pelayanan terbaik seperti ibuku melayani ayah. Baju pantas dan rapi untuk ke kantor, bekal makan siang jika suka makanan rumahan, juga perhatian agar tak mencarinya di luaran seperti saat ini.

“Bu Dian!” Aku terlonjak dari lamunan.

“Kenapa malah melamun?

Senyum sendiri lagi.

Seperti senang di atas deritaku,” kata Pak Marwaan sambal memanyunkan bibirnya yang agak tebal.

“Bukan begitu, Pak … maaf saya lagi melamun,”kataku sambal menunduk malu. Mungkin wajahku sudah memerah saat ini. Semoga dia tak tahu apa yang kulamunkan.

Kesibukan membuatku melupakan Mas Marwan. Kebetulan teamku kali ini bersama orang lain. Hingga kabar bahagia kudengar. Bu Enjang melahirkan bayi perempuan harapan sang suami. Aku turut senang meski ada sedikit kecewa. Jika mereka bisa melewati masalah keluarganya, kesempatanku menggaet calon duda tak ada lagi.

“Kita jenguk Bu Enjang lepas kantor nanti. Bu Dian ikut?” tanya rekan dari balik kubik sebelah.

“Insya Allah.”

Rumah bercat cream berpadu coklat tua itu tampak nyaman. Benar kata Pak Marwan kalau selera Bu Enjang lumayan tinggi. Perabot rumah, pajangan, lukisan  bahkan buku yang berjajar rapi di rak bisa dikalkulasi nilainya.

Sepadan dengan pemiliknya yang memukau cantik terawat. Menunjukkan kwalitas skincare yang dia pakai. Cukup sepadan dengan suaminya kalau di rumah ternyata. Setelan celana pendek selutut berbahan katun dipadu kaus yang tampak nyaman menempel di badannya yang cukup proporsional. Mereka tampak bahagia berdampingan dengan bayi di pangkuan sang istri.

Namun malam itu ….

‘Sepertinya rumah tanggaku tak bisa lagi kupertahankan.’ Kata dari ujung telephon terdengar frustasi begitu sambungan terhubung. Aku tak mampu merespon selain bertanya, apa yang terjadi. 

‘Aku tak tahu lagi, Dik Dian.’

Dik Dian? Aku cukup kaget mendengar panggilan non formalnya. Kami terdiam bersama dengan telephon yang masih tersambung dengan pikiran yang berbeda. Lalu sambungan tertutup.

Lama aku tak melihat atau bertemu lelaki itu. Seorang suami yang tengah dirundung masalah rumah tangga. Aku tak berani menghubunginya biarpun sekedar  menanyakan kabar. Aku takut menjadi tertuduh penyebab keretakan mahligai mereka yang sebenarnya telah bermasalaah dari lama. Setidaknya itu yang kutahu dari curhatan sang pria.

Tak dipungkiri rasa iba berkembanmg jadi rasa simpati tapi sungguh tak ada harapan di hati sedikit pun untuk kehancuran sebuah ikatan suci apalagi ikut merecoki di dalamnya. Predikat pelakor tak menarik bagiku meski umur menjadikanku berstampel perawan tua.

~~

Minggu pagi kuputuskan olahraga dengan lari kecil di sebuah taman ketika seseorang menyapa dari kejauhan.

“Dik Dian!” Mas Marwan nampak  berdiri dengan sepeda di sampingnya. Terlihat gagah dengan stelan olahraga lengkap dengan sepatu sport warna putih. Aku sendiri yang tengah berlari kecil di pinggir taman berhenti sejenak mendengar panggilannya.

“Jauh banget olahraganya, Pak?” Aku berbasa basi saat dirinya mendekat sambal mengayuh sepedanya pelan.

“Itu perum tempat tinggalku kelihatan,” katanya sambal memajukan dagu menunjuk arah. Aku gelagapan. Kenapa bisa lupa ya? Sebenarnya memang kami tinggal tidak terlalu berjauhan dan aku bahkan menyadarinya sejak lama. Kostanku ada di perkampungan sebelah perumahan Pak Marwan. Beberapa blok saja dari rumahnya ada jalan tembus menuju taman ini. Jalan yang juga kulalui dari arah yang berlawanan.

Kami berjalan beriringan menuju sebuah bangku taman. Dilihat mungkin nampak seperti pasangan. Berpikir begitu aku segera mengambil jarak.

“Kenapa?”

“Ah, tidak.” Aku tersenyum canggung.

“Bagaimana kabar Bu Enjang dan Si Kecil?” tanyaku saat kami sudah duduk berdua dengan jarak aman.

Pria yang kelihatan lebih kurus dari terakhir kami bertemu menarik napas panjang sebelum bicara. Lalu mengalirlah kisah tentang luka dalam sebuah kegagalan.

“Jadi kalian telah sah bercerai?”

“Dalam proses. Enjang tak pulang lagi saat dijemput mertuaku lepas empat puluh hari usia putri kami. Entah seperti apa Syifa sekarang. Mungkin lebih gemuk,” ujarnya sambil menerawang pandang dan  tersenyum getir.

Ingin aku sekedar menepuk bahunya untuk menenangkan tapi … kami bukan mahram. Aku menahan diri dari yang tak seharusnya.

“Dik ….”

“Ya.”

“Maukah menemaniku melanjutkan umur? Aku nyaman bersamamu… bisakah kita berbagi?”

Aku menatapnya gamang. Sisi hatiku senang tapi apakah secepat itu? Pria memang tak memiliki masa iddah tapi apa bukan pelarian namanya jika kemungkinan istrinya masih bertahta di hatinya?”

“Tak usah jawab sekarang. Setidaknya kalau kamu tak keberatan setelah putusan pengadilan dan aku siap mengisi ruang kosong itu aku bisa melihatmu.”

Aku tersenyum. “Baiklah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status