Share

Suami Paksaku Ternyata Konglomerat
Suami Paksaku Ternyata Konglomerat
Penulis: Mokaciinoo

1. Wacana Pernikahan

"Mil, Bapak harus sampaikan ini ke kamu.”

"Ada apa, Pak?" tanyaku ragu-ragu. Alisku berkerut dalam. Keseriusan dalam nada suara yang terlontar dari bibir bapak itu membuatku memiliki firasat buruk di dalam hati.

Bapak tidak langsung menjawab. Dia terlebih dahulu menghela napas panjang sembari memasang wajah sendu.

"Begini, Mil,” ujar Bapak. “Bapak punya hutang 300 juta pada Abra. Dan keluarga kita tidak mampu untuk membayarnya,"

Perasaanku makin tidak enak.

“Jadi … Bapak tidak punya pilihan lain selain menikahkan kamu dengan Abra.”

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tetapi duniaku tiba-tiba bagaikan disambar petir setelah mendengar ucapan bapak yang satu ini.

"Abra?" Aku berseru dengan tidak percaya. "Abraham Suseno? Bapak jangan bercanda deh!"

"Bapakmu tidak sedang bercanda, Kamilia,” tukas ibu tiriku yang sedang duduk di samping Bapak.

"Kenapa aku?" tanyaku tidak terima.

“Ck. Pake nanya,” balas ibu tiriku dengan nada ketusnya. “Jelas karena Abra maunya sama kamu!”

Sudut mataku spontan berkedut. “Tapi aku sudah punya pacar!” kataku, tidak terima dengan keputusan sepihak ini. "Aku tidak mau. Kenapa Bapak nggak suruh Jemima aja yang menikah dengan pria bernama Abra itu?”

"Loh, kenapa bawa-bawa aku?” protes Jemima. Adik tiriku yang lebih muda satu tahun itu bersungut-sungut. “Si Abra itu maunya sama kamu, bukan sama aku!"

Aku mendengkus pelan. "Tidak mungkin. Kami sama sekali tidak saling mengenal, bagaimana bisa dia tiba-tiba ingin menikah denganku?" kataku tetap tidak percaya. "Lagi pula bagaimana ceritanya Bapak bisa sampai meminjam uang sebanyak itu sama dia, dan Bapak gunakan untuk apa uang sebanyak itu?" tanyaku tidak habis pikir.

Dari apa yang aku ketahui, bapak tidak pernah terlihat bergaul dengan pria bernama Abra itu. Jadi bagaimana hutang sebanyak itu bisa disebutkan dengan begitu enteng?

Pria bernama Abraham Suseno itu datang ke desa ini sekitar dua tahun yang lalu, dia mengontrak rumah milik kepala desa yang letaknya di paling ujung.

Tidak ada yang spesial dari dia, menurutku. Namun, sebenarnya pria itu cukup populer lantaran spekulasi dan gosip dari warga desa ini sendiri lantaran selama dua tahun di desa, Abra tidak pernah terlihat bekerja ataupun mencari pekerjaan.

Ada yang bilang kalau Abra adalah orang kaya yang punya banyak uang simpanan untuk menopang kehidupannya. Ada juga spekulasi mengenai si Abra ini kemungkinan adalah penjahat yang sedang buron, dan sedang bersembunyi di desa kami karena pria itu punya bekas luka besar berbentuk kelabang yang memanjang dari bagian bawah mata hingga ujung bibirnya. Belum lagi dia juga memiliki tatapan yang tajam, dan aura dingin yang menguar dari tubuhnya.

Namun, ada juga orang-orang yang tidak mau termakan rumor tersebut, dan hanya menganggap pria itu sebagai pengangguran biasa. Aku adalah salah satu dari orang yang tidak mempercayai rumor-rumor yang berserakan tanpa dasar itu.

Sebelum, aku mendengar nominal 300 juta yang disebutkan Bapak tadi.

"Mil, bapak mohon untuk kali ini saja, ya,” kata Bapak lagi. Terdengar memelas, tanpa menjawab pertanyaanku. “Tolong menikahlah dengan Abra. Kamu juga tidak mau kan kalau sampai keluarga kita di usir dari rumah ini, dan menjadi gelandangan?"

Keningku mengernyit samar. "Jadi gelandangan?" sahutku. "Sebenarnya apa sih yang sudah Bapak lakukan? Meminjam uang sebanyak itu tuh buat apa?”

"I ... Itu ... "

"Jawab yang jujur, Pak!" tukasku dengan nada mendesak.

"Uangnya Bapak pakai untuk merenovasi rumah neneknya Jemima."

Aku pun kembali dibuat terperangah. Bapak bilang untuk merenovasi rumah neneknya Jemima?

Astaga!

Aku memaki dengan keras di dalam hati. Aku tidak pernah sedikitpun mencicipi uang hasil utang itu, tapi aku terancam harus menanggung risikonya?

"Aku menolak!" jawabku menggeram dari balik gigi yang terkatup rapat.

"Ayolah, Mil. Menikahlah dengan Abra." Kali ini giliran ibu tiriku yang berujar dengan memelas. Tutur katanya bahkan terdengar begitu lembut. Nada paling lembut yang pernah ia gunakan padaku.

“Ini semua demi keluarga kita.”

Meski begitu, aku tetap tidak mau peduli. Aku terus menggelengkan kepala dengan tegas dan mantap.

"Mil, kita bakal hidup di jalanan kalau kamu menolak." Bapak kembali berusaha.

"Tenang, Pak,” kataku. “Jika kita diusir dari rumah ini, kita bisa menumpang di rumah neneknya Jemima."

Setelah melontarkan kalimat ini, aku segera beranjak dari karpet yang terbentang di ruang keluarga, kemudian melangkah menuju kamarku sendiri.

Di dalam kamar aku berbaring malas di atas ranjang. Sebuah benda pipih berbentuk persegi panjang menempel di telingaku.

"Mas Damar, aku mau cerita!" ujarku dengan nada setengah merengek pada kekasihku yang ada di seberang telepon.

"Ada apa?" tanya Mas Damar.

Aku lantas menceritakan hasil percakapanku dengan keluarga, tanpa ada yang disembunyikan.

"Mas, kamu nggak ada niatan buat lamar aku aja? Kita sudah pacaran selama 5 tahun loh," ucapku dengan hati-hati.

Seketika terdengar helaan napas dari seberang telepon.

"Ini bukan masalah Mas mau lamar kamu atau nggak. Tapi ini masalah apakah kita siap atau nggak,” ucap kekasihku tersebut, “Kamu sendiri kan tahu kalau Mas baru aja diterima kerja. Bahkan setahun aja belum. Nanti kalau rumah tangga kita dijegal masalah ekonomi, gimana?"

" ... "

Aku langsung terdiam tidak menanggapi. Bukan karena aku marah ataupun kesal, tetapi karena aku pikir apa yang dikatakan Mas Damar juga ada benarnya. Dan aku sendiri pun sebenarnya belum terlalu ingin menikah.

"Terus aku harus gimana dong, Mas?" tanyaku meminta pendapat kekasihku itu.

"Hmm, bagaimana kalau kamu temui saja si Abra itu. Negosiasikan sama dia baiknya gimana sehingga kamu nggak harus menikah dengannya," ujar Mas Damar mencoba memberi saran. “Mungkin kamu bisa cicil hutang itu pelan-pelan.”

Akan tetapi, aku spontan mendecakkan lidah dengan keras mendengar saran itu. "Mereka keenakan dong kalau aku yang harus mencicil utang sebanyak itu. Apalagi uang pinjaman itu digunakan untuk merenovasi rumah neneknya Jemima!" ujarku tidak terima.

"Terus kamu maunya gimana?" tanya Mas Damar.

Aku diam lagi.

“Dah ah, udah malem nih. Tidur sana,” ucap Mas Damar kemudian. “Masalah ini jangan terlalu dibawa pusing dulu. Besok diskusikan lagi sama orang tua kamu baiknya gimana!"

"Hm," Aku bergumam pelan sambil menahan perasaan sedikit tidak ikhlas karena harus mengakhiri percakapan ini.

Seiring dengan berlalunya waktu, malam pun tenggelam semakin dalam.

Akan tetapi, akibat dari permintaan bapak itu, malam ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Entah sudah berapa kali aku berguling-guling di atas ranjang untuk mencari posisi tidur yang nyaman. Benakku terus menerus mengkhawatirkan mengenai utang 300 juta tersebut.

Ditambah lagi dengan suara langkah kaki yang berjalan bolak-balik di luar pintu kamar membuatku sangat risih.

"Ada apa lagi itu?" dumelku seraya membuka mata, dan segera beranjak dari tempat tidur.

Aku baru saja akan membuka pintu di hadapanku dalam sekali sentak saat sebuah pemikiran akan suatu kemungkinan mengerikan melintas dalam kepalaku.

"Jangan bilang ada maling?" bisikku pada diri sendiri.

Memikirkan adanya kemungkinan ini membuat jantungku tiba-tiba berdegup dengan cepat. Aku seketika dilanda ketakutan. Tangan yang semula sudah menggenggam gagang pintu pun perlahan aku longgarkan. Satu demi satu langkah mundur kemudian aku ambil dengan perlahan hingga kaki belakangku menyentuh pinggiran ranjang.

"Pura-pura tidur aja!" gumamku sembari kembali membaringkan diri di atas ranjang, lalu menutup mata rapat-rapat.

Baru saja aku mengatur posisi tidurku, suara gagang pintu kamar terdengar hendak dibuka paksa. Jantung di balik dadaku pun berdegup dengan liar.

Dengan punggung membelakangi pintu, aku hanya dapat mendengar suara desauan angin berupa bisik-bisikan di antara orang-orang entah siapa itu. Adanya seseorang yang diam-diam masuk ke dalam kamarku ini menjadikan aku waspada. Sampai di mana tangan orang itu menyentuh lenganku, aku dibuat terperanjat.

'Ini tidak bisa dibiarkan!' Aku membatin seraya mempersiapkan hati untuk melawan.

Saat tangan itu hendak bergerak menuju ke arah wajahku, saat itulah aku mulai melakukan perlawanan.

Tangan yang terulur hendak mencapai wajahku itu segera aku tepis dengan keras. Aku lalu bangkit dari posisi berbaring, mengambil bantal guling di sampingku hendak dijadikan senjata.

Namun, melihat siapa sosok orang yang telah mengendap-endap masuk ke dalam kamarku ini, membuat jantung yang semula berdetak dengan keras pun seketika langsung jatuh ke dalam debaran normal.

"Kalian ngapain sih masuk diam-diam ke kamarku?" seruku sembari menghela napas lega.

Melalui cahaya yang masuk ke dalam kamar karena pendar lampu dari ruang makan, aku dapat melihat dengan jelas sosok bapak, ibu tiriku, dan Jemima. Kewaspadaan yang semula aku rasakan pun langsung mengendur.

Akan tetapi, tatkala tubuhku mulai rileks, Jemima yang berdiri paling dekat denganku tiba-tiba melakukan serangan mendadak.

Dia tiba-tiba membekap hidung dan mulutku dengan keras. Situasi ini jelas membuatku terkejut luar biasa. Otakku dibuat bingung menebak apa yang hendak mereka lakukan, sementara tubuhku memberontak dengan keras.

Lambat laun, aku merasakan kesadaranku mulai hilang. Saat itulah aku menyadari bahwa kain yang digunakan untuk membekap wajahku telah ditaburkan obat bius.

Kenapa?

Apa tujuan mereka melakukan ini?

Aku ingin meminta penjelasan pada Bapak yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Akan tetapi, Bapak hanya melengos ketika pandangan kami bertemu.

"Maafkan bapak, Mil. Bapak terpaksa melakukan ini,"

Itu adalah ucapan lirih bapak yang bisa aku dengar sebelum kesadaran benar-benar direnggut dariku.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status