'Sampai ketemu besok, calon istri,'
Ucapan Abra terus terngiang di dalam kepalaku sampai kami sekeluarga keluar dari pintu kontrakan pria itu. Namun, bukan karena aku tiba-tiba terpesona dengan apa yang diucapkan oleh Abra, hanya saja sikap tenang yang dia tunjukkan telah menimbulkan tanda tanya bagiku."Mereka keluar!"Suara para warga yang ternyata masih berkerumun di depan rumah kontrakan itu menyadarkan aku dari lamunan singkat."Adi, Bagas, Ilham, aku mau minta tolong jaga si Abra tetap di kontrakan ini sampai besok. Jangan sampai dia kabur!" ujar bapak pada ketiga orang pemuda tanggung yang berdiri tidak jauh dari pintu."Waduh..."Tiga orang yang bapak sebutkan namanya itu saling pandang sesaat. Mereka kemudian dengan serempak menggaruk tengkuk yang aku yakin tidak gatal sama sekali."Kalian jangan khawatir, nanti pasti ada upahnya. Kalian tidak disuruh dengan cuma-cuma kok," ucap bapak saat melihat keraguan ketiga pemuda itu.Setelah sekali lagi saling bertukar pandang, ketiga pemuda itu pun akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu," jawab salah satu dari mereka sebagai perwakilan."Oke. Terima kasih," ucap bapak sambil menepuk bahu ketiga pemuda itu.Setelah itu, kami sekeluarga mulai melangkah meninggalkan rumah kontrakan Abra di bawah tatapan mencibir para warga. Tentu saja tatapan itu lebih ditujukan kepadaku."Seharusnya pelaku zina macam ini di usir saja dari kampung kita. Takutnya kalau dibiarkan, seluruh warga nanti bisa-bisa kena azab!""Aku setuju banget soal ini,""Iya, usir saja dia dari kampung kita. Perilaku tidak bermoral macam ini takutnya menjadi contoh buruk bagi anak-anak yang lain!""Betul. Usir saja dia!"Seruan penuh amarah dari para warga ini membuatku tidak memiliki nyali untuk mengangkat kepala. Aku hanya bisa menunduk dalam-dalam sambil merutuk di dalam hati. Di setiap langkah, aku menyesali kenapa aku membiarkan rencana bapak berjalan dengan mulus. Seharusnya aku memberontak dengan keras. Sekarang jika sudah begini, hanya namaku yang menjadi jelek dan rusak.Apakah ada yang peduli jika sudah begini?Tidak!Aku menjadi satu-satunya yang menderita akibat dari perbuatan orang tuaku sendiri yang sungguh tidak masuk akal ini."Ibu kepala desa, hal ini tidak bisa ditolerir,""Sudah, sudah. Jangan jahat-jahat jadi orang. Kalau ada yang berbuat salah, sebaiknya dinasihati dulu agar tidak mengulanginya kembali. Jangan langsung menghakimi. Biarkan orang lain bertobat dan berubah. Lagipula masalah ini juga sudah terselesaikan. Abra dan Kamilia akan menikah besok,""Tapi Bu kepala desa ... ""Sudah. Jangan begitu. Kita tidak tahu kapan kehidupan ini berbalik. Kita juga tidak tahu pergaulan macam apa yang dilakukan anak-anak kita di luar sana. Dari pada terus menghakimi anak orang lain, lebih baik menggunakan kesempatan ini untuk mendidik anak kita masing-masing agar tidak menirunya,"Aku yang semula berjalan sambil menunduk pun perlahan mengangkat kepala saat mendengar ucapan lembut yang dilontarkan oleh istri kepala desa itu. Ada rasa terima kasih yang muncul di dalam hatiku karenanya.Dan karena kalimat ini meluncur mulus dari istri kepala desa, para warga di sekitar pun spontan menutup mulut mereka rapat-rapat. Meski begitu, aku masih dapat melihat ketidakpuasan terpancar jelas dari wajah orang-orang itu.Butuh waktu 10 menit kemudian bagi aku, bapak dan ibu tiriku untuk tiba di rumah kami. Setibanya di rumah, aku menemukan Jemima yang duduk di ruang keluarga tampak asyik bermain dengan ponselnya sembari memakan anggur merah yang aku beli kemarin.Setelah apa yang dia lakukan padaku semalam, wanita muda ini memang tidak tahu malu, sama persis seperti ibunya. Namun, aku tidak ingin berdebat dengannya untuk saat ini. Aku mempercepat langkahku menuju kamar. Aku masih harus menghubungi Mas Damar untuk menuntut penjelasan. Ada masalah yang harus segera kami selesaikan."Bu, Pak, sudah pulang? Bagaimana hasilnya?" tanya Jemima yang masih bisa aku dengar."Abra dan Kamilia akan menikah besok pagi," jawab ibu tiriku dengan antusias menyampaikan informasi ini pada putrinya."Benarkah?" tanya Jemima. Nadanya terdengar bersemangat."Serius!"Sebelum aku menutup pintu kamar, aku masih dapat mendengar sorakan girang yang disertai oleh tepukan tangan adik tiriku itu. Namun, aku lagi-lagi mengacuhkannya. Bukan sesuatu yang asing melihat wanita yang satu itu berbahagia atas kemalangan yang menimpaku.Dengan sedikit bantingan, aku menutup pintu kamar hingga rapat. Aku pun kemudian dengan cepat menyambar ponsel yang tergeletak sembarangan di atas ranjang, dan langsung menghubungi Mas Damar.Akan tetapi, hening. Panggilan telepon yang aku lakukan terhubung, tapi Mas Damar tidak mau mengangkatnya. Tanpa ada niatan untuk menyerah, aku berulang kali mencoba terus menghubunginya.[Angkat teleponnya. Kita harus bicara!]Sebaris pesan itu aku kirim sebelum kembali melanjutkan usahaku menghubungi Mas Damar untuk yang ke-50 kalinya. Ketika kesabaran di dalam dadaku hampir habis, suara merdu Mas Damar mengalun ke dalam telingaku."Mas Damar?" sapaku dengan lembut."Ada apa?" tanya Mas Damar. Suaranya terdengar sedikit ketus dalam menanggapiku."Ada apa? Bukannya aku yang seharusnya bertanya ada apa?" ujarku menimpali."Kita sudah putus, jadi untuk apa kamu menghubungiku lagi?" ucap Mas Damar balik bertanya."Mas, apa yang menimpaku dan Abra itu adalah kesalahpahaman. Aku dijebak sama bapak, ibu tiriku dan juga Jemima!" ungkapku."Wah, Mil. Kamu cukup keterlaluan juga ya. Mana mungkin ada keluarga yang akan menjebak anggota keluarganya sendiri," tukas Mas Damar tidak percaya."Mas, aku serius! Aku benar-benar dijebak!" seruku dengan frustrasi."Padahal aku cuma nyuruh kamu untuk menemui si Abra agar kalian bisa mendiskusikan masalah hutang bapak. Ternyata ini toh hasilnya. Kamu memilih untuk menjual tubuhmu padanya?" ujar Mas Damar dengan nada mencibir." ... "Aku seketika terdiam bungkam. Hatiku cukup kecewa mendengar tuduhan yang dialamatkan untukku ini. Padahal baru tadi malam aku menceritakan masalah hutang bapak padanya, tapi kenapa dia bisa mengambil kesimpulan semacam ini?"Mas, pemikiranmu tidak masuk akal. Sekalipun aku ingin mendiskusikan masalah hutang bapak dengan si Abra. Bukankah aku akan melakukannya di pagi hari? Aku tidak mungkin pergi ke kontrakan pria itu di tengah malam buta!" seruku. Intonasi suaraku naik beberapa oktaf lebih tinggi."Siapa yang tahu?!" balas Mas Damar terdengar acuh tak acuh.Respon dingin yang baru pertama kali aku terima dari Mas Damar ini sekali lagi membuatku bungkam. Tadinya aku ingin memungkiri ucapan Abra soal partisipasi Mas Damar dalam menjebakku, tetapi melihat perubahan sikapnya membuatku mau tidak mau menaruh curiga."Aku pikir kamu adalah orang yang paling mengenalku. Aku pikir kamu tahu bagaimana hubunganku yang tidak baik dengan keluargaku sendiri. Kamu bahkan pernah mendengar secara langsung ketika mereka memakiku. Tetapi kenapa kamu tidak pernah berada di pihakku? Kenapa kamu selalu berpikir bahwa seorang keluarga tidak mungkin bersikap kejam pada anggota keluarganya yang lain?" tukasku panjang lebar."Jika kenyataannya begitu, mau bagaimana lagi?" timpal Mas Damar. Kali ini nada suaranya mulai terdengar malas."Kenyataannya begitu?" Aku bergumam pada diri sendiri dengan tidak percaya. "Aku ingat dengan sangat jelas bagaimana Jemima membiusku. Hanya dengan mengandalkan tenaga seorang pria tua dan dua orang wanita lemah, bagaimana aku bisa berakhir di atas ranjang si Abra? Menurutmu, bukankah ada orang lain yang membantu mereka? Apakah orang itu kamu?" tuturku dengan gamang. "Tadi juga Abra menunjuk kamu sebagai orang yang telah membiusnya 'kan?" ucapku menambahkan."Kamu jangan sembarang menuduh!" Mas Damar tiba-tiba meninggikan suaranya hanya beberapa detik setelah aku menyelesaikan kalimatku.Sudut bibirku lantas berkedut miris. "Sepertinya memang benar. Kamu kayaknya berkolusi dengan keluargaku untuk menjebakku. Tapi kenapa? Kebencian apa yang kamu miliki padaku sampai kamu harus melakukan ini?" tanyaku dengan suara tercekat menahan tangis." ... "Hening,Mas Damar tidak segera menimpali ucapanku. Hanya hembusan nafas beratnya yang terdengar datang dari seberang. Dan hal ini membuat hatiku sungguh perih. Lima tahun menjalani hubungan hanya untuk berakhir kecewa."Baiklah. Aku akan mengakui perbuatanku jika memang itu maumu," ujar Mas Damar pada akhirnya." ... "Aku pun terdiam sambil menggigit bibir bawahku dengan kuat. Jantungku berdetak dengan sangat cepat selama menunggu Mas Damar melanjutkan ucapannya."Bagaimana kalau aku memang membantu keluargamu dalam menjebakmu. Apa yang akan kamu lakukan?" ungkap Mas Damar dengan acuh tak acuh.Walaupun aku sudah menyiapkan hati untuk mendengar pengakuan ini, tetapi rasanya tetap menyakitkan."Apa? Kenapa?" tanyaku dengan nada menuntut.Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Damar justru langsung memutus sambungan telepon. Aku mencoba untuk menghubunginya kembali, tetapi pria itu menolak untuk menjawab. Bahkan tak lama kemudian, dia menonaktifkan teleponnya."ARRGGHHH!"Dengan air mata yang mulai jatuh bercucuran, aku berteriak sekuat tenaga sambil menyapu deretan peralatan make up dan skincare yang semula tertata rapi di atas meja menjadi bentuk yang berantakan di atas lantai. Beberapa bahkan ada yang botolnya sampai pecah. Namun, aku tidak terlalu mempedulikannya."Aku benci. Aku benci kalian semua!" raungku penuh kemarahan.* * *"Kamilia, kamu kenapa?!" Pertanyaan ini terlontar seiring dengan pintu kamarku yang menjeblak terbuka. Tiga orang anggota keluarga ini kemudian satu demi satu mulai menampakkan wajah penasaran mereka melalui ambang pintu kamar."Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya berantakan begini?" tanya bapak sambil matanya menatap kekacauan yang ada di lantai."Aku benci kalian semua. Kalian semua jahat!" Aku mendesis dari balik gigi yang terkatup rapat sambil nafasku masih naik turun tidak beraturan. Mataku pun menyorot penuh dendam pada ketiga orang yang harusnya aku sebut sebagai keluarga ini."Kamu kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanya bapak seraya memasang wajah muram."Apa yang sudah kalian lakukan sehingga bahkan Mas Damar pun bersedia mengkhianatiku?" Aku tidak menjawab pertanyaan bapak, dan justru akulah yang balik melemparkan tanya. "Kami tidak melakukan apa-apa kok. Memang dia saja yang sudah bosan sama kamu, tapi dia-nya nggak
Aku mematut diriku di depan satu-satunya cermin yang ada di kamar. Saat ini tubuhku sudah dibalut oleh sebuah gamis berwarna putih polos tanpa banyak hiasan indah. Kepalaku ditutup dengan jilbab asal-asalan yang masih menunjukkan helaian rambut hitamku. Adapun wajahku hanya dibaluri bedak tipis dan lipstik berwarna pink yang tidak menggairahkan. Tidak ada hiasan mata yang bisa membuat pangling.Yah, lagipula tidak ada orang yang ingin aku buat terkesan dengan penampilanku."Mil, kamu udah selesai belum? Pengantin pria dan Pak Penghulu sudah datang," ujar ibu tiriku dari balik pintu yang masih di kunci dari luar."Sudah!" jawabku dengan patuh."Ya sudah, ayo keluar!" ucap ibu tiriku seraya membuka pintu kamar.Walau dengan berat hati, aku tetap mengikuti langkahnya. Toh, tidak ada gunanya menentang sekarang. "Pengantin wanitanya sudah tiba," ucap ibu tiri yang mendampingiku ke ruang tamu rumah kami.Setibanya di ruang ta
Aku termangu cukup lama setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Abra. Keseriusan dalam nada suaranya sama sekali tidak bisa diabaikan. Belum lagi karena pria ini pernah berkata bahwa gosip-gosip yang tersebar tentangnya di luaran sana itu tidak sepenuhnya salah. Pikiran di kepalaku pun tak terhindarkan berputar dengan liar."Benarkah?" tanyaku memberanikan diri. Tidak ada yang tahu bagaimana jantungku sudah berdegup kencang karena ngeri membayangkan kalau pria ini benar-benar seorang penjahat buron yang sedang bersembunyi di desa ini."Tentu saja!" jawab Abra masih sambil berbisik di samping telingaku.Tanpa sadar aku menelan ludah dengan susah payah. "Lalu, hal paling kejam apa yang pernah kamu lakukan untuk membuat musuhmu menderita karena telah membuatmu marah?" tanyaku ingin tahu. Lebih tepatnya aku ingin memancing pria ini untuk menggali informasi akurat tentangnya lebih dalam."Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Abra terdengar be
"Mil, mulai sekarang biarkan kios kamu Jemima yang jaga ya," pinta bapak disaat kami sedang menikmati sarapan sederhana berupa nasi goreng tanpa lauk buatan ibu tiriku."Lah, ogah!" jawabku tanpa basa-basi."Daripada nanti nggak ada orang yang mau belanja di kios kamu lagi, gimana?" ujar bapak. Aku mengangkat bahu masa bodoh. "Kenapa juga orang nggak mau belanja di kiosku? Lagian rezeki setiap orang juga sudah ada yang atur. Aku nggak khawatir sama sekali," jawabku dengan santai."Duh, Mil. Mungkin kamu nggak tahu ini, tapi warga di sini sudah kehilangan respect sama kamu. Mereka takut belanja di kios kamu karena takut kena azab," ucap ibu mertuaku turut nimbrung."Pffttt,"Hembusan tawa tiba-tiba meluncur mulus dari bibir Abra yang duduk di sampingku. Perilakunya menyebabkan kami menoleh ke arahnya dengan gerakan kepala serentak."Kamu kenapa ketawa?!" seru ibu tiriku seraya menatap galak pada Abra.Pria yang
"Apa? Kenapa kamu melihat ibu seperti itu?" tanya ibu tiriku dengan nada meledek."Apakah menyenangkan melihatku menderita?" tanyaku sambil menyembunyikan kekesalan di balik dada."Menyenangkan!" bisik wanita paruh baya ini tepat di depan wajahku. Ekspresi culasnya persis seperti ekspresi pemeran antagonis dalam sinetron.Aku yang tidak lagi terkejut dengan jawaban ini pun menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. "Begitu!" ujarku."Asal kamu tahu saja, semua hal-hal baik sudah seharusnya menjadi milik Jemima seorang. Kamu sama sekali tidak berhak untuk itu. Bahkan meskipun kios ini kamu bangun dengan jerih payah sendiri, tapi cepat atau lambat, kios ini akan menjadi milik Jemima. Dan harus menjadi milik Jemima!" tukas ibu tiriku. Setiap kata yang dia ucapkan diberi penekanan yang keras.Sebelum aku sempat menimpali perkataan ini, ibu tiriku telah lebih dulu menyeret langkahnya pergi. Alhasil, aku hanya bisa menatap punggungnya d
Keesokan harinya, "Loh, Mil. Kamu nggak buka kios?" tanya bapak yang hari ini melihatku berbaring malas di sofa panjang ruang keluarga sambil menonton TV."Nggak. Malas!" jawabku sekenanya."Kalau begitu, berikan saja kuncinya pada Jemima. Biarkan dia yang urus kios kamu mulai sekarang," ujar bapak masih dengan wacananya untuk mengambil kios dariku."Nggak!" jawabku dengan tegas."Mil, ayolah. Jangan begitu," ucap bapak." ... "Aku tidak membuang-buang kata dan langsung mendiamkan bapak sambil terus fokus pada ponsel yang ada di tanganku. Aku mulai berpikir bahwa jika tidak ada lagi warga sekitar yang mau membeli sesuatu di kiosku, aku hanya perlu menjualnya secara online untuk meminimalisir kerugian. Awalnya aku berniat untuk tidak mempedulikan bapak sebentar, tetapi aku malah terlarut dalam berselancar di media sosial. Aku sampai tidak mengetahui kapan bapak pergi.Hal ini terus berlangsung hingga
"Kamu tunggu pembalasanku Jemima!" Aku bergumam dengan suara super pelan seraya mulai menilik isi kulkas.Bahkan tanpa iming-iming uang dari Abra tadi, aku memang sudah memupuk niat sejak kemarin bahwa aku akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah mulai hari ini. Aku ingin melihat bagaimana frustrasinya bapak dan ibu tiriku itu ketika melihat aku yang tidak mau lagi campur tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jika benar ada uang senilai 300 juta di dalam ATM yang diberikan oleh Abra, maka itu akan lebih baik. Aku bisa pamer pada mereka nanti.Sambil sesekali mendendangkan lagu, aku mengeluarkan sekantong cumi sepanjang telapak tangan dari dalam kulkas. Ada juga kangkung beserta segala sayur mayur lainnya. Hari ini aku berencana untuk membuat cumi bakar asam manis dan cah kangkung untuk suamiku itu.Setelah berkutat sekitar satu jam lebih lamanya di dapur, makanan sederhana buatanku akhirnya selesai juga. "Abra, ayo makan.
"Mil, kamu serius dengan kata-kata kamu itu?" tanya bapak tidak percaya."Tentu saja!" jawabku dengan mantap. "Mil, bapak tahu kamu marah karena apa yang sudah kami lakukan padamu. Tapi tidak bisakah kamu mentolerir kami untuk kali ini saja? Yakinlah, Mil. Apa yang kami lakukan padamu itu, semuanya demi keluarga ini," tukas bapak. Nada suaranya terdengar begitu memelas penuh permohonan.Akan tetapi, sayang sekali. Hatiku tidak terketuk oleh semua narasi ini. Aku sudah cukup bertoleransi atas sikap sewenang-wenang bapak di sepanjang kehidupanku, dan aku tidak ingin terus berputar-putar dalam lingkaran setan."Nggak ah. Aku capek disuruh terus-terusan mentolerir sikap kalian semua. Sekarang gantian dong kalian yang harus mentolerir sikapku," pungkasku." ... "Ruang makan itu seketika jatuh dalam keheningan karena kata-kataku. Mereka bertiga pun lantas saling tatap penuh arti. Sekilas aku dapat melihat sorot meringis dari pancaran