Share

5. Menuntut Penjelasan

'Sampai ketemu besok, calon istri,'

Ucapan Abra terus terngiang di dalam kepalaku sampai kami sekeluarga keluar dari pintu kontrakan pria itu. Namun, bukan karena aku tiba-tiba terpesona dengan apa yang diucapkan oleh Abra, hanya saja sikap tenang yang dia tunjukkan telah menimbulkan tanda tanya bagiku.

"Mereka keluar!"

Suara para warga yang ternyata masih berkerumun di depan rumah kontrakan itu menyadarkan aku dari lamunan singkat.

"Adi, Bagas, Ilham, aku mau minta tolong jaga si Abra tetap di kontrakan ini sampai besok. Jangan sampai dia kabur!" ujar bapak pada ketiga orang pemuda tanggung yang berdiri tidak jauh dari pintu.

"Waduh..."

Tiga orang yang bapak sebutkan namanya itu saling pandang sesaat. Mereka kemudian dengan serempak menggaruk tengkuk yang aku yakin tidak gatal sama sekali.

"Kalian jangan khawatir, nanti pasti ada upahnya. Kalian tidak disuruh dengan cuma-cuma kok," ucap bapak saat melihat keraguan ketiga pemuda itu.

Setelah sekali lagi saling bertukar pandang, ketiga pemuda itu pun akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu," jawab salah satu dari mereka sebagai perwakilan.

"Oke. Terima kasih," ucap bapak sambil menepuk bahu ketiga pemuda itu.

Setelah itu, kami sekeluarga mulai melangkah meninggalkan rumah kontrakan Abra di bawah tatapan mencibir para warga. Tentu saja tatapan itu lebih ditujukan kepadaku.

"Seharusnya pelaku zina macam ini di usir saja dari kampung kita. Takutnya kalau dibiarkan, seluruh warga nanti bisa-bisa kena azab!"

"Aku setuju banget soal ini,"

"Iya, usir saja dia dari kampung kita. Perilaku tidak bermoral macam ini takutnya menjadi contoh buruk bagi anak-anak yang lain!"

"Betul. Usir saja dia!"

Seruan penuh amarah dari para warga ini membuatku tidak memiliki nyali untuk mengangkat kepala. Aku hanya bisa menunduk dalam-dalam sambil merutuk di dalam hati. Di setiap langkah, aku menyesali kenapa aku membiarkan rencana bapak berjalan dengan mulus. Seharusnya aku memberontak dengan keras. Sekarang jika sudah begini, hanya namaku yang menjadi jelek dan rusak.

Apakah ada yang peduli jika sudah begini?

Tidak!

Aku menjadi satu-satunya yang menderita akibat dari perbuatan orang tuaku sendiri yang sungguh tidak masuk akal ini.

"Ibu kepala desa, hal ini tidak bisa ditolerir,"

"Sudah, sudah. Jangan jahat-jahat jadi orang. Kalau ada yang berbuat salah, sebaiknya dinasihati dulu agar tidak mengulanginya kembali. Jangan langsung menghakimi. Biarkan orang lain bertobat dan berubah. Lagipula masalah ini juga sudah terselesaikan. Abra dan Kamilia akan menikah besok,"

"Tapi Bu kepala desa ... "

"Sudah. Jangan begitu. Kita tidak tahu kapan kehidupan ini berbalik. Kita juga tidak tahu pergaulan macam apa yang dilakukan anak-anak kita di luar sana. Dari pada terus menghakimi anak orang lain, lebih baik menggunakan kesempatan ini untuk mendidik anak kita masing-masing agar tidak menirunya,"

Aku yang semula berjalan sambil menunduk pun perlahan mengangkat kepala saat mendengar ucapan lembut yang dilontarkan oleh istri kepala desa itu. Ada rasa terima kasih yang muncul di dalam hatiku karenanya.

Dan karena kalimat ini meluncur mulus dari istri kepala desa, para warga di sekitar pun spontan menutup mulut mereka rapat-rapat. Meski begitu, aku masih dapat melihat ketidakpuasan terpancar jelas dari wajah orang-orang itu.

Butuh waktu 10 menit kemudian bagi aku, bapak dan ibu tiriku untuk tiba di rumah kami. Setibanya di rumah, aku menemukan Jemima yang duduk di ruang keluarga tampak asyik bermain dengan ponselnya sembari memakan anggur merah yang aku beli kemarin.

Setelah apa yang dia lakukan padaku semalam, wanita muda ini memang tidak tahu malu, sama persis seperti ibunya. Namun, aku tidak ingin berdebat dengannya untuk saat ini. Aku mempercepat langkahku menuju kamar. Aku masih harus menghubungi Mas Damar untuk menuntut penjelasan. Ada masalah yang harus segera kami selesaikan.

"Bu, Pak, sudah pulang? Bagaimana hasilnya?" tanya Jemima yang masih bisa aku dengar.

"Abra dan Kamilia akan menikah besok pagi," jawab ibu tiriku dengan antusias menyampaikan informasi ini pada putrinya.

"Benarkah?" tanya Jemima. Nadanya terdengar bersemangat.

"Serius!"

Sebelum aku menutup pintu kamar, aku masih dapat mendengar sorakan girang yang disertai oleh tepukan tangan adik tiriku itu. Namun, aku lagi-lagi mengacuhkannya. Bukan sesuatu yang asing melihat wanita yang satu itu berbahagia atas kemalangan yang menimpaku.

Dengan sedikit bantingan, aku menutup pintu kamar hingga rapat. Aku pun kemudian dengan cepat menyambar ponsel yang tergeletak sembarangan di atas ranjang, dan langsung menghubungi Mas Damar.

Akan tetapi, hening. Panggilan telepon yang aku lakukan terhubung, tapi Mas Damar tidak mau mengangkatnya. Tanpa ada niatan untuk menyerah, aku berulang kali mencoba terus menghubunginya.

[Angkat teleponnya. Kita harus bicara!]

Sebaris pesan itu aku kirim sebelum kembali melanjutkan usahaku menghubungi Mas Damar untuk yang ke-50 kalinya. Ketika kesabaran di dalam dadaku hampir habis, suara merdu Mas Damar mengalun ke dalam telingaku.

"Mas Damar?" sapaku dengan lembut.

"Ada apa?" tanya Mas Damar. Suaranya terdengar sedikit ketus dalam menanggapiku.

"Ada apa? Bukannya aku yang seharusnya bertanya ada apa?" ujarku menimpali.

"Kita sudah putus, jadi untuk apa kamu menghubungiku lagi?" ucap Mas Damar balik bertanya.

"Mas, apa yang menimpaku dan Abra itu adalah kesalahpahaman. Aku dijebak sama bapak, ibu tiriku dan juga Jemima!" ungkapku.

"Wah, Mil. Kamu cukup keterlaluan juga ya. Mana mungkin ada keluarga yang akan menjebak anggota keluarganya sendiri," tukas Mas Damar tidak percaya.

"Mas, aku serius! Aku benar-benar dijebak!" seruku dengan frustrasi.

"Padahal aku cuma nyuruh kamu untuk menemui si Abra agar kalian bisa mendiskusikan masalah hutang bapak. Ternyata ini toh hasilnya. Kamu memilih untuk menjual tubuhmu padanya?" ujar Mas Damar dengan nada mencibir.

" ... "

Aku seketika terdiam bungkam. Hatiku cukup kecewa mendengar tuduhan yang dialamatkan untukku ini. Padahal baru tadi malam aku menceritakan masalah hutang bapak padanya, tapi kenapa dia bisa mengambil kesimpulan semacam ini?

"Mas, pemikiranmu tidak masuk akal. Sekalipun aku ingin mendiskusikan masalah hutang bapak dengan si Abra. Bukankah aku akan melakukannya di pagi hari? Aku tidak mungkin pergi ke kontrakan pria itu di tengah malam buta!" seruku. Intonasi suaraku naik beberapa oktaf lebih tinggi.

"Siapa yang tahu?!" balas Mas Damar terdengar acuh tak acuh.

Respon dingin yang baru pertama kali aku terima dari Mas Damar ini sekali lagi membuatku bungkam. Tadinya aku ingin memungkiri ucapan Abra soal partisipasi Mas Damar dalam menjebakku, tetapi melihat perubahan sikapnya membuatku mau tidak mau menaruh curiga.

"Aku pikir kamu adalah orang yang paling mengenalku. Aku pikir kamu tahu bagaimana hubunganku yang tidak baik dengan keluargaku sendiri. Kamu bahkan pernah mendengar secara langsung ketika mereka memakiku. Tetapi kenapa kamu tidak pernah berada di pihakku? Kenapa kamu selalu berpikir bahwa seorang keluarga tidak mungkin bersikap kejam pada anggota keluarganya yang lain?" tukasku panjang lebar.

"Jika kenyataannya begitu, mau bagaimana lagi?" timpal Mas Damar. Kali ini nada suaranya mulai terdengar malas.

"Kenyataannya begitu?" Aku bergumam pada diri sendiri dengan tidak percaya. "Aku ingat dengan sangat jelas bagaimana Jemima membiusku. Hanya dengan mengandalkan tenaga seorang pria tua dan dua orang wanita lemah, bagaimana aku bisa berakhir di atas ranjang si Abra? Menurutmu, bukankah ada orang lain yang membantu mereka? Apakah orang itu kamu?" tuturku dengan gamang. "Tadi juga Abra menunjuk kamu sebagai orang yang telah membiusnya 'kan?" ucapku menambahkan.

"Kamu jangan sembarang menuduh!" Mas Damar tiba-tiba meninggikan suaranya hanya beberapa detik setelah aku menyelesaikan kalimatku.

Sudut bibirku lantas berkedut miris. "Sepertinya memang benar. Kamu kayaknya berkolusi dengan keluargaku untuk menjebakku. Tapi kenapa? Kebencian apa yang kamu miliki padaku sampai kamu harus melakukan ini?" tanyaku dengan suara tercekat menahan tangis.

" ... "

Hening,

Mas Damar tidak segera menimpali ucapanku. Hanya hembusan nafas beratnya yang terdengar datang dari seberang. Dan hal ini membuat hatiku sungguh perih. Lima tahun menjalani hubungan hanya untuk berakhir kecewa.

"Baiklah. Aku akan mengakui perbuatanku jika memang itu maumu," ujar Mas Damar pada akhirnya.

" ... "

Aku pun terdiam sambil menggigit bibir bawahku dengan kuat. Jantungku berdetak dengan sangat cepat selama menunggu Mas Damar melanjutkan ucapannya.

"Bagaimana kalau aku memang membantu keluargamu dalam menjebakmu. Apa yang akan kamu lakukan?" ungkap Mas Damar dengan acuh tak acuh.

Walaupun aku sudah menyiapkan hati untuk mendengar pengakuan ini, tetapi rasanya tetap menyakitkan.

"Apa? Kenapa?" tanyaku dengan nada menuntut.

Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Damar justru langsung memutus sambungan telepon. Aku mencoba untuk menghubunginya kembali, tetapi pria itu menolak untuk menjawab. Bahkan tak lama kemudian, dia menonaktifkan teleponnya.

"ARRGGHHH!"

Dengan air mata yang mulai jatuh bercucuran, aku berteriak sekuat tenaga sambil menyapu deretan peralatan make up dan skincare yang semula tertata rapi di atas meja menjadi bentuk yang berantakan di atas lantai. Beberapa bahkan ada yang botolnya sampai pecah. Namun, aku tidak terlalu mempedulikannya.

"Aku benci. Aku benci kalian semua!" raungku penuh kemarahan.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status