Share

4. Persyaratan

"Kenapa kamu mengatakan kamu akan menikahiku? Aku tidak mau menikah!" Aku berseru dengan marah pada Abra begitu para warga telah bubar, dan hanya menyisakan kami sekeluarga.

Abra pun mengangkat bahunya dengan masa bodoh. "Toh pilihannya cuma ada dua. Aku tidak mau diarak keliling kampung, dan menjadi pusat perhatian. Menikah adalah pilihan yang tersisa," jawabnya.

" ... "

Aku pun terdiam cukup lama mendengar ucapan santai pria brewok ini. Seolah pernikahan bukanlah sesuatu yang penting dan sakral untuknya.

"Sudahlah, Mil. Tolong bantu keluarga kita sekali ini saja, mumpung Abra juga bersedia menikahimu," tukas ibu tiriku menyela dengan enteng.

Dengan sorot mata berkobar, aku menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Makanya!" sentakku dengan keras. "Tolong beritahu aku masalah apa yang sedang dihadapi oleh keluarga ini sehingga aku harus difitnah sampai sebegininya?!" seruku penuh emosi.

"Nanti juga kamu akan tahu, tapi bukan sekarang," timpal bapak dari samping.

Jawaban ini membuat nafasku menjadi berat. "Apa bedanya nanti ataupun sekarang?" tanyaku dengan nada lelah. Sikap orang-orang yang kusebut sebagai keluarga ini sungguh membuat frustrasi.

" ... "

Untuk yang kesekian kalinya, pertanyaanku tidak menemukan jawabannya. Baik bapak maupun ibu tiriku terus mengunci bibir mereka rapat-rapat sembari saling curi pandang.

"Bapak jahat!" desisku dari balik gigi yang terkatup rapat.

Ucapanku ini membuat bapak menoleh suram ke arahku sambil menghela nafas pelan. "Terserah kamu saja jika kamu punya pemikiran demikian," tukas bapak terkesan tidak peduli.

"Aku akan memberitahu semua orang kalau kalian telah menjebakku!" ancamku dengan geram.

Namun, bapak hanya mengangkat bahunya dengan masa bodoh. "Lakukan saja. Paling-paling juga tidak akan ada orang yang percaya!" timpal bapak dengan santai.

Respon bapak yang begitu dingin ini membuatku terperangah sesaat, dan mataku mengerjap beberapa kali penuh ketidakpercayaan. Momen ini membuatku serasa ditampar oleh kenyataan mengenai betapa tidak pentingnya aku di mata pria paruh baya ini.

"Sudahlah, ayo pulang dulu. Bapak sama ibu masih harus mengurus pernikahan kalian untuk besok," tukas bapak menyela pikiranku yang sedang kosong.

Aku lalu menatap ke arah Abra yang saat ini sedang berdiri diam sambil bersandar pada tembok kamar. Kedua tangannya terlipat dengan angkuh di depan dada. Sementara sorot matanya menatap dengan malas ke arah keluargaku.

Terkait dengan pria ini, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku tidak tahu siapa di antara kami yang lebih sial karena telah terikat dalam kemalangan yang sama macam ini.

"Aku peringatkan kamu, jangan pernah coba-coba untuk kabur!" Bapak tiba-tiba berseru pada Abra.

"Tenang saja. Aku sendiri tidak sabar menunggu hari esok," jawab Abra dengan santai.

Mataku yang masih menatap lekat pada pria ini pun perlahan berkedut. Apalagi saat melihat senyum miring pria itu yang tampak tersungging misterius.

"Bagus kalau kamu bisa bekerja sama. Kamu jangan khawatir, aku akan memberikan uang senilai 5 juta sebagai kompensasi," ujar bapak dengan sok-sokan.

Untaian kata yang terdengar seperti narasi dalam film ini membuatku menoleh dengan cepat ke arah bapak. Aku lalu mendengus sebagai balasan atas kata-katanya.

"Cuma 5 juta? Kurang banyak tuh. Kalau mau memberi kompensasi sama orang lain, minimal kasih uang yang seharga rumah dong!" cibirku dengan sinis.

Namun, bapak tidak menanggapi. Dia hanya melirik singkat ke arahku. Setelah itu, tatapannya kembali jatuh pada sosok Abra yang masih tidak menunjukkan gejolak emosi apapun.

"Bagaimana menurutmu? Bukankah 5 juta sudah cukup banyak?" tanya bapak pada Abra.

"Sebenarnya tidak banyak. Uang segitu hanya dapat dipakai menyumbat gigi. Tapi aku tidak keberatan menikah dengan putri bapak ini, asalkan satu syarat dariku dapat dipenuhi. Bagaimana?" tukas Abra mulai melakukan tawar-menawar.

" ... "

Bapak tidak langsung menanggapi. Dia malah menatap penuh arti pada istrinya. Begitu bapak mendapat sinyal anggukan kepala, barulah dia kembali beralih pada Abra.

"Baiklah. Mari kita dengarkan dulu apa persyaratanmu," ujar bapak.

Abra yang sejak tadi hanya menatap lelucon keluarga kami dengan wajah datarnya kini menunjukkan senyum lebar yang sedikit menyeramkan di mataku.

"Jangan khawatir. Persyaratanku tidak muluk-muluk kok. Aku hanya ingin setelah menikah, kami tinggal di rumah kalian," ucap Abra dengan enteng.

Sudut alisku otomatis terangkat samar mendengar persyaratan yang agak tidak terduga ini. Aku semakin dibuat penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang pria ini pikirkan di dalam kepalanya.

"Tinggal di rumah kami? Untuk apa? Bukannya ada kontrakan ini?" tukas ibu tiriku terdengar agak tidak senang akan persyaratan yang diajukan ini.

Abra lantas mendengus geli. "Tinggal di kontrakan seperti ini harus bayar. Kalian pikir uang 5 juta yang kalian sebutkan itu akan bertahan sampai berapa lama?" ujar Abra.

" ... "

Bapak dan ibu tiriku seketika terdiam sambil saling pandang lama. Entah dialog seperti apa yang sedang mereka lakukan melalui aksi tatap itu. Adapun aku sendiri hanya bisa menatap bolak-balik pada bapak, ibu tiriku dan juga Abra.

"Kalau kami tidak mau menuruti persyaratan ini, memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" tukas ibu tiriku setelah beberapa lama terdiam. Dagunya terangkat tinggi seolah menantang.

Sebagai tanggapan, Abra hanya mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Apa yang bisa aku lakukan? Kalian tentu pernah mendengar gosip tentangku yang beredar 'kan? Sebenarnya gosip-gosip itu tidak sepenuhnya salah. Dan aku bisa melakukan apa saja yang tidak terpikirkan oleh kalian," jawab Abra dengan nadanya yang lirih, tapi memiliki kesan mengancam. Ada juga sorot mata tajamnya yang langsung menyipit ke arah kami dengan penuh intimidasi.

" ... "

Bapak dan ibu tiriku kembali terdiam. Dan seperti biasa, mereka juga saling bertukar tatapan sebagai bentuk komunikasi yang hanya mereka sendiri yang mengetahui artinya.

Akan tetapi, berbeda dengan tadi, kali ini ada ketidaksepahaman yang tampak terlihat. Bapak tampak mengangguk, tapi ibu tiriku itu justru menggeleng samar.

"Jadi bagaimana? Kalian setuju dengan syarat yang aku ajukan atau tidak?" tanya Abra mulai mengeluarkan nada tidak sabar.

"Baiklah. Ak... "

"Pak! Bagaimana dengan Jemima?" tegur ibu memotong kalimat yang ingin diucapkan oleh bapak.

"Memangnya kenapa dengan Jemima?" tanya bapak seperti orang bodoh.

"Ih. Bapak ini gimana sih?! Jemima 'kan belum nikah. Bagaimana kalau nanti si Abra ini suka sama dia? Bisa bahaya, Pak!" seru ibu tiriku.

Mendengar nada khawatir dari seorang ibu untuk anak gadisnya itu membuatku spontan mendengus.

"Kepedean banget jadi orang!" sindirku dengan gamblang.

"Kalian tidak perlu khawatir. Kecuali kecantikan anak kalian setara Dewi Surga, aku pasti tidak akan tertarik," ujar Abra. Aku dapat mendengar nada geli dalam suara pria itu ketika sedang mengatakan kalimat ini.

"Heh, kamu jangan salah. Putriku itu cantik jelita. Mustahil kalau ada orang yang tidak suka padanya!" tukas ibu tiriku dengan nada tidak senang.

Abra pun mengangguk cepat. "Ya ya ya. Jadi bagaimana?" tanya pria itu semakin terdengar tidak sabar.

"Sudahlah, Bu. Kita setujui saja," ujar bapak.

"Tapi, Pak!"

"Sudah!" bentak bapak dengan keras yang langsung membungkam protesan istrinya.

Dengan bibir mencebik, ibu tiriku melengoskan pandangannya dari bapak. Sementara itu, bapak kembali beralih pada Abra. "Baiklah. Kami setuju dengan permintaanmu. Ada lagi?" tanya bapak berbasa-basi.

"Itu saja," jawab Abra.

"Bagus. Kalau begitu, kami pulang dulu untuk mempersiapkan semuanya. Ayo Kamilia!" ujar bapak seraya berbalik pergi bersama ibu tiriku yang masih bertampang asam karena baru saja dimarahi.

Meski dengan langkah berat, aku pun mengikuti dari belakang.

"Sampai ketemu besok, calon istri," bisik Abra ketika aku sedang melewatinya.

Aku lantas memberikan delikan maut padanya.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status