"Kamilia, kamu kenapa?!"
Pertanyaan ini terlontar seiring dengan pintu kamarku yang menjeblak terbuka. Tiga orang anggota keluarga ini kemudian satu demi satu mulai menampakkan wajah penasaran mereka melalui ambang pintu kamar."Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya berantakan begini?" tanya bapak sambil matanya menatap kekacauan yang ada di lantai."Aku benci kalian semua. Kalian semua jahat!" Aku mendesis dari balik gigi yang terkatup rapat sambil nafasku masih naik turun tidak beraturan. Mataku pun menyorot penuh dendam pada ketiga orang yang harusnya aku sebut sebagai keluarga ini."Kamu kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanya bapak seraya memasang wajah muram."Apa yang sudah kalian lakukan sehingga bahkan Mas Damar pun bersedia mengkhianatiku?" Aku tidak menjawab pertanyaan bapak, dan justru akulah yang balik melemparkan tanya."Kami tidak melakukan apa-apa kok. Memang dia saja yang sudah bosan sama kamu, tapi dia-nya nggak tahu bagaimana cara memutuskan hubungan denganmu," jawab Jemima menggantikan bapak."Bohong banget!" bantahku tidak percaya.Jemima lantas mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Kalau nggak percaya, tanya aja langsung sama dia," ujarnya."Kok kamu bisa tahu soal ini?" tanyaku dengan curiga.Sebuah perasangka buruk pun tiba-tiba muncul di dalam benakku. Jangan bilang mereka memiliki hubungan rahasia di belakangku seperti yang sering terjadi di film-film."Tentu saja aku tahu karena dia sering bercerita padaku mengenai betapa membosankannya kamu!" timpal Jemima." ... "Sesaat aku dibuat terdiam. Kecurigaan semakin terasa pekat membayangi hatiku."Jangan bilang kamu ada main dengannya di belakangku selama ini?" tanyaku dengan intonasi suara yang meninggi."Kalo iya kenapa?" balas Jemima sambil mengangkat dagu memasang postur menantang.Mataku seketika melotot menatap Jemima yang sedang memasang raut wajah penuh kemenangan itu."Jemima!"Aku berteriak dengan sekuat tenaga hingga urat di leherku terasa tegang. Pengakuan adik tiriku ini membuatku tidak lagi bisa mentolerir perlakuan yang telah keluarga ini berikan padaku. Kebencian pun terasa kian membumbung di dalam hatiku."Wanita kurang ajar!" Aku memaki dengan sengit seraya menyeret sepasang tungkai panjangku ke arah Jemima.Namun, sebelum aku tiba di hadapan ketiga orang itu, Jemima telah lebih dulu menutup pintu kamarku dengan keras. Bahkan hanya dalam sekejap, terdengar suara kunci yang diputar dari luar."Jemima!"Aku mulai berteriak panik seraya mempercepat langkahku yang hanya terlambat sepersekian detik.Tok tok tok,"Buka pintunya!" Aku meraung semakin marah saat mengetahui pintu kamarku di kunci dari luar."Jemima!""Bapak!""Buka pintunya!"Aku terus berteriak sambil menggedor pintu hingga entah berapa lamanya."Jemima!""Bapak!""Buka pintunya!"Aku terus berteriak memanggil mereka sampai suaraku terdengar serak. Dan sebelum aku sempat memikirkan soal apapun, suara ketukan palu di jendela kamar membuatku beralih. Aku lantas menyeret langkah menuju ke arah jendela yang keberadaannya sempat aku lupakan.Aku hendak membuka satu-satunya jendela yang ada di kamar ini, tetapi tidak bisa. Jendela ini seolah ada yang mengganjal dari luar."Apa-apaan ini?!"Aku kembali menjerit dengan keras sembari memukul jendela kayu itu sekuat tenaga hingga telapak tanganku sakit dan memerah."Mil, maafkan bapak karena harus melakukan ini. Kamu diam saja di dalam kamar sampai hari pernikahanmu besok," tukas bapak di antara suara ketukan palu berulang di jendela kamarku.Tidak butuh IQ setara Einstein untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh bapak terhadap jendela kamarku di luar."ARRGHHH!"Aku berteriak seperti orang gila untuk mengeluarkan rasa frustrasi yang membuat dadaku sesak."Apakah semuanya belum cukup? Apakah aku masih harus diperlakukan layaknya tahanan seperti ini? Apa salahku sampai harus diperlakukan seperti ini?!" raungku dengan sengit."Maafkan bapak, Mil. Hanya ini yang bisa bapak lakukan untuk menjaga kamu agar tidak kabur," timpal bapak.Aku otomatis mendengus mendengar kalimat permohonan maaf yang aku tahu betul tidak memiliki ketulusan sama sekali ini."Aku tidak akan memaafkan kalian semua. Tidak akan pernah!" ucapku dengan lirih sambil menggelengkan kepala pelan. Aku tidak peduli apakah bapak bisa mendengarku atau tidak.Menyadari bahwa sekarang aku terpenjara di dalam kamarku sendiri, aku pun memutuskan untuk berhenti berusaha. Dengan gontai aku kemudian berjalan menuju tempat tidur, lalu membaringkan tubuhku yang lelah.Saat ini pikiranku berada dalam kekacauan. Ingatanku tiba-tiba terlempar pada kenangan masa kecil yang telah kabur. Aku bahkan tidak lagi bisa merindukan sosok ibu karena sedikitnya kenangan yang bisa aku ingat. Aku juga telah lama melupakan bagaimana rasanya disayang oleh sosok itu.Seolah ingatan itu belum cukup menyedihkan, kenangan lima tahunku yang sia-sia bersama Mas Damar juga turut dipentaskan dalam benak.Awal pertemuanku dan Mas Damar terbilang klise. Kami bertemu saat momen festival kampus. Dia sebagai panitia, dan aku sebagai mahasiswa biasa. Kami berkenalan singkat di sebuah stand jajanan milik temanku yang saat itu sedang kewalahan menghadapi pembeli yang membeludak. Layaknya super hero, pria itu datang membantu dari awal hingga akhir. Sikapnya yang supel dan ramah membuatku jatuh hati diam-diam.Rasa cinta itu pun semakin menguat saat di suatu hari hujan, dia menawarkan tumpangan padaku. Tadinya aku berniat untuk menolak karena sungkan, tetapi dengan dia yang mengetahui bahwa kampung kami bertetangga, seberkas harapan muncul di hatiku. Harapan bahwa hubungan kami akan bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius.Dan ketika keinginanku itu terwujud, aku masih ingat dengan jelas bagaimana bahagianya aku. Aku bahkan masih ingat khayalan-khayalan mengenai masa depan yang lebih cerah bersama Mas Damar.Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan bahagiaku sendiri, aku tidak menyadari kalau ternyata Mas Damar sudah lama bosan padaku?Tetapi sejak kapan?Pertanyaan ini hanya bisa aku simpan di dalam hati untuk sementara waktu."Kenapa nasibku begini banget sih?" bisikku pada diri sendiri dengan nelangsa.Masa depanku yang seharusnya penuh dengan harapan dan kebahagiaan, kini berubah suram. Meskipun aku tahu dengan sangat baik bahwa kasih sayang bapak padaku dan Jemima sangatlah bias. Namun, aku tidak pernah sekalipun membayangka bahwa bapak akan menjebakku dengan kejam seperti ini. Tidak hanya merusak harkat dan martabatku, bapak juga memupuskan harapan cerah masa depanku dengan cara memaksaku menikah dengan pengangguran seperti Abra.Layaknya orang gila, aku pun terkiki geli meratapi nasib sialku. "Dasar bodoh. Harusnya aku tidak membiarkan mereka bebas memfitnahku tadi. Harusnya aku membantah tanpa banyak pikir panjang. Harusnya kebencian ini aku pupuk saja sejak lama!" gumamku sambil menggeram kesal. Sekarang penyesalan pun sudah tidak ada gunanya.Jika aku ingin membalas dendam, minimal aku harus memiliki uang berjuta-juta, kemudian menampar wajah mereka dengan itu. Hanya itulah cara satu-satunya yang bisa membuat wajah jumawa mereka berubah menjadi jelek."Aku harus bekerja lebih keras!" gumamku memberi semangat untuk diri sendiri.Akan tetapi, baru saja tekad itu berkobar di dalam hatiku, bayangan pernikahan dengan si Abra besok membuat suasan hatiku kembali suram. Harus aku apakan pria itu setelah kami menikah nanti?"ARRGGHHH!" Aku kembali berteriak frustrasi.* * *"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak