Share

6. Disekap

"Kamilia, kamu kenapa?!"

Pertanyaan ini terlontar seiring dengan pintu kamarku yang menjeblak terbuka. Tiga orang anggota keluarga ini kemudian satu demi satu mulai menampakkan wajah penasaran mereka melalui ambang pintu kamar.

"Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya berantakan begini?" tanya bapak sambil matanya menatap kekacauan yang ada di lantai.

"Aku benci kalian semua. Kalian semua jahat!" Aku mendesis dari balik gigi yang terkatup rapat sambil nafasku masih naik turun tidak beraturan. Mataku pun menyorot penuh dendam pada ketiga orang yang harusnya aku sebut sebagai keluarga ini.

"Kamu kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanya bapak seraya memasang wajah muram.

"Apa yang sudah kalian lakukan sehingga bahkan Mas Damar pun bersedia mengkhianatiku?" Aku tidak menjawab pertanyaan bapak, dan justru akulah yang balik melemparkan tanya.

"Kami tidak melakukan apa-apa kok. Memang dia saja yang sudah bosan sama kamu, tapi dia-nya nggak tahu bagaimana cara memutuskan hubungan denganmu," jawab Jemima menggantikan bapak.

"Bohong banget!" bantahku tidak percaya.

Jemima lantas mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Kalau nggak percaya, tanya aja langsung sama dia," ujarnya.

"Kok kamu bisa tahu soal ini?" tanyaku dengan curiga.

Sebuah perasangka buruk pun tiba-tiba muncul di dalam benakku. Jangan bilang mereka memiliki hubungan rahasia di belakangku seperti yang sering terjadi di film-film.

"Tentu saja aku tahu karena dia sering bercerita padaku mengenai betapa membosankannya kamu!" timpal Jemima.

" ... "

Sesaat aku dibuat terdiam. Kecurigaan semakin terasa pekat membayangi hatiku.

"Jangan bilang kamu ada main dengannya di belakangku selama ini?" tanyaku dengan intonasi suara yang meninggi.

"Kalo iya kenapa?" balas Jemima sambil mengangkat dagu memasang postur menantang.

Mataku seketika melotot menatap Jemima yang sedang memasang raut wajah penuh kemenangan itu.

"Jemima!"

Aku berteriak dengan sekuat tenaga hingga urat di leherku terasa tegang. Pengakuan adik tiriku ini membuatku tidak lagi bisa mentolerir perlakuan yang telah keluarga ini berikan padaku. Kebencian pun terasa kian membumbung di dalam hatiku.

"Wanita kurang ajar!" Aku memaki dengan sengit seraya menyeret sepasang tungkai panjangku ke arah Jemima.

Namun, sebelum aku tiba di hadapan ketiga orang itu, Jemima telah lebih dulu menutup pintu kamarku dengan keras. Bahkan hanya dalam sekejap, terdengar suara kunci yang diputar dari luar.

"Jemima!"

Aku mulai berteriak panik seraya mempercepat langkahku yang hanya terlambat sepersekian detik.

Tok tok tok,

"Buka pintunya!" Aku meraung semakin marah saat mengetahui pintu kamarku di kunci dari luar.

"Jemima!"

"Bapak!"

"Buka pintunya!"

Aku terus berteriak sambil menggedor pintu hingga entah berapa lamanya.

"Jemima!"

"Bapak!"

"Buka pintunya!"

Aku terus berteriak memanggil mereka sampai suaraku terdengar serak. Dan sebelum aku sempat memikirkan soal apapun, suara ketukan palu di jendela kamar membuatku beralih. Aku lantas menyeret langkah menuju ke arah jendela yang keberadaannya sempat aku lupakan.

Aku hendak membuka satu-satunya jendela yang ada di kamar ini, tetapi tidak bisa. Jendela ini seolah ada yang mengganjal dari luar.

"Apa-apaan ini?!"

Aku kembali menjerit dengan keras sembari memukul jendela kayu itu sekuat tenaga hingga telapak tanganku sakit dan memerah.

"Mil, maafkan bapak karena harus melakukan ini. Kamu diam saja di dalam kamar sampai hari pernikahanmu besok," tukas bapak di antara suara ketukan palu berulang di jendela kamarku.

Tidak butuh IQ setara Einstein untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh bapak terhadap jendela kamarku di luar.

"ARRGHHH!"

Aku berteriak seperti orang gila untuk mengeluarkan rasa frustrasi yang membuat dadaku sesak.

"Apakah semuanya belum cukup? Apakah aku masih harus diperlakukan layaknya tahanan seperti ini? Apa salahku sampai harus diperlakukan seperti ini?!" raungku dengan sengit.

"Maafkan bapak, Mil. Hanya ini yang bisa bapak lakukan untuk menjaga kamu agar tidak kabur," timpal bapak.

Aku otomatis mendengus mendengar kalimat permohonan maaf yang aku tahu betul tidak memiliki ketulusan sama sekali ini.

"Aku tidak akan memaafkan kalian semua. Tidak akan pernah!" ucapku dengan lirih sambil menggelengkan kepala pelan. Aku tidak peduli apakah bapak bisa mendengarku atau tidak.

Menyadari bahwa sekarang aku terpenjara di dalam kamarku sendiri, aku pun memutuskan untuk berhenti berusaha. Dengan gontai aku kemudian berjalan menuju tempat tidur, lalu membaringkan tubuhku yang lelah.

Saat ini pikiranku berada dalam kekacauan. Ingatanku tiba-tiba terlempar pada kenangan masa kecil yang telah kabur. Aku bahkan tidak lagi bisa merindukan sosok ibu karena sedikitnya kenangan yang bisa aku ingat. Aku juga telah lama melupakan bagaimana rasanya disayang oleh sosok itu.

Seolah ingatan itu belum cukup menyedihkan, kenangan lima tahunku yang sia-sia bersama Mas Damar juga turut dipentaskan dalam benak.

Awal pertemuanku dan Mas Damar terbilang klise. Kami bertemu saat momen festival kampus. Dia sebagai panitia, dan aku sebagai mahasiswa biasa. Kami berkenalan singkat di sebuah stand jajanan milik temanku yang saat itu sedang kewalahan menghadapi pembeli yang membeludak. Layaknya super hero, pria itu datang membantu dari awal hingga akhir. Sikapnya yang supel dan ramah membuatku jatuh hati diam-diam.

Rasa cinta itu pun semakin menguat saat di suatu hari hujan, dia menawarkan tumpangan padaku. Tadinya aku berniat untuk menolak karena sungkan, tetapi dengan dia yang mengetahui bahwa kampung kami bertetangga, seberkas harapan muncul di hatiku. Harapan bahwa hubungan kami akan bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius.

Dan ketika keinginanku itu terwujud, aku masih ingat dengan jelas bagaimana bahagianya aku. Aku bahkan masih ingat khayalan-khayalan mengenai masa depan yang lebih cerah bersama Mas Damar.

Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan bahagiaku sendiri, aku tidak menyadari kalau ternyata Mas Damar sudah lama bosan padaku?

Tetapi sejak kapan?

Pertanyaan ini hanya bisa aku simpan di dalam hati untuk sementara waktu.

"Kenapa nasibku begini banget sih?" bisikku pada diri sendiri dengan nelangsa.

Masa depanku yang seharusnya penuh dengan harapan dan kebahagiaan, kini berubah suram. Meskipun aku tahu dengan sangat baik bahwa kasih sayang bapak padaku dan Jemima sangatlah bias. Namun, aku tidak pernah sekalipun membayangka bahwa bapak akan menjebakku dengan kejam seperti ini. Tidak hanya merusak harkat dan martabatku, bapak juga memupuskan harapan cerah masa depanku dengan cara memaksaku menikah dengan pengangguran seperti Abra.

Layaknya orang gila, aku pun terkiki geli meratapi nasib sialku. "Dasar bodoh. Harusnya aku tidak membiarkan mereka bebas memfitnahku tadi. Harusnya aku membantah tanpa banyak pikir panjang. Harusnya kebencian ini aku pupuk saja sejak lama!" gumamku sambil menggeram kesal. Sekarang penyesalan pun sudah tidak ada gunanya.

Jika aku ingin membalas dendam, minimal aku harus memiliki uang berjuta-juta, kemudian menampar wajah mereka dengan itu. Hanya itulah cara satu-satunya yang bisa membuat wajah jumawa mereka berubah menjadi jelek.

"Aku harus bekerja lebih keras!" gumamku memberi semangat untuk diri sendiri.

Akan tetapi, baru saja tekad itu berkobar di dalam hatiku, bayangan pernikahan dengan si Abra besok membuat suasan hatiku kembali suram. Harus aku apakan pria itu setelah kami menikah nanti?

"ARRGGHHH!" Aku kembali berteriak frustrasi.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status