Share

7. Hari Pernikahan

Aku mematut diriku di depan satu-satunya cermin yang ada di kamar. Saat ini tubuhku sudah dibalut oleh sebuah gamis berwarna putih polos tanpa banyak hiasan indah. Kepalaku ditutup dengan jilbab asal-asalan yang masih menunjukkan helaian rambut hitamku. Adapun wajahku hanya dibaluri bedak tipis dan lipstik berwarna pink yang tidak menggairahkan. Tidak ada hiasan mata yang bisa membuat pangling.

Yah, lagipula tidak ada orang yang ingin aku buat terkesan dengan penampilanku.

"Mil, kamu udah selesai belum? Pengantin pria dan Pak Penghulu sudah datang," ujar ibu tiriku dari balik pintu yang masih di kunci dari luar.

"Sudah!" jawabku dengan patuh.

"Ya sudah, ayo keluar!" ucap ibu tiriku seraya membuka pintu kamar.

Walau dengan berat hati, aku tetap mengikuti langkahnya. Toh, tidak ada gunanya menentang sekarang.

"Pengantin wanitanya sudah tiba," ucap ibu tiri yang mendampingiku ke ruang tamu rumah kami.

Setibanya di ruang tamu, aku melihat ruangan itu sudah disulap menjadi ruangan lengang yang diisi oleh satu buah meja dan enam buah kursi untuk acara ijab kabul. Di ruang tamu ini sekilas sudah ada bapak yang mengenakan batik berwarna biru yang dipadukan dengan celana hitam dan juga peci hitam. Ada juga dua orang saksi yang tidak aku kenal dan seorang pria tua yang aku yakini sebagai bapak penghulu itu. Ada pun Abra, aku tidak repot-repot melihat ke arahnya.

"Ayo Pak Penghulu, acaranya segera dimulai," ujar bapak dengan antusias seraya mempersilakan pria tua itu untuk mengambil tempat di sampingnya.

"Silakan kedua mempelai," ujar pria tua itu kemudian menunjuk seberang meja yang memang sudah diatur untuk tempat para pengantin.

Momen pernikahan seharusnya menjadi momen paling membahagiakan bagi siapa saja yang dimabuk cinta. Namun, berbeda denganku, momen ini terasa begitu suram. Meski jantungku berdegup kencang, tapi degupan ini bukanlah degupan antusias. Degupan yang ada di balik dada ini lebih seperti sebuah isyarat kehancuran.

"Apa kamu sudah siap menjadi istriku?" bisik Abra yang kehadirannya tidak pernah aku perhatikan dari awal hingga detik ini.

"Tidak!" jawabku dengan jujur.

"Tsk. Sayang sekali," ujarnya.

" ... "

Aku tidak menimpali karena perasaanku saat ini begitu hampa. Setelah kami duduk di hadapan penghulu, mataku bahkan menyorot dengan kosong ke arah tangan Abra dan tangan bapak yang mulai saling terjalin di atas meja.

"Mari kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim," ucap Pak Penghulu.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Abraham Suseno bin David Suseno dengan anak saya yang bernama Kamilia Azizah dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai," ujar bapak dengan lancar.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Kamilia Azizah binti Suherman Wahid dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Abra dengan suara beratnya yang lantang.

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

Dari awal hingga akhir prosesi ijab kabul ini, aku hanya bisa terdiam pasrah menerima nasib sambil menggigit bibirku kuat-kuat agar air mata tidak runtuh.

"Mbak Kamilia, kok diam saja? Dicium dong tangan suaminya," tegur pak penghulu ketika melihat aku yang hanya diam membisu.

Aku yang disadarkan oleh ucapan pak penghulu ini sontak berjengit ngeri. Melalui sudut mata, aku melirik pada Abra yang terlihat menatapku jenaka.

"Ayo Mil, jangan sungkan," ujar bapak sembari melemparkan sorot mata peringatan agar aku segera melakukan apa yang mereka minta.

Dengan berat hati, aku menoleh sepenuhnya ke arah Abra yang langsung menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Di bawah tatapan banyak mata, mau tidak mau aku meraih tangan besar pria itu, lalu dengan terpaksa menempelkan punggung tangannya di ujung hidungku. Proses ini berlangsung dengan cepat.

"Abra juga mencium kening istrinya," ujar pak penghulu mendiktekan apa yang harus kami lakukan berikutnya.

Sekujur tubuhku otomatis merinding mendengar kalimat ini. Namun, karena tidak ada pilihan, aku pun menundukkan kepala dalam-dalam sambil memejamkan mata rapat-rapat menunggu bibir pria itu mendarat di keningku.

Berbeda dengan aku yang mencium tangannya dengan kilat, Abra mendaratkan bibir empuknya di keningku dalam waktu yang cukup lama. Aku sampai ingin mendorongnya menjauh, tetapi aku memilih untuk menahan diri sekuat tenaga.

Begitu bibir pria itu menjauh dariku, suara tepuk tangan terdengar bergemuruh. Karena di detik berikutnya tidak ada prosesi lanjutan seperti resepsi, acara pernikahanku ini pun berakhir begitu saja. Hanya bapak dan ibu tiriku yang terlihat antusias mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sepertinya telah berjasa dalam membuat acara pernikahan ini bisa terlaksana hanya dalam sehari.

"Terima kasih semua atas bantuannya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar," ujar bapak.

"Tidak masalah, Pak Suherman. Sudah sewajarnya kita semua saling bantu sebagai warga desa," ucap salah seorang tamu undangan.

"Hahaha, sekali lagi terima kasih, Pak Gatot. Saya jadi malu," ujar bapak dengan lirih sembari benar-benar menunjukkan wajah malunya.

"Jangan sungkan untuk minta tolong lagi di lain waktu, Pak Suherman," balas pria paruh baya yang bernama Pak Gatot itu.

"Iya. Pasti!"

"Oh ya, karena acaranya sudah selesai, kami akan langsung permisi dulu. Kami masih ada urusan," pamit seseorang yang lain di antara mereka.

"Mari silakan," ucap bapak seraya menuntun tamunya keluar bersama dengan ibu tiriku.

Setelah mengantar tamunya pergi, suasana ruang tamu rumah yang sempit ini langsung jatuh dalam kesunyian. Kini yang tersisa di ruangan ini hanya aku dan Abra saja.

"Mari menjalani pernikahan ini dalam damai," ujar Abra sembari mengulurkan tangannya ke arahku. Akan tetapi, aku tidak menyambut uluran tangan itu.

"Aku belum ingin menikah," ujarku sambil menerawang kosong.

Abra pun menarik tangannya yang masih tergantung di depanku ke posisi semula. "Yah, apa boleh buat," ucapnya dengan acuh tak acuh.

Nada suaranya yang terlampau tenang ini membuatku heran. Bukankah jika orang normal diperlakukan dengan tidak adil seperti ini, mereka akan marah dan menaruh dendam pada orang yang telah menjebaknya? Tetapi kenapa pria ini begitu tenang?

"Apa kamu benar-benar tidak keberatan menjalin pernikahan terpaksa ini denganku?" tanyaku sanksi.

"Tentu saja!" jawab Abra.

"Bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan wanita yang kamu cintai? Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu soal ini?" tanyaku lagi.

Dengan banyaknya gosip simpang siur mengenai pria ini, aku tidak bisa menghindari rasa penasaran yang tiba-tiba muncul di dalam hati.

"Keluargaku tidak ada hubungannya dengan pernikahan ini," jawab Abra dengan nada sedikit ketus.

Responnya yang berbeda dari sebelumnya membuatku langsung terdiam kikuk.

"Em, oke ... " gumamku lirih.

Suasana di ruang tamu ini pun langsung sunyi karena obrolan yang tiba-tiba mati. Keadaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama hingga aku sendiri merasa lelah. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kembali ke dalam kamar sepertinya bukan pilihan yang tepat.

"Hei, aku penasaran deh, kenapa kamu tidak marah setelah dijebak seperti ini?" tanyaku menyuarakan keheranan yang tersimpan di dalam hati.

"Siapa bilang aku tidak marah?" timpal Abra.

"Kamu tidak kelihatan seperti orang marah," ujarku seraya menatap lekat wajah datar pria yang kini berstatus sebagai suamiku ini.

Mendengar ucapanku, Abra justru terkekeh renyah. Dia lalu mendekatkan bibirnya ke arah telingaku tanpa bisa aku hindari. "Justru beginilah caraku mengatasi amarah. Aku akan membuat musuhku lengah, sebelum nanti aku membuat mereka menderita lebih parah daripada yang telah mereka lakukan padaku,"

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status