Share

Suami Paruh Waktu
Suami Paruh Waktu
Author: Ziza

Perawan Tua

“Kamu loh, Ren sudah memasuki usia kepala tiga. Tahun depan sudah seharusnya ngasih mama cucu, tau!”

Suasana masih pagi, namun seperti biasa mama Erna selalu saja membahas hal yang sama. Satu hari yang sudah berlalu selalu menjadi hal yang penting baginya, karena waktu-waktu tersebut telah membuat usia kita semakin bertambah, terkhusus untuk anak gadis kesayangannya.

Dan seperti hari-hari sebelumnya, Renata Michelle selalu menanggapi keluh kesah mamanya dengan sebuah senyum ambigu tanpa arti. Pun, setelahnya ia kembali mengabaikan sang mama dan kembali melahap roti isi daging yang menjadi menu kesukaannya.

“Hey! Mama itu sedang mengajak kamu bicara,” sambung mama Erna yang kini menyambar roti milik Renata.

“Pah, lihat mama! Aku harus buru-buru ke kantor, Ma. Aku ada rapat, setelahnya aku juga harus bertemu klien, belum lagi –”

“Bla bla bla ….” Mama Erna menirukan gaya bicara Renata yang hampir tak memiliki jeda sama sekali.

Alhasil Renata menyandarkan punggungnya kesal. Sementara mama Erna kini melirik tajam ke arah putri semata wayangnya itu.

“Mama tahu kamu sibuk, Nak. Tapi jangan lupa bahwa kamu juga perlu pendamping. Bagaimana kalau usia papa sama mama tidak lama lagi? Mama belum tenang kalau belum ada yang menjaga kamu.”

“Ngomong apa sih, Ma. Hush! Lagipula Renata ini sudah mandiri, tak harus menikah, kan? Lagipula sekarang Renata sudah naik jabatan, keuangan Renata juga akan lebih stabil. Dan minggu depan, aku bakal dapat bonus dari kantor, Ma. Yashh!!” sanggah gadis itu dengan ekspresi wajah dan semangat yang membara.

“Lantas? Apa kamu mau nanti dipanggil perawan tua? Sekarang saja sudah banyak temanmu yang punya anak dua. Lah kamu kok malah tidak ingin menikah?”

“Astaga mama, kaya gak suka sama sekali dengan kerja keras Renata selama ini. Itu kan juga sebuah prestasi, pen-ca-pai-an! Pencapaian karir yang bagus ya kan, Pa?”

Kali ini Renata melempar pertanyaannya kepada sang papa yang masih membaca koran di sisi kiri meja makan. Sejak tadi, Pak Wilyasa sama sekali tidak berkomentar tentang perdebatan antara anak dan ibu itu.

Sudah biasa, katanya. Yang satu keras kepala, dan yang satunya lagi cerewetnya minta ampun. Tetapi, beruntungnya adalah baik Renata dan Mama Erna tak pernah sampai bersinggungan atau saling menyimpan dendam. Mereka hanya merajuk barang sebentar.

“Mama itu ada benarnya, Renata. Selain memikirkan karir, kamu juga harus memikirkan masa depan kamu. Papa suka loh dengan pencapaiannya yang luar biasa itu, bahkan prestasimu sejak zaman sekolah pun tak bisa di ragukan. Tapi ada yang kurang loh, nduk!”

Renata mengalihkan pandangannya kepada sang papa, memperhatikan kumis tebalnya yang bergerak-gerak sembari mendengarkan kalimat lanjutan yang sepertinya sengaja Pak Wilyasa jeda.

“Kamu juga perlu pendamping, Ren. Apalagi yang mau kamu kejar, S2 sudah, karir cemerlang sudah, jabatan sudah, kekayaan sudah. Lantas, apalagi kalau bukan menikah?”

Berharap papanya akan membela dirinya, ternyata Renata semakin tersudutkan. Mau tidak mau, Renata akan menjawabnya. tapi ia butuh waktu untuk menata hati dan juga menata kata-katanya.

“Aku juga butuh status sosial, Pa. Papa juga tahu aku masih ingin mengejar itu, kan? Aku nggak mau hidup kita kembali susah seperti dulu sebelum papa sukses.”

Wajah Renata sedikit memerah dari yang sebelumnya. Papa dan mama Renata bisa mengerti betapa menyakitkannya menjadi orang tak punya yang juga tak memiliki jabatan apapun.

Pak Wilyasa dulunya adalah seorang pegawai biasa yang juga lahir dari keluarga biasa. Jatuh dan bangun karir Pak Wilyasa sudah tak dapat di hitung jari. Belum lagi jika ada PHK kantor, Pak Wilyasa selalu jadi orang yang termasuk di dalamnya.

Sementara itu mama Erna, ia memang lahir dari keluarga kaya yang berkecukupan dan kini berprofesi menjadi seorang bidan. Entah bagaimana akhirnya Pak Wilyasa bisa mendapatkan cinta dan juga restu dari orang tua Erna. Itu pun harus melalui banyak hinaan dan cacian dari keluarga, maupun dari rekan kerjanya.

Bertahun-tahun merintis bisnis, mereka berjuang untuk saling mengisi dan mendukung satu sama lain. Pak Wilyasa terus bekerja siang dan malam, sementara mama Erna juga terus menekuni bidangnya dengan keuangan yang terbatas sebab orang tua mama Erna melepaskan tanggung jawabnya kepada suami Erna.

Hingga akhirnya Renata kecil lahir bersamaan dengan bisnis Pak Wilyasa yang terus meningkat di bidang tekstil dan properti. Meski begitu, masih ada sisa-sisa perjuangan yang harus ikut Renata rasakan ketika ia duduk di bangku sekolah. Sungguh perjuangan hidup yang tak mudah bagi Pak Wilyasa sekeluarga.

“Papa dan mama juga tahu apa keinginan dan cita-citamu. Justru karena kami tak ingin kamu menyesal, ada baiknya kamu menikah dengan segera. Dengan begitu akan ada lelaki yang bertanggungjawab atas dirimu, Nak. Status sosial bisa kalian perjuangkan bersama nantinya,” imbuh Pak Wilyasa, melanjutkan percakapannya dengan sang putri.

Renata terdiam. Ia sudah kehabisan alasan untuk menyanggah permintaan orang tuanya. Kalau dipikir-pikir, Pak Wilyasa memang seringkali keluar masuk rumah sakit akhir-akhir ini. Mungkin itu juga yang membuat mama Erna terus-terusan mendesak Renata agar segera menikah.

Khawatir jika keinginan papa dan mamanya tak segera diwujudkan, itu akan menjadi penyesalan sekaligus neraka terdalam bagi Renata. Toh, kerja kerasnya selama ini juga untuk membahagiakan papa dan mamanya.

Namun di sisi lain Renata juga belum siap dan enggan untuk menikah.

“Gimana Renata? Kamu mau kan, menikah? Papa sama mama juga sudah menyiapkan calon yang terbaik dari yang paling baik untukmu. Tinggal menunggu kemauan dari kamu saja? hum?” giliran mama yang ikut ambil suara.

“E-eh? Calon? Maksut mama, di jodohkan gitu?” bola mata Renata sedikit terbelalak. Ia tak menyangka bahwa mama Erna akan memintanya untuk segera menikah dengan calon pilihan orang tuanya.

“Ya, iya. Supaya lebih cepat. Jangan di tunda-tunda lagi. Kalau memang kalian nanti sama-sama cocok, ya sudah kan?”

Renata tersenyum kecut sembari menunjukkan barisan giginya yang putih bersih. “Hahahaha, gak deh. Aku nggak mau ada perjodohan.”

Renata sampai harus bergidik ngeri membayangkan sebuah perjodohan yang bisa saja terjadi pada dirinya. Bagaimana kalau calon suaminya jahat? Bagaimana kalau calon suaminya memiliki fisik yang buruk?

Jangankan dijodohkan, berkencan dengan keinginan sendiri pun Renata tak pernah mau. Selain karena terlalu fokus pada pendidikannya, Renata juga terlalu pemilih soal pasangan dan teman hidup katanya.

“Terus kamu mau terus menjadi perawan tua?” tukas mama Erna yang kembali meninggikan suaranya.

Wajah Renata benar-benar masam bukan main, “Ya, enggak lah. Biar Renata cari sendiri jodohnya!” Renata mendengkus kesal. Kedua lengannya ia lipat di depan dadanya.

“Kalau begitu … mama kasih waktu satu bulan. Lebih dari itu, kamu harus siap untuk dijodohkan!”

'A-apa? Mama bener-bener ya??'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status