Share

Nikah Kontrak?

“Kenapa sih, Ren? Ada masalah?”

Riri berjalan dari arah pantry, menghampiri Renata di ruangannya. Ia mengulurkan sebuah cangkir yang berisi kopi seduh instant favoritnya.

Renata mulai mengalihkan pandangannya ke arah Riri dan hanya menggedikkan bahunya seolah memberikan sebuah jawaban tersirat atas pertanyaan Riri.

“Kopi luwak?” tanya Renata menunjuk ke arah cangkir kopi Riri.

Kini giliran Riri yang mengangguk. “Yah, seperti biasa. Kopi penghilang kantuk. Udah buruan cerita … kali aja aku bisa bantu kamu kan wahai ibu bos?”

Renata hanya menarik sudut bibirnya sekilas, “Hmm, gimana yaa … mama sama papa udah terus-terusan mendesak agar aku segera menikah. Bayangin, Ri … kalau tidak bisa mendapatkan jodoh dalam waktu satu bulan, aku harus siap untuk dijodohkan. Parah kan?”

Riri tak bisa menahan tawanya yang terlanjur meledak. “Pft! Memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Haduh, haduh…”

Bersahabat baik sejak masa putih biru membuat Riri sangat paham watak dan karakter sahabatnya itu. Renata sangat berambisi dalam pendidikan dan karir, namun sama sekali tak tertarik pada suatu hubungan. Berbeda dengan Riri yang lebih berpengalaman dalam urusan percintaan sebab memang sejak dulu ia sering putus-nyambung cinta monyet.

Dan meski usia mereka memang hanya berjarak beberapa bulan saja, namun kini Riri sudah resmi menjadi ibu dari satu orang anak yang begitu tampan. Dua tahun yang lalu, Riri memutuskan untuk menikah dengan seorang suami yang juga sahabat dekat Renata.

“Begini ya, Ibu Renata … sahabatku yang paling cantik dan sukses. Mohon maaf nih ya sebelumnya tapi menurut saya memang sudah masanya kamu buat menikah, Ren. Kamu loh sudah menjadi ibu bos di sini, sudah dipromosikan, sudah mapan juga. Tapi aku yakin ada sesuatu yang kurang dari sisi hidupmu kan?”

Pandangan Riri menjurus ke arah Renata. Ia tak ingin kehilangan kesempatan ini. sebagai seorang sahabat tentunya Riri juga ingin Renata memiliki keluarga kecil yang bahagia. Tidak harus selamanya sendiri seperti ini.

“Ah, enggak. aku sudah cukup bahagia tanpa menikah!” balas Renata dengan kedua alisnya yang terangkat.

Kini giliran Riri yang mendengkus, “Bohong! ada sisi kosong dihatimu yang harus segera di isi.”

Renata memutar bola matanya jengah. “Please, Ri … tolong bantu aku menjelaskan ke orang tuaku bahwa yaaa aku memang belum ingin menikah. Itu saja. mereka pasti akan mendengarkanmu…”

“Gini aja ya, suamiku memiliki banyak kenalan, mulai dari CEO, pengusaha, pebisnis, pejabat apalagi yaa … ah, konglomerat gitu-gitu deh. Barangkali ada yang cocok denganmu, kalian bisa langsung menikah kan?”

“Nggak, nggak perlu.”

“Sudah, jangan menolak. Daripada kamu di jodohkan? Atau …. Kamu mau mencoba nikah kontrak? Yaa, hanya untuk sementara saja. sejak tahun lalu juga aku sudah menjelaskan ke mamamu bahwa kamu belum siap menikah. Aku rasa tahun ini mereka tak akan percaya. So, tak ada salahnya kamu ikut saran dariku ini.”

Ide lain dari Riri rupanya sempat membuat Renata terdiam sejenak. Kalau di pikir-pikir, lebih baik seperti itu. Memang benar, bahwa Renata sudah tak punya alasan kuat untuk terus menunda pernikahan. Toh, pernikahan kontrak juga hanya akan berlangsung sementara saja.

“Bagaimana, Ren?”

“Ah, entahlah!” Renata menjawab sekenanya.

“Mudah kok, tapi kalian harus menjalani kencan buta dulu untuk memastikan kecocokan dan ketertarikan satu sama lain. Bagaimana?”

“Begitukah?” tanya Renata polos. Ia tak pernah mengenal istilah kencan buta sebelumnya sebab ia terlalu sibuk bersikutat dengan laptop dan lembaran kertas.

Renata hanya pernah mendengar istilah office blind date belakangan ini akibat gemparnya sebuah drama korea berjudul serupa. Sehingga banyak sekali para pegawainya yang membicarakan dan melakukan blind date atau kencan buta semacam itu.

***

“Tolong!!!”

“Dasar lelaki kurang ajar!! Argh, sial!!!”

Renata tak henti-hentinya berteriak meminta tolong kala tubuhnya digerayangi oleh seorang pria yang usianya jauh lebih dewasa dari Renata, terpaut sekitar sepuluh sampai lima belas tahun.

Semua berawal dari sebuah pertemuan yang sudah Riri susun untuk Renata. Entah ini kali keberapa Renata melakukan sebuah kencan buta atas saran dari sahabatnya.

Namun sialnya, malam ini sepertinya Renata mendapati dirinya masuk ke dalam perangkap lelaki mata keranjang yang entah bagaimana asal usulnya. Alih-alih bisa mengenal satu sama lain untuk pernikahan kontrak, yang ada justru Renata sedang membuka kuburannya sendiri dengan tindakan cerobohnya.

“Toloong!!”

“Sstt! Diamlah! Bukankah akhir dari kencan buta memang selalu seperti ini, hey?” jawab sang pria dengan menyeringai tajam, membuat Renata semakin jijik dan bergidik ngeri.

Jujur saja, Renata sudah merasakan hal yang tidak wajar kala kliennya yang satu ini menginginkan untuk melakukan pertemuan di malam hari, pun dengan permintaannya agar mereka bertemu di sebuah hotel yang bersebelahan dengan sebuah klub malam.

Sementara kencan buta sebelumnya yang sudah pernah Renata jalani kemarin, berjalan aman-aman saja tanpa ada masalah seperti ini. Ketidakcocokan adalah sebuah hal yang wajar bagi Renata dan dua pria sebelumnya.

“Aku hanya ingin menikmati tubuh ini sebentar saja, berhentilah bergerak nona maniss … parfummu, hmmm….” Pria itu kini mengendus bagian leher jenjang milik Renata.

Tentu saja Renata tak bisa tinggal diam, sejak tadi ia sudah menampar, menendang bahkan menarik dirinya sendiri untuk beranjak dari tempat tersebut namun rasanya terlalu sulit untuk mengalahkan tenaga dari lelaki ini.

“Kurang ajar! Enyahlah kamu dari sini, kau sengaja menjebakku, hah?” napas Renata mulai tersengal karena ia sudah mulai lelah menghalau serangan pria tersebut.

“Toloong!!”

‘Padahal, ini hanya di bagian luar toilet tidak merujuk pada toilet wanita atau pria. Bukankah seharusnya ada seseorang yang datang baik pria maupun wanita? Apa pria bodoh ini mengunci pintu toilet itu? Argh, sial!’

Tak ada cara lain. Renata juga kesulitan meraih ponselnya. Renata sampai bingung, mengapa tidak ada satupun orang yang datang ke toilet ini. Namun ia tak akan menyerah. Bukan Renata jika ia tak punya ide untuk melakukan sesuatu.

Sembari terus berteriak seolah mengalihkan perhatian lelaki tua itu, Renata mengambil sebuah botol sabun yang terbuat dari kaca tebal yang berada di dekat westafel. Renata juga bisa melihat dengan jelas di dalam pantulan cermin betapa dirinya saat ini benar-benar menjijikkan kala ia hampir bertelanjang dengan seorang pria yang tengah mengecup kedua dadanya dengan begitu rakus. Ia ingin melawan tapi Renata tak bisa berbuat banyak. Tenaganya hampir habis.

PRANG!!

Botol tebal tersebut Renata hantamkan dengan sekuat tenaganya ke arah kepala pria tua tersebut hingga mengucurkan darah dari arah pelipisnya. Dengan begitu, cengkramannya di tubuh Renata bisa sedikit longgar.

BRUG!

PRANG!

Renata menendang dan memukul kepala pria itu lagi untuk kedua kalinya dengan tenaga yang tersisa. Meski tidak sepenuhnya kalah, pria itu sudah cukup jatuh tersungkur sembari memegangi kepalanya yang berdarah.

“Toloong!!!”

KLAK! KLAK! KLAK!

Bersamaan dengan suara jeritan Renata, ia bisa mendengar ada seseorang yang sedang berusaha membuka secara paksa handle pintu toilet ini.

“Ada orangkah di sana?” terdengar seseorang yang berbicara dari arah luar pintu toilet.

Renata segera berlari mendekat ke arah pintu dan berusaha memutar kuncinya. Berharap akan ada seseorang yang akan datang membantunya.

Namun kini rambut indah Renata menjadi sasaran lelaki itu. Renata di jambak dan ditarik hingga tubuhnya menghantam permukaan pintu yang cukup runcing.

“Dasar jalang!!”

“Argh!” rintih Renata kesakitan. Sikunya mengeluarkan darah segar yang cukup banyak. Wajahnya juga terlihat lebam meski tak begitu banyak.

“Woi!!! Ada apa ini!!”

Tanpa Renata sadari, keberuntungan masih memihak kepadanya. Rupanya Renata sebelumnya sudah sempat membuka kunci pintu utama toilet meski ia belum sempat menarik daun pintunya.

Hingga ada seseorang lain yang masuk dan melihat tindakan bejat lelaki tua itu terhadap Renata.

“Ada apa ini??”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status