"Ini mobil siapa, Mas? tanyaku heran setelah mobil berjalan meninggalkan rumah orang tuaku. "Mobil kita, gimana kamu suka?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Darimana Mas punya uang membeli mobil ini?" tanyaku kaget. Ya harga mobil ratusan juta, dengan gaji Mas Andre tidak mungkin dia bisa membeli mobil. "Mas mengambil pinjaman di Bank, ini juga atas permintaan Mama," ucapnya tersenyum. "Apa?" kataku kaget, tiba-tiba saja mendadak kepalaku pening. Baru saja Mas Andre setuju tentang pembagian jatah belanja, sekarang malah menambah masalah lagi. Sepertinya selama masih tinggal berdekatan dengan mertua, masalah akan terus timbul. Aku menghembuskan nafas kasar, bodohnya aku kenapa tidak kutanyakan dulu tentang mobil ini. Kupikir hanya jatah belanja saja yang perlu diperbaiki tapi kini ... Bagaimana nanti Mas Andre membayar angsuran perbulannya. "Mas, kamu kok nggak bilang-bilang aku sih kalo mau beli mobil?" tanyaku protes. "Abisnya kamu kan di rumah orang tuamu. Aku nggak enak
Aku tidak menggubrisnya, lalu berjalan ke bagasi mengambil koper. Kentara kali kelakuan mbak Rina seperti orang kampung, yang tak pernah punya mobil. Bisanya cuma mengatai aku orang kampung, kini yang terlihat malah sebaliknya.Setelah menurunkan koper lalu menyeretnya masuk ke dalam rumah. Mbak Rina masih sibuk mengelus mobil diikuti Mama. Aku berbalik melihat mereka dan menatap sinis. Baru mobil sedan saja sudah belagu, masih kalah dengan mobilku. Oh ya kemarin waktu pulang aku menaiki mobil yang dijemput Nova. Mungkin karena itu Mama minta Andre membeli mobil. Aku mengernyitkan dahi, apa Mama curiga kalo itu mobilku? Tapi dia tidak ada mengatakan soal itu, ah semoga saja Mama tidak tau dan anggap itu mobil online yang menjemputku. "Ratih!" teriak Mas Andre dari dalam rumah. Bergegas aku masuk, gegara terus memperhatikan duo resek itu aku jadi kelamaan masuk rumah. Langkahku terhenti kala masuk kamar, Mas Andre sudah berdiri dengan tatapan marah. "Kenapa lama kali, hah? Apa ka
"Baik, Bu. Akan Nova laksanakan, oh ya Bu. Entah ibu mau dengar ini atau nggak," kata Nova gugup. "Katakan aja, Nov," kilahku. "Itu, Bu. Anu ...," Nova tergagap. "Anu apa Nov? Bilang aja, saya nggak marah," kataku tegas. "Itu, Bu. Selama ibu di kampung, bapak beberapa kali ke restoran makan," ucap Nova perlahan menanti reaksiku. "Trus? Apa bapak tau kalo itu restoran saya?" tanyaku cemas. Jangan-jangan Mas Andre sudah mengetahui bahwa aku yang memiliki restoran itu. Gawat, bisa habis diporoti mereka nanti. "Bu, kok diam? Ibu nggak senang bapak makan di restoran?" tanya Nova bingung. "Nggak, saya nggak masalah. Lalu apa yang salah?" tanyaku masih tak mengerti. "Bapak ke restoran dengan wanita, Bu." Deg! Benarkah? Berarti pesan dan panggilan di ponsel Mas Andre benar. Kalo Mas Andre telah selingkuh dan sudah berani jalan ke restoranku. Dengan wanita? "Nov, apakah CCTV restoran aktif saat itu?" tanyaku penasaran ingin tau seperti apa wanita itu. "Aktif, Bu. Setiap buka sampa
Wanita itu mengirimkan fotonya yang tanpa sehelai benangpun. Aku jijik melihatnya, begitu murahnya memperlihatkan auratnya di depan suami orang. Tunggu, aku masih ingat pesan yang wanita itu bilang kalo Mas Andre lihai. Jadi mereka sudah saling menikmati tubuh satu sama lain. Di mana mereka melakukannya, aku harus cari tau. Tak ingin ketahuan segera kumasukkan ponsel ke saku dan membuka dompet Mas Andre. Ada foto yang menyelip di dalamnya tapi masih setengah wajah. "Ada? Kok lama banget ngambil uang segitu aja, hah! Dasar lelet," ejeknya sambil merampas dompet dari tanganku. Aku cuma terdiam dan sedikit kaget tadi. Mas Andre suka tiba-tiba datang. Untunglah aku tidak ketahuan, mengatur debaran jantung agar aku tak pingsan. Lama-lama aku bisa kena serangan jantung. "Ini," kata Mas Andre menyerahkan lima puluh ribu. "Mana cukup, Mas! Kan Mas bilang juga untuk Mama dan mbak Rina," protesku. Mas Andre mendelik. "Sudah biar aku yang bayar, ntar kamu bohong dan menyimpan kembaliannya,
"Siapa yang datang, Ratih?" tanya Mas Andre begitu aku masuk ke rumah. "Awalnya aku nggak tau, ditanya baik-baik jawabnya malah ketus," kataku sebal. "Iya, tapi siapa sampai muka kamu manyun gitu?" Mas Andre menaikkan alisnya. "Lihat sendiri sana di rumah Mama, aku nggak kenal. Tadi Mama cuma manggil Mbakyu," jawabku acuh. Seketika raut wajah Mas Andre berubah pias. Aku yang melihat heran, kenapa Mas Andre begitu shock mendengarnya. Begitu menakutkan kah bagi suamiku wanita tua itu? Entahlah, aku tak peduli. Asal dia tidak ikut campur urusan kami saja sudah cukup. Mas Andre berjingkat pelan menuju jendela, mengamati rumah Mama. Aku yang penasaran ikut mengintip di belakangnya. Terdengar deru nafas yang berulang dari Mas Andre, entah apa yang dipikirkannya. Setelah dirasa aman, Mas Andre berbalik badan. Namun, dia terkejut saat membalik aku sudah berdiri tepat di depan. "Aaaaarrgh," teriaknya kaget. "Apa sih, Mas. Kok teriak-teriak?" tanyaku kesal, aku juga kaget mendengar teri
"Mana Andre?" tanyanya. "Ada dikamar, Tan. Lagi tidur," jawabku. "Bangunkan, Tante mau bicara!" pintanya. Aku mengangguk kemudian masuk kamar, Mas Andre masih juga mendengkur. Apa dia tak mendengar hempasan pintu dan suara teriakan Tante tadi. Huh, entah hewan apa yang bersarang di telinganya. "Mas, bangun! Ada Tante itu, dia mau ngomong sama Mas," kataku mengguncang tubuhnya. "Hum, apa sih! Ganggu orang tidur aja," bentaknya kesal. Bibirku dekatkan di telinga Mas Andre. "Mas, Tantemu itu mau bicara. Dia udah nunggu di ruang tamu," ucapku sedikit keras. "Apa?" sontaknya kaget lalu terbangun. "Ngapain?" Masih mulu tanya tanpa beranjak. Aku mengedikan bahu tanda tak tau, lalu berjalan keluar di ikuti Mas Andre yang sedikit salah tingkah. Tante mendelik melihat kami, lalu memberi isyarat duduk. "Sini, duduk! Tante mau bicara," ujarnya pada suamiku. "Ada apa, Tan?" "Besok, antar Tante menemui kenalan Tante. Dia punya anak gadis cantik, kerja di kantor juga seperti kamu," kata
Selesai sholat, aku tidak melihat kemana Mas Andre. Mencari seluruh sudut rumah tapi tak menemukannya. Saat keluar teras, mataku terarah ke rumah Mama. Ada sosok pria yang berdiri di balik jendela samping rumah mertua. Bukankah itu Mas Andre? Ngapain dia berdiri di gelap-gelapan? Penasaran aku pun mendekatinya, dengan berjinjit menuju Mas Andre. Terlihat dia sedang menempelkan telinganya ke jendela. Ya dari sana terdengar jelas, karena jendela itu tidak pernah di tutup Mama sebelum tidur. Suara Tante dan Mama yang berbincang menggelitik untuk didengar. Aku berdiri di belakang Mas Andre tanpa sepengetahuannya. "Mbak, aku nggak yakin Andre mau datang ke perjodohan itu," ucap Mama resah. "Kamu tenang aja, Yan! Mbak yakin Andre nggak bakal nolak, apalagi istri kampungannya itu udah dukung kita," jawab Tante percaya diri. "Tapi, bisa aja kan istri Andre berubah. Sapa tau tadi dia hanya berpura-pura. Selama ini dia nggak pernah manja seperti itu!" sahut Mama putus asa. "Sudahlah, ng
Terpaksa aku duduk dibelakang, berhimpitan dengan Mama dan mbak Rina. Apalagi mbak Rina membawa serta anaknya. Jadilah mobil itu penuh sesak. Mama dan mbak Rina mendelik melihatku dan mereka terus mendorongku hingga aku terjepit di sisi jendela mobil. Sebal, namun aku harus bisa bersabar. Lagipula ini ide ku sendiri jadi aku harus merasakan susah payah. Setengah jam di jalan, akhirnya sampai juga disebuah restoran mewah. Lagi-lagi di restoran milikku pertemuannya. Aku menggeleng, dunia ini begitu sempit. Hanya berputar-putar ke arah situ aja, kenapa semua selalu berhubung ke restoran ku. Namun, aku cemas jika para karyawan mengenaliku, bagaimana ini. Aku harus menghubungi Nova. Begitu mereka sudah keluar dari mobil dan masuk, aku memutuskan jalan paling belakang pura-pura lagi sakit perut. "Tuh kan, tadi Mama bilang apa. Suruh dirumah tapi nekat ikut, rasain sekarang kamu!" ejek Mama. "Sudah, biar aja dia. Lebih bagus dia nggak menampakkan wajahnya, dasar udik!" Tante melengos m