Share

Pergi

"Suami? Suami macam apa, Mas? Selama ini aku sudah diam dan mengalah Mas perlakukan. Aku masak untuk Mama dan Mbak Rina enggak protes, Mas pangkas uang belanja pun aku mengalah. Tapi kini Mas tampar aku, itu enggak bisa kutolerir lagi. Sekarang biarkan aku pergi!" teriakku kesal. 

"Maafkan Mas, Ratih! Mas khilaf tadi, Mas enggak sadar menamparmu." Mas Andre terus berkata menyesal, tapi kesabaranku sudah habis. 

"Biarkan aku pergi, Mas. Atau kulaporkan ke polisi atas kekerasan yang Mas lakukan tadi," ancamku.  

Mas Andre kulihat ciut nyalinya, perlahan mulai melepaskan cengkraman tangannya. Antara takut dan tidak ingin berpisah denganku, masa' bodoh dengan sikapnya. Yang penting aku harus segera keluar dari rumah ini. 

"Baiklah, jangan lapor polisi. Kamu pulang saja kerumah orang tuamu, tenangkan diri. Setelah tenang baru Mas jemput ya!" ujarnya merayu. 

"Aku enggak janji ya, Mas! Selama sikapmu belum berubah, aku enggak akan balik lagi ke sini. Ingat, urus baik-baik mama dan kakakmu itu. Nasehati mereka agar jangan suka memfitnah dan menjelekkan aku lagi di depan tetangga," kataku sambil keluar kamar. 

Aku menyeret koper dengan sejuta perasaan bercampur satu. Mas Andre cuma terduduk diam di kamar, mungkin masih shock dan tidak percaya oleh ucapanku barusan. 

Saat keluar dari teras rumah kulihat mama dan Mbak Rina berdiri dengan tatapan senang. Mereka merasa menang telah menyingkirkanku, senyum itu tersungging di bibir mereka setelah melihatku menyeret koper. Mungkin mereka pikir Andre yang telah mengusirku, padahal aku sendiri yang ingin pergi. 

Aku malas menghiraukan mereka dan tetap meneruskan langkah menuju pintu pagar. Karena pintu pagar pas di depan rumah mertua, otomatis aku melewati mereka. 

"Duh, kasihannya! Akhirnya diusir juga sama Andre, baru tau rasa kamu 'kan!" ejek Mbak Rina. 

"Eh, Ratih mau ke mana? Mau pulang kampung ya! Kenapa, apa kamu sudah bosan disini? Baguslah, pulang aja sono. Dasar orang kampung, sudah miskin bisanya ngabisi uang suami!" sindir Mama. 

"Iya, Ma. Hahahaha ... Akhirnya kita bisa lega sekarang, enggak ada lagi saingan kita untuk meminta uang Andre," Mbak Rina tertawa tanpa dia sadari sudah membuka kedok dia sendiri. 

Aku yang terus dijelekkan menghentikan langkah, lalu mendekati mereka. 

"Kelihatannya kalian senang ya aku diusir! Kalian harus tau, Andre enggak mengusir, tapi aku sendiri yang ingin pergi. Aku sudah muak melihat tampang kalian, selamat ya semoga kalian bersenang-senang dengan uang Andre. Dan kuharap Andre tidak melarat nanti,"  kataku sinis. 

"Dan satu lagi Mama, jangan ulangi lagi perbuatan Mama yang suka ngompori dan fitnah aku di depan tetangga. Apa kalian pikir aku enggak tau kalo kalian yang sudah menghasut Mas Andre. Aku sudah mendengarkan rencana kalian, tapi selama ini aku hanya diam karena memandang anak Mama. Namun, Mas Andre juga tak bisa diharapkan. Jadi jangan salahkan aku kalo kemudian hari kalian akan menyesal, camkan itu!" ancam lku tegas sambil berlalu pergi. 

Begitu aku membuka pintu gerbang, Nova sudah menjemputku. Ya, sebelum keluar rumah aku ada menelepon Nova. 

"Halo, Nova! Jemput saya sekarang pakai mobil ya, jangan lama-lama kamu sudah harus sampai 10 menit," titahku. 

"Iya, ya Bu. Nova akan tiba dalam 10 menit," balas Nova kaget, mematuhi walaupun tidak mengerti ada apa. 

Nova keluar dari mobil dan membuka pintu setelah melihatku keluar. Mama dan Mbak Rina hanya melongo, terlebih saat Nova berbicara dan menunduk hormat padaku. 

"Masuk, Bu! Kita akan kemana?" tanya Nova. 

"Antar aku kerumah orang tuaku!" pintaku sambil masuk ke dalam mobil. 

Nova memasukkan koper ke bagasi mobil, lalu masuk ke mobil di belakang setir. Sebelum mobil berjalan, aku membuka kaca mobil dan tersenyum menyeringai pada mama dan Mbak Rina yang tetap memandang tak berkedip. 

Mobil berjalan perlahan meninggalkan rumah mertua dan suami yang egois itu. Kini aku bisa bernafas lega, bisa keluar dari rumah yang seperti neraka. Setidaknya aku bisa total mengurus restoranku. Usaha yang akan terus kuperjuangkan untuk modal dan nafkah hidup. 

Aku menghela nafas, mengingat kejadian tadi. Aku masih tidak percaya Mas Andre telah menamparku, dia telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kemana nuraninya sekarang, hanya dalam beberapa bulan saja Mas Andre sudah banyak berubah. 

Awalnya aku tidak khawatir kalo cuma mertua dan ipar yang tidak menyukaiku. Tanpa kuduga mama telah merencanakan sesuatu yang jahat. mama menghasut Mas Andre agar menyakitiku, huh mertua dan ibu macam apa yang tega merusak rumah tangga anaknya. 

Untunglah saat itu, aku mendengar rencana mereka saat tidak sengaja membuang sampah di belakang rumah. Kebetulan belakang rumah agak menyatu jadi aku bisa mendengar sedikit. Dahiku mengernyit saat mendengar cekikan kedua wanita rese itu, penasaran aku segera menguping. 

Aku terkejut begitu mendengarnya dan perlahan mundur dan masuk ke rumah. Aku mulai menyusun rencana dan memikirkan apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba aku mendapat ide, aku akan berpura-pura diam saja dan tidak mengetahui rencana mereka. 

Imbasnya aku takut simpananku akan ketahuan jadi aku inisiatif membuka restoran. Mulanya berjalan cukup berat, aku mencari orang yang berpengalaman mengurus restoran. Untunglah aku bertemu Nova, ya dialah yang bisa diandalkan mengurus restoran. 

Hingga dalam beberapa bulan, pemasukan restoran berkembang pesat. Atas saran Nova juga mendatangkan ahli masak yang lezat. Ahli masak itu masih merupakan kenalan Nova. Jadi tidak butuh lama, restoran mulai terkenal. 

Ramainya pengunjung sampai membludak membuatku sangat senang. Sesekali aku mengecek dan mengawasi restoran, itupun setelah aku diam-diam pergi dari rumah. Dengan alasan belanja aku mampir ke restoran, jadi mama dan Mbak Rina tidak curiga. 

Alhamdulillah, hasil pendapatan dari restoran itu aku belikan mobil. Untuk memudahkan bila sewaktu-waktu diperlukan. Mengingat sikap mama dan Mbak Rina yang mata duitan, membuatku tak tenang menyimpan mobil di rumah. Jadi, aku menitipkan pada Nova dan disimpan dalam garasi restoran. 

Mobil menderu dan perlahan mesinnya mati. Nova menegurku, "Bu, kita sudah sampai!" 

"Oh ya, Alhamdulillah!" sahutku. 

Tak terasa sudah sampai saja di rumah bapak dan ibu. Berarti sepanjang perjalanan aku melamun terus, aku segera keluar dari mobil. Kulihat kiri kanan keadaan sepi, sebentar lagi adzan Maghrib. 

"Nova, kamu Maghrib di sini dulu. Setelah makan baru pergi, tolong kamu handle restoran, saya mau menenangkan diri dulu," kataku seraya berjalan masuk menuju rumah. 

"Baik, Bu!" jawab Nova sambil mengambil koperku di bagasi. 

Nova menurunkan koper di teras, begitu sampai di depan pintu aku mengetuk. 

Tok ... Tok ... 

"Assalamualaikum, Bu!" kataku sedikit kuat. 

"Wa'alaikumussalam," jawab suara dari dalam. 

Tidak lama terdengar pintu dibuka, begitu menyembul kepala dari pintu. Menatap heran padaku. 

"Ratih? Kamu akhirnya pulang, Nak," kata ibu menghambur memelukku. 

"Iya, Bu. Ratih pulang!" jawabku membalas pelukan ibu. 

"Ya Allah, Nak. Ibu dan Bapak kangen banget. Sama siapa kemari? Mana Andre?" tanya Mama celingukan mencari Mas Andre. 

"Mas Andre e ggak ikut, Ratih sama asisten Ratih ini. Nova sini, Salami ibuku," pintaku pada Nova. 

Nova berjalan mendekati ibu, kemudian mencium tangan dengan takzim. "Nova, Bu!" 

"Iya, Nak. Lalu naik apa kalian ke sini?" tanya ibu lagi. 

"Tuh, naik mobil," sahutku sambil menunjuk mobil yang terparkir di halaman rumah ibu yang cukup luas. 

"Mobil siapa, Nak?" 

"Mobil Ratih, Bu!" Aku tersenyum melihat ibu melongo. 

"Masya Allah, kamu sudah punya mobil. Sayang banget Andre hingga belikan mobil buat kamu, Nak," ucap ibu terharu. 

Aku menggeleng, sampai saat ini ibu masih menyangka menantunya itu pria baik dan sayang pada anaknya tanpa ibu ketahui anak ibu sudah menderita selama ini. Aku menitikkan air mata sedih. 

"Loh, kok kamu nangis, Nak? Ya sudah masuk dulu, Nak Nova ayo masuk juga!" pinta ibu sambil menggandeng tanganku masuk kedalam rumah. 

Aku melihat isi rumah tidak berubah, masih seperti dulu saat aku belum menikah. Rumah sederhana namun sangat nyaman kurasakan karena bapak dan ibu selalu melimpahkan kasih sayang. 

"Ayo, sholat dulu ya! Sudah adzan Maghrib. Nanti kita lanjutkan obrolannya!" pinta ibu yang aku dan Nova balas dengan anggukan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status