Share

Pov Andre

"Ma, buatkan aku teh manis dong sama belikan sarapan!" teriakku begitu masuk ke rumah Mamaku. 

Ya rumah Mama memang bersebelahan dengan rumahku, jadi kalo ada apa-apa aku bisa mengadu ke Mama. Kulihat Mama sedang duduk santai menonton TV, Mbak Rina paling masih di kamar belum bangun. 

Aku yang sudah hafal kebiasaan kakakku itu tak pernah memarahinya, mungkin saja dia capek mengurus anaknya yang sedang aktifnya. Suami Mbak Rina jarang pulang, pekerjaan yang menuntut suaminya untuk seminggu sekali pulang. Dikarenakan jarak jauh, sayang ongkos pulang balik. 

Begitu melihatku masuk dengan wajah masam, Mama seperti biasa sudah paham. Bukan sekali ini saja aku mengadu, kalo sudah begitu Mama semakin mendukung sikapku. 

"Kenapa? Ratih nggak buat teh manis lagi?" tanya Mama yang ku balas anggukan. 

"Istri kamu itu jangan dimanja, sekali-kali diberi pelajaran biar sadar. Sebagai istri sudah berani melawan suami. Lebih baik kamu ceraikan aja!" kata-kata Mama membuatku terkejut. 

Jujur, walaupun aku sering kesal pada Ratih tapi tidak ada niatku untuk menceraikannya. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada Ratih, biar dia bisa hemat dalam pengeluaran. 

Dulu aku begitu bodoh, memberikan Ratih uang belanja lima ratus ribu seminggu. Setelah Mama dan Mbak Rina bilang kalo Ratih menghamburkan uang belanja dan jarang masak. Apalagi setelah kebiasaan Ratih itu sudah jadi gosip seluruh kampung, sebagai suami aku pun malu. 

Ratih semakin melawan dan keterlaluan saat aku pangkas uang belanjanya menjadi lima puluh ribu seminggu. Aku hanya ingin Ratih bisa lebih menghargai uang jerih payahku. Daripada dihamburkan lebih baik di tabung, ataupun buat masak untuk mengenyangkan perut Mama dan Mbak Rina.

Awalnya Ratih keberatan kalo harus memasak untuk semua orang, tapi setelah ku jelaskan Ratih hanya diam. 

"Dek, kamu kan Mas kasih uang lima ratus seminggu itu udah banyak untuk kita berdua. Bagaimana kalo kamu masak banyak untuk makan Mama dan mbak Rani juga anaknya?" tanyaku meminta pendapatnya. 

"Loh, Mbak Rina 'kan bisa masak sendiri, Mas! Apalagi dia udah punya suami dan anak, kalo untuk Mama aku nggak masalah," jawab Ratih protes. 

"Kamu nggak usah perhitungan sama Mbak Rina kasihan dia. Suaminya jarang pulang dan dia nggak ada uang untuk masak," kataku memarahi Ratih. 

"Mana mungkin nggak ada uang, Mas. Lah wong suaminya kan kerja, apa pulang nggak bawa duit? Lagian Mbak Rina juga banyak memakai perhiasan," ucap Ratih tetap ngotot tak terima. 

"Sudahlah, bagaimanapun dia itu kakak kandungku. Dia nggak sempat masak karena anaknya sering rewel, kalo di suruh suami itu jangan membantah!" bentak ku pada Ratih. 

Ratih cuma diam, tanpa menjawab langsung masuk kamar membanting pintu. Tak sekalipun kulihat dia menangis, itulah yang ku suka darinya. Ratih begitu tegar, mungkin juga didikan dari orang tuanya. Karena itu sikapnya jadi suka membantah padaku. 

"Ma, Andre nggak mungkin menceraikan Ratih, Andre masih mencintainya. Pernikahan kami baru berjalan setahun, apa kata orang nanti. Apalagi Andre udah berjanji pada mertua untuk membahagiakan Ratih," ucapku tegas agar Mama mengerti. 

"Kamu terlalu bucin sama Ratih, apa kamu nggak tau kebiasaannya? Dia itu suka menghamburkan uang belanja, Mama sering lihat dia pergi keluar, pulang bawa banyak barang. Yang lebih parah kami nggak dikasih makan, katanya nggak masak!" jawab Mama sewot. 

Aku yang mulanya tidak percaya kata Mama, tapi setelah mendengar sendiri dari tetangga aku pun jadi malu. Kok bisanya Ratih berbuat seperti itu, tanpa pernah bicara padaku. Apa dia tidak menganggap aku sebagai suaminya, gerutu ku sebal. 

Tanpa bertanya pada Ratih, aku memberinya lima puluh ribu. Seperti dugaan ku dia akan protes, tapi aku paksa saja Ratih. 

"Mas, ini apa?" tanyanya saat itu. 

"Untuk uang belanja, ingat dihemat!" pintaku. 

"Ya Allah, nggak salah Mas ngasih segini? Biasakan lima ratus kok jadi lima puluh?" ujarnya tak mengerti. 

"Sudahlah, ambil aja. Terserah bagaimana kamu mengaturnya, yang penting itu harus cukup untuk seminggu," kataku sambil berlalu pergi. 

"Mas, ambil kembali. Uang segini bahkan tak cukup untuk beli beras, kan Mas sendiri yang nyuruh aku masak untuk Mama dan mbak Rani!" teriaknya emosi. 

"Aku nggak mau tau, pokoknya kudu cukup. Kalo kamu nggak mau, Mas akan ambil lagi uang itu!" ancam ku yang membuat Ratih semakin marah, kulihat wajahnya sudah memerah. 

"Baiklah, kalo itu mau Mas. Jangan salahkan kalo aku berhutang nanti di warung," jawabnya sambil masuk ke kamar. 

Aku tak memperdulikannya, hari juga sudah siang daripada ribut terus sebaiknya aku berangkat kerja agar tak terlambat. Walaupun aku tak sarapan tapi tetap bisa makan diluar, karena jatah belanja udah berkurang jadi uang belanja itu bisa kupakai buat keperluanku sendiri. 

"Andre, dirumah Mama ada gula tapi Mama nggak masak. Kamu beli sendiri sana sarapannya, beli tiga ya sekalian sama kakakmu," pinta Mama. 

"Baiklah, Ma. Andre keluar sebentar beli sarapan," sahutku. 

Keluar dari rumah Mama, melihat sebentar kesamping. Ratih tidak keluar, paling masih sibuk di dapur. Aku juga tak peduli Ratih sarapan atau tidak, hatiku terlanjur kesal dibuatnya. Ah, sebaiknya aku segera beli sarapan. 

Untung saja warung sarapan tidak terlalu ramai, sembari menunggu giliran aku di tegur oleh Bu Widya. 

"Eh, ada Nak Andre. Beli sarapan ya!" tanyanya. 

"Iya, Bu!" jawabku pendek. 

"Emang kemana Ratih, kok bukan dia yang beli sarapan? Enak bener jadi istri, udah suami yang cari duit beli sarapan juga kamu," kata Bu Widya kasihan. 

"Nak Andre, si Ratih itu jangan dibiarkan ntar ngelunjak loh. Apalagi Mama kamu sering cerita sama kami kalo Ratih itu suka boros belanja barang yang nggak penting. Bukannya masak untuk mertua malah mikirkan diri sendiri," cerocos Bu Widya tanpa berhenti. 

Aku hanya diam, karena sudah terlanjur malu segera bergegas agar penjual melayani. "Bu, lontong sayurnya tiga bungkus ya!" 

"Baiklah, bentar ya!" jawab Bu Ida penjual lontong. 

Setelah menyerahkan uang, aku pun pulang tanpa permisi pada Bu Widya. Bukannya tak sopan tapi wajahku sudah seperti kepiting rebus. Awas kamu ya Ratih, gara-gara kamu suamimu jadi harus malu. 

Sampai di rumah Mama, dengan kesal aku hempaskan bokongku di kursi. Mama yang baru keluar membuat teh manis heran. "Loh kenapa?" 

"Mama lihat, gara-gara Ratih Andre jadi malu," ujarku sambil menggebrak meja. 

"Kenapa malu?" tanya Mama lagi. 

"Ya apalagi kalo bukan kebiasaannya belanja boros itu, tadi Bu Widya mengatai Ratih seperti itu. Andre pun jadi nggak berani angkat wajah Andre. Kenapa Ratih nggak mau bilang sama Andre, sih?" 

"Mana mungkin dia bilang, pasti kamu nggak setuju. Makanya, kamu beri dia sedikit aja uang belanja kalo perlu lima puluh ribu," titah Mama yang belum aku pikirkan. 

"Apa nggak sedikit lima puluh ribu, Ma? Nanti kalo nggak cukup, kalian nggak bisa makan gimana?" tanyaku kurang setuju. 

"Ya kamu paksa aja, bilang sama Ratih harus cukup. Kalo kamu kasihan sama kami bisa beri uang belanja itu sama Mama dan kakakmu. Jadi kalo Ratih nggak masak, kami masih bisa makan," saran Mama. 

Setelah ku pikir-pikir bagus juga ide Mama, ah kenapa aku tak terpikir. Aku pun senyum-senyum sendiri. 

Usai sarapan, aku pamit hendak berangkat kerja. Mbak Rani yang dengar aku beli sarapan segera bangun dan ikut sarapan bersama. Mereka mengantarkan aku sampai teras rumah, kulihat Ratih sedang menyapu teras rumah kami. 

Aku yang masih kesal pura-pura tak melihat Ratih dan sengaja membuka dompet lalu memberikan uang jajan untuk Mama dan mbak Rani. Sengaja aku berbuat begitu, agar Ratih tidak membantah lagi. Saat aku menghidupkan motor, dari spion motor terlihat wajah Ratih yang sendu. Dalam hati aku puas, rasakan itu Ratih!

*Ih, gemas ya melihat Andre apalagi Mamanya, tanpa sepengetahuan Andre, Mamanya yang telah membuat dia dan istrinya bertengkar. Pasti kepo kan apa alasan Mamanya berbuat itu? Selanjutnya kita tau dari POV Mama ya , ikuti terus 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ahmad Sanusi
gk seru ceritanya gk bagus samasekali maaf
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Parah lu percaya gitu aj padahal ndak ada bukti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status