"Ma, buatkan aku teh manis dong sama belikan sarapan!" teriakku begitu masuk ke rumah Mamaku.
Ya rumah Mama memang bersebelahan dengan rumahku, jadi kalo ada apa-apa aku bisa mengadu ke Mama. Kulihat Mama sedang duduk santai menonton TV, Mbak Rina paling masih di kamar belum bangun. Aku yang sudah hafal kebiasaan kakakku itu tak pernah memarahinya, mungkin saja dia capek mengurus anaknya yang sedang aktifnya. Suami Mbak Rina jarang pulang, pekerjaan yang menuntut suaminya untuk seminggu sekali pulang. Dikarenakan jarak jauh, sayang ongkos pulang balik. Begitu melihatku masuk dengan wajah masam, Mama seperti biasa sudah paham. Bukan sekali ini saja aku mengadu, kalo sudah begitu Mama semakin mendukung sikapku. "Kenapa? Ratih nggak buat teh manis lagi?" tanya Mama yang ku balas anggukan. "Istri kamu itu jangan dimanja, sekali-kali diberi pelajaran biar sadar. Sebagai istri sudah berani melawan suami. Lebih baik kamu ceraikan aja!" kata-kata Mama membuatku terkejut. Jujur, walaupun aku sering kesal pada Ratih tapi tidak ada niatku untuk menceraikannya. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada Ratih, biar dia bisa hemat dalam pengeluaran. Dulu aku begitu bodoh, memberikan Ratih uang belanja lima ratus ribu seminggu. Setelah Mama dan Mbak Rina bilang kalo Ratih menghamburkan uang belanja dan jarang masak. Apalagi setelah kebiasaan Ratih itu sudah jadi gosip seluruh kampung, sebagai suami aku pun malu. Ratih semakin melawan dan keterlaluan saat aku pangkas uang belanjanya menjadi lima puluh ribu seminggu. Aku hanya ingin Ratih bisa lebih menghargai uang jerih payahku. Daripada dihamburkan lebih baik di tabung, ataupun buat masak untuk mengenyangkan perut Mama dan Mbak Rina.Awalnya Ratih keberatan kalo harus memasak untuk semua orang, tapi setelah ku jelaskan Ratih hanya diam. "Dek, kamu kan Mas kasih uang lima ratus seminggu itu udah banyak untuk kita berdua. Bagaimana kalo kamu masak banyak untuk makan Mama dan mbak Rani juga anaknya?" tanyaku meminta pendapatnya. "Loh, Mbak Rina 'kan bisa masak sendiri, Mas! Apalagi dia udah punya suami dan anak, kalo untuk Mama aku nggak masalah," jawab Ratih protes. "Kamu nggak usah perhitungan sama Mbak Rina kasihan dia. Suaminya jarang pulang dan dia nggak ada uang untuk masak," kataku memarahi Ratih. "Mana mungkin nggak ada uang, Mas. Lah wong suaminya kan kerja, apa pulang nggak bawa duit? Lagian Mbak Rina juga banyak memakai perhiasan," ucap Ratih tetap ngotot tak terima. "Sudahlah, bagaimanapun dia itu kakak kandungku. Dia nggak sempat masak karena anaknya sering rewel, kalo di suruh suami itu jangan membantah!" bentak ku pada Ratih. Ratih cuma diam, tanpa menjawab langsung masuk kamar membanting pintu. Tak sekalipun kulihat dia menangis, itulah yang ku suka darinya. Ratih begitu tegar, mungkin juga didikan dari orang tuanya. Karena itu sikapnya jadi suka membantah padaku. "Ma, Andre nggak mungkin menceraikan Ratih, Andre masih mencintainya. Pernikahan kami baru berjalan setahun, apa kata orang nanti. Apalagi Andre udah berjanji pada mertua untuk membahagiakan Ratih," ucapku tegas agar Mama mengerti. "Kamu terlalu bucin sama Ratih, apa kamu nggak tau kebiasaannya? Dia itu suka menghamburkan uang belanja, Mama sering lihat dia pergi keluar, pulang bawa banyak barang. Yang lebih parah kami nggak dikasih makan, katanya nggak masak!" jawab Mama sewot. Aku yang mulanya tidak percaya kata Mama, tapi setelah mendengar sendiri dari tetangga aku pun jadi malu. Kok bisanya Ratih berbuat seperti itu, tanpa pernah bicara padaku. Apa dia tidak menganggap aku sebagai suaminya, gerutu ku sebal. Tanpa bertanya pada Ratih, aku memberinya lima puluh ribu. Seperti dugaan ku dia akan protes, tapi aku paksa saja Ratih. "Mas, ini apa?" tanyanya saat itu. "Untuk uang belanja, ingat dihemat!" pintaku. "Ya Allah, nggak salah Mas ngasih segini? Biasakan lima ratus kok jadi lima puluh?" ujarnya tak mengerti. "Sudahlah, ambil aja. Terserah bagaimana kamu mengaturnya, yang penting itu harus cukup untuk seminggu," kataku sambil berlalu pergi. "Mas, ambil kembali. Uang segini bahkan tak cukup untuk beli beras, kan Mas sendiri yang nyuruh aku masak untuk Mama dan mbak Rani!" teriaknya emosi. "Aku nggak mau tau, pokoknya kudu cukup. Kalo kamu nggak mau, Mas akan ambil lagi uang itu!" ancam ku yang membuat Ratih semakin marah, kulihat wajahnya sudah memerah. "Baiklah, kalo itu mau Mas. Jangan salahkan kalo aku berhutang nanti di warung," jawabnya sambil masuk ke kamar. Aku tak memperdulikannya, hari juga sudah siang daripada ribut terus sebaiknya aku berangkat kerja agar tak terlambat. Walaupun aku tak sarapan tapi tetap bisa makan diluar, karena jatah belanja udah berkurang jadi uang belanja itu bisa kupakai buat keperluanku sendiri. "Andre, dirumah Mama ada gula tapi Mama nggak masak. Kamu beli sendiri sana sarapannya, beli tiga ya sekalian sama kakakmu," pinta Mama. "Baiklah, Ma. Andre keluar sebentar beli sarapan," sahutku. Keluar dari rumah Mama, melihat sebentar kesamping. Ratih tidak keluar, paling masih sibuk di dapur. Aku juga tak peduli Ratih sarapan atau tidak, hatiku terlanjur kesal dibuatnya. Ah, sebaiknya aku segera beli sarapan. Untung saja warung sarapan tidak terlalu ramai, sembari menunggu giliran aku di tegur oleh Bu Widya. "Eh, ada Nak Andre. Beli sarapan ya!" tanyanya. "Iya, Bu!" jawabku pendek. "Emang kemana Ratih, kok bukan dia yang beli sarapan? Enak bener jadi istri, udah suami yang cari duit beli sarapan juga kamu," kata Bu Widya kasihan. "Nak Andre, si Ratih itu jangan dibiarkan ntar ngelunjak loh. Apalagi Mama kamu sering cerita sama kami kalo Ratih itu suka boros belanja barang yang nggak penting. Bukannya masak untuk mertua malah mikirkan diri sendiri," cerocos Bu Widya tanpa berhenti. Aku hanya diam, karena sudah terlanjur malu segera bergegas agar penjual melayani. "Bu, lontong sayurnya tiga bungkus ya!" "Baiklah, bentar ya!" jawab Bu Ida penjual lontong. Setelah menyerahkan uang, aku pun pulang tanpa permisi pada Bu Widya. Bukannya tak sopan tapi wajahku sudah seperti kepiting rebus. Awas kamu ya Ratih, gara-gara kamu suamimu jadi harus malu. Sampai di rumah Mama, dengan kesal aku hempaskan bokongku di kursi. Mama yang baru keluar membuat teh manis heran. "Loh kenapa?" "Mama lihat, gara-gara Ratih Andre jadi malu," ujarku sambil menggebrak meja. "Kenapa malu?" tanya Mama lagi. "Ya apalagi kalo bukan kebiasaannya belanja boros itu, tadi Bu Widya mengatai Ratih seperti itu. Andre pun jadi nggak berani angkat wajah Andre. Kenapa Ratih nggak mau bilang sama Andre, sih?" "Mana mungkin dia bilang, pasti kamu nggak setuju. Makanya, kamu beri dia sedikit aja uang belanja kalo perlu lima puluh ribu," titah Mama yang belum aku pikirkan. "Apa nggak sedikit lima puluh ribu, Ma? Nanti kalo nggak cukup, kalian nggak bisa makan gimana?" tanyaku kurang setuju. "Ya kamu paksa aja, bilang sama Ratih harus cukup. Kalo kamu kasihan sama kami bisa beri uang belanja itu sama Mama dan kakakmu. Jadi kalo Ratih nggak masak, kami masih bisa makan," saran Mama. Setelah ku pikir-pikir bagus juga ide Mama, ah kenapa aku tak terpikir. Aku pun senyum-senyum sendiri. Usai sarapan, aku pamit hendak berangkat kerja. Mbak Rani yang dengar aku beli sarapan segera bangun dan ikut sarapan bersama. Mereka mengantarkan aku sampai teras rumah, kulihat Ratih sedang menyapu teras rumah kami. Aku yang masih kesal pura-pura tak melihat Ratih dan sengaja membuka dompet lalu memberikan uang jajan untuk Mama dan mbak Rani. Sengaja aku berbuat begitu, agar Ratih tidak membantah lagi. Saat aku menghidupkan motor, dari spion motor terlihat wajah Ratih yang sendu. Dalam hati aku puas, rasakan itu Ratih!*Ih, gemas ya melihat Andre apalagi Mamanya, tanpa sepengetahuan Andre, Mamanya yang telah membuat dia dan istrinya bertengkar. Pasti kepo kan apa alasan Mamanya berbuat itu? Selanjutnya kita tau dari POV Mama ya , ikuti terusHari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul