“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A
Siang pukul 11.40. Surabaya panas menyengat seperti tangki pembakaran di neraka. Gemi dan Nakula melangkah melalui pintu tingkap kayu Rumah Yatim Piatu lalu muncul di sebuah ruang tamu luas yang nyaman. Dari dekat lorong samping tangga, muncul seorang perempuan muda yang memiliki wajah keibuan. “Halo, Nak Nakula. Apa kabar?” Wanita itu menyambut Nakula dengan murah senyum. Sudah Gemi duga, kedatangan Nakula di tempat ini pun pasti akan membuat semua orang melirik dengan penasaran, sebab sekarang itulah yang terjadi; beberapa anak penghuni panti asuhan yang mulanya duduk tenang dan bergerumbul di sudut ruangan langsung menghampiri Nakula dengan heboh. Satu dua di antaranya berteriak menyambut sambil melompat-lompat girang. “Wahhh, Mas Naku! Mas Naku datang!” “Mas, aku kangen Mas loh!” Seorang bocah perempuan yang kelihatannya berusia lima tahun langsung memeluk pinggang Nakula sambil tertawa senang. Nakula menerima sambutan mereka semua dengan hangat. Tawanya lebar dan santer, me
Setelah sekitar satu bulan tinggal bersama Nakula di kediamannya, sekaligus menjadi staf pengajar di Rumah Yatim Piatu Pelita Kasih, Gemi berhasil menggali cukup banyak informasi tentang latar belakang Nakula. Selain menjadi orang populer dan menerima banyak perhatian, Nakula juga ternyata sama seperti Gemi; dibuang oleh keluarga atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Betapa ironis mengetahui fakta bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki takdir sama. Gemi yang dulunya merasa sebal dan betah protes di hadapan Nakula, kini menjadi semakin lunak dan sabar lantaran merasa iba dengan kondisi suaminya sendiri. Seperti sekarang, ketika Gemi dan Nakula mendarat di sebuah toko kue sebelum pulang ke rumah, Nakula akhirnya melayangkan satu pertanyaan besar yang mengganjal pikirannya;“Kenapa Anda mengajak saya ke toko kue ini, Nona?”“Karena aku mau membelikanmu kue.” “Tapi saya tidak ulang tahun,” kata Nakula. Gemi mengambil sebuah keik sederhana dengan lelehan cokelat yang
Ini pasti mimpi. Begitulah yang Nakula rasakan ketika dia membuka mata dan terbangun di sebuah tempat yang familier—ruang kantor ayahnya. Bagi Nakula, yang telah lama diserang kepanikan atas trauma masa lalu, mimpi adalah sesuatu yang fana sekaligus nyata. Dia tahu dia bermimpi, tetapi dia tidak bisa mengendalikannya. Bayang-bayang kematian anggota keluarganya selalu melilitnya dalam kerangkeng masa lalu, mencekiknya, melumpuhkannya. Seperti saat ini, ketika Nakula melangkah menghampiri sang ayah, dia tidak bisa mengelak dari tatapannya yang membunuh. “Nakula,” kata ayahnya, yang menatap Nakula dengan bengis. “Kamu sudah kuusir dari rumah ini. Mengapa kamu kembali lagi?”Wajah Ayah mirip dengan Nakula, tetapi sang putra mewarisi kilau mata ibunya yang seindah gurun dan selembut sapuan mentari. Sementara tatapan ayahnya cenderung dingin, keji, bagaikan hiu yang bersembunyi di balik gunung es. Nakula membalas lirih, “Ayah, saya hanya ingin minta maaf.”“Kendati kamu minta maaf, masa
Saking sibuknya mengurus orang sakit, Gemi lupa bahwa sejak pagi tadi perutnya belum diisi. Maka setelah mengantarkan Nakula beristirahat di kamarnya, gadis itu turun ke lantai pertama untuk makan malam. Dia sedang celingukan di sekitar dapur saat Pak Janu muncul dari balik ruangan kosong, “Nona Gemi, Anda baru pulang?”Gemi berputar dan tersenyum. “Ah, iya. Saya baru pulang dari rumah sakit.”“Nona sakit apa?” “Itu… sebenarnya yang sakit bukan saya.” Gemi menyandarkan punggung di konter dapur yang bersih sembari menjelaskan, “Tadi ada insiden di dekat toko roti. Saya diserang seseorang, dan Nakula menyelamatkan saya. Tapi dia terluka dan harus dibawa ke rumah sakit.”“Astaga, apa kalian berdua baik-baik saja?”“Yah, tadinya enggak baik-baik aja, tapi sekarang kami sudah aman.” Lalu Gemi menunjuk lorong luar dapur. “Nakula sudah saya baringkan di kamar. Sekarang dia sedang tidur. Setiap tiga jam sekali dia harus bangun untuk minum obat.”Pak Janu membuang napas berat. “Nanti akan say
Ekspresi Nakula menegang. Ujung bibirnya berkedut ketika mendengar jawaban Pak Janu. “Berbicara tentang masa lalu saya? Sepertinya itu hal yang tidak perlu.” Kata-katanya terdengar dingin dan berlumur kemarahan. Sementara Gemi sebetulnya merasa tidak enak, tetapi dia ogah bila tiba-tiba harus meminta maaf atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Kalau Nakula tersinggung dengan obrolannya, semestinya sejak awal dia memperingati Gemi untuk tidak menggali-gali informasi tanpa izin. “Kami hanya bicara sebentar. Bukan hal penting,” Akhirnya Gemi membalas. Cepat-cepat dia mendorong bahu Nakula untuk keluar dari dapur. “Omong-omong, apa yang dokter bilang tadi? Kamu enggak boleh banyak bergerak, dasar sial. Kalau jahitan di kepalamu terbuka lagi, aku enggak mau ngantar ke dokter.”Nakula terpaksa menuruti kemauan Gemi. Pria itu kembali ke kamarnya di lantai dua bersama sang istri yang menuntun di sampingnya. Setelah Gemi baru saja menutup pintu kamar, Nakula tidak langsung berbaring di ranjan
Saat Gemi membuka mata keesokan harinya, dia menemukan dirinya tertidur dengan bersandar di lengan Nakula yang terbuka. Pakaiannya telah terlucuti entah kemana—Gemi malas mengingat-ingat bagian itu. Yang tersisa dari kenangannya semalam adalah potongan manis hubungan intim pertama yang dia lalui bersama Nakula. Gadis itu mengingat setiap sentuhan Nakula; hangat sekaligus lembut. Bibir Nakula yang memagut miliknya dan menari di setiap jengkal kulitnya. Memabukkan, menggairahkan. Tidak pernah terpikir di benaknya bahwa Gemi akan menyerahkan dirinya kepada Nakula. Dia telah melanggar janjinya; telah menjilat ludah yang dia buang di hadapan Nakula, sumpah bahwa dirinya tidak akan pernah menganggap Nakula sebagai suaminya. Namun kini Gemi justru menjadi seekor merpati yang terbujur lemah di hadapan sang pemburu. Ketika gadis itu bergerak sedikit, Nakula terbangun. Wajah mereka saling menatap lama. “Apa badan Anda sakit?” Adalah pertanyaan Nakula yang dilesatkan begitu halus untuk Gemi,
“Ibumu mengundang kita di pesta pelantikan Tiara?” Pertanyaan Nakula barusan ditanggapi anggukan oleh Gemi. Gadis itu menjawab seraya memasang jepit mutiara di rambutnya, “Rasanya aku enggak mau datang ke pesta itu. Ibu dan adikku pasti akan mencari cara untuk mempermalukanku di depan publik.”Nakula tiba-tiba datang dan memeluk Gemi dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak gadis itu. “Kenapa kamu enggak mau pergi? Kita bisa datang dan mengejutkan mereka.”“Mengejutkan dengan cara apa?”“Entahlah. Mungkin kamu bisa tampil sebagai Nyonya muda Yudhistira yang bersahaja.”Gemi terkekeh dan mengayunkan tubuh ke kanan dan kiri. Dia menatap refleksi dirinya dan suaminya di hadapan cermin, lalu berkata, “Kamu serius mau mengaku sebagai putra bungsu Meraki Group? Bagaimana kalau mereka semua terkejut?”“Kurasa itu… boleh.” Nakula memejamkan mata dan mengendus aroma leher Gemi yang harum bunga daisy, seraya menggumam lembut, “Aku ingin lihat bagaimana raut mereka yang terkejut.”Gemi be