Ekspresi Nakula menegang. Ujung bibirnya berkedut ketika mendengar jawaban Pak Janu. “Berbicara tentang masa lalu saya? Sepertinya itu hal yang tidak perlu.” Kata-katanya terdengar dingin dan berlumur kemarahan. Sementara Gemi sebetulnya merasa tidak enak, tetapi dia ogah bila tiba-tiba harus meminta maaf atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Kalau Nakula tersinggung dengan obrolannya, semestinya sejak awal dia memperingati Gemi untuk tidak menggali-gali informasi tanpa izin. “Kami hanya bicara sebentar. Bukan hal penting,” Akhirnya Gemi membalas. Cepat-cepat dia mendorong bahu Nakula untuk keluar dari dapur. “Omong-omong, apa yang dokter bilang tadi? Kamu enggak boleh banyak bergerak, dasar sial. Kalau jahitan di kepalamu terbuka lagi, aku enggak mau ngantar ke dokter.”Nakula terpaksa menuruti kemauan Gemi. Pria itu kembali ke kamarnya di lantai dua bersama sang istri yang menuntun di sampingnya. Setelah Gemi baru saja menutup pintu kamar, Nakula tidak langsung berbaring di ranjan
Saat Gemi membuka mata keesokan harinya, dia menemukan dirinya tertidur dengan bersandar di lengan Nakula yang terbuka. Pakaiannya telah terlucuti entah kemana—Gemi malas mengingat-ingat bagian itu. Yang tersisa dari kenangannya semalam adalah potongan manis hubungan intim pertama yang dia lalui bersama Nakula. Gadis itu mengingat setiap sentuhan Nakula; hangat sekaligus lembut. Bibir Nakula yang memagut miliknya dan menari di setiap jengkal kulitnya. Memabukkan, menggairahkan. Tidak pernah terpikir di benaknya bahwa Gemi akan menyerahkan dirinya kepada Nakula. Dia telah melanggar janjinya; telah menjilat ludah yang dia buang di hadapan Nakula, sumpah bahwa dirinya tidak akan pernah menganggap Nakula sebagai suaminya. Namun kini Gemi justru menjadi seekor merpati yang terbujur lemah di hadapan sang pemburu. Ketika gadis itu bergerak sedikit, Nakula terbangun. Wajah mereka saling menatap lama. “Apa badan Anda sakit?” Adalah pertanyaan Nakula yang dilesatkan begitu halus untuk Gemi,
“Ibumu mengundang kita di pesta pelantikan Tiara?” Pertanyaan Nakula barusan ditanggapi anggukan oleh Gemi. Gadis itu menjawab seraya memasang jepit mutiara di rambutnya, “Rasanya aku enggak mau datang ke pesta itu. Ibu dan adikku pasti akan mencari cara untuk mempermalukanku di depan publik.”Nakula tiba-tiba datang dan memeluk Gemi dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak gadis itu. “Kenapa kamu enggak mau pergi? Kita bisa datang dan mengejutkan mereka.”“Mengejutkan dengan cara apa?”“Entahlah. Mungkin kamu bisa tampil sebagai Nyonya muda Yudhistira yang bersahaja.”Gemi terkekeh dan mengayunkan tubuh ke kanan dan kiri. Dia menatap refleksi dirinya dan suaminya di hadapan cermin, lalu berkata, “Kamu serius mau mengaku sebagai putra bungsu Meraki Group? Bagaimana kalau mereka semua terkejut?”“Kurasa itu… boleh.” Nakula memejamkan mata dan mengendus aroma leher Gemi yang harum bunga daisy, seraya menggumam lembut, “Aku ingin lihat bagaimana raut mereka yang terkejut.”Gemi be
Malam ini Gemi tampil cantik dengan gaun berwarna krem yang membungkus tubuh rampingnya dengan manis. Rambutnya yang panjang bergelombang dijepit dengan klip mutiara, dan riasan tipis di wajahnya tampak segar dan anggun. Saat sedang mematut penampilannya di hadapan cermin, Nakula memanggilnya dari ambang pintu. “Sudah siap berangkat?”“Ya.” Gemi berputar dan mengambil tas tangan di dekat kasur. Nakula memandang Gemi tanpa berkedip. “Kenapa melihatku begitu?”“Hanya terkejut. Ternyata di dunia ini bidadari tanpa sayap benar-benar nyata.”Gemi tertawa dan mengancam Nakula akan melempar bantal ke mukanya. “Jangan harap bisa meluluhkan hatiku pakai kata-kata begitu, dasar cowok sial.”Nakula tersenyum, lalu menekuk lengannya agar disambut Gemi. Gadis itu mengalungkan tangannya tanpa ragu dan mereka berjalan menuju mobil yang sudah menunggu di bawah.Di dalam mobil, Gemi merasa cemas membayangkan apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Sesegera mungkin dia akan datang ke lant
Nakula kehilangan Gemi. Pemikiran itu bergaung di kepala Nakula sejak tiga puluh menit lalu, dimulai ketika Gemi tiba-tiba pamit darinya sambil menggandeng Pierre—tunangan Tiara, pergi untuk membersihkan noda minuman di pakaian. Nakula tidak sempat menghalau mereka berdua. Memangnya siapa dia? Dia kan hanya seorang pengawal! Setidaknya itulah yang Nakula pikirkan sebelum beberapa detik kemudian dia sadar; sekarang status dirinya di hadapan Gemi adalah sebagai suami, bukan lagi pengawal. Seharusnya dia tidak membiarkan Gemi melakukan rencana seenak pusar, apalagi tanpa melibatkan dirinya! Di mana gadis itu? Nakula mencari ke seluruh sudut ruangan. Naik ke tangga dan berputar mengelilingi lorong, mengunjungi kamar mandi dan memeriksa di dalamnya satu-satu. Dia bahkan mengabaikan orang tua Gemi yang sejak tadi mengawasinya bagai burung gagak. Tampaknya ayah dan ibu Gemi mempertanyakan keberadaannya di sini, mengapa Nakula mondar-mandir seperti anjing penjaga yang kehilangan majikanny
Menggoda tunangan orang lain.Misi itu terdengar berbahaya di telinga Nakula. Dia tidak ingin istrinya yang manis melakukan perbuatan itu kendati apa semua itu hanyalah pura-pura. Namun, Nakula terlanjur menyetujui keinginannya. Sekarang dia harus berhadapan dengan bencana sesungguhnya. “Lihat, Tiara sedang pidato di depan seluruh tamu undangan.” Gemi berbisik-bisik di dekat Nakula dan menggandeng tangan pria itu agar maju lebih dekat. Mereka berdiri tepat di dekat barisan para tamu undangan yang berdiri sambil menyaksikan pidato Tiara. Sang adik tampak anggun dan cerdas di hadapan seluruh khalayak. Caranya berbicara mungkin akan membuat semua orang terpana dengan kemampuannya dalam public speaking, akan tetapi tidak bagi Gemi. Setelah bertahun-tahun tinggal bersama Tiara, dia tahu betapa busuk dan licik hati adiknya. “Semua orang memujanya seperti seorang putri. Enggak ada yang tahu bahwa anak itu sebenarnya siluman,” bisik Gemi kepada Nakula yang berdiri di sampingnya. “Dia meman
Pagi itu, Gemi terbahak sambil menunjuk-nunjuk layar tabletnya yang memperlihatkan wajah Tiara dalam versi menggelikan; garpu kue yang seharusnya masuk ke mulutnya justru salah sasaran masuk ke lubang hidung. Sebagian mukanya belepotan krim, dan ekspresinya berubah laksana serigala betina yang mengamuk. Headline berita itu bahkan membuat situasi tersebut tampak lebih konyol lagi; “DIKIRA MULUT, TERNYATA LUBANG HIDUNG; PUTRI MENSOS MENGALAMI KEJADIAN MEMALUKAN SAAT MENGHADIRI PESTA PERESMIAN JABATAN” Geni mengusap air mata yang merembes di ujung matanya lantaran terlalu banyak tertawa. Setelah meletakkan tablet di atas meja taman, dia mendongak pada Nakula yang duduk di hadapannya, “Kamu lihat kan? Rencana kita semalam berhasil! Walaupun pesta itu enggak sepenuhnya kacau, tapi Tiara tetap mendapat malu! A-aduh, perutku sampai sakit… hahaha.” Nakula membuang napas atas perilaku jail Gemi kepada sang adik. Dia tidak berniat untuk menertawakan hal yang menurutnya tidak lucu, akan tetap
“Apa? Datang ke rumah?” Nakula menelan ludah dengan gugup. Dia memegang ponselnya erat-erat di telinga. “Ayah tunggu paling lambat malam ini. Jangan lupa untuk membawa… istrimu,” katanya di seberang telepon. Komando itu membuat Nakula diserang gelisah. Dia menengok ke belakang dan menatap Gemi dari balik dinding, lalu membalas ayahnya lagi, “Kenapa harus membawa istri saya? Dia tidak ada hubungannya dengan masalah keluarga kita, Ayah.”“Masalah keluarga? Kamu pikir apa yang mau Ayah perbincangkan denganmu?” Ayah tertawa di balik telepon, tetapi suara tawanya terdengar datar dan cenderung meremehkan. “Ayah hanya ingin mengajak kalian berdua makan malam.”“Baiklah,” Nakula akhirnya setuju secara pasrah. Dia tidak bisa membangkang untuk urusan ini. “Sore nanti saya—maksudnya kami, akan datang ke rumah.”Setelah itu telepon dimatikan. Nakula kembali pada Gemi dan mengatakan apa yang baru saja terjadi. Tentu saja Gemi terkejut. Bertemu mertua laki-laki? Hal itu tidak pernah terbayang ole