‘“Kamu sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”
Nakula menatap Gemi dengan raut penuh teka-teki. Rahang pria itu mengeras, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di ujung lidah. Akan tetapi tatapannya terlihat redup dan sayu, bukan raut penuh ancaman seperti yang diwaspadai Gemi. Sebenarnya apa niat pria ini? Emosinya sama sekali tidak terbaca, dan itu membuat Gemi kesal. “Hei,” Gemi menggerutu kali. “Kalau sampai kamu punya niat buruk pada keluargaku, aku enggak akan diam saja. Kamu pikir karena aku perempuan, aku enggak bisa melakukan pembalasan pada pengawal rendahan sepertimu?”Rendahan? Kata itu terdengar salah. Gemi sekejap merasa malu, tetapi berusaha tidak mengoreksi ucapannya dan tetap bersikap angkuh. Pokoknya dia tidak boleh terlihat lemah di depan Nakula. “Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk.” Nakula membalas singkat. “Bohong!” Gemi menyulut protes. “Kalau kamu lahir dari keluarga yang begini kaya, untuk apa kamu melamar menjadi pengawal di keluargaku, hah? Hanya orang bodoh yang rela meninggalkan kemewahan ini demi sebuah pekerjaan kecil yang bisa digantikan siapa pun dengan mudah!”“Saya melamar pekerjaan sebagai pengawal karena saya menyukai Nona Gemi.”Kata-kata itu seketika menyihir Gemi bagai patung. Apa katanya? Menyukai Gemi? Orang ini pasti hanya mengada-ada! Gadis itu menatap mata Nakula lurus-lurus, mencoba menggali kebohongan dari setiap pertanda atau ekspresi yang dia tampakkan. Namun, tidak ada apa-apa di balik mata cokelatnya yang membakar. Nakula terlalu pintar menyembunyikan perasaan. Atau jangan-jangan… pria itu terlalu jujur mengenai isi benaknya? “Apa maksudmu, huh?” Gemi tidak bisa lagi menyembunyikan rautnya yang merona malu karena diserang dengan kalimat pengakuan itu. “Kamu menyukaiku? Bagaimana bisa—”“Empat September tujuh tahun lalu, waktu Nona Gemi mendaftar sebagai murid baru di SMA Renjana Dwirga, saya melihat Nona untuk pertama kalinya dan langsung jatuh cinta.” Nakula memotongnya lagi. Gemi melotot terkejut, dan Nakula melanjutkan, “Nona mengenakan blus formal berwarna merah dan rok hitam di atas lutut, sambil membawa tas besar berisi berkas dan bekal makan. Pukul satu siang, tas Nona tertinggal di kantin sekolah, jadi saya mengantarkan tas itu kepada Nona yang sedang kebingungan di dekat parkir.”Gemi tercenung. Rasanya dia memang pernah mengalami kenangan itu.“Kamu… kamu serius?” Gemi menatap Nakula dengan terkejut. “Jadi kamu bersekolah di SMA yang sama denganku?”“Ya, tapi waktu itu saya sudah kelas 3 dan hampir lulus dari sana. Setelah wisuda kelulusan, saya mendatangi rumah Anda dan melamar menjadi pengawal.”Tidak bisa dipercaya! Gemi merasakan darahnya berdesir dan sekujur tubuhnya merinding mendengar informasi itu. Dia menatap Nakula dan membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana saking syoknya. “Nona, saya meminta maaf karena saya telah berbicara jujur.” Nakula menunduk penuh pengampunan. “Saya tidak bermaksud membuat Nona tidak nyaman. Cerita tadi terpaksa saya ungkapkan karena Nona yang meminta saya melakukannya. Saya benar-benar tidak memiliki niat jahat untuk keluarga Nona, itulah poin yang ingin saya sampaikan.” “Kamu menyukaiku… sejak SMA….” Gemi berkata lirih dan patah-patah. “Lalu kamu mencari segala informasi tentang aku, bukan? Makanya kamu tahu siapa latar belakangku, sampai akhirnya memutuskan untuk jadi pengawalku.”“Benar.”“Kalau begitu kamu menguntitku selama bertahun-tahun.”Pria itu terdiam. “Nona—”“Kamu menguntitku, iya kan? Kalau enggak, bagaimana bisa menjadi pengawalku?” Gemi mulai jengkel. Dia melangkah mundur dan merapat di dinding kamarnya sendiri. Ekspresinya berlumur kecewa sekaligus sedih. “Nakula, selama ini aku mempercayaimu sebagai pengawal yang setia. Tapi ceritamu barusan sungguh kelewatan. Sebenarnya apa niatmu menjadi pengawal, huh? Kamu melakukannya hanya karena kamu mencintaiku? Apa jangan-jangan kamu menyimpan obsesi kepadaku dan berharap kalau waktunya tiba, kamu akan menyergapku seperti binatang buas?” Nakula menunduk lagi. “Sungguh saya tidak punya niat jelek kepada Anda, Nona. Selama ini Anda sudah melihat kinerja saya sebagai pengawal. Tidak ada hal buruk yang saya lakukan demi bisa mendapatkan perhatian Anda.”“Bukan kamu yang menjebakku di hotel, kan?” Mata Gemi tiba-tiba memerah menahan tangis. Sekarang dia merasa gamang dan bingung dengan situasi. Apakah seharusnya dia percaya kepada Nakula, atau justru berjaga jarak dengannya? Nakula menatap Gemi dan tercenung. “Nona, saya tidak mungkin melakukan hal itu.”Gemi mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Dia agaknya percaya bahwa Nakula tidak berbohong, tetapi mendengar kenyataan bahwa sekarang Gemi bersuami dengan orang yang sungguh-sungguh mencintainya membuatnya dikuasai perasaan memuakkan. Kenapa harus Nakula?“Aku akan mengawasimu, Nakula.” Gemi tahu-tahu berkata sambil menuding wajah Nakula. “Kalau sampai kamu melakukan sesuatu yang kelewatan padaku, bahkan menyentuhku dengan ujung jarimu, aku enggak akan segan-segan untuk menusukmu menggunakan pisau.” “Anda begitu kasar.” Nakula mengernyit sedikit melihat kejengkelan yang berkobar di mata Gemi. “Hanya karena saya menyukai Anda, bukan berarti saya menyimpan nafsu untuk menyentuh Anda.”“Jadi kamu mencintaiku bukan berdasar nafsu?” Gemi menatap Nakula dengan mencalang. “Kamu yakin? Memangnya di dunia ini ada rasa cinta yang tumbuh bukan dari nafsu?”“Ada banyak alasan manusia bisa mencintai orang lain dengan tulus. Nafsu bukan satu-satunya hal yang menggerakkan emosi manusia.”Gemi terdiam, semakin ciut. Rasanya dia sadar bahwa mulutnya telah salah berbicara. Seharusnya dia tidak menuduh Nakula sembarangan. Saat gadis itu ingin berkata sesuatu, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Nakula bergumam sesuatu yang kedengarannya seperti, “Masuk,” lalu pintu didorong terbuka. Pak Janu sang kepala pelayan berdiri di ambang. “Tuan dan Nyonya, makan siang sudah siap. Kalian pasti lelah setelah perjalanan, bukan?”Nakula menatap Gemi sejenak, membuat gadis itu dilanda takut karena tatapannya tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin dari biasanya. Barangkali pria ini sungguhan marah, sebab Nakula tiba-tiba meninggalkan Gemi tanpa berkata apa-apa. Dia berkata kepada Pak Janu sambil lalu, “Saya akan mandi dulu.”“Baik, Tuan.” Kemudian Nakula keluar dari kamar. Pak Janu menatap Gemi sambil tersenyum. “Apa Anda butuh sesuatu, Nona?”Gemi menyapu pandang kamarnya sekilas. “Apa di kamar ini ada kamera pengawas?”Pak Janu menatap Gemi seolah terheran-heran. “Tidak ada, Nyonya. Apa Anda mengkhawatirkan sesuatu tentang kamar ini?”“Hanya jaga-jaga.” Lalu Gemi menatap Pak Janu lurus-lurus. “Pak Janu, boleh saya tahu siapa Nakula sebenarnya?”Sekali lagi, pertanyaan itu membuat Pak Janu mengerutkan kening, seolah-olah dia tidak percaya Gemi menanyakan hal itu kepadanya. Pak Janu terdiam sebentar, berharap Gemi hanya salah bicara saja, namun kekakuan dan ketegasan gadis itu menjawab semuanya. Akhirnya Pak Janu berkata, “Saya tidak tahu mengapa Nona menanyakan hal semendasar ini kepada saya. Bukankah Anda istrinya?”“Sudah, jawab saja mauku.”“Baiklah.” Pak Janu membetulkan kaca mata kotaknya di pangkal hidung. “Tuan Nakula Yudhistira adalah putra bungsu dari Tuan Wiwangsa Yudhistira. Beliau adalah ketua organisasi yayasan sosial nomor satu di Indonesia, bernama Meraki Group.”Mata Gemi membelalak mendengar informasi itu. Meraki Group? Apa dia tidak salah dengar?[]“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
“Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m
“Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l
Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik