Share

Bab 6. Sikap Misterius

‘“Kamu sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”

Nakula menatap Gemi dengan raut penuh teka-teki. Rahang pria itu mengeras, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di ujung lidah. Akan tetapi tatapannya terlihat redup dan sayu, bukan raut penuh ancaman seperti yang diwaspadai Gemi. 

Sebenarnya apa niat pria ini? Emosinya sama sekali tidak terbaca, dan itu membuat Gemi kesal. 

“Hei,” Gemi menggerutu kali. “Kalau sampai kamu punya niat buruk pada keluargaku, aku enggak akan diam saja. Kamu pikir karena aku perempuan, aku enggak bisa melakukan pembalasan pada pengawal rendahan sepertimu?”

Rendahan? Kata itu terdengar salah. Gemi sekejap merasa malu, tetapi berusaha tidak mengoreksi ucapannya dan tetap bersikap angkuh. Pokoknya dia tidak boleh terlihat lemah di depan Nakula. 

“Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk.” Nakula membalas singkat. 

“Bohong!” Gemi menyulut protes. “Kalau kamu lahir dari keluarga yang begini kaya, untuk apa kamu melamar menjadi pengawal di keluargaku, hah? Hanya orang bodoh yang rela meninggalkan kemewahan ini demi sebuah pekerjaan kecil yang bisa digantikan siapa pun dengan mudah!”

“Saya melamar pekerjaan sebagai pengawal karena saya menyukai Nona Gemi.”

Kata-kata itu seketika menyihir Gemi bagai patung. 

Apa katanya? Menyukai Gemi? Orang ini pasti hanya mengada-ada! Gadis itu menatap mata Nakula lurus-lurus, mencoba menggali kebohongan dari setiap pertanda atau ekspresi yang dia tampakkan. Namun, tidak ada apa-apa di balik mata cokelatnya yang membakar. Nakula terlalu pintar menyembunyikan perasaan. Atau jangan-jangan… pria itu terlalu jujur mengenai isi benaknya? 

“Apa maksudmu, huh?” Gemi tidak bisa lagi menyembunyikan rautnya yang merona malu karena diserang dengan kalimat pengakuan itu. “Kamu menyukaiku? Bagaimana bisa—”

“Empat September tujuh tahun lalu, waktu Nona Gemi mendaftar sebagai murid baru di SMA Renjana Dwirga, saya melihat Nona untuk pertama kalinya dan langsung jatuh cinta.” Nakula memotongnya lagi. Gemi melotot terkejut, dan Nakula melanjutkan, “Nona mengenakan blus formal berwarna merah dan rok hitam di atas lutut, sambil membawa tas besar berisi berkas dan bekal makan. Pukul satu siang, tas Nona tertinggal di kantin sekolah, jadi saya mengantarkan tas itu kepada Nona yang sedang kebingungan di dekat parkir.”

Gemi tercenung. Rasanya dia memang pernah mengalami kenangan itu.

“Kamu… kamu serius?” Gemi menatap Nakula dengan terkejut. “Jadi kamu bersekolah di SMA yang sama denganku?”

“Ya, tapi waktu itu saya sudah kelas 3 dan hampir lulus dari sana. Setelah wisuda kelulusan, saya mendatangi rumah Anda dan melamar menjadi pengawal.”

Tidak bisa dipercaya! Gemi merasakan darahnya berdesir dan sekujur tubuhnya merinding mendengar informasi itu. Dia menatap Nakula dan membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana saking syoknya. 

“Nona, saya meminta maaf karena saya telah berbicara jujur.” Nakula menunduk penuh pengampunan. “Saya tidak bermaksud membuat Nona tidak nyaman. Cerita tadi terpaksa saya ungkapkan karena Nona yang meminta saya melakukannya. Saya benar-benar tidak memiliki niat jahat untuk keluarga Nona, itulah poin yang ingin saya sampaikan.” 

“Kamu menyukaiku… sejak SMA….” Gemi berkata lirih dan patah-patah. “Lalu kamu mencari segala informasi tentang aku, bukan? Makanya kamu tahu siapa latar belakangku, sampai akhirnya memutuskan untuk jadi pengawalku.”

“Benar.”

“Kalau begitu kamu menguntitku selama bertahun-tahun.”

Pria itu terdiam. “Nona—”

“Kamu menguntitku, iya kan? Kalau enggak, bagaimana bisa menjadi pengawalku?” Gemi mulai jengkel. Dia melangkah mundur dan merapat di dinding kamarnya sendiri. Ekspresinya berlumur kecewa sekaligus sedih. “Nakula, selama ini aku mempercayaimu sebagai pengawal yang setia. Tapi ceritamu barusan sungguh kelewatan. Sebenarnya apa niatmu menjadi pengawal, huh? Kamu melakukannya hanya karena kamu mencintaiku? Apa jangan-jangan kamu menyimpan obsesi kepadaku dan berharap kalau waktunya tiba, kamu akan menyergapku seperti binatang buas?” 

Nakula menunduk lagi. “Sungguh saya tidak punya niat jelek kepada Anda, Nona. Selama ini Anda sudah melihat kinerja saya sebagai pengawal. Tidak ada hal buruk yang saya lakukan demi bisa mendapatkan perhatian Anda.”

“Bukan kamu yang menjebakku di hotel, kan?” Mata Gemi tiba-tiba memerah menahan tangis. Sekarang dia merasa gamang dan bingung dengan situasi. Apakah seharusnya dia percaya kepada Nakula, atau justru berjaga jarak dengannya? 

Nakula menatap Gemi dan tercenung. “Nona, saya tidak mungkin melakukan hal itu.”

Gemi mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Dia agaknya percaya bahwa Nakula tidak berbohong, tetapi mendengar kenyataan bahwa sekarang Gemi bersuami dengan orang yang sungguh-sungguh mencintainya membuatnya dikuasai perasaan memuakkan. Kenapa harus Nakula?

“Aku akan mengawasimu, Nakula.” Gemi tahu-tahu berkata sambil menuding wajah Nakula. “Kalau sampai kamu melakukan sesuatu yang kelewatan padaku, bahkan menyentuhku dengan ujung jarimu, aku enggak akan segan-segan untuk menusukmu menggunakan pisau.” 

“Anda begitu kasar.” Nakula mengernyit sedikit melihat kejengkelan yang berkobar di mata Gemi. “Hanya karena saya menyukai Anda, bukan berarti saya menyimpan nafsu untuk menyentuh Anda.”

“Jadi kamu mencintaiku bukan berdasar nafsu?” Gemi menatap Nakula dengan mencalang. “Kamu yakin? Memangnya di dunia ini ada rasa cinta yang tumbuh bukan dari nafsu?”

“Ada banyak alasan manusia bisa mencintai orang lain dengan tulus. Nafsu bukan satu-satunya hal yang menggerakkan emosi manusia.”

Gemi terdiam, semakin ciut. Rasanya dia sadar bahwa mulutnya telah salah berbicara. Seharusnya dia tidak menuduh Nakula sembarangan. Saat gadis itu ingin berkata sesuatu, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Nakula bergumam sesuatu yang kedengarannya seperti, “Masuk,” lalu pintu didorong terbuka. Pak Janu sang kepala pelayan berdiri di ambang. 

“Tuan dan Nyonya, makan siang sudah siap. Kalian pasti lelah setelah perjalanan, bukan?”

Nakula menatap Gemi sejenak, membuat gadis itu dilanda takut karena tatapannya tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin dari biasanya. Barangkali pria ini sungguhan marah, sebab Nakula tiba-tiba meninggalkan Gemi tanpa berkata apa-apa. Dia berkata kepada Pak Janu sambil lalu, “Saya akan mandi dulu.”

“Baik, Tuan.” 

Kemudian Nakula keluar dari kamar. 

Pak Janu menatap Gemi sambil tersenyum. “Apa Anda butuh sesuatu, Nona?”

Gemi menyapu pandang kamarnya sekilas. “Apa di kamar ini ada kamera pengawas?”

Pak Janu menatap Gemi seolah terheran-heran. “Tidak ada, Nyonya. Apa Anda mengkhawatirkan sesuatu tentang kamar ini?”

“Hanya jaga-jaga.” Lalu Gemi menatap Pak Janu lurus-lurus. “Pak Janu, boleh saya tahu siapa Nakula sebenarnya?”

Sekali lagi, pertanyaan itu membuat Pak Janu mengerutkan kening, seolah-olah dia tidak percaya Gemi menanyakan hal itu kepadanya. Pak Janu terdiam sebentar, berharap Gemi hanya salah bicara saja, namun kekakuan dan ketegasan gadis itu menjawab semuanya. Akhirnya Pak Janu berkata, “Saya tidak tahu mengapa Nona menanyakan hal semendasar ini kepada saya. Bukankah Anda istrinya?”

“Sudah, jawab saja mauku.”

“Baiklah.” Pak Janu membetulkan kaca mata kotaknya di pangkal hidung. “Tuan Nakula Yudhistira adalah putra bungsu dari Tuan Wiwangsa Yudhistira. Beliau adalah ketua organisasi yayasan sosial nomor satu di Indonesia, bernama Meraki Group.”

Mata Gemi membelalak mendengar informasi itu. Meraki Group? Apa dia tidak salah dengar?[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status