Share

Bab 5. Identitas Sebenarnya

“Ru-rumah? Apa maksudmu?” Gemi menatap Nakula dengan sorot bingung.

Namun pertanyaan terakhir Gemi tidak dijawab, sebab Nakula lekas keluar dari mobil dan berputar ke sisi pintu yang lain untuk mempersilakan Gemi turun.

Gadis itu menurut, dia turun dari mobil dan berdiri tegap. Wajahnya mendongak menatap sebuah rumah mewah bergaya Georgia, yang nyaris sempurna dikatakan versi mini dari sebuah istana Eropa.

Rahang Gemi jatuh. Dia menatap pemandangan itu dengan ekspresi syok.

“Ayo masuk, Nona.” Nakula tiba-tiba saja memimpin jalan ke depan, sementara Gemi yang baru saja sadar dari keterkejutannya langsung mengejar pria itu.

“Tunggu! Nakula, apa maksudmu? Rumah ini milikmu? Kamu mau membohongiku, ya?”

Langkah kaki Gemi yang lebih pendek nyaris kesusahan mengejar Nakula. Lantas dia terpaksa berlari lebih cepat, tidak memedulikan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan sepatu hak tinggi.

Karena diliputi syok dan bingung, Gemi jadi tidak hati-hati sehingga ujung sepatunya terantuk kerikil kecil. Gadis itu limbung ke depan, nyaris ambruk mencium tanah. Namun untungnya Nakula memegangi lengannya tepat waktu.

“Ups, hampir saja,” desis Nakula, lega. “Anda tidak papa, Nona?”

Cengkeraman tangan Nakula kuat, tetapi terasa lembut. Pria itu membantu Gemi menegapkan tubuh lalu memeriksa kondisinya. Tatapan mata memindai Gemi dari ujung kepala hingga kaki, sementara tangannya yang hangat masih memegangi pundak gadis itu.

Pria ini berdiri begitu dekat, sehingga untuk sekilas saja, Gemi dapat mencium aroma kayu dan rempah manis yang menguar dari tubuh Nakula. Tiba-tiba saja dia mengingat momen pernikahannya beberapa waktu lalu; ciuman itu.

Namun, sinyal kebuasan dalam kepala Gemi mengetuk kesadarannya lagi. Gadis itu langsung merasa malu sekaligus gengsi karena membiarkan dirinya terlena dengan pengawalnya sendiri.

Akhirnya dia melayangkan protes ke Nakula sambil mendorong tubuh pria itu agar menjauh; “Nggak papa matamu! Dari tadi kamu mengabaikan panggilanku, dasar sial!”

“Maaf, saya hanya ingin Anda cepat masuk rumah karena cuaca sangat dingin.” Lalu Nakula tiba-tiba menekuk lengan kirinya dan menghadapkannya pada Gemi, seolah berharap gadis itu akan menggandengnya. “Kalau begitu, ayo. Sekarang saya temani Anda masuk.”

Gemi terpaku, secara tidak sadar pipinya merona karena Nakula bertingkah sebagai seorang pasangan. Mulanya dia ogah menerima ajakannya, tetapi saat Gemi melangkah, tubuhnya nyaris terjungkal lagi karena hak tinggi sepatunya hampir copot.

“Sepatu keparat,” desisnya.

Nakula terkekeh tipis, tetapi langsung pura-pura diam saat Gemi menatapnya sengit. “Sudah saya bilang, ayo pegang tangan saya.”

“Ingat ya, aku begini bukan karena mau terlihat mesra.” Gemi mencibir sambil memasang wajah kesal.

“Percayalah, Nona. Orang-orang di dalam rumah saya tidak akan peduli soal itu.”

"Orang-orang?” Gemi menghentikan langkah dan mendongak pada Nakula. “Hei, pengawal. Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Memangnya rumah ini sungguh-sungguh milikmu?”

"Ini warisan dari orang tua saya,” Nakula menjawab tenang.

“Kamu ini… memang orangtuamu sekaya apa? Siapa mereka?”

Nakula tidak menjawab, dan Gemi menjadi dongkol. Akan tetapi gadis itu tetap mencecarnya dengan pertanyaan, “Lalu orang-orang yang tadi kamu maksud itu siapa, hah? Apa di rumah ini ada orang selain kamu?”

“Tentu saja ada,” kata Nakula.

Tanpa terasa mereka sudah naik ke undakan rumah dan berdiri di serambinya yang mewah dan mengilat. Gemi kebingungan sejenak. Dia mengguncang lengan Nakula untuk meminta perhatian, bersamaan dengan pintu depan yang tiba-tiba terbuka dari dalam.

Rupanya seorang pria tua berseragam formal membuka pintu tersebut untuk mereka.

“Selamat datang, Tuan dan Nyonya Yudistira.” Pria itu tersenyum ramah menyambut keduanya. “Mari masuk ke dalam. Semua pelayan sudah menunggu Anda berdua.”

Nakula menunduk memandang Gemi yang masih menampakkan raut wajah syok. “Beliau adalah Pak Janu Wirawan, ketua para pelayan di rumah ini. Mari masuk.”

Gemi tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Dia membiarkan dirinya digiring masuk ke dalam foyer ruangan berisi hampir selusin pelayan perempuan dan laki-laki yang berbaris di sisi kanan dan kiri, seraya membungkuk kepada mereka berdua. Semua pelayan mengenakan pakaian seragam berwarna merah dan emas, senada dengan nuansa rumah Nakula yang begitu megah.

Rumah Gemi sebetulnya hampir sama megahnya dengan rumah Nakula—kendati dia harus mengakui pelayan di rumahnya tidak sebanyak dan sededikatif ini. Akan tetapi yang paling membuat Gemi tidak menyangka adalah fakta bahwa pengawalnya memiliki semua akses kemewahan ini.

Sikap Nakula anehnya juga sedikit berbeda ketika dia sudah berada di rumahnya. Biasanya pria ini akan bersikap lembut dan melayani Gemi seperti seorang putri. Akan tetapi, di tempat ini, Nakula justru bagaikan pangeran yang lahir dari bejana emas. Dialah yang menerima pelayanan, dimanjakan, dan dianggap istimewa oleh semua orang.

Para pelayan mendekati Gemi dan Nakula lalu meminta barang-barang bawaan mereka dengan sopan. Nakula membiarkan seorang pelayan membukakan jas yang dikenakannya dan melonggarkan kancing di bagian lengannya. Bahkan ada seorang pelayan yang menunggu Nakula dan Gemi melepas sepatu untuk dibawa pergi.

Gemi menjadi merinding sekaligus takut. Apa-apaan pelayanan ini? Dia tidak sedang berada di dalam istana kerajaan, bukan?

“Nona Gemi.” Nakula tahu-tahu berpaling padanya. Dia tidak tersenyum. Wajahnya menunjukkan ketenangan dan keanggunan seorang pangeran. “Ayo kita ke kamar.”

Kamar Gemi rupanya telah disiapkan di lantai dua, bersebelahan dengan kamar utama milik Nakula. Ruangan di dalamnya, megah dan mewah seperti biasa.

Gemi kembali dibuat shock, sebab ukuran kamarnya di sini dua kali lipat lebih besar dari kamar Gemi di rumah orang tuanya. Namun gadis itu berusaha tenang dan kalem. Dia berputar menghadap Nakula yang ikut masuk ke kamar.

“Nah, Nakula….” Gemi melipat tangannya di depan dada dan bersikap angkuh seperti biasa. “Sepertinya sejak dulu aku sudah tertipu dengan penampilanmu. Melihat bagaimana pelayan di luar sana memperlakukanmu, aku semakin curiga bahwa kamu bukan orang biasa. Sebenarnya siapa kamu, hah? Mengapa kamu menipuku?”

“Saya sama sekali tidak bermaksud menipu Nona.”

“Aaagh, terserah! Cepat katakan terus terang! Untuk apa orang kaya sepertimu menjadi pengawal anak menteri sepertiku, hah? Jangan-jangan ini salah satu rencanamu untuk melakukan kejahatan, ya? Kamu pasti punya niat licik, bukan?”

Diamnya Nakula membuat Gemi dibanjiri cemas. Ragu-ragu, Gemi bertanya dengan lirih;

“Aku benar, ya? Kamu… sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status