Home / Romansa / Suami Pengawal Nona Muda / Bab 7. Badai Pertama

Share

Bab 7. Badai Pertama

last update Last Updated: 2024-02-24 09:46:49

Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong.

“Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya.

Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”

Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur.

“Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”

“Silakan tanyakan apa pun pada saya.” Nakula tidak menatap Gemi dan terus melanjutkan makan.

“Katanya kamu putra bungsu Meraki Group. Apa benar?”

Nakula mendadak terdiam.

Pria itu mengangguk. “Ya.”

“Pemilik yayasan Meraki Group—Tuan Wiwangsa Yudhistira, adalah salah satu orang yang masuk jajaran orang terkaya di Asia Tenggara. Dan kamu, putranya, malah memilih menurunkan status menjadi pengawal putri menteri biasa sepertiku dengan alasan cinta?”

“Saya tidak berutang penjelasan apa pun pada Anda. Semuanya sudah saya jelaskan. Terserah Anda mau percaya atau tidak.”

Gemi terpaku. Nakula benar-benar definisi lumut di tepian batu sungai—dingin, sulit dibaca, kendati perangainya tidak terlalu keras dan berbahaya. Atau mungkin Gemi hanya terlalu nyaman saja berada di dekatnya?

“Aku mau tidur.” Gemi tiba-tiba berdiri dari kursinya dan keluar dari meja makan.

“Makanan Anda belum dihabiskan,” kata Nakula.

“Aku sudah kenyang. Memang apa lagi alasannya?”

“Nona Gemi,” kata seorang pelayan yang muncul dari balik bahunya. “Anda mau saya bawakan kudapan ke kamar?”

“Tidak perlu. Kalian urus saja pangeran yang satu itu. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Dan setelah jawaban ketus itu dilesatkan, Gemi menggeluyur pergi meninggalkan ruang makan. Hanya tersisa Nakula dan beberapa orang karyawan yang menunggu di sekelilingnya. Pria itu mengusap mulutnya dengan lap makan, lalu bersandar di kursi sambil membuang napas berat.

Pak Janu, yang sejak tadi berada di belakang Nakula, berkata lirih, “Sepertinya kali ini akan sulit menyelesaikan misi, Tuan.”

“Aku tahu,” kata Nakula, lalu memejamkan mata sambil memijat tengah keningnya. “Dia benar-benar gadis yang keras kepala dan terlalu waspada.”

“Dia membuat saya teringat dengan seseorang, Tuan.” Pak Januari tertawa kecil.

Nakula tahu siapa yang dimaksud oleh kepala pelayannya. “Ibu?”

“Benar. Kalau Nyonya masih hidup, dia pasti senang memiliki menantu seperti Nona Gemi. Keduanya punya sifat yang sama.”

“Sifat yang sama hanya akan memicu konflik ke depannya. Mereka berdua sama-sama api yang menggelora.”

Lalu Nakula bangkit berdiri dari meja makan dan berkata pada Pak Janu. “Saya juga akan ke kamar. Terima kasih untuk makanannya.”

“Sama-sama, Tuan.” Pak Janu membungkuk sopan dan membiarkan tuan mudanya berjalan mendahuluinya.

Sementara itu, Gemi rupanya tidak berada di kamarnya sendiri. Dia justru melenggang mondar-mandir di sekitar rumah untuk menikmati—maksudnya menyelidiki hal-hal mencurigakan yang mungkin terselip di perabotan dan seluk beluk rumah megah ini.

Namun setelah kurang lebih lima belas menit berkeliling, Gemi malah tersesat. Rumah ini terlalu besar dan memiliki lorong-lorong yang membingungkan. Setiap lorongnya tampak mewah dan megah—dipenuhi lukisan klasik, barang-barang antik, dan ukiran-ukiran panel dinding yang rumit, seperti masuk ke museum kerajaan ningrat dari Eropa. Gemi bahkan menemukan lift mungil yang biasanya digunakan sebagai tempat persembunyian anak-anak di film-film. Dia mendekati pintu tingkap kecil yang berukuran kecil tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya ada tempat kosong yang mungkin cukup bila diisi tubuhnya.

“Sedang apa?”

Suara itu tiba-tiba membuat Gemi berpaling.

“Nakula,” kata Gemi, terkejut. Sementara pria itu mendekat. “A-aku sedang lihat-lihat.”

“Bukannya katanya Anda mau ke kamar?”

“Aku tersesat waktu mau kembali ke kamar. Rumahmu terlalu luas, tahu!”

“Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk masalah itu. Anda hanya perlu membiasakan diri.” Nakula mengajak Gemi kembali ke kamar, sementara Gemi berjalan di sampingnya sambil tetap menjaga jarak.

“Jadi, sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup megah, ya?” Gemi memulai perbincangan. “Apa kamu juga memiliki personal asisten yang mengikuti dan menyiapkan semua keperluanmu seperti pengasuh?”

“Saya sudah terbebas dari semua itu sejak usia lima belas tahun. Ayah saya membolehkan saya memiliki kehidupan sendiri, jadi saya memilih keluar dari rumah orangtua.” Lalu Nakula mendongak dan menyapu pandang pada seantero lorong yang megah di hadapannya. “Mereka memberi saya rumah ini dan meninggalkan saya dengan sejumlah aset. Saya memang putra bungsu Meraki Group, tapi saya sudah tidak terhubung lagi dengan urusan-urusan yayasan.”

“Jadi kamu menolak menjalankan organisasi itu?” Pertanyaan itu dijawab oleh anggukan. Gemi semakin penasaran. “Kenapa? Bukannya menjadi pewaris itu enak? Aku bahkan rela mempertaruhkan nyawaku untuk bisa menjadi pewaris dari bisnis restoran keluargaku.”

“Saya memiliki tujuan hidup sendiri.”

Gemi terkekeh. “Dengan menjadi pengawal dari seorang gadis yang kamu cintai? Oh, ya ampun.”

Namun Nakula tidak menjawab apa pun. Pria itu justru berputar menghadap Gemi seraya menatapnya lurus-lurus. “Ada satu lagi tujuan saya.”

Gemi terkejut karena ditatap sedekat itu dengan Nakula. Dia menelan ludah dan memutuskan tidak berpaling dari tatapannya yang menantang. “Apa itu?”

Dan sebelum Nakula sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja terdengar jeritan membahana dari arah lantai pertama. Gemi dan Nakula sama-sama terkejut. Sang pria menggandeng tangan Gemi dan mengajaknya berlari ke sumber suara.

Mereka sampai di depan ambang dapur utama yang kini dipenuhi oleh para pelayan. Beberapa di antara pelayan tersebut menangis dengan syok dan tubuh gemetar. Gemu terpaku, terbelah di antara bingung dan takut. Dia membiarkan Nakula menyela maju dan bertanya sendiri kepada para pelayannya. “Apa yang terjadi?”

Salah satu pelayan laki-laki membalas tegang;

“Ada mayat… ada mayat di dalam dapur….”[]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 61. Dua Musuh Sebenarnya

    “Nakula, kamu sudah bangun?” Gemi baru saja masuk ke ruang rawat dan terkejut saat melihat Nakula tengah menggeledah laci nakas. Pria itu terlihat gelisah. Gemi mendekap tasnya dengan baik di pundak. “Ya, saya bangun dan kamu tidak ada di mana pun,” kata Nakula, kemudian dia menatap Gemi lebih lama daripada biasanya. “Gemi, kamu mengambil amplop cokelat yang dikirim oleh Dirga untukku?” “Itu….” Gemi tidak punya alasan untuk mengelak. Jadi, dia mengakuinya. “Betul, aku yang mengambilnya.” “Kamu membacanya?” Gemi mengangguk. Nakula menarik napas dalam-dalam seolah menahan frustrasi. “Kenapa, Gemi? Kamu berjanji pada saya tidak akan menyentuh amplop itu. Sekarang kamu melanggar kesepakatannya? Apa yang mau coba kamu temukan?” “Nakula, dengar, aku sudah tahu siapa yang menjebak kita di kamar hotel saat itu.” Gemi mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Nakula mengernyitkan kening. “Hah, siapa menurutmu?” “Ayahku sudah mengakui perbuatannya.” Kemudian Gemi menceritaka

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 60. Semuanya Terungkap

    Pagi pukul 09.39. Setelah memastikan Nakula meminum obatnya dan tidur, Gemi menyelinap keluar dari kamar rawat diam-diam, menuju kantin rumah sakit yang masih sepi. Kemarin, mulanya Gemi meminta sang ayah untuk bertemu di yayasan tempatnya bekerja, tetapi Gemi sadar tempat itu kurang baik. Ada banyak mata-mata Nakula di sana, dan Gemi tidak mau mereka memberitahu kepada Nakula tentang pertemuan rahasia ini. Jadi, Gemi mengganti tempat pertemuannya di kantin rumah sakit. Dia menengok jam di layar ponsel, terpikir akan menelepon saja ayahnya, ketika mendadak terdengar bunyi langkah mendekat. Saat Gemi mendongak, wajah sang ayah menyambutnya. “Ayah?”“Gemi, rindu sekali Ayah padamu, Nak.” Ayahnya langsung memeluk Gemi erat. Gemi merasa kikuk dan kaku. Sudah bertahun-tahun dia tidak merasakan dekapan dari sang ayah. Wanita itu tentu rindu, tetapi di saat bersamaan juga sedih dan bingung. Mengapa sang ayah tiba-tiba berubah menjadi baik? Apa yang dia sembunyikan? “Langsung saja, Ayah

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 59. Kupu-Kupu Lilith

    Sudah berlalu bertahun-tahun sejak Gemi terakhir mendengar ayahnya meminta maaf. Malam itu, pengakuan tulus sang ayah membuat Gemi diserang rasa rindu bertubi. Sebenarnya apa yang terjadi selama ini? Pada waktu Gemi terperangkap tidur di hotel bersama Nakula, ayahnya marah besar sehingga mengusir Gemi dari rumah. Gemi pikir sejak saat itu ayahnya tidak memedulikannya lagi. Tapi sekarang? Mengapa sang ayah kembali baik kepadanya? Ah, sudahkah. Jangan berpikir berat dulu, Gemi meyakinkan diri. Kemudian dia beralih pada sesuatu yang hendak diselidikinya. Di hadapan Gemi, terpampang sebuah layar komputer yang sedang menyala. Beberapa menit lalu Gemi akhirnya kembali ke rumah Nakula untuk memeriksa sendiri laporan barang bukti dari Dirga. Setelah segalanya siap, Gemi memasukkan kepala USB pada port yang kosong, kemudian mendapati jendela baru berkedip di layar. Ketika dibuka, isinya adalah folder-folder berisi foto. Jantung Gemi berdegup kencang. Sekarang sudah tidak ada jalan kembali.

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 58. Panggilan Dari Ayah

    Pukul 20.12. Gemi duduk di sofa kamar rawat Nakula sambil menatap suaminya yang sudah tertidur setelah meminum obat. Dengan gerakan pelan, Gemi merogoh sesuatu di tasnya untuk mengeluarkan amplop berisi foto-foto pemberian pria dengan luka di wajah kemarin. Wanita itu kembali menatap selembar foto yang menunjukkan interaksi antara Dirga dan Rajendra. Sejak kemarin, benaknya gatal untuk memberitahu Nakula, tetapi dia selalu menahan diri, setidaknya sampai suaminya itu sembuh. Dilingkupi penasaran yang semakin meradang, Gemi teringat dengan amplop cokelat berisi laporan penyelidikan Dirga, yang tadi pagi dia berikan kepada Nakula. Gemi sudah bilang pada Nakula bahwa dia tidak akan menyentuh amplop itu, tetapi… hatinya tetap tidak tenang. Bagaimana bila di amplop itu, Dirga menyembunyikan sesuatu yang penting? Menelan ludah gugup, Gemi berdiri dari sofa dan perlahan-lahan menghampiri nakas di dekat ranjang. Nakula masih tertidur pulas, jadi Gemi menarik lacinya hingga terbuka, mengore

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 57. Ciuman Tulus

    “Nakula, gimana perasaaanmu?” Gemi bertanya pelan ketika Nakula akhirnya terbangun pagi itu. Masih tampak pucat, dan linglung. Sang abang berdiri di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa. “Gemi,” Nakula menyentuh tangan Gemi yang tertangkup di pipinya. “Kamu nggak luka, kan?”“Harusnya kamu tanya itu ke dirimu sendiri.” Gemi tersenyum lemah. “Aku baik-baik aja. Kamu menyelamatkanku lagi kemarin.”“Apa pria itu sudah tertangkap?” Mendadak Nakula mendorong tubuhnya bangkit. Rasa sakit menusuk di perutnya, membuatnya buta sejenak. Gemi membujuk agar Nakula tetap berbaring, sehingga pria itu menurutinya. “Belum,” Gemi menggeleng. “Tapi kamu nggak usah memikirkan hal itu untuk sementara waktu ini. Fokus dulu untuk kesembuhanmu.”“Mas Dirga?” Nakula menatap abangnya yang berdiri dengan wajah datar. “Mas juga di sini?”“Mana mungkin aku nggak menjenguk adikku yang sedang terluka?” “Ayah tahu?” Dirga terdiam sebentar. “Belum. Beliau juga masih dalam perawatan. Kalau tahu kamu terluka juga

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 56. Amarah Sang Abang

    Hawa rumah sakit terasa padat oleh kesedihan. Gemi sedang menangis di ruang tunggu pasien ketika tiba-tiba suara isakannya tersela oleh bunyi langkah kaki buru-buru dari ujung lorong. Bu Uswita datang bersama salah satu utusan dari yayasan, dengan raut berduka. Begitu melihat Gemi yang sedang meringkuk di petak kursi, dia segera berlutut lalu memeluk wanita itu dengan erat, sambil menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan. Gemi bercerita kepada Bu Uswita kejadian yang dia alami barusan. Tidak semua, hanya sebagian yang terasa penting untuk diberitahu. Gemi tidak bercerita mengenai rahasia apa yang selama ini digenggam oleh keluarganya sendiri dan juga Nakula, sebab dia takut kejujurannya akan membuat seluruh situasi kacau balau. “Mas Nakula masih ada di ruang operasi? Dokter bilang apa tadi?” Bu Uswita bertanya pelan-pelan. Gemi memberitahu secara singkat bahwa perut Nakula robek cukup dalam sehingga harus menjalani operasi penjahitan organ. Belum ada laporan lebih lanjut mengena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status