Share

Bab 7. Badai Pertama

Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong.

“Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya.

Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”

Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur.

“Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”

“Silakan tanyakan apa pun pada saya.” Nakula tidak menatap Gemi dan terus melanjutkan makan.

“Katanya kamu putra bungsu Meraki Group. Apa benar?”

Nakula mendadak terdiam.

Pria itu mengangguk. “Ya.”

“Pemilik yayasan Meraki Group—Tuan Wiwangsa Yudhistira, adalah salah satu orang yang masuk jajaran orang terkaya di Asia Tenggara. Dan kamu, putranya, malah memilih menurunkan status menjadi pengawal putri menteri biasa sepertiku dengan alasan cinta?”

“Saya tidak berutang penjelasan apa pun pada Anda. Semuanya sudah saya jelaskan. Terserah Anda mau percaya atau tidak.”

Gemi terpaku. Nakula benar-benar definisi lumut di tepian batu sungai—dingin, sulit dibaca, kendati perangainya tidak terlalu keras dan berbahaya. Atau mungkin Gemi hanya terlalu nyaman saja berada di dekatnya?

“Aku mau tidur.” Gemi tiba-tiba berdiri dari kursinya dan keluar dari meja makan.

“Makanan Anda belum dihabiskan,” kata Nakula.

“Aku sudah kenyang. Memang apa lagi alasannya?”

“Nona Gemi,” kata seorang pelayan yang muncul dari balik bahunya. “Anda mau saya bawakan kudapan ke kamar?”

“Tidak perlu. Kalian urus saja pangeran yang satu itu. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Dan setelah jawaban ketus itu dilesatkan, Gemi menggeluyur pergi meninggalkan ruang makan. Hanya tersisa Nakula dan beberapa orang karyawan yang menunggu di sekelilingnya. Pria itu mengusap mulutnya dengan lap makan, lalu bersandar di kursi sambil membuang napas berat.

Pak Janu, yang sejak tadi berada di belakang Nakula, berkata lirih, “Sepertinya kali ini akan sulit menyelesaikan misi, Tuan.”

“Aku tahu,” kata Nakula, lalu memejamkan mata sambil memijat tengah keningnya. “Dia benar-benar gadis yang keras kepala dan terlalu waspada.”

“Dia membuat saya teringat dengan seseorang, Tuan.” Pak Januari tertawa kecil.

Nakula tahu siapa yang dimaksud oleh kepala pelayannya. “Ibu?”

“Benar. Kalau Nyonya masih hidup, dia pasti senang memiliki menantu seperti Nona Gemi. Keduanya punya sifat yang sama.”

“Sifat yang sama hanya akan memicu konflik ke depannya. Mereka berdua sama-sama api yang menggelora.”

Lalu Nakula bangkit berdiri dari meja makan dan berkata pada Pak Janu. “Saya juga akan ke kamar. Terima kasih untuk makanannya.”

“Sama-sama, Tuan.” Pak Janu membungkuk sopan dan membiarkan tuan mudanya berjalan mendahuluinya.

Sementara itu, Gemi rupanya tidak berada di kamarnya sendiri. Dia justru melenggang mondar-mandir di sekitar rumah untuk menikmati—maksudnya menyelidiki hal-hal mencurigakan yang mungkin terselip di perabotan dan seluk beluk rumah megah ini.

Namun setelah kurang lebih lima belas menit berkeliling, Gemi malah tersesat. Rumah ini terlalu besar dan memiliki lorong-lorong yang membingungkan. Setiap lorongnya tampak mewah dan megah—dipenuhi lukisan klasik, barang-barang antik, dan ukiran-ukiran panel dinding yang rumit, seperti masuk ke museum kerajaan ningrat dari Eropa. Gemi bahkan menemukan lift mungil yang biasanya digunakan sebagai tempat persembunyian anak-anak di film-film. Dia mendekati pintu tingkap kecil yang berukuran kecil tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya ada tempat kosong yang mungkin cukup bila diisi tubuhnya.

“Sedang apa?”

Suara itu tiba-tiba membuat Gemi berpaling.

“Nakula,” kata Gemi, terkejut. Sementara pria itu mendekat. “A-aku sedang lihat-lihat.”

“Bukannya katanya Anda mau ke kamar?”

“Aku tersesat waktu mau kembali ke kamar. Rumahmu terlalu luas, tahu!”

“Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk masalah itu. Anda hanya perlu membiasakan diri.” Nakula mengajak Gemi kembali ke kamar, sementara Gemi berjalan di sampingnya sambil tetap menjaga jarak.

“Jadi, sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup megah, ya?” Gemi memulai perbincangan. “Apa kamu juga memiliki personal asisten yang mengikuti dan menyiapkan semua keperluanmu seperti pengasuh?”

“Saya sudah terbebas dari semua itu sejak usia lima belas tahun. Ayah saya membolehkan saya memiliki kehidupan sendiri, jadi saya memilih keluar dari rumah orangtua.” Lalu Nakula mendongak dan menyapu pandang pada seantero lorong yang megah di hadapannya. “Mereka memberi saya rumah ini dan meninggalkan saya dengan sejumlah aset. Saya memang putra bungsu Meraki Group, tapi saya sudah tidak terhubung lagi dengan urusan-urusan yayasan.”

“Jadi kamu menolak menjalankan organisasi itu?” Pertanyaan itu dijawab oleh anggukan. Gemi semakin penasaran. “Kenapa? Bukannya menjadi pewaris itu enak? Aku bahkan rela mempertaruhkan nyawaku untuk bisa menjadi pewaris dari bisnis restoran keluargaku.”

“Saya memiliki tujuan hidup sendiri.”

Gemi terkekeh. “Dengan menjadi pengawal dari seorang gadis yang kamu cintai? Oh, ya ampun.”

Namun Nakula tidak menjawab apa pun. Pria itu justru berputar menghadap Gemi seraya menatapnya lurus-lurus. “Ada satu lagi tujuan saya.”

Gemi terkejut karena ditatap sedekat itu dengan Nakula. Dia menelan ludah dan memutuskan tidak berpaling dari tatapannya yang menantang. “Apa itu?”

Dan sebelum Nakula sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja terdengar jeritan membahana dari arah lantai pertama. Gemi dan Nakula sama-sama terkejut. Sang pria menggandeng tangan Gemi dan mengajaknya berlari ke sumber suara.

Mereka sampai di depan ambang dapur utama yang kini dipenuhi oleh para pelayan. Beberapa di antara pelayan tersebut menangis dengan syok dan tubuh gemetar. Gemu terpaku, terbelah di antara bingung dan takut. Dia membiarkan Nakula menyela maju dan bertanya sendiri kepada para pelayannya. “Apa yang terjadi?”

Salah satu pelayan laki-laki membalas tegang;

“Ada mayat… ada mayat di dalam dapur….”[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status