Share

Bab 7

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 09:36:56

Sesampainya di rumah, Bu Darmi belum sempat meletakkan bakul jamunya ketika Galih yang baru saja keluar dari kamar, bersiap hendak pergi, langsung menghampiri mereka dengan wajah heran.

"Loh, mengapa sudah pulang, Bu?" tanya Galih sambil memperhatikan bakul jamu Bu Darmi yang masih penuh. Matanya kemudian beralih pada Asih yang berdiri di samping ibunya dengan wajah pucat dan mata sembab bekas menangis.

Bu Darmi melirik Asih sekilas, lalu dengan cepat mencari alasan. "Ah, ini ... katanya Asih mual-mual," ucapnya sambil menurunkan bakul dari punggungnya dengan gerakan sedikit terburu-buru.

"Mual?" Galih langsung panik, alisnya berkerut dalam. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia segera menghampiri Asih dan dengan lembut menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk dulu, jangan berdiri terus."

Dengan gerakan cekatan, Galih mengambil air hangat dari termos dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia duduk di samping Asih yang terduduk lemah di atas tikar, kemudian menyodorkan gelas tersebut dengan kedua tangannya.

"Ayo diminum dulu," kata Galih dengan suara lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. "Mungkin sebaiknya kamu tinggal di rumah saja, jangan kecapekan."

Hati Bu Darmi seakan tercelos melihat pemandangan di hadapannya. Dadanya sesak menyaksikan bagaimana Galih yang bahkan bukan ayah biologis dari anak yang dikandung Asih begitu tulus dan penuh perhatian kepada putrinya. Matanya berkaca-kaca melihat betapa berbedanya sikap Galih dengan Ardy yang tadi dengan kejam menyakiti perasaan Asih.

Ketika melihat air mata kembali menetes di pipi Asih, Galih mengangkat tangannya dan menyeka air mata itu dengan ujung jarinya dengan sentuhan yang begitu lembut.

"Sudah, jangan menangis," bisiknya. "Mungkin semua wanita hamil memang begini, mual-mual." Galih tidak tahu bahwa air mata Asih bukan karena mual, melainkan karena luka yang baru saja diterimanya dari Ardy.

"Terima kasih, Galih. Kamu begitu baik padaku," isak Asih sambil menatap mata Galih yang dipenuhi ketulusan.

Galih tersenyum tipis, tangannya masih menggenggam lembut tangan Asih. "Sekarang aku suamimu, tentu saja aku mengkhawatirkan keadaanmu."

Asih menoleh ke ambang pintu, di mana sebuah bakul kecil dari anyaman bambu dan sebilah celurit tergeletak di sana. "Kamu akan ke hutan?" tanyanya sambil mengusap sisa air mata di pipinya.

Galih mengangguk, mengikuti arah pandangan Asih. "Ya, aku akan mencari bahan-bahan untuk jamu Ibu. Tapi sepertinya aku pergi nanti saja setelah kamu membaik."

Asih menggeleng lemah. "Aku tidak apa-apa, ini sudah lebih baik. Kamu pergi saja, aku akan di rumah sendirian." Meskipun suaranya masih sedikit bergetar, Asih berusaha terlihat tegar.

Galih menoleh pada Bu Darmi yang sejak tadi memperhatikan mereka dalam diam. Bu Darmi mengangguk sambil menghela napas panjang.

"Iya, pergi saja, Nak. Biar Asih istirahat saja di rumah," kata Bu Darmi sambil menghampiri putrinya. "Ayo Asih, sebaiknya kamu tiduran di kamar."

Asih bangkit perlahan dan masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Bu Darmi mengikutinya, membantu putrinya berbaring di atas kasur sederhana.

Galih mengambil bakul kecil dan celurit yang tergeletak di ambang pintu. "Kalau begitu, aku permisi ya, Bu," katanya sambil menggantungkan bakul di bahunya.

Bu Darmi mengangguk, tatapannya memancarkan rasa terima kasih yang mendalam. "Hati-hati ya, Nak."

Galih melangkah meninggalkan rumah menuju hutan yang terletak sekitar satu kilometer dari rumah mereka. Sementara itu, Bu Darmi memutuskan untuk melanjutkan jualannya, tapi kali ini ke arah yang berbeda, menjauhi perkebunan milik keluarga Wijaya. Meskipun para pekerja kebun di sana adalah langganan setianya, Bu Darmi tidak ingin mengambil risiko bertemu lagi dengan Ardy.

Dan, ketika Galih mulai memasuki hutan yang rimbun, ia langsung mencari tanaman rimpang yang biasa dibutuhkan Bu Darmi untuk ramuan jamunya. Telapak kakinya yang sudah terbiasa melangkah di tanah hutan tidak kesulitan menemukan jejak-jejak tanaman yang pernah ditunjukkan Bu Darmi kepadanya.

Di balik semak yang lebat, Galih menemukan tanaman kunyit yang sudah cukup tinggi, daunnya hijau segar mengkilap terkena sinar matahari yang menyusup di antara dedaunan. Dengan hati-hati, ia mulai menggali menggunakan celurit kecilnya, mengingat pesan Bu Darmi untuk tidak mencabut semuanya, menyisakan beberapa potong agar umbinya bisa tumbuh dan berkembang menjadi lebih banyak.

Begitu juga dengan kencur, jahe, dan rimpang lainnya yang sengaja ditanam Bu Darmi di berbagai sudut hutan. Galih bekerja dengan teliti, tangannya yang terampil memilah mana yang sudah siap dipanen dan mana yang masih perlu dibiarkan tumbuh.

Setelah selesai mengumpulkan rimpang yang cukup, Galih merapikan bakulnya dan bersiap pulang. Namun, saat ia berjalan melewati bagian hutan yang agak terbuka, tiba-tiba terdengar suara retakan keras dari atas.

Galih mendongak dan melihat sebuah ranting besar yang patah sedang jatuh dengan cepat ke arah seorang pria yang sedang berjalan sendirian, tampak tidak fokus dan tidak menyadari bahaya di atasnya.

Tanpa berpikir panjang, Galih langsung berlari sekuat tenaga dan mendorong tubuh pria itu hingga keduanya terjatuh ke tanah. Ranting besar itu jatuh tepat di tempat pria itu berdiri beberapa detik sebelumnya.

Saat terjatuh, lengan Galih tersayat oleh ranting kecil yang tajam, darah mulai menetes dari luka goresan yang cukup dalam.

"Maaf, tapi saya terpaksa melakukannya," kata Galih sambil bangkit dan mengusap darah di lengannya, napasnya masih terengah-engah karena terkejut.

Pria yang baru saja diselamatkannya adalah Ardy. Ia bangkit perlahan sambil membersihkan debu dari pakaiannya. Matanya menatap Galih dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Terima kasih," jawab Ardy dengan suara datar, meskipun dalam hatinya ia cukup terkejut dengan tindakan spontan Galih.

Galih mengangguk singkat sambil mengangkat bakulnya yang sempat terjatuh. "Lain kali hati-hati. Permisi."

Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Galih berlalu meninggalkan Ardy sendirian. Keduanya memang tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu sebelumnya.

Ardy berdiri terpaku di tempatnya, memandangi punggung Galih yang menjauh. Memang benar, pikirannya sama sekali tidak fokus dan tidak waspada karena dipenuhi oleh bayangan Asih. Kejadian tadi baru saja hampir merenggut nyawanya, namun yang ada dalam benaknya hanyalah wajah Asih yang sendu.

Setelah Galih benar-benar hilang dari pandangan, Ardy kembali melangkah menuju tujuan awalnya, yaitu sebuah batu besar di tengah hutan yang memiliki kenangan mendalam baginya dan Asih.

Di tempat itulah mereka sering duduk bersama menghabiskan waktu, berbagi mimpi dan harapan. Di balik semak-semak di sekitar batu itu pula, mereka pernah beberapa kali bercinta dengan penuh gairah saat menjelang sore, ketika tidak ada seorang pun yang memasuki hutan.

Ardy duduk di atas batu dingin itu, tangannya menyentuh permukaan batu yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka. Matanya menatap kosong ke arah semak-semak tempat mereka pernah berbagi kehangatan.

"Asih ...," bisiknya dengan tenggorokan tercekat. "Maafkan aku. Tapi aku juga tidak rela kamu menikah dengan pria lain."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 29

    "Gimana, Asih? Jangan malu-malu, kan sudah menikah," Bu Wati tersenyum, tapi senyumnya terkesan mencurigakan."Iya, berapa bulan hamilnya? Kok baru sebulan nikah udah hamil? Cepat banget ya," Bu Siti menambahkan dengan nada yang terdengar menyindir.Asih semakin pucat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika mengaku hamil, pasti akan ada pertanyaan lanjutan yang sulit dijawab. Jika menyangkal, nanti jika kehamilannya terlihat jelas, ia akan dianggap pembohong."Saya ...," Asih mulai berucap, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan."Kenapa diam? Jangan-jangan ...," Bu Wati dan Bu Siti saling pandang dengan tatapan penuh makna.Pak Bambang yang melihat Asih terlihat tidak nyaman, segera menyela. "Sudah, sudah. Ini berasnya sudah selesai ditimbang."Tapi Bu Siti belum puas. "Asih, jujur saja. Kamu hamil, kan? Coba lihat, perutmu agak buncit, wajahmu bulat, dan kulitmu glowing. Tanda-tanda hamil muda banget itu.""Iya, terus kalau hamil, berarti kamu hamil sebelum nikah, dong? Soa

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 28

    Suasana di ruang tengah menjadi hening setelah Ardy pergi. Galih duduk di samping Asih, matanya sesekali melirik ke arah pintu tempat motor Ardy tadi menghilang."Asih," Galih berkata pelan, "siapa pria tadi?"Asih terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Haruskah dia jujur? Atau lebih baik berbohong saja? Pikirannya berkecamuk mencari jawaban yang tepat."Kenapa diam?" tanya Galih lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin menjawabnya."Asih semakin bingung. Sikap pengertian Galih justru membuatnya merasa lebih bersalah."Yasudah, sebaiknya kamu masuk ke dalam kamar, istirahat saja," kata Galih sambil mengulurkan tangannya hendak membantu Asih bangkit."Dia adalah Ardy," Asih tiba-tiba berkata, menghentikan gerakan Galih. "Pria tidak bertanggung jawab yang mencampakkan aku begitu saja."Galih terdiam sejenak, kemudian duduk berhadapan dengan Asih. Wajahnya tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan."Aku minta maaf, Galih.

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 27

    Motor milik Ardy melaju pelan di jalan desa yang berlubang. Asih duduk di belakang, kedua tangannya memegang pinggiran jok motor, berusaha menjaga jarak dengan Ardy."Asih, pegang bahuku. Nanti kamu bisa jatuh kalau hanya pegang jok," kata Ardy tanpa menoleh."Tidak apa-apa, aku bisa—"Tiba-tiba motor sedikit oleng karena lubang di jalan. Asih hampir terjatuh ke samping, refleks langsung memeluk pinggang Ardy dari belakang."Maaf," bisik Asih sambil segera melepas pelukannya."Tidak apa-apa. Kalau perlu pegang yang erat," jawab Ardy, hatinya berbunga merasakan sentuhan Asih sedetik tadi.Angin sore menerpa wajah mereka. Motor terus melaju pelan, Ardy sengaja tidak mempercepat laju motornya."Asih," Ardy berkata pelan. "Kamu harus menjaga diri dengan baik. Terutama ... anak yang ada dalam kandunganmu."Asih memilih tidak merespons kata-kata Ardy. Ia hanya menatap hamparan perkebunan kopi yang mereka lewati, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk.©©©Motor Ardy memasuki halaman r

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 26

    "Juragan Ardy ...," Bu Darmi menganga. Mengapa pemuda ini datang di saat yang tidak tepat.Ardy melihat kondisi Asih yang hampir tidak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mendekati mereka."Kenapa Asih?" tanya Ardy."Dari malam demam," jawab Bu Darmi singkat."Ayo naik motor, saya antar ke mantri," tawar Ardy."Tidak usah. Kami bisa jalan sendiri," Bu Darmi menolak."Bu Darmi, ini emergency. Asih bisa kenapa-napa kalau terlambat ditangani," Ardy bersikukuh."Tidak apa-apa, kami bisa—"Belum selesai Bu Darmi bicara, tubuh Asih mendadak lemas dan pingsan. Bu Darmi panik dan hampir tidak sanggup menahan berat tubuh Asih."Asih! Asih!" panggil Bu Darmi sambil menepuk-nepuk pipi Asih.Ardy langsung bereaksi. Tanpa permisi, ia menggendong Asih dengan gaya bridal carry. Tubuh Asih terasa ringan di lengannya yang kekar."Juragan Ardy, turunkan Asih!" protes Bu Darmi."Maaf, Bu. Ini demi keselamatan Asih. Kita harus cepat ke mantri."Bu Darmi tidak bisa berbuat apa-apa. Keselama

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 25

    Menjelang siang, Bu Darmi memutuskan pergi ke warung untuk membeli sayuran. Ia berharap Asih sudah tidur nyenyak dan demamnya mulai turun.Di warung Pak Bambang, Bu Darmi memilih-milih kangkung yang masih segar. Daunnya hijau mengkilap, batangnya masih renyah. Ia juga mengambil sekotak tempe yang baru datang dari pabrik tahu tempe di ujung desa."Bu Darmi!" seru Bu Wati yang baru datang ke warung. "Kok jarang kelihatan? Biasanya pagi-pagi sudah jualan jamu.""Kaki saya baru sembuh dari terkilir, Bu. Belum bisa jalan jauh," jawab Bu Darmi sambil membawa belanjaan ke konter pembayaran."Oh, iya, kemarin Asih yang datang ke sini ya. Katanya Galih sudah bekerja di kebun karet," Bu Wati mendekat dengan mata berbinar-binar. "Betul ya Galih bekerja di sana?""Iya, kami sangat bersyukur akhirnya Galih mendapat pekerjaan," Bu Darmi menjawab singkat.Tidak lama kemudian, Bu Ima datang dengan langkah tergesa-gesa, seperti biasa penuh dengan energi untuk bergosip."Bu Darmi! Wah, lama tidakk bert

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 24

    Jalanan desa masih gelap gulita. Tidak ada lampu penerangan sama sekali. Hanya cahaya bulan separuh yang sesekali muncul dari balik awan yang menjadi penuntun jalan.Galih menyalakan senter kecil yang selalu dibawanya. Pancaran cahaya putih itu menerangi jalan tanah berbatu di depannya. Suara jangkrik dan katak sawah bersahut-sahutan di kegelapan.Tapi Galih sama sekali tidak merasa takut dengan kegelapan. Yang membuatnya was-was adalah bayangan Rio yang kemarin ia lihat melintasi kebun karet tempatnya bekerja. Apakah Rio masih ada di desa ini?Jika Rio memang diperintah kakaknya untuk mencarinya, berarti keberadaannya di desa ini sudah tidak aman lagi. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.Tapi bagaimana dengan Asih? Bagaimana dengan Bu Darmi? Ia tidak mungkin meninggalkan keluarga barunya begitu saja. Belum lagi Asih sedang mengandung.Galih menggeleng, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Mungkin Rio memang hanya berlibur biasa. Mungkin ia terlalu paranoid.Suara langkah ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status