Asih, gadis desa yang polos, dihamili lalu ditinggalkan oleh Ardy Wijaya, putra pemilik perkebunan yang sudah beristri. Di tengah kehancurannya, pria tampan bernama Galih muncul, ia bersedia menikahi Asih karena hutang budi pada ibunya. Pernikahan tanpa cinta itu perlahan berubah menjadi kasih sayang. Galih mencintai Asih dan menganggap anaknya sebagai darah dagingnya sendiri. Namun, Ardy kembali dengan obsesi merebut Asih dan anaknya. Saat kehidupan mulai damai, teror misterius menghantui mereka. Galih diserang orang tak dikenal, dan Asih terkejut mengetahui suaminya yang selama ini sederhana ternyata ....
Lihat lebih banyak"Ardy, kamu tahu ini tidak mudah. Keluargamu pasti tidak akan pernah menerimaku."
Ardy mendekat, mengangkat dagu Kinasih dengan lembut. "Demi dirimu, badai akan kuterjang, gunung akan kudaki, dan dunia pun akan kulawan, asal aku bisa terus bersamamu, Sayang," ucap Ardy, tangannya menggenggam lembut jemari wanita yang sangat ia cintai. Kinasih, gadis desa berparas cantik yang biasa dipanggil Asih, menatap mata Ardy yang berbinar. Hatinya berdesir mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia hanyalah seorang pemetik kopi dari keluarga miskin, sementara Ardy adalah anak dari pemilik perkebunan yang kaya raya. Namun, cinta mereka tumbuh secara alami, melampaui sekat-sekat sosial yang menghalangi. Mereka merebahkan diri di atas hamparan rumput di antara tanaman kopi yang rimbun. Ardy berbaring menyamping, memandang wajah Asih yang terlihat sangat cantik diterpa cahaya senja. Ardy menarik Asih mendekat, saling berhadapan. Ia menabrakkan bibirnya pada bibir Asih dengan kerinduan yang menggila. "Sayang ...." Nafas Ardy semakin memburu. Jemari Ardy menelusuri setiap lekuk tubuh Asih. Sementara Asih hanya diam tak mengerti. Maklum saja, ini kali pertama ia menjalin hubungan dengan seorang pria. "Asssh ...." Asih meremas bahu Ardy dan mendesah pelan saat bibir Ardy mendarat di lehernya yang jenjang. Tak butuh waktu lama. Ardy melepas gaun lusuh gadis itu, menyisakan tubuh polos di bawah langit senja. Kemudian, ia melepas kemejanya sendiri, menghempaskannya ke tanah. "Sssh .... Jangan Ardy," kata Asih mencoba menghentikan. Namun, Ardy yang sudah tidak bisa menahan hasratnya, semakin liar menelusuri tubuh kekasihnya itu. "Aku sangat mencintaimu, Sayang, dan aku sangat menginginkanmu," bisik Ardy. Asih menggeliat, menjerit kecil saat sesuatu dari tubuh Ardy masuk penuh ke dalamnya. "Assh, sakit ...." Asih merintih. "Sssst ... jangan bersuara, Sayang. Nanti ada yang mendengar," bisik Ardy menghentikan rintihan Asih dengan ciuman lagi. Mereka bercinta. Ardy bergerak liar di atas tubuh Asih. Rasa sakit pun perlahan menghilang, dikalahkan gelombang kenikmatan yang terus memuncak. Hingga akhirnya, Ardy mengerang, tubuhnya mengejang penuh kepuasan. "Sayang, aku mencintaimu." Ardy mengecup kening Asih, merebahkan tubuhnya disamping Asih dengan napas terengah-engah. ©©© Dua bulan berlalu .... "Tidak biasanya Ardy lama," gumam Asih. Gadis cantik itu duduk dengan gelisah di atas bangku kayu yang sudah dimakan usia. Pandangannya menyapu jalanan berbatu yang mengarah ke perkebunan kopi tempat dirinya berada. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi sosok yang ditunggunya belum juga muncul. Jemarinya menggenggam bungkusan kecil yang tersembunyi di saku rok lipatnya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir mungilnya setiap kali tangannya menyentuh bungkusan itu. Hari ini adalah hari istimewa, di mana hidupnya akan berubah selamanya. Dari kejauhan, terdengar derap langkah tergesa-gesa. Asih menegakkan tubuhnya, matanya berbinar penuh harap. Sosok lelaki berjaket denim yang dinanti akhirnya muncul, berlari terengah-engah dengan peluh membasahi dahinya. "Maaf, kamu lama menunggu," ucap Ardy dengan napas tersengal, tangannya bertumpu pada lutut sementara dadanya naik turun berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Wajahnya yang tampan memerah karena berlari. "Tadi, ada masalah di kantor yang tidak bisa kutinggalkan." Asih tersenyum manis, jemarinya menyeka keringat di dahi pria yang telah menjadi kekasihnya selama lima bulan itu. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Yang penting kamu sudah di sini sekarang." Ardy duduk di samping Asih, masih berusaha mengatur napasnya. Matanya menatap teduh wanita yang dicintainya itu. "Jadi ... apa kejutan yang ingin kamu berikan, Sayang?" tanyanya, menggenggam tangan Asih yang terasa dingin meski hari cukup terik. Asih menatap Ardy dengan mata yang berbinar-binar, seolah ada jutaan bintang yang menari di kedua iris hazelnya. Jantungnya berdegup kencang. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengeluarkan bungkusan kecil dari sakunya. "Aku hamil," bisik Asih, sementara tangannya menyodorkan alat tes kehamilan dengan dua garis merah yang tampak jelas. Kedua mata Ardy membelalak lebar. Tubuhnya tiba-tiba menegang, dan genggaman tangannya pada jemari Asih mengendur. Wajahnya yang semula sumringah perlahan berubah pucat pasi, seolah seluruh darah tersedot dari tubuhnya. Ia menatap benda dalam genggamannya dengan tangan yang bergetar hebat, seakan sedang memegang bara api yang panas. "Ardy?" Asih memanggil namanya ragu, keningnya berkerut melihat reaksi kekasihnya yang jauh dari ekspektasi. Seharusnya, ini menjadi momen bahagia mereka berdua. Seharusnya Ardy memeluknya erat, menciumi wajahnya, dan berjanji akan segera menikahinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. "Apakah kamu tidak suka dengan kejutan yang aku berikan?" Ardy mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghela napas berat. Matanya tak berani menatap langsung mata Asih yang mulai berkaca-kaca. Ada jeda panjang yang menyiksa sebelum akhirnya ia memberanikan diri bersuara. "Maaf Asih," ucapnya dengan suara serak, setiap kata terasa seperti silet yang mengiris tenggorokannya sendiri. "Aku tidak bisa menikahimu." Asih tersentak, jantungnya seakan berhenti berdetak. "Apa maksudmu?" "Sebenarnya ...," Ardy menelan ludah dengan susah payah, "... aku sudah mempunyai istri dan dua anak di Jakarta." Dunia Asih seakan runtuh dalam sekejap. Telinganya berdenging, pandangannya mengabur. Ia menatap Ardy dengan tatapan tak percaya, berharap pria di hadapannya ini sedang membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu. "Tidak, itu tidak mungkin.""Gimana, Asih? Jangan malu-malu, kan sudah menikah," Bu Wati tersenyum, tapi senyumnya terkesan mencurigakan."Iya, berapa bulan hamilnya? Kok baru sebulan nikah udah hamil? Cepat banget ya," Bu Siti menambahkan dengan nada yang terdengar menyindir.Asih semakin pucat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika mengaku hamil, pasti akan ada pertanyaan lanjutan yang sulit dijawab. Jika menyangkal, nanti jika kehamilannya terlihat jelas, ia akan dianggap pembohong."Saya ...," Asih mulai berucap, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan."Kenapa diam? Jangan-jangan ...," Bu Wati dan Bu Siti saling pandang dengan tatapan penuh makna.Pak Bambang yang melihat Asih terlihat tidak nyaman, segera menyela. "Sudah, sudah. Ini berasnya sudah selesai ditimbang."Tapi Bu Siti belum puas. "Asih, jujur saja. Kamu hamil, kan? Coba lihat, perutmu agak buncit, wajahmu bulat, dan kulitmu glowing. Tanda-tanda hamil muda banget itu.""Iya, terus kalau hamil, berarti kamu hamil sebelum nikah, dong? Soa
Suasana di ruang tengah menjadi hening setelah Ardy pergi. Galih duduk di samping Asih, matanya sesekali melirik ke arah pintu tempat motor Ardy tadi menghilang."Asih," Galih berkata pelan, "siapa pria tadi?"Asih terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Haruskah dia jujur? Atau lebih baik berbohong saja? Pikirannya berkecamuk mencari jawaban yang tepat."Kenapa diam?" tanya Galih lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin menjawabnya."Asih semakin bingung. Sikap pengertian Galih justru membuatnya merasa lebih bersalah."Yasudah, sebaiknya kamu masuk ke dalam kamar, istirahat saja," kata Galih sambil mengulurkan tangannya hendak membantu Asih bangkit."Dia adalah Ardy," Asih tiba-tiba berkata, menghentikan gerakan Galih. "Pria tidak bertanggung jawab yang mencampakkan aku begitu saja."Galih terdiam sejenak, kemudian duduk berhadapan dengan Asih. Wajahnya tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan."Aku minta maaf, Galih.
Motor milik Ardy melaju pelan di jalan desa yang berlubang. Asih duduk di belakang, kedua tangannya memegang pinggiran jok motor, berusaha menjaga jarak dengan Ardy."Asih, pegang bahuku. Nanti kamu bisa jatuh kalau hanya pegang jok," kata Ardy tanpa menoleh."Tidak apa-apa, aku bisa—"Tiba-tiba motor sedikit oleng karena lubang di jalan. Asih hampir terjatuh ke samping, refleks langsung memeluk pinggang Ardy dari belakang."Maaf," bisik Asih sambil segera melepas pelukannya."Tidak apa-apa. Kalau perlu pegang yang erat," jawab Ardy, hatinya berbunga merasakan sentuhan Asih sedetik tadi.Angin sore menerpa wajah mereka. Motor terus melaju pelan, Ardy sengaja tidak mempercepat laju motornya."Asih," Ardy berkata pelan. "Kamu harus menjaga diri dengan baik. Terutama ... anak yang ada dalam kandunganmu."Asih memilih tidak merespons kata-kata Ardy. Ia hanya menatap hamparan perkebunan kopi yang mereka lewati, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk.©©©Motor Ardy memasuki halaman r
"Juragan Ardy ...," Bu Darmi menganga. Mengapa pemuda ini datang di saat yang tidak tepat.Ardy melihat kondisi Asih yang hampir tidak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mendekati mereka."Kenapa Asih?" tanya Ardy."Dari malam demam," jawab Bu Darmi singkat."Ayo naik motor, saya antar ke mantri," tawar Ardy."Tidak usah. Kami bisa jalan sendiri," Bu Darmi menolak."Bu Darmi, ini emergency. Asih bisa kenapa-napa kalau terlambat ditangani," Ardy bersikukuh."Tidak apa-apa, kami bisa—"Belum selesai Bu Darmi bicara, tubuh Asih mendadak lemas dan pingsan. Bu Darmi panik dan hampir tidak sanggup menahan berat tubuh Asih."Asih! Asih!" panggil Bu Darmi sambil menepuk-nepuk pipi Asih.Ardy langsung bereaksi. Tanpa permisi, ia menggendong Asih dengan gaya bridal carry. Tubuh Asih terasa ringan di lengannya yang kekar."Juragan Ardy, turunkan Asih!" protes Bu Darmi."Maaf, Bu. Ini demi keselamatan Asih. Kita harus cepat ke mantri."Bu Darmi tidak bisa berbuat apa-apa. Keselama
Menjelang siang, Bu Darmi memutuskan pergi ke warung untuk membeli sayuran. Ia berharap Asih sudah tidur nyenyak dan demamnya mulai turun.Di warung Pak Bambang, Bu Darmi memilih-milih kangkung yang masih segar. Daunnya hijau mengkilap, batangnya masih renyah. Ia juga mengambil sekotak tempe yang baru datang dari pabrik tahu tempe di ujung desa."Bu Darmi!" seru Bu Wati yang baru datang ke warung. "Kok jarang kelihatan? Biasanya pagi-pagi sudah jualan jamu.""Kaki saya baru sembuh dari terkilir, Bu. Belum bisa jalan jauh," jawab Bu Darmi sambil membawa belanjaan ke konter pembayaran."Oh, iya, kemarin Asih yang datang ke sini ya. Katanya Galih sudah bekerja di kebun karet," Bu Wati mendekat dengan mata berbinar-binar. "Betul ya Galih bekerja di sana?""Iya, kami sangat bersyukur akhirnya Galih mendapat pekerjaan," Bu Darmi menjawab singkat.Tidak lama kemudian, Bu Ima datang dengan langkah tergesa-gesa, seperti biasa penuh dengan energi untuk bergosip."Bu Darmi! Wah, lama tidakk bert
Jalanan desa masih gelap gulita. Tidak ada lampu penerangan sama sekali. Hanya cahaya bulan separuh yang sesekali muncul dari balik awan yang menjadi penuntun jalan.Galih menyalakan senter kecil yang selalu dibawanya. Pancaran cahaya putih itu menerangi jalan tanah berbatu di depannya. Suara jangkrik dan katak sawah bersahut-sahutan di kegelapan.Tapi Galih sama sekali tidak merasa takut dengan kegelapan. Yang membuatnya was-was adalah bayangan Rio yang kemarin ia lihat melintasi kebun karet tempatnya bekerja. Apakah Rio masih ada di desa ini?Jika Rio memang diperintah kakaknya untuk mencarinya, berarti keberadaannya di desa ini sudah tidak aman lagi. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.Tapi bagaimana dengan Asih? Bagaimana dengan Bu Darmi? Ia tidak mungkin meninggalkan keluarga barunya begitu saja. Belum lagi Asih sedang mengandung.Galih menggeleng, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Mungkin Rio memang hanya berlibur biasa. Mungkin ia terlalu paranoid.Suara langkah ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen