Share

Bab 6

Author: Merisa storia
last update Last Updated: 2025-06-09 08:48:22

Dua hari berlalu, saatnya Bu Darmi kembali ke rutinitas, yaitu berkeliling desa untuk berjualan jamu. Kali ini, ia tidak sendirian. Asih bersikeras ingin menemani.

"Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja di rumah. Kondisimu kan sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Darmi sambil menyiapkan bakul jamu.

Asih menggeleng keras. "Tidak, Bu. Asih tidak betah terus-terusan di rumah. Asih bosan. Lagipula, jalan-jalan sedikit tidak apa-apa untuk ibu hamil muda."

"Tapi nanti kamu capek, Nak."

"Asih janji tidak akan memaksakan diri. Kalau capek, nanti Asih langsung bilang. Asih rindu sekali berkeliling desa seperti dulu," rayu Asih sambil menggenggam tangan ibunya.

Bu Darmi menghela napas. "Baiklah, tapi jangan sampai memaksakan diri."

Sebelumnya, keseharian Asih adalah memetik kopi di perkebunan milik keluarga Wijaya. Namun, sudah dua minggu ini Asih tidak pernah kembali ke perkebunan kopi karena tidak ingin bertemu lagi dengan Ardy.

"Jamu ... jamu ...." Asih dan Bu Darmi berjalan sambil menawarkan jamu mereka. Bu Darmi menggendong bakul sedangkan Asih menjinjing keranjang berisi air untuk mencuci gelas jamu. Mereka melewati jalan setapak di antara kebun kopi dan ladang singkong.

Tiba-tiba, di tempat yang sepi, langkah mereka dihadang oleh sosok yang membuat tubuh Asih membeku.

"Ardy ...." bisik Asih dengan wajah pucat.

Bu Darmi langsung tersenyum ramah. "Selamat siang, Juragan. Mau jamu? Jamu kunyit asam segar, bagus untuk kesehatan."

Ardy mengangguk sekilas, tapi matanya tak lepas dari Asih.

Bu Darmi menurunkan bakul dan mulai meracik jamu, tangannya cekatan mencampur berbagai rempah. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pria di hadapannya adalah ayah dari bayi yang dikandung putrinya.

Ketika Bu Darmi menyodorkan gelas jamu pada Ardy, pria itu tidak mengambilnya. Matanya menatap tajam ke arah Asih dengan intens.

"Siapa yang mengizinkanmu menikahi pria lain?" tanyanya dengan suara dingin.

Bu Darmi bingung. Ia menyimpan jamu yang sudah diraciknya kembali ke dalam bakul. "Ada apa ini, Juragan?"

Ardy tidak menjawab pertanyaan Bu Darmi. Matanya tetap terpaku pada Asih yang hanya diam menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Air mata mulai menggenang di kelopak mata Asih.

"Ibu tanya saja pada Asih," kata Ardy dengan nada mengejek.

Asih tidak menjawab. Ia langsung menangis terisak, kedua tangannya mencengkeram keranjang yang dipegangnya dengan sangat erat.

"Asih, kenapa kamu menangis? Ada apa ini?" Bu Darmi panik. Ia segera menghampiri Asih dan mengusap punggung putrinya.

"Apa kamu tidak bilang kalau anak yang kamu kandung adalah anakku?" kata Ardy pada Asih dengan suara yang sengaja dikeraskan.

Bu Darmi terasa seperti disambar petir secara tiba-tiba. Jantungnya hampir lepas mendengar pengakuan Ardy. Kakinya gemetar, dan ia harus berpegangan pada lengan Asih agar tidak jatuh.

"Ma-maaf, Juragan. Maksudnya bagaimana, ya? Tolong jelaskan pada saya," kata Bu Darmi dengan suara bergetar.

"Sepertinya Asih memang tidak bercerita pada Ibu, ya?" kata Ardy dengan senyum sinis. "Kami—"

"Hentikan!" Asih memotong dengan suara keras. Air matanya mengalir deras. "Jangan dengarkan dia, Bu! Ayo kita pergi!"

Asih mengusap air matanya kasar dan langsung menarik lengan Bu Darmi. Bu Darmi dengan tangan gemetar merapikan bakulnya dan langsung berdiri sambil menggendong bakul di punggungnya.

"Maaf, Juragan. Saya harus pergi," kata Bu Darmi dengan suara terbata-bata.

Namun, ketika Bu Darmi dan Asih baru saja berbalik badan dan melangkah, Ardy berteriak.

"Cucu Ibu adalah darah dagingku!"

Langkah Bu Darmi seketika terhenti. Ia berbalik dan menatap Ardy dengan sorot mata tajam seperti elang yang sedang marah.

"Sebaiknya, Anda tidak usah mengganggu putri saya lagi," kata Bu Darmi dengan suara yang bergetar karena menahan amarah. "Atau saya tidak segan-segan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Pak Wijaya."

Ardy malah tertawa mengejek.

"Berani sekali Ibu mengancam saya! Saya mencintai Asih dan saya tidak rela Asih menikah dengan pria lain!"

Bu Darmi menatap Ardy dengan pandangan penuh amarah. "Kalau saja kamu mau menikahinya, saya juga tidak akan menikahkan Asih dengan pria lain. Tapi sepertinya kamu lebih memilih nama baik dan kekuasaan. Jadi, terima saja Asih menikah dengan pria lain. Permisi."

Bu Darmi kemudian menarik lengan Asih dan pergi meninggalkan Ardy. Ardy menatap kepergian mereka dengan napas yang memburu. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

Namun, tidak banyak yang bisa dilakukannya. Ia memang lebih memilih menjaga nama baik keluarga. Ia takut kalau ayahnya tahu, kemungkinan besar Ardy akan dicoret dari daftar waris, dan istrinya akan menuntut cerai.

"Brengsek!" bentaknya tertahan sambil menendang batu di kakinya. "Aku tidak akan tinggal diam. Kalian lihat saja nanti!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 29

    "Gimana, Asih? Jangan malu-malu, kan sudah menikah," Bu Wati tersenyum, tapi senyumnya terkesan mencurigakan."Iya, berapa bulan hamilnya? Kok baru sebulan nikah udah hamil? Cepat banget ya," Bu Siti menambahkan dengan nada yang terdengar menyindir.Asih semakin pucat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika mengaku hamil, pasti akan ada pertanyaan lanjutan yang sulit dijawab. Jika menyangkal, nanti jika kehamilannya terlihat jelas, ia akan dianggap pembohong."Saya ...," Asih mulai berucap, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan."Kenapa diam? Jangan-jangan ...," Bu Wati dan Bu Siti saling pandang dengan tatapan penuh makna.Pak Bambang yang melihat Asih terlihat tidak nyaman, segera menyela. "Sudah, sudah. Ini berasnya sudah selesai ditimbang."Tapi Bu Siti belum puas. "Asih, jujur saja. Kamu hamil, kan? Coba lihat, perutmu agak buncit, wajahmu bulat, dan kulitmu glowing. Tanda-tanda hamil muda banget itu.""Iya, terus kalau hamil, berarti kamu hamil sebelum nikah, dong? Soa

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 28

    Suasana di ruang tengah menjadi hening setelah Ardy pergi. Galih duduk di samping Asih, matanya sesekali melirik ke arah pintu tempat motor Ardy tadi menghilang."Asih," Galih berkata pelan, "siapa pria tadi?"Asih terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Haruskah dia jujur? Atau lebih baik berbohong saja? Pikirannya berkecamuk mencari jawaban yang tepat."Kenapa diam?" tanya Galih lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin menjawabnya."Asih semakin bingung. Sikap pengertian Galih justru membuatnya merasa lebih bersalah."Yasudah, sebaiknya kamu masuk ke dalam kamar, istirahat saja," kata Galih sambil mengulurkan tangannya hendak membantu Asih bangkit."Dia adalah Ardy," Asih tiba-tiba berkata, menghentikan gerakan Galih. "Pria tidak bertanggung jawab yang mencampakkan aku begitu saja."Galih terdiam sejenak, kemudian duduk berhadapan dengan Asih. Wajahnya tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan."Aku minta maaf, Galih.

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 27

    Motor milik Ardy melaju pelan di jalan desa yang berlubang. Asih duduk di belakang, kedua tangannya memegang pinggiran jok motor, berusaha menjaga jarak dengan Ardy."Asih, pegang bahuku. Nanti kamu bisa jatuh kalau hanya pegang jok," kata Ardy tanpa menoleh."Tidak apa-apa, aku bisa—"Tiba-tiba motor sedikit oleng karena lubang di jalan. Asih hampir terjatuh ke samping, refleks langsung memeluk pinggang Ardy dari belakang."Maaf," bisik Asih sambil segera melepas pelukannya."Tidak apa-apa. Kalau perlu pegang yang erat," jawab Ardy, hatinya berbunga merasakan sentuhan Asih sedetik tadi.Angin sore menerpa wajah mereka. Motor terus melaju pelan, Ardy sengaja tidak mempercepat laju motornya."Asih," Ardy berkata pelan. "Kamu harus menjaga diri dengan baik. Terutama ... anak yang ada dalam kandunganmu."Asih memilih tidak merespons kata-kata Ardy. Ia hanya menatap hamparan perkebunan kopi yang mereka lewati, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk.©©©Motor Ardy memasuki halaman r

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 26

    "Juragan Ardy ...," Bu Darmi menganga. Mengapa pemuda ini datang di saat yang tidak tepat.Ardy melihat kondisi Asih yang hampir tidak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mendekati mereka."Kenapa Asih?" tanya Ardy."Dari malam demam," jawab Bu Darmi singkat."Ayo naik motor, saya antar ke mantri," tawar Ardy."Tidak usah. Kami bisa jalan sendiri," Bu Darmi menolak."Bu Darmi, ini emergency. Asih bisa kenapa-napa kalau terlambat ditangani," Ardy bersikukuh."Tidak apa-apa, kami bisa—"Belum selesai Bu Darmi bicara, tubuh Asih mendadak lemas dan pingsan. Bu Darmi panik dan hampir tidak sanggup menahan berat tubuh Asih."Asih! Asih!" panggil Bu Darmi sambil menepuk-nepuk pipi Asih.Ardy langsung bereaksi. Tanpa permisi, ia menggendong Asih dengan gaya bridal carry. Tubuh Asih terasa ringan di lengannya yang kekar."Juragan Ardy, turunkan Asih!" protes Bu Darmi."Maaf, Bu. Ini demi keselamatan Asih. Kita harus cepat ke mantri."Bu Darmi tidak bisa berbuat apa-apa. Keselama

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 25

    Menjelang siang, Bu Darmi memutuskan pergi ke warung untuk membeli sayuran. Ia berharap Asih sudah tidur nyenyak dan demamnya mulai turun.Di warung Pak Bambang, Bu Darmi memilih-milih kangkung yang masih segar. Daunnya hijau mengkilap, batangnya masih renyah. Ia juga mengambil sekotak tempe yang baru datang dari pabrik tahu tempe di ujung desa."Bu Darmi!" seru Bu Wati yang baru datang ke warung. "Kok jarang kelihatan? Biasanya pagi-pagi sudah jualan jamu.""Kaki saya baru sembuh dari terkilir, Bu. Belum bisa jalan jauh," jawab Bu Darmi sambil membawa belanjaan ke konter pembayaran."Oh, iya, kemarin Asih yang datang ke sini ya. Katanya Galih sudah bekerja di kebun karet," Bu Wati mendekat dengan mata berbinar-binar. "Betul ya Galih bekerja di sana?""Iya, kami sangat bersyukur akhirnya Galih mendapat pekerjaan," Bu Darmi menjawab singkat.Tidak lama kemudian, Bu Ima datang dengan langkah tergesa-gesa, seperti biasa penuh dengan energi untuk bergosip."Bu Darmi! Wah, lama tidakk bert

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 24

    Jalanan desa masih gelap gulita. Tidak ada lampu penerangan sama sekali. Hanya cahaya bulan separuh yang sesekali muncul dari balik awan yang menjadi penuntun jalan.Galih menyalakan senter kecil yang selalu dibawanya. Pancaran cahaya putih itu menerangi jalan tanah berbatu di depannya. Suara jangkrik dan katak sawah bersahut-sahutan di kegelapan.Tapi Galih sama sekali tidak merasa takut dengan kegelapan. Yang membuatnya was-was adalah bayangan Rio yang kemarin ia lihat melintasi kebun karet tempatnya bekerja. Apakah Rio masih ada di desa ini?Jika Rio memang diperintah kakaknya untuk mencarinya, berarti keberadaannya di desa ini sudah tidak aman lagi. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.Tapi bagaimana dengan Asih? Bagaimana dengan Bu Darmi? Ia tidak mungkin meninggalkan keluarga barunya begitu saja. Belum lagi Asih sedang mengandung.Galih menggeleng, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Mungkin Rio memang hanya berlibur biasa. Mungkin ia terlalu paranoid.Suara langkah ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status